Kajian Nafs : Aku Bukan 'Orang Islam' (Sebagaimana Keadaannya)


“Sangatlah nyata beda antara berdiri di pegunungan sejuk dengan di bawah terik matahari. Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan.”

Penggalan bait syair Ebiet G Ade, saya hantarkan dalam perenungan. Perenungan panjang yang akan menyisir seluruh peradaban dalam  ranah kesadaran manusia. Perenungan yang tidak akan pernah usai higga kita manusia menempati makomnya masing-masing, hingga manusia kembali kepada fitrahnya sebagai Min-Ruhi (Ruh-KU). Sebagaimana juga perenungan yang ingin saya hantarkan, dalam merenungi kesadaran yang dialami sdr Mastum dalam pertanyaan yang menggugah kita semua, yang telah menjadi komen-komennya dalam tulisan saya di http://filsafat.kompasiana.com/2013/03/14/kisah-spiritual-sebuah-kisah-dibalik-pertemuan-leluhur-542065.html. Maka kajian ini adalah sebagi  bentuk aspirasi kepadanya.

Benar sekali, sangat nyata bedanya. Ketika kita berdiri di pegunungan sejuk dengan berdiri di bawah matahari. Jelas sekali berbeda. Namun  pertanyaannya adalah, “Siapakah yang tahu bedanya ?.” Dan juga pada pernyataan berikutnya, sepi lebih berarti daripada keriuhan, kembali pertanyaannya adalah, “Siapakah yang tahu hakekat maknanya, bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan. “  Siapakah diri yang bersiap menerima pemahaman dalam kesadaran siap untuk tahu~ tahu adanya perbedaan itu. Yaitu dalam keadaan hal-nya, suasananya keadaan tersebut ?. Inilah problematika yang sering luput dari kajian manusia.

Kita sepertinya paham, bahwa makna syair itu benar adanya. Namun sayangnya sangat sedikit manusia yang mampu berada pada kondisi sebagaimana yang dimaksudkan. Yaitu merasakan sendiri dalam keadaan dan kondisi sedang merasakan bedanya keadaan tersebut. Kita hanya berada dalam angan-angan dan anggapan yang membenarkan bait syair Ebiet G Ade tersebut. Sebab bait syair tersebut terasa indah sekali dalam pendengaran kita. Bait syair tersebut sangat menyentuh sekali. Sehingga kita seakan-akan berada disitu. Bukan dalam realitas keadan dan kondisi mengerti yang nyata. Sekali lagi hanya sangkaan, seakan-akan kita berada disitu.

Seperti itulah ayat-ayat yang sering kita dengar dari kitab suci agama-agama. Bait syair dari kitab tersebut sangat indah dan mampu menyentuh jiwa kita. Kemudian pemahaman tersebut akan masuk melalui kesadaran kita. Pemahaman yang kemudian menetap menjadi sebuah dogma. Dogma yang kuat mencengkeram jiwa kita, sehingga kita tanpa disadari telah meyakini kebenarannya tanpa pernah mampu untuk melakukan rekontruksi ulang atas dogma, yang tersimpan dalam file-file memori kesadaran manusia.

Jika manusia meyakini saja, mengikuti dogma tersebut dengan keyakinan yang positip, selalu berfikir yang positip. Dalam keyakinan bahwa setiap agama mengajarkan kasih sayang, bahwa setiap agama akan mengajak kepada umatnya untuk melakukan kebaikan. Maka seluruh kesadaran yang dimasukan oleh agama akan harmonis dengan sendirinya. Dogma agama akan menjadi daya dorong kepada dirinya untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh agama. Oleh karena itu kita manusia akan nyaman saja dalam beragama. Inilah golongan orang-orang yang diberikan jiwa bersih,  yaitu golongan orang-orang yang tidak pernah buruk sangka dengan orang lain. “Kami datang dan kami patuh”.

Sebagaimana golongan umat nabi Musa yang menetapkan hatinya untuk selalu patuh kepada ajaran Nabi Musa. Tidak ada pertanyaan, tidak ada pertentangan dalam batinnya. Sebab mereka memang memiliki raga yang bersih, memiliki jiwa yang sudah dalam keadaan begitu. Mereka berada dalam naungan kesadaran kolektif yang memang juga bersih. Kesadaran mereka akan selalu membenarkan ajaran-ajaran yang dibawa para nabi. Dalam kesadaran mereka-mereka inilah, kesadaran suci itu terjaga.

