Kemunculan Sang Budak Angon (3)
“Seumpama langit dan bumi hancur, maka ingatlah
Tuhan.
Semua akan terjadi bila sudah waktu
Saat ini, jalankah semua sesuai kehendak ilahi
rabbi
Jangan menyimpan dendam dalam hati, karena itu akan
menyakiti. Seumpama sinar matahari, cahayanya menyinari semua penghuni tanpa terkecuali
Hanya ada kabut atau atap yg dibuat sendiri oleh
manusia, sinar terhalangi.
Itu bukan salah matahari, tp sang penghuni bumi
berada degradesi.
Sungguh, sebentar lg bencana akan terjadi, titik
balik semua berada dlm satu, sanubari.
Maka, sebagai pencegahan dan perjalanannya, jadilah
hati sebagai cahaya, yg menyinari pada kehidupan sekitar
Titik temu tersebut ada pd bagian cahaya
Aku menjadi sudah dalam permbagiam rencana Tuhan.
Suatu kala, ada semua yang manusia kehendaki, kebinasaan dan kehancuran
Itu menjadi titik yang sudah menjadi guratan2 yg
menyengat bumi.
Sabda alam pandita kerta, manunggaling langing
ingsun dupadi dadi nastuti.
Sudah banyak yg terjadi, maka semua itu menjadi
sebuah konfirasi.
Ada yg merasa pintar dan berkonspirasi, padahal
rencana Tuhan Maha Tinggi
Dialah Perencana
Maka, sia-sia yang berkonfirasi menghancurkan
negeri
Apa yg bisa dilakukan, utk mengurangi?
Satu bagian alam yang kalian hancurkan, maka bagian
lain akan menggenapkan
Sehingga semesta penghuni bumi merasakan
Suatu petaka bukan berasal dr unsur kejadian,
tetapi kesengajaan dari makhluk yg merasa berkuasa di tataran bumi.
Kalau kami hancurkan, maka kalian akan hilang
semua, dan kami ganti dengan penghuni dimensi lain
Suatu hal yg menjadi pertanyaan kenapa bisa manusia
berbuat demikian, makhluk Tuhan yang dimuliakan, ternyata memuliakan makhluk yg
seperti ini menjadi bentuk ketundukkan kami kepada titah ilahi
Kami hanya pelaksana, Tuhan Maha Perencana, dan
Maha Mengetahui
Sudah menjadi bagian perjalanan yg menjadi genap
dlm siksa dta ketika semua menjadi hal-hal yang sudah ditetapkan
Sekian, seumpama kalian ingin menjadi bagian Yg
dikehendaki Tuhan
Berjalanlah dan niat diri dlm jalan dan kehendak
TuhanSebuah superposisi yg akan membalikkan energi menjadi lebih baik lg.”
…
Malam diam
dalam sendiri. Hitam gelap dan santi, hanya sepi menjadi kepastian meliputi.
Jika kemudian hati terasa di kuliti, karena sebab sudah pahami bahwa apa yang
terjadi bukan main-main lagi. Meski sudah di khabarkan Kami dan di tuliskan jauh
sebelumnya disiini, atas apa yang terjadi hari ini, tetap saja diri tak mengerti, untuk apa menjadi
saksi, jika keadaan alam mesti begini. Apa artinya mengerti jika diri tak mampu menetapi atas semua yang terjadi, lantas
untuk apa semua ini dilakoni? Hhh..manusia masih tidak mengerti? Bayangkan,
jika bumi menggeliat sendiri. Tidakkah
ada diantara manusia yang pahami? Apakah akibatnya? Jutaan jiwa manusia akan
mati. Dan itu adalah anak atau istri, bukan orang lain lagi. Percayalah ini!
Tidakkah
kita semua merasakan, manakala langit beratap kabut menutupi. Nafas sesak
terberati. Seiring dengan itu di bumi, tangisan dan jeritan manusia yang
memohon pertolongan Tuhan, bak bunyi terompet Iszroil yang memanggili. Dengarlah
dengan hati, dengarlah wahai hati yang suci murni. Bumi, air, tanah, angin dan api. Perhatikan saja mereka, apakah kawan ataukah
lawan di hari ini? Apakah api menemani? Apakah mereka tunduk kepada perintah diri?
Ataukah perintah Kami? Sekali lagi disini, jika pesan sudah tidak punya arti. Apakah
harus disesali manakala, pesan-pesan Kami yang terus di sampaikan melalui
getaran bumi, raib bagai ilusi disinari pagi?
Manusia terus membawa-bawa hati yang sudah mati untuk menkaisi rejeki
yang tidak halal lagi. Apakah tidak ada yang merasakan ini?
Pesan-pesan
Kami terus melecuti. Keputusan Sang Budak Angon memanggil Para Penjaga
Nusantara, meresahkan Mas Thole. Tidak ada yang tahu sampai dimanakah akhir
cerita. Manakala pesan panggilan kepada Para Penjaga Nusantara, sudah di
lontarkan tidak mungkin ada yang mampu menariknya lagi. Kecuali oleh Sang Budak
Angon itu sendiri. Apalagi pesan tersebut bahkan sudah diterima para kesatria.
Yah, khabar bahwa pesan sudah diterima dan mendapatkan respon dari Ki Ageng di
Australia. Satu minggu sebelum tulisan ini di turunkan.
Beberapa
kali Mas Thole mencoba mengingatkan apakah sudah yakin dengan keputusan
tersebut. Apakah sudah saatnya? Pemuda tersebut menggeleng tak mengerti. Bahkan
saat ditanyakan apakah makna gerak yang dilakukannya di Kabuyutan Aji Putih pun
dia menjawab tidak paham sama sekali. Dirinya hanya mengikhlaskan agar tubuhnya
di gerakan oleh sesuatu kekuatan luar biasa di luar kesadarannya. Kekuatan ini
sangat nyata, namun demikian kekuatan
tersebut tidak memaksanya, sejatinya
dirinya sadar dan benar-benar sadar. Dia bisa saja menolak dan menghentikan
kapan dia suka. Dia memilih membiarkan raganya digerakan Kami. Menjadi alat
Kami.
Mas Thole
paham dan diam mendesah sendiri. Ya, bukan pemuda tersebut yang memangili Para
Penjaga Nusantara. Sang Aji Putihlah yang memanggil Para Kesatria datang ke
dimensi materi ini. Raga pemuda tersebut hanya menjadi wadah bagi turunnya Kami
ke alam mayapada. Tentu saja kewajiban Mas Thole memberikan masukan. Jika perintah
tersebut dilanjutkan akan membawa kehancuran bagi peradaban yang sekarang ini. Namun sesungguhnya itu adalah kehendak Kami.
Seumpama manusia adalah bakteri di dalam perut bumi. Bakteri yang terus berulah
akan membuat manusia sakit. Begitu halnya bumi. Maka apa yang harus dilakukan
bumi?
Sama halnya
dengan apa yang akan dlakukan manusia seandainya sakit perut. Bakteri penyebabnya
akan dihancurkannya. Manusia memiliki hak untuk mempertahankan diri sama saja, begitu
juga halnya bumi, memiliki hak yang sama. Sudah berkali-kali diingatkan kepada manusia
agar jangan menyakiti bumi, jangan melapaui batas. Jangan membuat ulah di muka bumi. Manusia jangan
membuat kerusakan lagi. Bla..bla Sebab alam akan segera memperbaiki dirinya
sendiri manakala ada kerusakan sistem ketubuhannya. Ini adalah mekanisme
pertahanan biasa saja yang mudah dipahami, mengapa banyak manusia tidak mengerti.
Menganggap bahwa alam semesta ini mati!
…
Semua
sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali, itulah kata Kami. Seumpama apa
yang dialami Arjuna dalam perang Mahabarata. Meskipun Arjuna bisa menolak namun
perang akan tetap saja terjadi. Ada atau tidak adanya Arjuna alam semesta akan
tetap melaksanakan perhelatan akbar. Kalau begitu apakah peranan Arjuna?
Bukankah tidak ada artinya, toh alam tetap akan menjalankan renacanaNya. Begitu
pula yang ditanyakan pemuda tersebut. Sebagaimana kegundahan Arjuna dalam
perang Mahabarata. Mas Thole, diam dan paham atas kerisauan pemuda tersebut.
Dia merasakan kesakitan jiwa-jiwa manusia. Kematian akan ada dimana-mana.
Begitulah memang keadaanya. Pola kesadaran akan selalu sama.
Tidakkah
kita berkaca atas perang Mahabarata, bagaimana kejadiannya? Coba bandingkan perang
Mahabarata dengan peperangan yang terjad saat pertama, turunnya kebenaran Islam.
Apakah kita tidak lihat polanya? Rosullolh di bantu dengan 4 sahabatnya berperang
melawan saudara-saudaranya sendiri. Bagaimana paman Rosul (Hamzah) meninggal dengan keadaan yang sama seperti
meninggalnya Duryudana. Meninggal dengan cara yang luar biasa, jantungnya di
keluarkan dari dadanya dan dimakan oleh seorang wanita. Darahnya dibuat untuk
membasuh rambut kepalanya. Pola yang sama, kesadaran yang selalu berpola sama dalam
kejadiannya.
Mas Thole
terus mengingatkan konsekuensi atas kemungkinan yang akan terjadi kepada Budak
Angon bahwa dia akan berperang dengan para
saudaranya sendiri. Sebagaimana pola perang Mahabarata. Benar, dia akan melawan
saudara-saudaranya sendiri dari tataran sunda. Orang sunda yang tidak jelas sunda
nya lagi. Ya, mengapa? Darah mereka sunda karena lahir dari genetik sunda,namun
mereka sudah kehilngan spirit sunda.
Jiwa mereka sesungguhnya bukan orang sunda. Meerka itu,Mungkin sjaa mereka itu
orang Arab, eropa, amerika, atau mereka bahkan setan jejadian, entahlah
keadaannya. Siapakah orang sunda yang malu dengan sundanya. Ya, Mereka memakai
atirbut sunda namun hatinya sebenarnya membenci sekali terhadap orang-orang sunda.
Mereka yang sudah memutuskan tali spirit
sang Aji Putih.
Siapkah
dirinya melawan saudara-saudaranya sendiri? Sungguh itu bukanlah perkara mudah.
Coba tanyakanlah kepada Kami, siapakah yang menenggelamkan Gunung Tsurian? Bukankah
para saudara-saudara Sang Budak Angon
sendiri yang berkhianat. Perang kesadaran akan selalu berpola sama. Perang
antara Pandawa dan Kurawa. Dimana mereka semua adalah bersaudara. Budak Angon akan
melawan paman-pamannya sendiri. Coba saja lihat keadaannya. Meskipun perang ini hanya dalam tataran
kesadaran, namun akibatnya akan langsung ke raga-raga yang mereka tempati. Matinya
kesadaran akanmembuat matinya raga, sama saja dan kematian mereka akan bisa
disaksikan oleh mata telanjang.
Bisakah
Budak Angon berbalik ke belakang. Bisa, Budak Angon harus datang ke puncak
Gunung Tsurian dan memanggil kembali Para Penjaga Nusantara, namun jika itu
dilakukannya maka dia dan sekeluarganya akan habis dan hilang dari peradaban
manusia. Sementara Kami tetap dalam rencananya. Bumi akan tetap bergetaran,
awan tetap akan menggumpali langit. Tidak ada yang bisa menyurutkan ataupun
memundurkan atas apa-apa yang sudah di tetapkan Tuhan. Yah, Budak ANgon dalam
keadaan situasi buah Simalakama. Begitulah keadaan yang akan selalu di ujikan
kepada manusia.
Mampukah
dirinya tetap berada di jalan Tuhan. Tetap menetapi jalan-jalanNya. Meskipun dirinya
tidak suka. Sukarela atau terpaksa sama saja bagi dirinya. Sebab atom-atom bumi
sudah berjanji untk ikut perintah Tuhannya dengan sukarela. Semua berusaha
menetapi takdir, sebagaimana pesan Kami, yang akan digoreskan disini;
Lanjutan pesannya;
“Dalam
setiap keadaan, maka ingatlah kepada Tuhan
Jangan
pernah menyesal, karena itu bukan untuk suatu yg disesali
Langit
hitam sdh menjadi ketetapan
Langit
terang sdh kehendak Tuhan
Bukan
gelap dan terangnya yang harus kalian perhatikan, tetapi perubahan gelap dan
terang, atau terang dan gelap
Jejaknya
menyirat di sudut setiap kabar
Bukan
menjadi permasalahan bila ada yg berbeda dengan kehidupan yang sdh ditetapkan
Sehingga
menjadi empedu dan ampela yg menyelimuti hati
Kehidupan
yg menyatakan hitam dan putih, bukan warna yang menjadi tujuan, tetapi hakekat
dari warna2 tersebut berada pada kemanunggalan Tuhan
Selasar
menghadiri waktu, dan menyadari sang terang, hendaknya berjalan pada jalan
Tuhan
Pergi
ke Barat menuju perjamuan
Menuju
ke Timur menghadiri permisaan
Pergi
ke utara menyiapkan ritual tartar badar
Pergi
ke selatan menyajikan perjamuan pada sang kresna, wisnu, siwa, brahma, dan sang
widhiwasa.
Tenggara
ada Dewi Sri yg mengemban tugas menyuburkan negeri, di sana tancapkan kordinat
paku bumi
…………..dst”
…
Banyak
pesan yang tidak mungkin diguratkan. Mas Thole paham bahwa ini menyangkut
keselematan. Biarlah sidang pembaca menyelami sendiri. Saat titah merajuk sang
pembantah. Saat penintah menjadi hujatan dan menjadi pelepah. Saat diri tidak
akan menyatakan apakah ini musibah ataukah anugrah. Saat tlatah wilayah telah
jatuh ke bawah, dan menjadi sawah. Di bajak dengan arogansi dan kesewenangan
sang penindah. Saat semuanya sudah tidak mungkin mungkin bisa di ubah. Apakah
manusia masih bisa membantah perintah Tuhannya? Entahlah…
Wolohualam…
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar