KIsah Spiritual, Perjalanan ke Barat 2 (Butterfly Effect)
Perjalanan
ini/Trasa sangat menyedihkan/Sayang engkau tak duduk/Disampingku
kawan/Banyak cerita/Yang mestinya kau saksikan/Di tanah kering
bebatuan
Tubuhku terguncang/Dihempas batu jalanan/Hati tergetar menatapkering rerumputan/Perjalanan ini pun/Seperti jadi saksi/Gembala kecil/Menangis sedih ...
Kawan coba dengar apa jawabnya/Ketika di kutanya mengapa/Bapak ibunya tlah lama mati/Ditelan bencana tanah ini/Sesampainya di laut/Kukabarkan semuanya/Kepada karang kepada ombak/Kepada matahari/Tetapi semua diam/Tetapi semua bisu/Tinggal aku sendiri/Terpaku menatap langit..
Barangkali di sana ada jawabnya/Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan/Melihat tingkah kita/Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/Atau alam mulai enggan/Bersahabat dengan kita/Coba kita bertanya pada/Rumput yang bergoyang.
Tubuhku terguncang/Dihempas batu jalanan/Hati tergetar menatapkering rerumputan/Perjalanan ini pun/Seperti jadi saksi/Gembala kecil/Menangis sedih ...
Kawan coba dengar apa jawabnya/Ketika di kutanya mengapa/Bapak ibunya tlah lama mati/Ditelan bencana tanah ini/Sesampainya di laut/Kukabarkan semuanya/Kepada karang kepada ombak/Kepada matahari/Tetapi semua diam/Tetapi semua bisu/Tinggal aku sendiri/Terpaku menatap langit..
Barangkali di sana ada jawabnya/Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan/Melihat tingkah kita/Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/Atau alam mulai enggan/Bersahabat dengan kita/Coba kita bertanya pada/Rumput yang bergoyang.
(Berita
Kepada Kawan by Ebiet G.ADE)
Romansa
dan romantika apakah yang terus berlintasan dalam batin Mas Thole.
Mendengar sebuah keputusan ghaib atas keberangkatannya ke barat kali
kedua ini. Seperti dendang lagu Ebiet G Ade, jikalau rahsanya tempat yang akan dikunjungi adalah tempat yang dahulu kala diceritakan pernah memakan korban ratusan jiwa. Tempat yang harus dikunungi berikutnya bukan main-main. Tetua gunung,
yah Pegunungan Dieng adalah pinisepuh dari gunung-gunung yang ada di
nusantara ini. Coba bayangkan saja betapa wingitnya derah ini. Banyak
sekali ghaib yang sudah berusia ribuan tahun disini. Dan juga banyak
sekali kejadian aneh akhir-akhir ini yang terus saja melingkupi tlatah pegunungan ini. Dari yang hanya simbol yang nampak sampaipun benar keadaannya.
Gempa
yang terus mengguncang wilayah ini. Itu adalah salah satunya. Kilasan
cahaya ghaib yang sering melintasi, penampakan-[enampakan cahaya dan
awan-awan yang membentuk sesuatu. Satu persatu sperti slide sebuah film. Menjadi sebuah misteri bagi
rekan-rekan Mas Thole yang mengamati keadaan disana. Maka kesadaran
Mas Thole kemudian terbawa suasana saat kejadian berpuluh tahun lalu.
Nuansa kesedihan dihantarkan oleh alunan lagu Ebiet dimuka, yang
begitu saja merasuki kesadarannya. “Mungkin Tuhan mulai bosan,
melihat ulah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa .”
Ugh.. Itu hanyalah sebagian diantara tanda-tanda alam. Belum lagi yang lainnya,
yang tidak terberitakan oleh media. Seperti tanah yang masuk ke dalam
tanah, amblas tiba-tiba, dan beberapa warga mengungsi karenannya.
Kejadian kemarin yang diiringi dengan banjir dimana-mana. Itukah cara
alam membahasakan dirinya ?.
Kekhawatiran
Mas Thole atas perjalanannya ke barat tahap kedua ini bukan tanpa
alasan. Semalam sebelum keberangkatannya (26/4), diatas kompleks
perumahaannya kisaran jam 2 pagi, terdengar petir dan geledek
menyambar-nyambar. Seperti kilatan cahaya lampu blizt yang luar
biasa, menembus ke dalam kamar Mas Thole. Suara geledek yang
menggelegar juga membunyikan alarm mobil-mobil tetangga, suara
bersahut-sahutan benar-benar menambah wingit suasana yang diarasakan
Mas Thole. Belum lagi lolongan anjing tetangga yang terdengar pasrah
dalam dalam lengkingannya. “Pertanda apakah ini..?” Maka
segera Mas Thole bangun dan mengambil wudhu untuk sholat malam 4
rokaat. “Apakah yang bakal dialaminya nanti disana.” Biarlah dia pasrahkan raganya saja, kepada pemilik-Nya.
Sepanjang
pagi hingga siang, dirinya mencoba menyelusuri lagi, mengkaji
fenomena alam, memberikan khabar kepada rekan-rekan lainnya atas
kejadian itu. Mencoba mencari pijakan, barangkalai ada hikmah yang
terlewat, yang tak mampu dimaknainya, sebelum keberangkatannya nanti
ke pusat gunung yang dituakan di nusantara. Gelisahnya, begitu
kental. Sebab hingga memasuki siang dirinya belum mendapatkan
keyakinan. Bahkan yang terpampang dalam kesadarannya adalah
makhluk-makhluk raksasa setinggi pohon-pohon kelapa yang menghadang.
Tengah dalam menantinya. Ugh..maka karena sebab ini dia mengirimkan
email kepada Ratu Sima, mohon doa restunya, sebab akan memasuki
wilayahnya, dan akan memaku daerah kekuasaannya, akan dijadikan
sebagai paku nusantara. Benarkah ini ?. Mas Tole kembali meyakini
realitas yang ada dalam raganya. Bagaimana wingitnya tanah pegunungan
Dieng dia yang merasakan keadaan itu. Begitulah saat kemudian Ratu
Sima mengirimkan balasan, yang , m,engkhabarkan dukungannya.
Salam.
Dikirim: Jumat, 26 April 2013 11:19
Judul: Bls: .
Alhamdulillah..
Insyaallah
nanti sore saya berangkat, dengan 3 orang.
Pagi
tadi jam 2 an geledek dan halilintar terus menyambar-nyambar
di atas komplek perumahan suaranya benar-benar luar biasa,
sampai alarm mobil nyala semua. Hal yang belum pernah terjadi
sejak saya tinggal 13 tahun disana.
Ada
bersitan bahwa perjalanan kali ini akan lebih berat lagi,
sebab tlatah dieng penuh dengan ghaib yang berumur ribuan
tahun. Mohon doa dari sang Ratu. Raga sudah seperti ban
dipompa sejak malam tadi. Alam ghaib sudah mulai gelisah, para
ghaib sudah mulaisadar atas bakalan apa yang terjadi. Membuat
perjalanan kali ini menjadi tak biasa.
Semoga
Allah senantiasa melindungi hamba-Nya yang lemah ini. Mohon
doa restunya, mohon agar sang Ratu untuk menyiapkan prosesinya
disana. Sebab raga yang ringkih ini bukan siapa-siapa, tak
memiliki kemampuan apa-apa. Saat ini yang akan dipaku adalah
gunung yang dianggap menjadi pinisepuh gunung-gunung di
nusantara ini. Malaikat gunung, para penjaga gunung semua
berkumpul disana. Mohon ijinnya agar bersedia menjadi paku
bumi buat nusantara ini. Mohon rtidho sang Ratu.
Dalam
doa tulus, dalam permohonan , semoga para pinisepuh
mengijinkannya dan meridhoi, apa yangkita upayakan ini.
He..eh.
Ampuni
kami ya Allah..tunjukanlah jalan yang lurus. Lindungilah
seluruh langkah kecil kami.
Biarlah
kepak kami yang ringkih ini menjadi tornado yang melibas
angkara murka negri ini. Ya Allah..sesungguhnya kami
lemah..amat sangat lemah.
semoga
Ya Allah..
salam
Lirik lagu seperti terulang, "Barangkali di sana ada jawabnya/Mengapa di tanahku terjadi bencana/Mungkin Tuhan mulai bosan/Melihat tingkah kita/Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/Atau alam mulai enggan/Bersahabat dengan kita/Coba kita bertanya pada/Rumput yang bergoyang." Kesedihan perlahan mulai menggayuti hati dan pikiran.
Lirik lagu seperti terulang, "Barangkali di sana ada jawabnya/Mengapa di tanahku terjadi bencana/Mungkin Tuhan mulai bosan/Melihat tingkah kita/Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/Atau alam mulai enggan/Bersahabat dengan kita/Coba kita bertanya pada/Rumput yang bergoyang." Kesedihan perlahan mulai menggayuti hati dan pikiran.
Yah..Mas
Thole berharap, barangkali disana di pegunungan Dieng ada sebuah
jawaban, mengapa di tanah nusantara sekarang ini banyak terjadi
bencana. Benarkah alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Mas Thole
akan bertanya disana dan mencari jawaban. Apakah kejadian ghaib yang
dinampakan disana akan bermakna ?. Mampukah menjelaskan atas keadaan
yang dialami rekan-rekan Mas Thole, untuk apakah kita menjadi saksi
kejadian dan fenomena alam yang tak biasa ini ?. Haruskah Mas Thole
mengikuti anjuran Ebiet G Ade, yang menyarankan bertanya kepada
rumput yang bergoyang?. He..eh..rasanya itu jelas tak mungkin.
Selesai dengan konteplasinya itu semua, Mas Thole memantapkan diri 3 orang, berangkat dengan bus kesana. Sungai Serayu mulai nampak. Bebatuan diatasnya tersebul, berserak, liuknya seperti ular yang berkelok. Bus yang ditumpangi Mas Thole terlambat hampir tiga jam, sehingga saat memasuki kota Wonosobo, sudah pukul 7.30 WIB pagi. Nampak sekali hamparan sawah dan kali, disepanjang perjalanan memasuki kota, hawa dinginnya mulai terasa, menyejukan sekali. Mas Thole kemudian beristirahat sebentar. Hanya sekedar minum kopi dan sarapan pagi, kemudian melanjutkan perjalanannya lagi ke puncak pegunungan Dieng. Beruntung sekali ada rekan yang mau meminjamkan kenadaraan roda duanya, lumayan dapat menghemat biaya.
Selesai dengan konteplasinya itu semua, Mas Thole memantapkan diri 3 orang, berangkat dengan bus kesana. Sungai Serayu mulai nampak. Bebatuan diatasnya tersebul, berserak, liuknya seperti ular yang berkelok. Bus yang ditumpangi Mas Thole terlambat hampir tiga jam, sehingga saat memasuki kota Wonosobo, sudah pukul 7.30 WIB pagi. Nampak sekali hamparan sawah dan kali, disepanjang perjalanan memasuki kota, hawa dinginnya mulai terasa, menyejukan sekali. Mas Thole kemudian beristirahat sebentar. Hanya sekedar minum kopi dan sarapan pagi, kemudian melanjutkan perjalanannya lagi ke puncak pegunungan Dieng. Beruntung sekali ada rekan yang mau meminjamkan kenadaraan roda duanya, lumayan dapat menghemat biaya.
Angin
menerpa dari muka dan belakang saat Mas Thole melaju dengan roda
duanya. Sungguh setelah berpuluh tahun lalu, baru kali ini dia
mengulang lagi mengendarai roda dua kesana, mengendarainya sendiri. Jalan yang menanjak dan
sangat licin di waktu hujan menyebabkan banyak kecelakaan sepeda
motor. Namun alhamdulillah, cuaca dipagi itu demikian sejuknya, awan
terlihat satu-satu, cahaya matahari lembut menerpa kulit, menjadikan
kehangatan sangat terasa dibadan. Satu bukit dilalui, dua bukit telah
dilewati, perjalanan yang asyik saja. Sayang sekali, sudah tidak
terlihat pepohonan disana, bukit itu seperti ayam yang dikuliti,
dicabuti bulu-bulunya, telanjang terlihat aurat mereka. Kering dan
gersang, nampak dimata walau hawa dingin terus saja menerpa. Hati
terasa sangat sedih melihat keadaan mereka ini.