Mereka akan sangat toleran atas pemahaman manusia yang lainnya. Jiwa mereka akan selalu terbuka, jiwa mereka akan luas, seluas alam semesta. Jiwa mereka seperti bumi, yang mampu melihat  segala bentuk angkara murka dipermukaannya dengan bijak. Jiwa mereka seperti lautan yang akan diam saja menyimpan segala macam bangkai di dalamnya. Bukankah lautan adalah tempat sampah raksasa ?. Maka karena itu, jiwa mereka seperti alam semesta. Mereka akan sangat arif dan bijak sekali, tindak tanduk mereka akan selalu harmoni dengan alam semesta. Mereka khusuk disitu. Menjadi penyaksi pergerakan alam ini. Merekalah golongan orang-orang yang diberikan nikmat. (Al fatehah).

Sayang sekali golongan orang-orang seperti ini sangatlah sedikit. Sebagian besar manusia, adalah  seperti kita-kita ini, yang  termasuk kedalam golongan orang yang akan selalu mempertanyakan seluruh kehendak Tuhan. Kita akan selalu bertanya kenapa begini, kenapa begitu ?. Mengapa begini mengapa begitu ?.  Tidak ada celah sedikitpun yang tidak dipertanyakan oleh manusia. Semua aspek, semua keadaan akan selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah peradaban manusia. Mulai dari baju, celana, sampaipun pemahaman,  apa saja, semuanya akan menjadi bahan perdebatan manusia itu sendiri. mansuia akan selalu asik disitu.

Manusia akan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, membandingkan kenikmatan yang didapatnya dengan kenikmatan yang didapat orang lain. Manusia pada hakekatnya ingin merasakan apa saja. Apa yang ingin dirasakan orang lain, ingin pula dirasakan oleh dirinya sendiri. Jika dirinya belum merasakan hal tersebut, maka galaulah keadaannya. Dia akan melakukan segala cara untuk dapat merasakan kenikmatan yang dilihat oleh matanya.

Manusia juga akan selalu mendebat baik itu keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, ataupun pada diri orang lain, pada lingkungan, pada apa saja, seluruh aspek kehidupan manusia ini akan selalu menjadi bahan debat yang tidak akan pernah habis dalam sejarah hidup manusia. Maka kita sudah dapati banyak manusia yang kemudian manjadi  bergolong-golongan. Manusia yang memiliki kesamaan sifat, kesamaan-kesamaan lainnya, akan mencoba mengkelompok. Kelompok-kelompok ini kemudian melahirkan generasi dan peradabannya sendiri. Mereka kemudian membangun kesadaran mereka sendiri. Mereka dalam kesadaran kolektif mereka yang dirasa mampu melindungi diri mereka dari kelompok lainnya.  

Maka marilah kita luruhkan semua itu. Itulah diri kita manusia. Kita termasuk di dalam golongan manusia yang akan selalu mempertanyakan itu semua. Termasuk juga penciptaan kita. Pertanyaan yang tidak kunjung habisnya. Pertanyaan ini yang kemudian menjadi debat yang berkepanjangan. Debat yang kemudian melahirkan golongan-golongan, yaitu golongan antara yang pro dan kontra. Keadaan ini terus meleset, meluncur ke generasi terkini, melahirkan debat dan perang  antar golongan. Tidakkah sudah sampai khabar itu kepada kita, entah sudah berapa ratus juta jiwa yang melayang sia-sia sebab perang  ini. Perang peradaban, perang kesadaran, perang golongan, dan peperangan-peperangan lainnya, yang terus saja terjadi hingga di abad milinium ini. Tidak layakkah jika kita nelangsa ?.

Sungguh dari pertanyaan sebuah hati inilah semua itu terjadi.  Pertanyaan hati yang entah mengapa kemudian akan selalu berujung kepada perang dan permusuhan. Perhatikanlah, dari hati inilah mula pertanyaan itu berasal. Kemudian pertanyaan mengkristal, pada diri manusia, kemudian meluas pada kelompok-kelompok.  Pertanyaan yang kemudian akan melahirkan pro dan kontra. Dan kitalah pemain utamanya, sebab karena  buah  pertanyaan itulah yang membawa kita begitu. Dan sebenarnya kita tahu itu. Karena sebab tanpa kita sadari diri kitapun berada di wilayah satu kelompok yang begitu. Kita tidak mampu membebaskan diri kita dari sampah pemikiran manusia. Kita tidaklah ber-Islam sebagaimana yang dimaksudkan alam. Kita sejatinya bukanlah orang Islam itu sendiri. Walau atribut kita dan label agama kita adalah Islam.

