Episode Kisah Sang Pengelana Cahaya



Pengantar ; Mengobati kerinduan sidang pembaca, untuk menggantikan kisah spiritual. Kami akan menurunkan kisah pengembaraan, bertajuk "SANG PENGELANA CAHAYA". Semoga mampu memberikan pembanding bagi kisah lainnya. Akan diturunkan dalam beberapa episode. Selamat menikmati. Salam. Pengasuh

Sang Pengelana Cahaya
Menuju pengembaraan ruang dan waktu. Langkah kaki tak berhenti, meski telah seribu menjejaki. Tanah menghitam karena bekasnya. Dan jauh diatas langit sana, ribuan kelelawar  terus mengepakan sayapnya. Mereka terbang, serempak merayapi malam dengan pandangan gelapnya. Aku tak melihat, aku tak mendengar, tak pernah lagi. Bagai pesawat tak berawak mereka menyusupi awan, berputar beberapa kali menyisir membuat serangkaian salto, menukik tajam menuju dedaunan. Menyisakan lepahan buah ceri yang bertebaran dihalaman rumah. Membuat tanda tanya disini. Untuk apakah mereka meninggalkan jejak-jejak itu. Meninggalkan bekas sesuatu untuk sebuah mimpi. Mimpi atas rembulan dan matahari yang  bersanding diatas bahu ini. Bagaimana lagi, jikalau mimpi hanya semisal kisah  kelelawar yang datang dan pergi. Lemas sudah hati.  Karenanya biarlah rembulan diatas sana. Manalah mungkin kutanyakan lagi. Untuk apakah dia datang di malam hari.

Biarlah malam, bersama senyapnya, biarlah gelap bersama sepi. Biarlah pekat diam menakuti. Dan juga biarkanlah semua bintang meleset  jauh dari  tempat orbitnya. Membawa pesan kepada bumi, pesan yang selalu ingin dicuri para pencari berita langit. Dan buatlah semisal doa  saat mana bintang itu jatuh atau beralih tempat. “Selamat jalan, ini sebuah  kenangan, kemanapun kaki akan pergi, rindukan saat sumpah dan janji”. Begitu sang bintang berkata nampaknya  peduli. Namun mengapa tetap  saja penat rasanya jalani hidup ini. “Dimana nikmat alam semesta ?”. Seringku bertanya pada seringai malam. Dimanakah hati yang berempati kepada nasib bangsa ini. Dimanakah hati yang rindu akan ibu pertiwi. Lihatlah bunga matahari, bersinar di sepanjang hari. Daun yang menghijau, burung yang berkicau. Tidakkah kita peduli ?. Tidakkah kita mengerti arti nikmat itu sendiri ?. “Tidak ?!”. Mengapa tidak ?!. Entahlah mengapa ?. Kesal rahsanya. Ugh..begitulah kicauan sanubari selalu menggangguku di setiap pagi.

Aduh bagaimana ini, aku sendiri dalam kebingungan. Aduh, apa jadinya, bila semua kehidupan tidak menjadi nyata. Namun sayangnya mengapa terasanya kebalikannya, kehidupan sangat nyata dan eksis di diri ini. Aku terlahir dan kemudian ada. Aku kuasa, namun nyata tak bisa berbuat apa-apa. Aku perkasa namun nyata tak punya daya. Semua menyoal diriku sendiri. Aku diadakan, namun rasanya tiada yang mengadakan. Aku tiada, namun nyata eksis adanya. Aku...akh. Bila saja sampai waktuku, maka diamku adalah mengamati. Perguliran siang dan malam. Kala nampaknya pagi selekas beranjaknya ufuk di sore hari. Aku terjebak dalam ruang batinku sendiri. Aku sendiri dengan kesadaranku. Aku berada dalam ruang dan waktu yang kubingungkan keadaannya. Bagaimanakah menjelaskan untukmu ?. Ruang dan waktu manakah yang harus kupijak. Disini aku merasa sendiri dalam ruanganku, disana mengapa terasa ramai sekali. Orang berceloteh kesana kemari. Hiruk pikuknya terasa sekali. Ruang dan waktu bagai kamar-kamar yang tersekat-sekat. Dan aku teraliensi disini. Sendirian di palung laut terdalam.

