Kajian Nafs : Aku Bukan 'Orang Islam' (Sebagaimana Keadaannya)
“Sangatlah
nyata beda antara berdiri di pegunungan sejuk dengan di bawah terik matahari. Saksikan
bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan.”
Benar sekali, sangat nyata bedanya. Ketika kita berdiri
di pegunungan sejuk dengan berdiri di bawah matahari. Jelas sekali berbeda.
Namun pertanyaannya adalah, “Siapakah yang tahu bedanya ?.” Dan juga
pada pernyataan berikutnya, sepi lebih berarti daripada keriuhan, kembali pertanyaannya
adalah, “Siapakah yang tahu hakekat
maknanya, bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan. “ Siapakah diri yang bersiap menerima pemahaman
dalam kesadaran siap untuk tahu~ tahu adanya perbedaan itu. Yaitu dalam
keadaan hal-nya, suasananya keadaan tersebut ?. Inilah problematika yang sering
luput dari kajian manusia.
Kita sepertinya paham, bahwa makna syair itu benar
adanya. Namun sayangnya sangat sedikit manusia yang mampu berada pada kondisi
sebagaimana yang dimaksudkan. Yaitu merasakan sendiri dalam keadaan dan kondisi
sedang merasakan bedanya keadaan tersebut. Kita hanya berada dalam angan-angan
dan anggapan yang membenarkan bait syair Ebiet G Ade tersebut. Sebab bait syair
tersebut terasa indah sekali dalam pendengaran kita. Bait syair tersebut sangat
menyentuh sekali. Sehingga kita seakan-akan berada disitu. Bukan dalam realitas
keadan dan kondisi mengerti yang nyata. Sekali lagi hanya sangkaan, seakan-akan
kita berada disitu.
Seperti itulah ayat-ayat yang sering kita dengar dari
kitab suci agama-agama. Bait syair dari kitab tersebut sangat indah dan mampu
menyentuh jiwa kita. Kemudian pemahaman tersebut akan masuk melalui kesadaran
kita. Pemahaman yang kemudian menetap menjadi sebuah dogma. Dogma yang kuat
mencengkeram jiwa kita, sehingga kita tanpa disadari telah meyakini
kebenarannya tanpa pernah mampu untuk melakukan rekontruksi ulang atas dogma,
yang tersimpan dalam file-file memori kesadaran manusia.
Jika manusia meyakini saja, mengikuti dogma tersebut
dengan keyakinan yang positip, selalu berfikir yang positip. Dalam keyakinan
bahwa setiap agama mengajarkan kasih sayang, bahwa setiap agama akan mengajak
kepada umatnya untuk melakukan kebaikan. Maka seluruh kesadaran yang dimasukan
oleh agama akan harmonis dengan sendirinya. Dogma agama akan menjadi daya
dorong kepada dirinya untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh agama. Oleh
karena itu kita manusia akan nyaman saja dalam beragama. Inilah golongan
orang-orang yang diberikan jiwa bersih,
yaitu golongan orang-orang yang tidak pernah buruk sangka dengan orang
lain. “Kami datang dan kami patuh”.
Sebagaimana golongan umat nabi Musa yang menetapkan
hatinya untuk selalu patuh kepada ajaran Nabi Musa. Tidak ada pertanyaan, tidak
ada pertentangan dalam batinnya. Sebab mereka memang memiliki raga yang bersih,
memiliki jiwa yang sudah dalam keadaan begitu. Mereka berada dalam naungan
kesadaran kolektif yang memang juga bersih. Kesadaran mereka akan selalu
membenarkan ajaran-ajaran yang dibawa para nabi. Dalam kesadaran mereka-mereka
inilah, kesadaran suci itu terjaga.
Mereka akan sangat toleran atas pemahaman manusia yang
lainnya. Jiwa mereka akan selalu terbuka, jiwa mereka akan luas, seluas alam
semesta. Jiwa mereka seperti bumi, yang mampu melihat segala bentuk angkara murka dipermukaannya
dengan bijak. Jiwa mereka seperti lautan yang akan diam saja menyimpan segala
macam bangkai di dalamnya. Bukankah lautan adalah tempat sampah raksasa ?. Maka
karena itu, jiwa mereka seperti alam semesta. Mereka akan sangat arif dan bijak
sekali, tindak tanduk mereka akan selalu harmoni dengan alam semesta. Mereka
khusuk disitu. Menjadi penyaksi pergerakan alam ini. Merekalah golongan
orang-orang yang diberikan nikmat. (Al fatehah).