Lihatlah bumi berputar terhadap dirinya sendiri dengan kecepatan sentripetalnya yang harmoni, dengan keadaannya ini bumi juga berputar mengelilingi matahari, meski bagaimanapun carut marutnya keadaan diatas pemukaan bumi itu sendiri. Meski gunung meletus, meski bom terus berjatuhan dipermukaannya, dan meski bagaimana ulah manusia seenaknya. Bumi akan tetap khusuk dengan keadaannya. Bumi tidak berpaling, bumi tetap berputar, bumi tetap memberikan kasih sayangnya kepada manusia, kepada seluruh makhluk yang melata diatasnya. Bumi tetap ber-serah, bumi ber-Islam dengan khusuk. Ber-Islam kepada hukum-hukum yang membuatnya begitu. Ber-Isam kepada Sang Penciptanya. Bumi diam dalam khusuk, diam dalam Islamnya. Dan bumi  ikuti kehendak-Nya itu dengan sukarela !.

Nah mampukah kita ber-Islam sebagaimana ber-Islamnya bumi ?. Tetap khusuk, tetap bergerak, walau benturan kehidupan membombardir diri kita ?. Tetap pada visi dan misi kita KEMBALI kepada-NYA. Menyerahkan segala urusan hanya kepada-NYA. Dan mampukah kita ikuti kehendak-Nya dengan sukarela ?.

Manusia hanya diminta untuk berlaku baik dan adil. Memberi dan meminta dalam keadilan. Baik kepada raganya sendiri, baik kepada sesamanya tanpa membedakan suku, ras, agama dan golongan, juga baik kepada lingkungan, hewan dan tanaman  (alam), serta tak lupa juga baik kepada Tuhan.  Yaitu dengan memenuhi hak-hak mereka semuanya
Manusia diharapkan tunduk kepada sistem ini. Yaitu keadaan yang mengharuskan diri manusia untuk baik dan adil. Sehigga karenanya manusia kemudian akan mampu menyandang asma-Nya, menjadi wakil-Nya. Mengkhabarkan kepada seluruh umat lainnya bahwa asma-Nya adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Manusia harus berserah keapda fitrahnya yang demikian ini. Inilah konsep Islam yang benar. Seluruh aktifitas manusia adalah sebuah bentuk pengabdian kepada-Nya. Sebagai tangan-tangan-Nya untuk menyampaikan kasih-sayang-Nya. Menjadi khalifah yang baik dan adil. Memberi dan meminta dengan keadilan. Tata Kelola Sistem Alam semesta mengharuskan manusia untuk berbuat baik dan adil. Inilah hukum dan aturan alam.

Mengapakah manusia tidak mampu berserah kepada sistem ini ?. (Yaitu) Manusia tidak mau berbuat baik dan adil, sebagaimana yang dimaksudkan ?. Bagaimana tidak, alih-alih berbuat baik dan adil, manusia justru malahan disibukan dengan dirinya sendiri ?. Disibukkan dengangolongan-golongannya sendiri. Manusia sibuk memperkaya dirinya sendiri. Sibuk menuruti hawa nafsunya sendiri. Ugh..sungguh sulit sekali manusia mau ber-Islam. Yaitu keadaan ber-serah kepada Tata Kelola Alam Semesta (SOP Alam semesta)  yang mengharuskan manusia untuk selalu bersikap baik dan adil. Sungguh, begitulah keadaan diri kita selama ini. Meski kita sudah ber abad-abad mengkaji. Meski sudah dikhabarkan adanya hukum surga dan neraka. tetap saja mansuia mengangkangi nafsunya sendiri. Dirinya tidak mau ber-serah, yaitu mengikuti sistem dengan sukarela.

Oleh karena itu, a marilah kita kembali kepada keadaan diri kita. Mengupas lebih dalam lagi , hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Seharusnya sejak mula pertanyaan dari hati kita kembalikan ke hati. Itulah hukumnya. Sehingga kita mampu membebaskan diri kita, membebaskan pemikiran kita dari semua pertanyaan tersebut. Berserah dan berserahlah, sebab dengan keadaan  itu kita akan mampu membebaskan kesadaran kita, dari semua  pemikiran itu. Begitulah seharusya ber- Islam.

Jika pertanyaan dari hati kita lemparkan kepermukaan, di wilayah sang akal, maka hasilnya hanyalah debat saja. Sebagaimana keadaan manusia sekarang ini. Sebab realitasnya adalah tidak seperti yang terlihat dimata. Begitulah hukumnya, maka kitapun mau tidak mau  harus membebaskan diri kita dari keterfanaan ini. Membebaskan jiwa kita dari mata yang menipu. Islam seharusnya menjadi pembebas, dari indra kita yang tidak mampu menangkap realitas.  Dan inilah Islam, yang akan kita kaji dan kita uji di dalam hati kita. Keadaan berserah itu. Berserah hingga jiwa kita bebas. Bebas  meluas, seluas alam semesta ini. Tidak ada binding lagi, tidak ada hijab lagi, sebab kita sudah membebaskan diri kita dari sampah-sampah pemikiran, dalam  peradaban kesadaran manusia.

Yaitu bagaimana keadaan diri dalam memahami ayat-ayat  kitab suci agar jiwa kita mampu harmoni bersama kesadaran universal (Haa) yang dihantarkan sang alam. Keselarasan kesadaran diri (Mim) dengan kesadaran universa (Haa). Adalah keselarasan antara Haa dan Mim. (Lihat Kajian Simbol Haa Mim).  Oleh karena itu, memahami hakekat bahwasanya tubuh kita adalah bagian dari bumi itu sendiri, menjadi sebuah keharusan yang berada pada wilayah kepastian keadaannya. Begitulah pengajaran sang alam. (Perhatikan Haa di Al qur an sering menggunakan kata ganti orang pertama juga yaitu Kami). Jika bumi yang lebih besar saja mampu ber-Islam, mengapakah diri raga yang hanya secuil ini tidak mampu kita bawa ber-serah (Islam) sebagaimana bumi ?.  

Sungguh manusia memang senantiasa dalam kerugian yang nyata. Sehingga  berdampak,  dirinya tidak sangup menikmati keindahaan hidup itu sendiri. Manusia selalu membawa beban sampah pemikiran orang-orang pendahulunya. Dan mengangkangi itu sendiri. Sambil terus dirinya disibukan dengan ini. Ironisnya manusia tidak sadar kalau dirinya begitu. Manusia tidak mampu ber-Islam, tidak mampu membebaskan pemikirannya (ber-serah), walau mereka sering melabelkan diri mereka sebagai orang ISLAM.  He-eh, sejatinya sangat sedikit manusia yang (mampu) sungguh-sungguh ber-Islam. Ber-Islam dengan  agama mereka sendiri. Dan ketahuilah..

Manusia itu adalah Aku !. Bukan kamu, bukan dia dan  juga bukanlah mereka !.

“Sangatlah nyata beda antara berdiri di pegunungan sejuk dengan di bawah terik matahari. Saksikan bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan.”

karenanya ...

“Sangatlah nyata beda antara orang ber-Islam dan orang yang tidak. Maka saksikan bahwa sukarela lebih berarti dari pada terpaksa.”

Ya benar, manusia itu akan selalu tersebut dengan kata ganti orang pertama yaitu Aku, karena dia memang adalah  Aku !. Adalah entitas yang ada dalam setiap jatidiri manusia.

Maka sudah tahukah Aku jika ternyata Aku dalam keadaan nyatanya bukanlah ‘orang Islam’ sebagaimana yang dimaksudkan kitab suci ?.

Maka sungguh merugilah manusia jika dirinya tidak tahu bedanya itu.

Wasalam

(Catatan : Namun akan  lebih baik, jika setidaknya diri  kita sudah terlebih dahulu mampu menjalankan syariatnya, sambil terus berusaha mengkaji,   dari pada Aku tidak ber-Islam  sama sekali.)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Mistis Petilasan Kramat Prabu Kian Santang

Kisah Spiritual, Wangsit Prabu Siliwangi (Anak Keturunan Pajajaran)