Kisah Spiritual; Pambayun, Menyibak Misteri Curug Kawali



Pernahkah engkau dengar nyanyian burung murai
Ketika gerimis turun langit tertutup kabut?
Bersiul memilukan, berderai menikam mendung
Suara laut pun sirna, terbang entah ke mana

 (Ebiet G Ade , Nyanyian Burung Dan Pepohonan)

Mata Pambayun menengadah ke atas, menuju kepada titik dimana mula air jatuh.  Diantara ciprat air yang menyebar, seberkas cahaya turun dari sana, mulai dari bulatan kecil yang membesar, dan terus membesar. Bulatan cahaya itu turun, dalam gerakan melambat,  membuat  bulatan sempurna yang lebih besar. Dan bulatan yang lebih besar itu turun lagi dengan membuat bulatan lagi yang lebih besar pula, dan seterusnya begitu. Setelah sampai di bawah  cahaya itu memedar, menimbulkan sensasi rahsa yang aneh di badan Pambayun. Dalam keadaan terpana, mendadak tiba-tiba blaar…rrr…!. Terdengar suara yang mengagetkan kesadaran Pambayun, tergagap, keadaan itu  membawanya kembali ke alam nyata. Matanya secepat kilat menatap sumber suara tersebut. Suara bertemunya air  dengan batu kali menimbulkan gemuruh yang sangat aneh.  Membuyarkan lamunannya. Debu-debu air berterbangan, tertiup angin sepoi, mengusap wajah cantik Pambayun. 

+++

Diatas batu, Pambayun berdiri, dalam anggunnya, cahaya aura berkilau keemasan menebar diseputar tubuhnya. Dia menatap tajam dengan mata batin, diperhatikannya hanya ada satu dua orang yang sedang bermain air. Sedikit menarik nafas, “Bagaimana  kejadiannya jika ada orang disini..heh..”.  Dengan sabar dia memperhatikan lagi sekeliling curug tersebut. Rekannya yang laki-laki asik mengambil gambar suasana disana. Sementara satu rekannya lagi, nampaknya Dyah Pitaloka, turut asik memperhatikan kemana air berkecipak. Pambayun tetap berdiri dengan sabar. Ditariknya nafas berulang, mencoba mengalirkan udara ke seluruh tubuhnya.  Jalan mendaki ke tempat itu dan muntah-muntah saat memasuki gerbang rupanya tak sedikitpun menyisakan kelelahan di wajahnya.  Ketenangan dan keyakinannya kala siang itu terlihat pada matahari yang bersinar redup saja. Dia yakin jikalau ini memang panggilan KAMI, maka semua pasti sudah dipersiapkan.

+++

Curug Tujuh namanya. Curug tersebut berada di suatu daerah  yang bernama Kawali di Kab Ciamis. Pambayun telah  sedang memenuhi janjinya. Teringat pesan pamannya Banyak Wide bahwa jika ingin menyempurnakan reinkarnasinya, Pambayun harus menyelesaikan prosesinya yang terakhir. Mandi di sebuah telaga atau curug. Sebagaimana  jejak para leluhur mereka, para bidadari dalam legenda kisah 7 (tujuh) bidadari. Sebagai simbol penyatuan jiwa raga mereka dengan air bumi.  Sebuah simbolisasi yang akan sulit dimaknai akal logika manusia. Simbol ini akan selalu hanya ada dalam ranah keyakinan diri. Keyakinan atas laku sebagai makhluk Illahi. Semua demi sebuah pencarian jatidiri. Karena alasan  itulah sekarang Pambayun berdiri di tempat ini. Di curug pertama dari 7 Curug Bidadari di Kawali. (7/11). Dirinya sedang memaknai realitas dan ghaib, dan juga masa lalu dan sekarang.  

“Oh, betapa jauhnya jalan terjal kutempuh
menembus kegelapan, menyibak alang-alang
Oh, murai bernyanyilah mengiringi langkahku
Wajah bumi semakin renta dan penuh luka”

Entah sudah berapa dimensi dilintasi, entah pula sudah berapa peradaban yang dijejaki. Pambayun tak tahu lagi. Yang pasti jejak rahsa di raganya tak mampu di redam lagi. Entah sudah berapa langit yang sudah dia daki. Dan juga entah berapa bumi yang sudah dia lintasi. Jauh perjalanan sejauh alam semesta ini. Menjadi ribuan cerita setelahnya. Menjadi kisah misteri dan romantika tentang Gusti Putri Ratu Pambayun dan Ki Ageng Mangir. Menjadi kisah melodrama yang dimainkan oleh anak-anak manusia setelahnya.

Sementara diantara anak-anak manusia itu, tidak ada yang tahu bagaimana pergolakan jiwanya sesungguhnya. Biarlah kisah cintanya itu menjadi miliknya saja. Sebab tidak ada satupun manusia yang akan mampu memerankannya, apalagi memahami makna serta arti cinta miliknya. Cintanya kepada Ki Ageng Mangir adalah sekisah api di rongga gunung Merapi. Mungkin saja akan mengelegak satu dua bulan lagi. Terkisah nanti, akan pecah berhamburan membakar bumi jawadwipa, menggelagak menenggelamkan purnama.

“Pernahkah engkau dengar nyanyian pepohonan
di tengah belantara sepi menembus kelam?
Kelak tinggal catatan, di sini pernah berdiri
tegar menyangga langit, kini tinggal puing
Ada seberkas cahaya menyelinap jatuh di dahan. “

+++

Harapnya hanya satu, dengan ini dirinya akan mampu memaknai realitas raga terkininya tanpa harus membunuh masa lalunya sendiri. Masa lalu dan masa sekarang sesungguhnya  berimpitan. Waktu sendiri adalah diam. Maka mengapakah keadaannya menjadi beban. Bukankah dirinya yang sekarang dan juga dirinya yang masa lalu adalah satu. Kenapa harus rancu. Bukankah cahaya manakala ditembakkan akan sama saja dari mula dan juga pada akhirnya. Jikalau kemudian yang tampak dilayar itu tidak serupa. Bukanlah salah dimata, namun lebih kepada ketidakmampuan diri kita dalam memaknai keadaan ini.  Bukankah asal mula penciptaan alam semesta adalah cahaya. Cahaya yang ditembakkan adalah cahaya yang sama. Hanya kesadaran kita tidak mampu menerima fakta ini. Maka janganlah risau dengan pemahaman reinkarnasi. Itu hanyalah sebutan saja. Manusia banyak memiliki kosa kata. Banyak kata digunakan untuk menyebut satu kejadian. Yakinilah diri adalah cahaya yang satu.

“Maka kita adalah satu. Tidak ada masa lalu dan masa depan. Kita satu di masa sekarang. Maka terserah akan disebutnya. Sebut saja reinkarnasi atau apa saja. Sebab raga hanyalah kendaraan yang disiapkan untuk kita. Demi sebuah tujuan yang dititahkan-Nya. Masih kah engkau risau karena itu ?”

+++

Tak soal lagi, sekarang dia sudah berdiri disini. Dihadapannya air tercurah seperti terjatuh dari langit. Janjinya kepada Pamannya sang Banyak Wide, pengabdiannya kepada KAMI, atas bukti sebuah keyakinan diri. Menjadi totalitas yang menyatukan hati. Menjadi lakunya hari ini dan esok nanti. Tak peduli jika setelahnya itu, sekali berarti setelah itu mati. Jikalau mesti mati disini, ini adalah demi sebuah laku bakti kepada negri. Walau dia yakin hanya dia sendiri yang akan mengerti arti pengabdian itu sendiri. Jikalau dia yang terpilih mewakili para bidadari, itu juga bukan kemauan diri. Dia hanya menjalani saja panggilan yang memang sudah di takdirkan untuknya ini. Dia tunduk dan patuh. Meski dia tahu berapa ratus kilometer jarak Kawali dari rumahnya. Meski dia tahu bahwa dia hanyalah seorang wanita biasa. Namun jarak tidaklah menjadi alasan demi sebuah keyakinan dan kebermaknaan dalam kehidupan.  

Sesungguhnya Pambayun tidak pernah tahu peran apakah yang sedang dimainkannya dalam lakon ini. Sebuah prosesi harus dilakukan. Dia harus mandi di salah satu curug bidadari. Keyakinannya menuju kesini, ya disini di Kawali ini. Dia juga tidak sepenuhnya paham, jika pamannya Banyak Wide juga sudah melakukan prosesi disini. (2/11) Pamannya Banyak Wide datang bersama dua orang yang diyakini sebagai Panglima dan Penasehat Prabu Silihwangi. Mereka melakukan prosesi terlebih dahulu. Membawa air zam-zam dari tanah suci, yang katanya akan menjadi simbol bagi penyucian air di nusantara ini.   Mereka diantar oleh anak indigo yang entah mengapa sudah menunggu disana, walau sebelumnya tidak pernah berjanji terlebih dahulu. Kejadian yang aneh saja, padahal saat itu waktu sudah menunjukan jam 11 malam. Mengapakah dua orang asli Ciamis seperti menunggu.  Entahlah itu, semua seperti sudah diatur oleh KAMI. Anak indigo ini akan menjadi penyaksi bagi prosesi suci, dimana prosesi ini pernah juga dilakukan oleh leluhur mereka dari Kerajaan Sunda Galuh.

Pamannya melakukan prosesi di sebuah kolam di Astana Gede, di kolam itu ada 7 (tujuh) mata air yang tersembunyi. Tujuh mata air inilah symbol 7 (tujuh) bidadari dan juga symbol 7 (tujuh) lapisan langit dan bumi. Mata air ini jarang diketahui oleh orang biasa. Anak indigo tersebut yang memberitahu kebenaran firasat pamannya itu.  Selama dalam prosesi di Kawali kesadaran Mas Thole memang lebih banyak dikendalikan oleh Banyak Wide.   Dalam pemahaman Mas Thole, air yang sudah di doakan yaitu air zam-zam ini akan menjadi biang air. Ketika air ini di campurkan di 7 (tujuh) mata air maka air ini akan bersiklus ke alam semesta. Air ini akan menjadi simbol bagi penyucian air yang ada di nusantara ini.

Kemudian air yang telah suci ini akan menyucikan air-air yang berada di dalam tubuh manusia. Begitulah logika pemahaman. Menjadi sebuah keyakinan mengapa prosesi tersebut harus dilakukan. Sesuai juga dengan amanat dari Ki Ageng yang terus saja memantau kejadian. (Pen-Selanjutnya nanti, penasehat Prabu Silihwangi menawarkan diri untuk menyebarkan air zam-zam yang sudah didoakan oleh ribuan leluhur yang hadir, ke 7 mata air berbeda).

+++

Tidak dapat dipungkiri keadaan kesadaran kolektif bangsa ini yang sudah mengabaikan hakekat air itu sendiri. Air adalah symbol kehidupan bagi manusia. Tanpa air maka tidak akan ada kehidupan. Namun bagaimanakah bangsa kita memeperlakukan air ini ?. Air banyak dimaki-maki, air banyak digunakan oleh dukun-dukun untuk membawa mantra-mantra kematian. Pendek kata kesadaran manusia sudah mengabaikan peran serta air sebagai penopang kehidupan. Maka air di nusantara ini perlu disucikan lagi. Perlu ada penyaksi yaitu kesadaran manusia yang mengakui atas hakekat makna air itu sendiri. Dan menempatkan air pada makom yang selayaknya.  

Anak indigo itu pulah yang menceritakan detail prosesi disana. Seumur hidupnya mengembara di dalam dunia ghaib baru malam itu dia melihat kehadiran ribuan leluhur di Astana Gede untuk suatu keperluan. Seluruh sesepuh dan pinisepuh Kerajaan Sunda Galuh datang dan juga kerajaan-kerajaan seluruh nusantara mengirimkan wakilnya.

Prabu Silihwangi juga datang dengan diapit kedua harimaunya. Pasukan Pajajaran berbaris rapi.  Sungguh dia tidak berani menegakkan kepalanya. Dia takut kesalahan dan para leluhur itu akan murka kepadanya. Dia jugalah yang menyaksikan bagaimana kedatangan Banyak Wide disambut oleh 40 dayang istana. Penyambutan yang hanya diperuntukkan oleh tamu kehormatan sang Maharaja saja. Sungguh dia tidak mengerti pada awalnya. Ada apakah nanti yang akan terjadi. Mengapa seluruh alam ghaib bisa berkumpul disana. Belum lagi dari dimensi para aulia yang terus memenuhi kompleks Astana Gede. Mas Thole tenang hanya dalam keyakinan. Kesadarannya terus menembus, berusaha mencari pijakan, agar tidak salah langkah memaknainya. Keghaiban akan selalu menjadi misteri. 

Bersyukurlah Mas Thole, sebab dalam setiap laku spiritual, KAMI selalu menyediakan para penyaksi. Para penyaksi inilah yang terus memupuk keyakinan Mas Thole, bahwa laku spiritualnya ini bukanlah sia-sia. Penyaksi anak indigo kali ini bukanlah sembarangan, tingkat kesadarannya sangatlah tinggi. Sejak umur 3 tahun dia sudah mampu berhubungan dengan alam ghaib. Dia mampu melihat apa-apa yang berada dalam tubuh manusia. Sehingga dia sempat tidak berani keluar rumah sama sekali. Apalagi jika harus pergi ke pasar.  Dari dialah kemudian banyak dikupas misteri, mengapa harus dilakukan prosesi penyucian air ini. Simbol-simbol ini pernah dilakukan pada jaman Kerajaan Sunda Galuh. Maka bukankah menjadi pertanda yang harus dimaknai lagi. Mengapakah tempat peletakan prosesi ini harus di Kawali ?. Rasanya Mas Thole sudah mendapatkan jawaban sendiri.

+++

"Dan di saat yang lain kala mentari bangkit
menyiram jagat raya kicaunya pun ceria
Bersama semilir angin mengalirlah semangat
Kecipak air kali menyegarkan jiwa"

Perlahan Pambayun turun ke air, diambilnya air dengan tangannya, dia mulai berwudhu. Tiba-tiba hatinya berdesir aneh. Ditengadahkan wajahnya, dia melihat orang-orang yang tadinya ramai bermain air tiba-tiba keluar dan pergi satu persatu. Sehingga keadaan curug itu sepi sekali. Hanya dia sendiri dan Dyah Pitaloka saja disana. “Subhanalloh…mengapa bisa begini.” Bisik Pambayun takjub sekali. Merasa jika saat itulah pertanda bahwa dia harus mandi. Sedetik itu kesadaran Pambayun memasuki alam-alam dimensi, yaitu dimensi para bidadari. Saat mana mereka semua bersuka bermain air. Kesukaan yang kemudian menjadi bencana bagi mereka dengan kedatangan Jaka Tarub mencuri selendang mereka. Ugh..!.

Nampak dari langit-langit dari atas bukit, dimana air terjatuh, turunlah ribuan cahaya. Cahaya-cahaya inilah yang kemudian tertangkap kamera rekannya yang mengabadikan kejadian tersebut.  Suasana mistis meliputi keadaan. Pambayun benar-benar tidak sadar bahwa dengan prosesinya ini berarti dia sudah menjadi pemicu bagi siklus air kehidupan yang sudah dilakukan Pamannya sebelumnya. Dia adalah GONG.. bahwa Bedar Alam harus dimulai !.  Maka nun jauh di ujung sana, di daerah dekat Papua. angin mulai bergolak, mereka seperti diberikan tanda, agar mulai melakukan tugasnya. Angin itu terus mendekat, kearah wilayah Indonesia. Awan-awan dan petir mulai memobilisasi diri. Jakarta seketika itu gelap keadaannya.  Titik-titik badai yang semula memang sudah menunggu mulai berkumpul dan bergerak pada satu titik kekuatan. Mereka sedang menyatukan diri. Mereka akan menyucikan alam semesta. Mobilisasi itu tidak membutuhkan waktu lama. Keesokan harinya, Jumat (8/11) langit Jakarta, menggelap.

Pambayun telah menyelesaikan prosesinya. Dia dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Jumat (8/11). Sementara Mas Thole selepas sholat terus memantau keadaan cuaca yang sudah memberikan tanda-tandanya.  Informasi itu selalu dikomunikasikan dengan Pambayun dan Sang Prabu.  Sepanjang perjalanan tol Cikampek, Pambayun terus disambut petir yang sepertinya berbicara kepadanya. “Sudah saatnya..” Bisik Mas Thole, pasrah. Dan…blam…blam…!. Dunia kemudian dikejutkan oleh badai Haiyan yang memporak porandakan Filipina. Hancur luluh seluruh infrastrukur disana.  Badai itu telah memberikan pertanda, betapa dekatnya kita dengan bencana. Ada perasaan nelangsa yang menghampiri Mas Thole. Ada perasan lega, bahwa upaya yang dlakukannya dengan menancapkan paku-paku bumi sebelumnya telah memberikan efeknya. Itulah keyakinan Mas Thole. Minimal telah mengurangi dampaknya.  Semua hanya dalam ikhtiar saja.  Kebenarannya wolohualam.

+++

Sementara itu di dalam bus yang melaju. Pambayun masih terus berusaha membayangkan kejadian demi kejadian yang dialaminya selama prosesi. Teringat saat dia memaksa Dyah Pitaloka untuk bersimpuh di makam kedua orang tuanya di Astana Gede. Seperti ada tarikan aneh yang menyebabkan Pambayun melakukan itu. Kemudian dia mengajaknya ke makamnya. Dengan selendang mereka mengambil air di dalam makam yang terletak diatas bokor. Air yang tidak pernah kering walau musim kemarau. Air yang mewakili air mata Dyah Pitaloka yang nelangsa dalam kancah perang Bubat. Air yang menetes kemudian dibuat untuk meraup muka Dyah Pitaloka. Setelah prosesi tersebut mereka duduk berbincang dengan pemuda dari Kawali yang pernah bertemu dengan Mas Thole. Salah satuya adalah anak indigo tersebut. Perbincangan yang cukup hangat sampai menjelang malam. Sayang anak indigo tersebut lebih banyak menghindari mereka. Entah apa sebabnya.

Mereka pulang dengan sejuta kenangan dan sensasi yang luar biasa di badan. Dyah Pitaloka duduk di samping sopir. Sementara Pambayun dibelakang. Tiba-tiba di tengah perjalanan terdengar isak tangis yang tidak biasa dari sosok raga terkini Dyah Pitaloka. Tangisan masa lalu yang dikenali oleh Pambayun dari energinya. Degh…!. Dyah Pitaloka hadir dalam kesadaran raga terkini, dia menangis sesenggukan. Dalam kesadarannya ayahandanya Prabu Linggabuana datang menyambanginya. Berkata panjang lebar, dan juga memohon maaf kepada anaknya ini. Betapa demi kepentingan politik dia telah melibatkan Dyah Pitaloka. Sehingga Dyah Pitaloka mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan. Mengalami reinkarnasi berulangkali. Betapa menyesalnya sang Ayahanda. Dia mohon agar dimaafkan kesalahannya itu.

“Apakah itu nyata ..!” Raga terkini Dyah Pitaloka berusaha menafikan dirinya sendiri bahwa sesungguhnya dia adalah mahkluk reinkarnasi. Betapa sulitnya menjelaskan keadaan. Betapa diri selalu meremehkan situasi ini. Menganggap bahwa kita tidak pantas, merasa kita bukan siapa-siapa, kita bukan apa-apa, kita kotor dan hina. Apalagi jika disandingkan kedudukannya dnegan seorang putri raja. Tidakkah kita tahu bahwa Tuhanmu senantiasa memuliakan hamba-hamba-Nya ?. He..eh..!. Pengingkaran inilah yang terus memburunya. Sungguh derita akan terus menerjang, jikalau kita sendiri tidak mampu menerima keadaan diri kita sendiri. Dalam perbincangan via SMS, Mas Thole paham bagaimana Dyah Pitaloka dalam situasi raga yang sekarang ini. Betapa sulitnya memaknai. Tak percaya namun lintasan tersebut selalu menampari.  Maka akankah dia reinkarnasi lagi, sampai saatnya nanti ada raga terkini yang mampu mengakui keberadaannya, tentunya dalam kesadaran raga terkininya. Dan dengan itu berusaha memperbaiki segala pemahamannya. Entahlah…sebab kisah ini akan diakhiri disini. Banyak misteri yang tidak bisa diungkapkan lagi. Sebab sebagiannya akan menjadi fitnah lainnya nanti…arrgh…!.

+++

Langit terus menggelap, tidak peduli atas apa-apa yang dirasakan oleh manusia. Tugasnya hanyalah menyampaikan khabar ayat-ayat Allah. Jikalau hingga saat sekarang masih banyak jiwa-jiwa manusia yang nelangsa itu jelas bukan kesalahannya. Sebab manusia sendiri yang sulit menerima keadaan dirinya. ‘Berserahlah kepada takdir..hidup akan terasa lega..”. Jikalau khabar itu melalui badai Haiyan.. tetap yakinlah bahwa Allah adalah sebaik-baiknya pelindung. Semoga kita semua dikuatkan Nya dalam memasuki suasana Bedar Alam ini.

+++

Disini di bukit Kawali
Akan ku tuliskan lagi sebuah nama
sebuah kesadaran 'NUSANTARA BARU'
yang kelahirannya akan dibidani oleh anak keturunan Pajajaran
kesadaran yang akan terus bersiklus seiring dengan air kehidupan 
yang dipancangkan disini diantara 7 mata air bidadari
....
Maafkan, bila waktu ini dengan tidak menuliskan nama
kuanggap itu berlebihan
....

Engkau anak keturunan Pajajaran
akan berlari dan terus berlari dalam harap
keyakinan yang akan terus diuji
Jika Majapahit purna waktunya tinggal 2 periode lagi
mengapa masih ada keraguan 

...
Buku jariku merenggang di dingin malam
bulu kuduk ku berdiri tertiup angin
Aku berbaring untuk menahan letih
Aku akan berjuang dalam kesendirian
dalam sebuah keyakinan, hingga kalian tersadar
bahwa takdir kalian disini berawal dari bukit KAWALI

...
Diam semakin sepi
kemudian terhenyak dan mati

....

Mas Thole menerawang lakunya, berharap, tidak ada keraguan lagi disana. Sudah banyak bukti dihadirkan menyoal kesadaran ini. Akankah kita berbalik ke belakang dan mengingkarinya. Lihatlah, berapa banyak pemuda sekarang yang kembali kepada kearifan lokal. Mereka yang muda mengajarkan budaya kepada yang tua. Menyusuri peradaban bagaimana mereka dilahirkan. "Tetapilah langkah, sudahi perdebatan dan kegamangan jiwa. Berjalan dan berlari, hingga hilang pedih dan perih atas nelangsa jiwa di bumi pertiwi. Bangunlah kesatria !. Disini dibumi KAWALI engkau akan mengerti atas jiwa-jiwa yang terpanggili yang akan dan telah mengemban amanat Illahi."




wolohualam



Komentar

  1. ridho ardianDesember 06, 2013

    Salam mas Arif,
    Mohon maaf sbelumnya, saya mohon bantuan dn bimbingannya utk bisa mngetahui atau membedakan antra leluhur dgn selainnya,
    sebab ada bbrapa org yg prnah brkata bhwa sya di ikuti oleh leluhur.
    trima kasih sbelumnya.
    Salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan ke email saya saja mas ;

      budiutomo.arif@rocketmail.com

      Demi mencegah datangnya fitnah lainnya di forum terbuka ini. Sebab keghaiban ada dalam wilayah keyakinan diri. Hanya layak untuk diri kita sendiri. Seyogyanya dipergunakan untuk membangun keimanan kita kepada Tuhan.

      salam

      Hapus
  2. Air sedang berproses.. penyucian akan dan sedang berlangsung, siklus hujan turut andil. Air akan terus memegang peranan hingga pembersihan selesai. Bedar Alam... pembersihan Alam..

    Allah Maha Besar

    BalasHapus
  3. saya yang tinggal didekat Merapi mengucapkan terima kasih sudah diberikan peringatan sedini mungkin oleh Mas Thole melalui blog ini, mohon do'anya dari anda serta semua sidang pembaca, semoga kami terhindar dari bahaya yang diakibatkan dari Gunung teraktif sedunia ini, Amiin....

    http://www.tempo.co/read/news/2013/12/12/058536783/Merapi-Keluarkan-Asap-Lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Mistis Petilasan Kramat Prabu Kian Santang

Kisah Spiritual, Wangsit Prabu Siliwangi (Anak Keturunan Pajajaran)