Sayang sekali golongan orang-orang seperti ini sangatlah
sedikit. Sebagian besar manusia, adalah seperti kita-kita ini, yang termasuk kedalam golongan orang yang akan
selalu mempertanyakan seluruh kehendak Tuhan. Kita akan selalu bertanya kenapa begini,
kenapa begitu ?. Mengapa begini mengapa begitu ?. Tidak ada celah sedikitpun yang tidak
dipertanyakan oleh manusia. Semua aspek, semua keadaan akan selalu menjadi
perdebatan panjang dalam sejarah peradaban manusia. Mulai dari baju, celana, sampaipun
pemahaman, apa saja, semuanya akan
menjadi bahan perdebatan manusia itu sendiri. mansuia akan selalu asik disitu.
Manusia akan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan
orang lain, membandingkan kenikmatan yang didapatnya dengan kenikmatan yang
didapat orang lain. Manusia pada hakekatnya ingin merasakan apa saja. Apa yang
ingin dirasakan orang lain, ingin pula dirasakan oleh dirinya sendiri. Jika
dirinya belum merasakan hal tersebut, maka galaulah keadaannya. Dia akan
melakukan segala cara untuk dapat merasakan kenikmatan yang dilihat oleh
matanya.
Manusia juga akan selalu mendebat baik itu keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri, ataupun pada diri orang lain, pada lingkungan, pada
apa saja, seluruh aspek kehidupan manusia ini akan selalu menjadi bahan debat
yang tidak akan pernah habis dalam sejarah hidup manusia. Maka kita sudah
dapati banyak manusia yang kemudian manjadi bergolong-golongan. Manusia yang memiliki
kesamaan sifat, kesamaan-kesamaan lainnya, akan mencoba mengkelompok. Kelompok-kelompok
ini kemudian melahirkan generasi dan peradabannya sendiri. Mereka kemudian
membangun kesadaran mereka sendiri. Mereka dalam kesadaran kolektif mereka yang
dirasa mampu melindungi diri mereka dari kelompok lainnya.
Maka marilah kita luruhkan semua itu. Itulah diri kita
manusia. Kita termasuk di dalam golongan manusia yang akan selalu mempertanyakan
itu semua. Termasuk juga penciptaan kita. Pertanyaan yang tidak kunjung
habisnya. Pertanyaan ini yang kemudian menjadi debat yang berkepanjangan. Debat
yang kemudian melahirkan golongan-golongan, yaitu golongan antara yang pro dan
kontra. Keadaan ini terus meleset, meluncur ke generasi terkini, melahirkan
debat dan perang antar golongan. Tidakkah sudah sampai khabar itu kepada
kita, entah sudah berapa ratus juta jiwa yang melayang sia-sia sebab perang ini. Perang peradaban, perang kesadaran,
perang golongan, dan peperangan-peperangan lainnya, yang terus saja terjadi
hingga di abad milinium ini. Tidak layakkah jika kita nelangsa ?.
Sungguh dari pertanyaan sebuah hati inilah semua itu
terjadi. Pertanyaan hati yang entah mengapa
kemudian akan selalu berujung kepada perang dan permusuhan. Perhatikanlah, dari
hati inilah mula pertanyaan itu berasal. Kemudian pertanyaan mengkristal, pada
diri manusia, kemudian meluas pada kelompok-kelompok. Pertanyaan yang kemudian akan melahirkan pro
dan kontra. Dan kitalah pemain utamanya, sebab karena buah pertanyaan itulah yang membawa kita begitu.
Dan sebenarnya kita tahu itu. Karena sebab tanpa kita sadari diri kitapun berada
di wilayah satu kelompok yang begitu. Kita tidak mampu membebaskan diri kita
dari sampah pemikiran manusia. Kita tidaklah ber-Islam sebagaimana yang dimaksudkan
alam. Kita sejatinya bukanlah orang Islam itu sendiri. Walau atribut kita dan
label agama kita adalah Islam.
Lihatlah bumi berputar terhadap dirinya sendiri dengan
kecepatan sentripetalnya yang harmoni, dengan keadaannya ini bumi juga berputar mengelilingi matahari,
meski bagaimanapun carut marutnya keadaan diatas pemukaan bumi itu sendiri.
Meski gunung meletus, meski bom terus berjatuhan dipermukaannya, dan meski
bagaimana ulah manusia seenaknya. Bumi akan tetap khusuk dengan keadaannya.
Bumi tidak berpaling, bumi tetap berputar, bumi tetap memberikan kasih
sayangnya kepada manusia, kepada seluruh makhluk yang melata diatasnya. Bumi
tetap ber-serah, bumi ber-Islam dengan khusuk. Ber-Islam kepada hukum-hukum
yang membuatnya begitu. Ber-Isam kepada Sang Penciptanya. Bumi diam dalam
khusuk, diam dalam Islamnya. Dan bumi ikuti kehendak-Nya itu dengan sukarela !.
Nah
mampukah kita ber-Islam sebagaimana ber-Islamnya bumi ?. Tetap khusuk, tetap
bergerak, walau benturan kehidupan membombardir diri kita ?. Tetap pada visi dan misi kita KEMBALI kepada-NYA.
Menyerahkan segala urusan hanya kepada-NYA. Dan mampukah kita ikuti
kehendak-Nya dengan sukarela ?.
Manusia hanya diminta untuk berlaku baik dan adil. Memberi dan meminta dalam keadilan. Baik kepada
raganya sendiri, baik kepada sesamanya tanpa membedakan suku, ras, agama dan
golongan, juga baik kepada lingkungan, hewan dan tanaman (alam), serta tak lupa juga baik kepada Tuhan.
Yaitu dengan memenuhi hak-hak mereka
semuanya
Manusia diharapkan tunduk kepada sistem ini. Yaitu
keadaan yang mengharuskan diri manusia untuk baik dan adil. Sehigga karenanya manusia
kemudian akan mampu menyandang asma-Nya, menjadi wakil-Nya. Mengkhabarkan
kepada seluruh umat lainnya bahwa asma-Nya adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Manusia harus berserah keapda fitrahnya yang demikian ini. Inilah
konsep Islam yang benar. Seluruh aktifitas manusia adalah sebuah bentuk pengabdian
kepada-Nya. Sebagai tangan-tangan-Nya untuk menyampaikan kasih-sayang-Nya.
Menjadi khalifah yang baik dan adil. Memberi dan meminta dengan keadilan. Tata
Kelola Sistem Alam semesta mengharuskan manusia untuk berbuat baik dan adil.
Inilah hukum dan aturan alam.
Mengapakah manusia tidak mampu berserah kepada sistem ini
?. (Yaitu) Manusia tidak mau berbuat baik dan adil, sebagaimana yang dimaksudkan
?. Bagaimana tidak, alih-alih berbuat baik dan adil, manusia justru malahan disibukan
dengan dirinya sendiri ?. Disibukkan dengangolongan-golongannya sendiri. Manusia
sibuk memperkaya dirinya sendiri. Sibuk menuruti hawa nafsunya sendiri. Ugh..sungguh
sulit sekali manusia mau ber-Islam. Yaitu keadaan ber-serah kepada Tata Kelola Alam
Semesta (SOP Alam semesta) yang
mengharuskan manusia untuk selalu bersikap baik dan adil. Sungguh,
begitulah keadaan diri kita selama ini. Meski kita sudah ber abad-abad
mengkaji. Meski sudah dikhabarkan adanya hukum surga dan neraka. tetap saja
mansuia mengangkangi nafsunya sendiri. Dirinya tidak mau ber-serah, yaitu mengikuti
sistem dengan sukarela.
Oleh karena itu, a marilah kita kembali kepada keadaan
diri kita. Mengupas lebih dalam lagi , hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Seharusnya
sejak mula pertanyaan dari hati kita kembalikan ke hati. Itulah hukumnya. Sehingga
kita mampu membebaskan diri kita, membebaskan pemikiran kita dari semua
pertanyaan tersebut. Berserah dan berserahlah, sebab dengan keadaan itu kita akan mampu membebaskan kesadaran
kita, dari semua pemikiran itu.
Begitulah seharusya ber- Islam.
Jika pertanyaan dari hati kita lemparkan kepermukaan, di
wilayah sang akal, maka
hasilnya hanyalah debat saja. Sebagaimana keadaan manusia sekarang ini. Sebab
realitasnya adalah tidak seperti yang terlihat dimata. Begitulah hukumnya, maka
kitapun mau tidak mau harus membebaskan
diri kita dari keterfanaan ini. Membebaskan jiwa kita dari mata yang menipu. Islam
seharusnya menjadi pembebas, dari indra kita yang tidak mampu menangkap realitas.
Dan inilah Islam, yang akan kita kaji
dan kita uji di dalam hati kita. Keadaan berserah itu. Berserah hingga jiwa kita bebas. Bebas meluas, seluas alam semesta ini. Tidak ada
binding lagi, tidak ada hijab lagi, sebab kita sudah membebaskan diri kita dari
sampah-sampah pemikiran, dalam peradaban
kesadaran manusia.
Yaitu bagaimana keadaan diri dalam memahami ayat-ayat kitab suci agar jiwa kita mampu harmoni
bersama kesadaran universal (Haa) yang dihantarkan sang alam. Keselarasan
kesadaran diri (Mim) dengan
kesadaran universa (Haa). Adalah
keselarasan antara Haa dan Mim. (Lihat Kajian Simbol Haa Mim). Oleh karena itu, memahami hakekat bahwasanya
tubuh kita adalah bagian dari bumi itu sendiri, menjadi sebuah keharusan
yang berada pada wilayah kepastian
keadaannya. Begitulah pengajaran sang alam. (Perhatikan Haa di Al qur an sering
menggunakan kata ganti orang pertama juga yaitu Kami). Jika bumi yang lebih besar saja mampu ber-Islam, mengapakah diri
raga yang hanya secuil ini tidak mampu kita bawa ber-serah (Islam) sebagaimana
bumi ?.
Sungguh manusia memang senantiasa dalam kerugian yang
nyata. Sehingga berdampak, dirinya tidak sangup menikmati keindahaan
hidup itu sendiri. Manusia selalu membawa beban sampah pemikiran orang-orang
pendahulunya. Dan mengangkangi itu sendiri. Sambil terus dirinya disibukan
dengan ini. Ironisnya manusia tidak sadar kalau dirinya begitu. Manusia tidak
mampu ber-Islam, tidak mampu membebaskan pemikirannya (ber-serah), walau mereka
sering melabelkan diri mereka sebagai orang ISLAM. He-eh, sejatinya sangat sedikit manusia yang (mampu)
sungguh-sungguh ber-Islam. Ber-Islam dengan agama mereka sendiri. Dan ketahuilah..
Manusia itu adalah Aku
!. Bukan kamu, bukan dia dan juga bukanlah mereka !.
“Sangatlah
nyata beda antara berdiri di pegunungan sejuk dengan di bawah terik matahari. Saksikan
bahwa sepi lebih berarti dari keriuhan.”
karenanya
...
“Sangatlah
nyata beda antara orang ber-Islam dan
orang yang tidak. Maka saksikan bahwa
sukarela lebih berarti dari pada terpaksa.”
Ya benar, manusia itu akan
selalu tersebut dengan kata ganti orang pertama yaitu Aku, karena dia memang adalah
Aku
!. Adalah entitas yang ada dalam
setiap jatidiri manusia.
Maka sudah tahukah Aku
jika ternyata Aku dalam keadaan nyatanya
bukanlah ‘orang Islam’ sebagaimana yang dimaksudkan kitab suci ?.
Maka sungguh merugilah manusia jika dirinya tidak tahu
bedanya itu.
Wasalam
(Catatan
: Namun akan lebih baik, jika setidaknya
diri kita sudah terlebih dahulu mampu
menjalankan syariatnya, sambil terus berusaha mengkaji, dari pada
Aku tidak ber-Islam sama sekali.)
Komentar
Posting Komentar