Bukit-bukit Pasir (2), Kelana Darma
Bukit pasir. Terhampar dihadapan mata. Sekejapan mata
kemudian menghilang. Berpindah atau kadang lenyap. Angin telah membawanya pergi
bersama kisah kisah spiritual disini. Menyedihkan sekali. Kisah perjalanan
spiritual yang hanya ada dan berada di alam kesadaran manusia yang mau
memperhatikan kasunyatan alam ini. (Yaitu) adalah mereka yang dengan senang hati menyelami
dimensi-dimensi ini dengan kesadarannya. Sehingga meyakini dimensi ini memang
ada dan sama saja berada bersama (dalam) ketiadaan. Dalam kesunyatan yang
nyata.
Dimensi
alam-alam ini sungguh sulit dipahami dan
dimengerti. Sehingga keberadaannya lebih sering tidak dipedulikan. Keberadaan
alam ini tertutup tabir realitas keriuhan dunia. Menyatu dalam kesadaran
manusia itu sendiri. Maka bayangkan bagaimana menemukan keberadaan alam dimensi
ini. Sementara panca indera manusia tidak mampu memindai keberadaannya. Walau keadaan sesungguhnya sangatlah dekat dengan
manusia itu sendiri. Keberadaan mereka lebih dekat dari urat leher. Maka
cobalah perhatikan kesepian. Maka keberadan alam kesadaran yang nanti teramati tidaklah
kalah dengan riuhnya kehidupan direalitas
itu sendiri.
Beruntung
banyak manusia yang kemudian berusaha
menemukan alam-alam dimensi ini. Saking besarny keingin mereka sehingga akal mereka
terjebak sendiri. Mereka itu kemudian menciptkaan alam alam ini dengan nafsu
mereka. Mereka reka reka sesuka suka diri mereka saja. Mereka anggap alam ini
tidak memiliki penjaga. Mereka anggap bahwa alam ini mudah saja dikuasai.
Mereka lupa bahwa setiap alam dimensi ada masing-masing pemeliharanya. Mereka
menjaga keberadaan alam-alam atas nama Tuhannya. Mereka hanya mengikuti
perintah Tuhan yang Maha Kuasa.
Sejak
awal pembentukan bumi dengan segala isinya, ada makhluk yg menjaga pada setiap
tempatnya. Yang menjaga, memelihara dan menyimpannya dalam setiap suratan yang
sudah ditetapkan. Bukan perjanjian, tetapi memang tugas mereka sejak
diciptakan. Menjadi pemelihara Semua sudah menjadi tugas mereka, maka tiap-tiap
makhluk memiliki tugasnya masing-masing. Termasuk menjaga tempat mereka. Yang
mereka perlukan adalah ijin dan kebijaksanaan dalam hidup, mereka hanya
mengamati dan mengawasi. Bukan untuk menyakiti, tetapi mereka hanya menjalankan
tugas saja.
Sudah
tugas mereka sejak ditetapkan, termasuk peristiwa sekarang, itu sudah tugas
mereka. Para Kelana Darma.
Darmaraja
Darmasatria
Darmabatara
Darmasatya
Masing-masing
melaksanakan darmanya. Namun manusia tak pahami bagaimana darma mereka ini.
Bagaimana mereka berdarma hanya tunduk kepada Tuhan. Maka perhatikanlah bagaimana
selanjutnya, manakala manusia mencoba mereka-reka, apa yang terjadi di bumi nusantara ini.
Bagaimanakah polah sang raja berdarma, sang kesatria berdarma, sang batara
berdarma, sang satya berdarma. Dan ketika semua berbicara tentang keinginan
sudah tentu pada gilirannya hanyalah sebuah pengharapan yang mengabaikan
kebutuhan. Sangat ironis. Betapa tidak. Alam sudah mengajarkan banyak hal
tentang arti kebutuhan dan juga keinginan serta pula telah diilhamkan kepada
mereka arti sebuah kehendak.
Apakah
ada yang mengerti? Semua manusia tanpa disadari hanyalah mengejar keinginan
saja. Keinginannya yang dianggapnya sebagai kebutuhannya. Keinginan ini telah diciptakannya dari serangkaian angan-angan. Lihat dan
perhatikanlah alur kesadar yang berada pada alir nya. Kebutuhan manusia akan
oksigen adalah sebuah kehendakNya. Bagaimana saat manusia diberikan sesuatu tanpa batasan. Free dan berlimpah ruah! ApPakah manusia bersyukur? Tidak! Amatilah kesadaran ini, saat ketika diberikan kepada manusia oksigen tersebut
tanpa batasan. Sungguh, tiada lagi keinginan manusia untuk memintanya. Apalagi memohon kepada Tuhan agar oksigen (nafas) ini tetap diberikan. Alam sudah memberikannya
tanpa batasan. Sehingga manusia lupa meminta bahkan selintas dalam anganpun
tidak. Apalagi dalam keinginan.
Manusia
tidak pernah menginginkan oksigen padahal dirinya tahu oksigen adalah kebutuhan
yang sangat vital baginya. Sebuah ironi kesadaran yang dimiliki manusia. (Yaitu)
Manakala dirinya baru sadar bahwa sesungguhnya oksigen itu sangat penting (yaitu)
saat nafasnya sudah di tenggorokan. Namun demikianlah kenyataan atas kesadaran
manusia. Manusia selalu meminta atas keinginannya bukan atas kebutuhannya.
Manakah yang dibutuhkan raga, manakah yang dibutuhkan jiwa, dan manakah yang
dibutuhkan ruh mereka, sulit sekali dipahami kesadaran mereka ini Manusia
selalu mengejar keinginan-keinginan yang diluar dirinya. Dan ini tentu saja
akan melawan kehendak-kehendak alam yang sudah diguratkan pada raga-raga
mereka. Demikianlah keadaan manusia yang senantiasa dalam kerugian.
...
“Maka demi Tuhan langit dan
bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)
seperti perkataan yang kamu ucapkan.”
(QS. Adh-Dhāriyāt23)
Tergetar
hati Mas Thole mendapat jawaban Kami atas keresahannya. Apa-apa yang dijanjikan
Kami pasti akan terjadi sebagaimana apa-apa yang diyakininya dan apa-apa yang
telah disampaikan di alam dimensi. Sebagaimana diuraikan oleh al qur an.
Rasionalitasnya tentu saja mendebat. Mempertanyakan apakah bukti-bukti yang
bisa dikemukaan atas semua keadaan. Mengapa mengambil kesimpulan dari sebuah
kemungkinan yang tidak memiliki bukti? Sungguh sulit sekali membuktikan sesuatu
yang tidak bisa dibuktikan dengan panca indera manusia. Bukti-bukti tersebut
hanya ada dan tersimpan di hati manusia. Bagaimana menjelaskan keadaan ini,
sementara manusia yang mendebat itu tidak
mau menggunakan hatinya untuk mengerti. Heeh..!
Perjalanan
Mas Thole menelusuri jejak Dyah Pitaloka menemui titik terangnya. Bahkan
keberadaan Prabu Silihwangi sedikit banyak sudah bisa dipahaminya. Bagaimana
keadaan prabu Silihwangi?
“Sudah dr sana bisa ke
Bubat, sebelah selatan barat daya, itu tempat nghyang Putri Pitaloka. Sebelah
utara dari Gunung Cupu, itu tempat nghyangnya Batari Guru, gurunya Pitaloka dan
Putri Kadita, dan Putri Campaka. Menelusurinya akan berbeda, tetapi memang
demikian. Sudah saatnya semua terlihat dan terbuka, kecuali Hyang Prabu
Siliwangi terakhir, krn dimensinya sangat dekat dengan bumi (bisa siapa saja
bolak balik ke sana sini) , maka jangan heran kalau Sribaduga seperti masih
ada, tetapi tidak ada. Dia masih tertahan di dimensi yang terjangkau oleh para
pertama dan pandita. Bukan hal yang aneh, semuanya sudah dalam kehendak yg Maha
Kuasa. Uga ada karena karsa, karna dan
kerta. Berjalanlah atas nama Yang Maha Kuasa, dengan telusuri jalan
Kehendak Yang Maha Kuasa, berjalan dengan kekuatan dari Yang Maha Kuasa”
“Sebetulnya semua orang akan
berada pada setiap kehidupan, yg penuh perjuangan dalam kehidupan bila selalu
memikirkan peran dan tugasnya di dunia. Dia berada pada garis kehidupan yang
menyerap semuanya secara bijaksana, tetapi Untuk semua itu, dia berhadapan
dengan berbagai hal yang tidak bijaksana. Semuanya merunut pada satu keegoisan
diri dan perilaku sebagai diri yang mandiri dengan segala ilmu pengetahuan yang
dimiliki.”
“Bukan ISA, Musa ataupun
Isti'adzah, yg sering kalian sebut dgn Khidir. Suatu proses yang akan menuju
pada suatu hakikat kehidupan bila berlaku dengan bijaksana sesuai dengan
kehendak dari perjalanan. Ketika berada di Padang mahsyar, bukan hal yang ada
sekarang menjadi tolak belakang, tetapi hati atau niat tulus yang akan menjadi
cerminan.”
“Ketika semua berada pada
satu entititas dgn paduan yg berbeda, maka akan merasakan perbedaannya itu
sendiri. Bukan tentang nestapa, tetapi bagian jiwa yg memang ada pd setiap hal
yg ada. Biarkan saja dia berfatamorgana, karena itu akan menjadi hal yg akan
menyeretnya menjadi yg dia kehendaki. Seperti empedu yg ditelan sendiri.”
Demikianlah
pemahaman yang dihantarkan bahwa sesungguhnya Prabu Silihwangi sendiri sedang
menjalani suatu proses kehidupannya sendiri. Menuju suatu keadaan yang dipahami
manusia sebagaimana proses perjalanan nabi Khidir. Maka menjadi tidak aneh
manakala Prabu Silihwangi masih ada dan bertahan di kesadaran manusia.
Sebagaimana manusia meyakini keberadaan nabi Khidir. Sebab keadaan Prabu
Silihwangi memang dalam proses siklus tersebut.
Siapakah
yang mampu membuktikan keberadaan nabi Khidir? Tidak ada! Sesungguhnya hanya
keyakinan dalam kesadaran saja. Semisal inilah keberadaan Prabu Silihwangi. Ada
namun tiada. Dan masyarakat meyakini ini dalam kesadarannya. Maka usai sudah
pencarian Mas Thole menyusuri keberadaan Prabu Silihwangi. Maka dalam Uga
dikatakan bahwa siapa saja yang ingin mencarinya dengan logika dan rasionalitas
semata, mereka akan mengalami kesesatan. Keberadaan Prabu Silihwangi berada di
dlaam hati anak-anak keturunan Pajajaran. Keberadaan sang Prabu sangat dekat
sekali, lebih dekat dari urat leher mereka.
...
Mas
Thole terus melangkah melanjutkan perjalanan spiritualnya. Perjalanan melintasi
dimensi dan alam kesadaran. Berada diantara keriuhan realitas kehidupan manusia.
Kini dirinya sendiri tiada teman. Berada dalam kesunyian jiwa. Berada dalam kelangutan
yang nyata. Memasuki relung-relung syarafnya sendiri, mencari bukti dan analogika
atas apa-apa yang dialaminya. Walau sesungguhnya bagi orang yang melihatnya dia
berjalan sebagaimana manusia lainnya. Berjalan di pasar-pasar. Berjalan di mall-mall,
berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Membuka
lawang dengan gerbang yg ada gawang tanpa penghalang.Jalan yang panjang, ada di
karangkamulyan. Di sana terbentang perjalanan sang hyang padang dalam
membimbing sang pajang, pujangga dari medang, pajang, karang anyar, pajajaran
dan sumedang larang. Suatu jalan untuk melihat ke belakang, dan memandang ke
depan, tanpa ada penghalang selain gambaran yg ada pada pikiran. Sekat belakang
dan depan pada setiap jalan, itu bukan karena tempat ataupun waktu yang
terentang.
Tetapi
berada pada sudut kehidupan, dengan pijakannya bukan di lawang ataupun gerbang,
tetapi ada sepanjang jalan yang memanjang antara gerbang sampai lawang pakuan. Bentuknya
berada di sudut sebelah selatan, di sana ada yang memajang sang hyang, tanpa
tahu itu untuk penghujam pada setiap keadaan. Sang hyang tak akan datang pada
hati yang tertawan atau tertekan. Tetapi akan menghampiri sang perindu akan
kasih sayang Tuhan.
Mencintai
alam tanpa berpikir ulang tentang perjalanan, belakang atau depan, masa lalu
atau masa depan. Suatu paduan yang menyapa hyang, tanpa menitikkan hayang. Seiring
perjalanan, bukan gelap menjadi terang, tetapi lihat dengan hati nurani yang
matang, bahwa ada perjalanan untuk memutar dan lurus memanjang, maka itu
menjadi pilihan. Suatu hal yang akan menjadi bagian dari sebuah perjalanan,
adanya hilang tanpa gilang, yang menyilang pada jejak sang hyang di antara para
peraba segala keinginan gang tak pernah hilang atau terbuang
Sungguh,
semua menjadi keadaan yang menyulitkan bila itu ada pada sudut yang sulit,
tetapi lihatlah dan perhatikan jalan dan perjalanan, maka tapaknya akan terasa
sampai tulang sendi terasa hilang. Di sana akan diketahui semua yang
menyebabkannya sampai seperti sekarang. Beradalah di jalan hyang, untuk melihat
ke belakang dan ke depan.
Bukan
untuk sekedar tahu, tapi serap dalam kalbu, bahwa itu atas sebuah perjalanan,
akan berakhir dimanakah sebuah pesan? Teraktualisasikan, atau hanya sekedar
pengetahuan tanpa menyerap dalam iman, islam dan ihsan. Jalannya tidak panjang,
tetapi dengan iman akan menjadi penguat perjalanan. Jalannya tidak terjal,
tetapi dengan islam akan menjadi pijakan perjalanan. Jalannya tidak curam,
tetapi dengan ihsan akan terlihat bentangan bak di padang ilalang
Semua
ada pada sebuah perjalanan, dengan cerminan yang menjadi bagian dari setiap
keadaan yang berbeda. Tetapkanlah dengan sebuah keyakinan, bukan hanya dengan
berjalan tanpa pijakan dan ketentuan
Selamat
jalan...
Jalan,
bukanlah suatu tempuhan tanpa bebas dari segala hal
Sang
hyang padang, akan menjaga setiap perjalanan
Kerajaan
(Al-Mulk):12 - Sesungguhnya orang-orang
yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan
memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Kerajaan
(Al-Mulk):13 - Dan rahasiakanlah
perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.
Komentar
Posting Komentar