Gerbong Ruang dan Waktu

Ruang dan waktu bagai sebuah kereta yang panjang dengan gerbong-gerbongnya. Ada gerbong yang gelap menghitam, terselubung jelaga pemikiran. Ada gerbong yang penuh gelak tawa penuh hura-hura. Masih banyak gerbong lainnya. Ada gerbong suka, ada gerbong duka, ada gerbong marah, ada gerbong khusuk, dan lain-lainnya. Mengapa di gerbong marah dan gerbong kemaksiatan orang berjejalan. Panas pengap, terhimpit, mengapakah masih saja gerbong itu disuka ?. Perhatin saja rahsanya. Diantara gerbong yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan gerbong itu, ingin rasanya Aku berpindah-pindah gerbong seinginku. Sayang sekali setiap ruang ada hijab (perisai) kesadaran yang tak gampang ditembus, bagai kabin kereta berlapis baja setebal 20 sentimeter. Belum lagi ulah mereka yang bersamaku di dlaam gerbong. Bagai ulah kepiting yang siap mencabik-cabik, jika Aku berulah ingin meninggalkan gerbong itu. Mereka tidak suka, mereka ingin tetap Aku ada disana. Namun sayang walaupun AKu ada disana, tak memberikan arti apa-apa. Mereka tetap tidak peduli siapakah diri ini. Aduh..bagaimana ini. Lama kuterpekur sendiri. Gerbong kesadaran itu, bagai ruang isolasi yang memenjarakan kalbu. Maka ada baiknya kuteruskan  saja kajian ruang dan waktu ini untuk menjelaskan keadaannya. Maka sungguh tiada yang akan peduli dengan pengamatanku ini, sebab setiap orang di dalam gerbong asik saja dengan dirinya sendiri. Maka  tiadalah ada yang akan memahami bagaimana tangisku ini.

Jika saja mereka mengerti gerbong apa yang mereka naiki itu, pasti mereka akan menyesal sekali. Hidup hanya sekali, mengapakah mereka rela berdesakan di gerbong kumuh, sesak dan panas begini. Tidak tahukah mereka kemanakah tujuan kereta yang mereka tumpangi ini. Bahkan sudah jelas sekali tanda terpampang di depan mereka. Papan peringatan , baliho, dan rambu-rambu sangat jelas sekali. Mengapakah mereka tak peduli. ATaukah semua itu tidak dilihat mereka. Ya, mungkin begitu. Sebab Aku juga tak tahu, tiba-tiba saja Aku ada. Hidup dalam gerbong itu. Sekali lagi kuhirup nafas panjang. “Kereta ini pemberhentiannya di neraka.” Batinku, bagaimana aku tidak nelangsa sendiri, berada di dalam gerbong ini bersama mereka. Ingin hati mengajak mereka keluar bersama-sama. Pasti akan susah sekali. Pintunya telah terkunci mati. Anak kuncinya telah dibuang oleh mereka sendiri. Pintu hati telah mreka  matikan. Mereka tak peduli keadaan itu. Mereka sibuk saling menghujat, saling mencaci antar penumpang satu dan lainnya. Akhirnya aku diam sendiri mengamati, berdoa kepada Tuhan, agar dipindahkan dari gerbong yang baru kusadari ternyata menuju neraka ini. “Lailaha ila anta subhanaka ini kuthum minal dzolimin”. Akupun tak yakin akan mampu keluar dari sini, sungguh itu bisa terjadi karena pertolongan Tuhanku. Tiada daya upayaku sama sekali keluar dari gerbong kumuh dan bau. Tidak juga sekarang ini. Sungguh berharap andai saja Aku keliru.

Mengapa harus kita peduli dengan sang pengembara ini ?. Ya, mengapa ?. Jikalau saja kita mengerti, karena sungguh sangat luar biasa keadaan ruang dan waktu disana. Tidak terbayang oleh imajinasi kita bahkan yang paling ekstrem sekalipun. Suasana hening yang nikmat, suasana nikmat dalam kosong. Ini menyoal perihal nikmat. Maka yakinlah,  jika orang tahu kedalamannya maka jutaan orang akan rela meninggalkan urusan dunianya, walau hanya sekedar hanya untuk dapat singgah di ruang-ruangan itu, barang satu dua menit saja. Mengapa ?, karena begitu damai disana, berjalan diantara ruang-ruang kesadaran sungguh sangat menakjubkan. Perhatikanlah, tasawuf menyoal koordinat ruang  ini. Para sufi menyebut keadaan ini sebagai makom. Makomnya orang takwa, orang tobat, dan lain sebagainya. Kesadaran orang-orang tersebit berada pada ruang kesadarannya maisng-masing. Dan diantara makom-makon itulah terdapat pergulitran nikmat tak terkata.