Memasuki
kawasan, seperti halnya memasuki dimensi lain. Seratus meter dari
tugu selamat datang terasa hawa dingin yang tak biasa, hingga nyaris
saja tangan Mas Thole kram. Dngin yang tak sama dengan hawa gunung
biasa. Kesadaran Mas Thole paham bahwa dirinya tengah memasuki
penjagaan gerbang dimensi pertama. Semua ada 4 gerbang yang harus
dilewati. Tempat yang ditujukan adalah pusat informasi wisata.
Mencari tahu dimanakn tempat Tuk Bimolukar asli, yaitu saat mana dia
keluar dari perut bumi, bukannya tuk yang sudah di modifikasi.
Ternyata tidak ada satupun orang yang tahu. Mas Thole terpaksa harus
menggunakan mata batinnya untuk mencari dimanakah letak mata air
tersebut.
Berdiri
Mas Thole di tempat pemandian Tuk Bimolukar, mengambil air wudhu. Dan
tiba-tiba seperti ada entitas yang masuk ke dalam dirinya.
Memberitahukan kepada ghaib yang ada disana, atas misi yang bawa
oleh raga Mas Thole, agar semua makhluk disana tidak mengganggu.
Dsb..dsb. Hampir saja kesadaran tersebut mengambil alih. Untung saja,
Mas Thole segera menyergahnya, memohon agar dirinya yang menajdi
imam, menyampaikan apa-apa pesannya kepada seluruh alam dan makhluk
yang ada di pegunungan Dieng. Bisikan mengarahkan dirinya untuk menuju keatas perbukitan kuarng lebih 50 - 100 meter. Dia harus mengunakan raga terkininya. Jelas saja tubuh ringkihnya, tertatih-tatih. Nafas tinggal satu-satu. Sering dirinya akan terperosok ke lembah. Akhirnya dengan susah payah ditemukannya titik koordinat, dimana dirinya harus menancapkan paku bumi.Tempat yang dalam mata batin Mas Thole sebuah daerah yang rimbun dan sakral. Namun dalam dimensi terkii hanyalah sebuah lahan pertanian kentang belaka. Disana dia menancapkan paku bumi. Maka selesailah sudah tugasnya kali ini. Langit begitu cerah, matahari bersinar, namun tidak menyakitkan kulit.
Sungguh prosesi
tersebut bagi Mas Thole menjadi terasa sangat biasa. Lain dengan
prosesi sebelumnya di Gn Tangkuban Prahu, ataupun di wilayah lainnya,
yang hampir nyaris membunuhnya. Disini di pegunungan Dieng mengapa
jadi biasa saja. Hal yang sangat biasa yang dirasakan raga Mas Thole.
Hal ini menjadi sangat aneh saja bagi Mas Thole yang sering merasakan
fenomena keghaiban. Sudah tak terbilang kali dimanapun dirinya
melakukan prosesi masuk ke wilayah lainnya, akan selalu diikuti oleh
pertanda alam dan akan terasa diraganya. Mengapa sekarang ini
pertanda alam tidak sebagaimana kebiasaan yang lalu. Jika dahulu
selalu diiringi dengan awan, kabut, hujan, petir, dan
pertanda-pertanda aneh lainnya. Kenapa di Dieng ini tidak ? Adakah
yang salah ?. Bagaimanakah dia akan memaknai kejadian yang biasa ini
?. Apakah kejadian yangbiasa ini adalah justru keghaiban yang nyata
?. Ugh.
Seharusnya
dalam perkiraaannya awal masuk ke Gn Dieng saja akan diikuti pertanda
alam, dan peristiwa ghaib lainnya. Ternyata dia salah besar. Tidak
ada peristiwa apapun yang menimpanya, hanya peristiwa kecil saja,
sebagai pertanda. Tidak seperti halnya saat ketika dirinya memasuki
wilayah lainnya. Huk. Apakah kegahiban tidak harus dimaknai dan
ditandai oleh peristiwa alam atau kejadian alam lainnya ?. Kembali
dalam sekian detika dirinya mencoba mengeksplorasi lagi. Keghaiban
adalah wilayah keyakinan. Maka meskipun ada tanda ataupun tidak,
tentunya keyakinan seharusnya akan tetap. Sudah banyak teguran kepada
kaum terdahulu, mereka kaum yang selalu memohon ditujukan keghaiban.
Meneantang kepada para nabi memohon disegerakan hukuman, atau
memeohon diperlihatkan keghaiban. Namun setelah diperlihatkan kepada
meerka keghaiban, tetap saja mereka ingkar kepada Tuhannya. Referensi
inilahyang kemudian didapatkan Mas Thole untuk memaknai kejadian yang
biasa ini.
Jika
kepada dirinya dinampakkan kegahaiban terus menerus mungkin dirinya
juga akan menjadi hijab lagi. Dirinya akan tersus mencari-cara
keghaiban, dan selalu memeohon tanda-tanda dari Allah. “Bukankah
sudah ditunjukkan bukti-bukti selama ini, masih perlu bukti
apalagi..?” Kesadarannya keras menghardik dirinya. Maka
kemudian dia istigfar. Setelah sempat mengirimkan SMS kepada Gusti
ratu Pambayun, untuk membantu dirinya membaca tanda alam yang biasa
ini namun justru terasa menjadi tak biasa. Alhamdulillah, SMS jawaban
Gusti Putri juga memberikan jawaban yang serupa. Bukankah alam yang
dalam keadaan biasa ini justru merupakan realitas adanya. Bukankah
kita hidup dialam realitas bukan alam ghaib. Maka manakah yang akan
menjadi imam kita, real;itas atau keghaiban ?.
Saat
dikonfirmasikan dengan sang Prabu yang menancapkan paku bumi di
Monas, ternyata dirinya juga mengalami hal yang sama. Begitu juga hal
yang sama, Pak Aryo yang menancapkan di laut sebelah utara. Langit
begitu indah dan cerahnya, redup, tidak ada lagi awan, hujan, petir
atau tanda-tanda alam yang tak biasa. Normal sekali. Sebab katanya
kita adalah manusia biasa, sangat biasa sebagaimana mansuia normal
lainnya saja. Untuk apa mencari fenomena alam yang tak biasa. Mengapa
harus menunggu tanda-tanda itu lagi. Dari hal yang biasa itulah kita
akan memaknai kejadian dnegan luar biasa. Dengan keimanan kita kepada
yang Maha Kuasa. Yang mengatur segala rencana dan kejadian.
Kesadaran
dan pemaknaan mulai membombardir Mas Thole. Realitas manusia,
peradaban manusia, teknology dan lainnya harus dibangun dengan
hukum-hukum yang dapat dipahami oleh manusia. Tidak ada keghaiban dan
sim salabim disana. Semua manusia harus bekerja, semua manusia hatrus
menggunakan otak, akal dan logikanya untuk membangun peradaban
dirinya bagi kemaslahatan umat manusia. Manusia tidak doiperbolehkan
bersandarkan kepada kekuatan ghaib. Keghaiban wajib kita yakini,
namun bukan berarti kita akan tunduk kepada makhluk ghaib. Manusialah
sang Khalifahnya. Hukum-hukum Allah bergerak pada wilayah ini.
Manusia harus mengkaji dirinya kembali. Terutama umat Islam harus
meyakini hal ini. Sehingga keadaan diri mereka tidak etrobsesi atas
kekuatan mahluk gahiba, kekuatan, kesaktian, yang mempesona, namun
tidak akan mampu memeperbaikan realitas, apalagi membangun peradaban
manusia.
Keghaiban
hanya menghantarkan manusia pada suatu makom yang menyakini bahwa ada
sesuatu kekuatan yang mengatur disana dalam wilayah realitas. Sebagai
misal, tampilan layar monitor hanya akan mengikuti program-program
yang memang sudah diinstal sebelumnya. Yang kita saksikan adalah
tontonan semisal itu. Pada wilayah program, akan banyak sekali gahiab
yang bermain disana, semisal virus, hoach atau lainnya. Maka ada
orang-orang seperti kiat yangmenyasikan keadaan disana. Semisal virus
memeiliki daya untuk menggerakkan layar, menajdi energy penggera
tokoh yang akan tampil disana. Dan tokoh tersebut tidak menyadari
bahwa hakekatnya dirinya menggunakan daya dari virus, bukan daya dari
sumber aslinya.
Semisal
itulah gambaran yang ingin diilustrasikan Mas Thole, manusia-manusia
sekarang ini. Banyak sekali yang terhijab sehingga banyak dari mereka
menggunakan daya selain Allah.
Yang berada dalam dirinya adalah semisal siluman penghuni lautan anak
buah Nyi Roro Kidul, ataupun Siluman hutan semisal makhluk penghuni
Gn Kawi. Manusia yang sering melakukan persembahan, sering ke dukun,
sering memeinta-minta pada makhluk ghiab pada hakekatnya di dalam
raganya hanya berisi makluk-makluk tersebut. Dimana kemudian makhluk
tersebut menggantikan daya Allah di tubuh manusia.
Tanpa manusia tersebut menyadarinya. Bisakah kita kemudian menduga
kejadiannya, jika yang berada dalam tubuh manusia tersebut adalah
sebangsa siluman atau makhluk lainnya ?. Mereka semua akan terlihat
dari akhlaknya. Mereka semua akan sulit sekali menghadap Tuhannya,
hawanya akan selalu was-was dan resah. Kehidupannya menajdi tidak
nyaman dll dll. Mereka semua akan selalu membuat kerusakan dimuka
bumi ini. Namun bagaimanakah kejadiannya jika mereka semua tidak
merasa dan tidak tahu itu ?. Itulah yang menajdikan hati mereka
membatu..!. Mereka mempunyai hati, namun mereka tidak menggunakan
itu.
Begitulah
kesadaran yang terus membombardir otak Mas Thole. Menjadi kewajiban
para kesatria adalah mengungkap jatidir manusia. Menunjukan kepada
mereka bahwa sesungguhnya daya apakah yang selalu meliputi mereka.
Sebab jelas sekali perbedaannya dan efek di badan jika mereka
menuhankan selain Allah. Jika mereka berlaku sirik maka sesungguhnya
mereka sedang menelan api neraka ke dalam tubuhnya. Api ini sangat
terasa, kita menjadi gelisah, was-was, dan lain sebagainya. Begitulah
Al qur an mencoba menjelaskan kepada kita. Kesadaran kita (Ruh-KU)
harus dijaga tetap dalam kondisi fitrahnya. Agar jiwa manusia
tenang-ikhlas, puas dan ridho dalam menjalani takdir-takdirnya.
Kesadaran
tersebut masih terus mengejar Mas Thole, menyoal fungsi dan
tugas-tugas para kesatria. Sesungguhnya para kesatria tidak
dibebankan kepada akhir sebuah kejadian. Para kesatria tidak akan
dituntut apa-apa, jika toh upaya mereka tidak menghasilkan apa-apa.
Sebab hakekatnya semua sudah dalam skenario Tuhannya. Yang perlu
dilakukan para kesatria adalah (hanya) menyatukan hati kepada Allah,
meng-ikhlaskan raga-raga mereka untuk menjadi alat-alat Allah. Jika pada
saatnya nanti raga tersebut akan digerakan kemana saja, meraka semua
harus siap. Sebagaimana kesiapan nabi Ibrahim yang diperintahkan
untuk memasuki api yang kala itu sedang berkorbar dengan dhasyatnya. Para Kesatria sudah saatnya memasuki keadaan
makom (hal) saat mana nabi Ibrahim dalam keyakinan tersebut. Tugas
para kesatria melatih diri mereka masing-masing utnuk menempati
makom-makom mereka kearah sana. Keimanan yang utuh. Keimanan yang
tidak menyisakan ruang keraguan sedikitpun. Inalilahi wa inailahi
rojiun. Para kesatrai harus selesai dengan itu.
Para
kesatria hanya perlu menggerakkan raga mereka semisal Siti Hajar saat
mencari minum buat anaknya. Semisal itulah perumpaman-perumpamaannya.
Kekuatan hati, keimanan, dan keyakinan dalam dimensi berbaik sangka
kepada Allah atas takdir apapun yang nanti akan diberikan kepada kita
semua. Dengan keadaan tersebut, dengan kekuatan hati yang terus
diikrarkan untuk perbaikan akhkal bangsa ini, dalam semangat yang
terpatri dalam visi dan misi, merubah keadaan bangsa kita ini menuju
nusantara baru. Itulah yang harus diafirmasikan ke dalam jiwa kita
semua.
Para
kesatria hanya perlu mengharapkan ridho-Nya saja. Meskipun kita hanya
mampu melakukan dengan upaya dan langkah kecil kita. Dalam kepak
sayap kita yang ringkih. Dengan jumlahkita yang tak seberapa
dibandingkan dengan kebesaran bangsa ini. Ibaratnya saja seperti
sebutir debu di hamparan pasir luas. Namun para kesatria harus dalam
keyakinan yang utuh. Para kesatria harus ingat bukan kita yang
melakukan perubahan kepada bangsa ini. Bukan pula kita yang
bertanggung jawab atas akhlak bangsa ini. Allah Tuhan kita yang
memeiliki kekuasaan atas itu.
Tugas
para kesatria adalah terus mengepakkan sayap-sayap ringkihnya itu. Agar terus memberikan daya dorong kepada manusia lainnya.
Kepakan kita yang tulus ikhlas ini akan, semoga akan mendapatkan
ridho-Nya sehingga karenanya kepakkan kita yang kecil ini akan mampu
menjadi tornado yang akan melibas para siluman yang bersarang di
tubuh manusia. Menjadikan manusia sadar bahwa sesungguhnya keadaannya diri mereka
adalah manusia. Yaitu Sejatinya manusia jawa yang berjiwa. Kpeakan sayap
ini bukanlah suatu ilusi, kepakan sayap ini sudah menjadi realitas
dengan ditemukannya teori atas hal ini. Maka seharusnya menjadi
keyakinan lagi dari keyakinan yang sudah ada, dalam benak kesatria.
Kepakan kita adalah semisal butterfly effect, bagi perubahan akhlak
bangsa ini. Semoga. Amin.
Efek
kupu-kupu (bahasa
Inggris: Butterfly
effect) adalah istilah dalam "Teori Chaos" (Chaos
Theory) yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka
terhadap kondisi awal" (sensitive dependence on initial
conditions), di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu
sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan
kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward
Norton Lorenz ini
merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayapkupu-kupu di
hutan belantara Brazil secara
teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa
bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang
ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Perubahan yang
hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis
kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan
kondisi awal misalnya 2, maka hasil akhir dari sistem yang sama akan
jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat
kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain: kesalahan
yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari.
(Dicuplik dari Wikipedia)
Wahai
para kesatria, janganlah lelah, kepakan terus sayapmu. Semoga Allah
ridho dan kita juga ridho. “Mungkin
Tuhan mulai bosan/Melihat tingkah kita/Yang selalu
salah dan bangga dengan dosa-dosa/Atau alam mulai enggan/Bersahabat
dengan kita/”. Sebagaimana penggalan lagu Ebiet, namun
janganlah kita bosan untuk selalu bertasbih kepada-Nya.
Untuk selalu mengagungkan asma-Nya. Sebab itulah kepakan sayap kita,
uapaya kita bersandar hanya kepada-Nya, berserah hanya kepada-Nya,
bergantung hanya kepada-Nya, tiada daya upaya kita selain hanya Allah
dan Allah saja. La illa ha ilallah 3x.
Selesai sudah kisah ini diposting (28/4), rupanya belum menjadi sebuah akhir kisah. Rupanya alam tetap meng-apresiasi apa yang dilakukan oleh Mas Thole. Selepas turun dari Dieng, hujan disertai angin kencang menerpa wilayah perkotaan. Bertepatan setelah dirinya memutuskan untuk singgah ditempat kawannya. Hal itu dianggapnya sebagai hal biasa. memang saat itu dia sempat sampaikan kepada rekannya, bahwa angin ini adalah angin yang tak biasa. Seperti sebuah ucapan salam , angin dan hujan seperti berkata. Ada banyak makhluk yang menyapa menyampaikan dukungannya.
Begitu juga saat keesokan harinya, Mas Thole akan kembali pulang. Pada saat perjalanannya ke terminal. dilihatnya awan seperti ingin bersapa, "Selamat jalan, dan doa menyertai." Ada perasaan nikmat dan sejuk saja disana. Benar saja begitu dirinya duduk di bus yang ditumpanginya tidak samapi 5 menit, hujan angin turun dengan derasnya, diseputar wilayah itu. Selewat 1 kilometer persegi, setelah bus melaju,nampak jalanan benar-benar kering. Allah hu akbar..3x. Inikah bukti yang ingin Engkau tunjukan. Subhanalloh..
Wolohualam.
Komentar
Posting Komentar