Ada segolongan orang yang sudah meyakini dan menggunakan makom tersebut sebagai acuan inersianya. Ada juga sekelompok orang yang hanya hanya selintas lewat di ruang itu tersebut. Jika hanya lewat dinamakan ruang keadaan Hal. Kalau sudah menjadi acuan inersia dinamakan Makom.  Penamaan inilah yang nanti akan saya gunakan untuk mendekati jalan pemikiran para scientis dalam mengungkap rahasia ruang dan waktu. Terutama adalah pemikiran relatifitas Enstein. Kita sedang melakukan pengembaraan. Menyoal ruang dan waktu ini, dimana  para scientis terus berupaya mencari keadaan kenyataan yang sebenarnya. Mulai dari Newton dan kemudian datang oleh Enstein. Kita dibingungkan dengan pernyataan dua scientis terkemuka dunia ini. Seebnarnya apakah yangdimaksudkan dengan ruang dan waktu mutlak dan relative ini ?. Tentu saja kitapun masih dibingungkan dengan pemaknaan ini. Bagi siapakah mutlak, dan bagi siapakah relative. Rasanya kita tidak pernah memusingkan itu. Lantas, bagaimana pemahaman dua kubu ini akan bermanfaat buat diri kita ?. Apakah jika kita paham konsep ruang dan waktu ini, hidup kita akan menjadi lebih tenang ?. Inilah persoalannya. Ternyata jawabannya adalah “Iya’. Dengan memahami konsep ruang dan waktu, berarti kita tengah membangun keyakinan dan keimanan kita sendiri. Maka dari itu al qur an senantiasa mengkhabarkan ruang dan waktu akherat. Nah, disini salah satu titik temu hikmahnya. Maka pertanyaannya adalah, apakah ruang dan waktu bersifat  mutlak ataukah relative. Jikalau relative lantas bagaimana, jikalaupun mutlak terus kita dapat berbuat apa ?. Inilah pertanyaan kunci untuk memasuki konsepsi ruang dan waktu berdasarkan pemahaman Islam.


Jika kita sudah mampu menjawab persoalan itu. Pertanyaan berikutnya adalah. Bagaimana keadaan ruang dan waktu di dunia dan juga di akherat ?. Yang manakah  relative dan yang  manakah yang mutlak. Apakah keduanya relative. Jika menggunakan konsepsi Enstein ruang dan waktu adalah relative, maka jelas bahwa ruang dan waktu akherat adalah relative. Hal ini akan bertentangan dengan  konsepsi para sufi. Kalau begitu antara scientis dan tasawuf bertentangan dong ?. Inilah fakta yang kita dapati di alam nyata. Mereka berbaku hantam karena perbedaan ini.  Nah, siapakah yang benar pemahamannya. Keduanya benar ataukah keduanya salah. Atau ada yang benar dan ada yang salah. Baiklah..kita kembali pada pertanyaan di muka saja, "ruang dan waktu manakah antara dunia dan akherat yang mutlak ?". Keduanya mutlak, atau  salah satunya yang mutlak ?. Selanjutnya apakah konsepsi ruang dan waktiu para scientis akan mampu menjelaskan keadaan ruang dan waktu akherat ?. Menarik sekali. Kalau begitu mari kita ikuti saja pengembaraan sang Pengelana Cahaya ini. 

waolualam

salam

Komentar

  1. Semoga anda bukan pula salah satu dari mereka..... Sebuah gambaran ttg semua pejalan spiritual slama ini, baiknya kita intropeksi diri. Cukuplah untuk berwacana or superior, kita hidup ada peran masing2 yang harus dilakonkan, monggo.... salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat Anonim ;

      Kang gak usah terlalu lebay, judulnya ada kisah atau dongengan. Orang mah bebas mau bikin karangan semisal fiksi atau apa saja. Kenapa jadi kebakaran jenggot...

      Intropeksilah diri aja..sendiri. Kenpa masih suka sewot baca tulisan orang..he..heh..bikin aja sendiri yang lebih keren.

      Kalau namanya kisah, dongeng, fiksi, sah-sah aja..kan lumayan buat pengantar tidur. Lagian lebay banget...

      Hapus
  2. Santai ajeee, ambil yang baik yakni yang bisa meningkatkan keimanan kita, buang yang yang tidak menambah keimanan. Saling saksi menyaksikan dalam mengalami atau memahami ayat-ayat Allah....hehehehe...salam damaaaaaaiiiiii

    BalasHapus
  3. Wah kl sampai jd lebay, sesuatu tuh. Artinya harus menelaah ke dlm diri. Jgn2 ada yg salah dimaknai, atau jgn2 anda org ms lalu.....eng ing eng.... :p

    BalasHapus
  4. Silakan menyelami dunia yang mutlak atau akhirat yang mutlak, yang penting melakukannya dengan niat utk semakin menjadi hamba Allah. Alami sendiri lalu amati, apapun hasilnya, kita sudah siap utk mengubah pandangan sesuai dengan hasil yang diperoleh. Pendeknya ya sikap belajar seperti Nabi Ibrahim. Yng penting niat awal menemukan Allah, lalu dia alami sendiri animisme, dinamisme, dengan sungguh sungguh...dari sana dapat hasil pengamatan, lalu siap utk mengubah keyakinan berdasarkan hasil yang diperoleh...demikian seterusnya sehingga bertemu Allah Sejati dan tiada lagi keraguan setelah itu....Niat tulus, usaha maksimal, biar Allah sendiri yang menentukan hasil akhir....semoga kita semua siap menjadi hamba pembelajar....dengan metode ilmiah ini maka mulai dari acuan inersia manapun yang diambil menjadi bagian jihad menemukannNYA...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali