Kembalinya Sang Guru Bumi (1)
Biarkan kisahku ini untuk aku sendiri. Biarlah yang hilang tetap hilang. Biarlah yang pergi tetap pergi. Biarlah akan kukisahkan kisahku sendiri. Biar menjadi catatan perjalanan dikehidupan terkini. Biarlah menjadi kenangan tentang sebuah diri yang terus berjuang dan berusaha mengenali makna keberadaannya di bumi. Perjalanan yang sungguh sepi. Tak bisa diri menerima. Tak bisa perasaan ini mengingkari semua terwujud begitu saja dalam kesadaran. Memaknai Cinta ini yang begitu tersembunyi. Cinta yang sendirian. Hingga diri tak mengenali ujudnya. Meyadarkan aku. Bahwa ini adalah kenyataan.
Kesaksian yang sulit diceritakan. Sebuah
rahsa yang hilang dari peradaban. Rahsa kasih sayang. “Hhhh...benarkah hilang”. Tersungut diri dalam ingatan. Benarkah
telah hilang kasih sayang dihati. Seperti angin yang pergi dan tak menyapa
lagi. Tidak saja hawanya, bahkan aromanya pun tak terasa. Lantas harus kucari
kemanakah? Sebab semua keadaan adalah menyoal keyakinan. Rasanya tidak ada yang
hilang namun mengapa terasa hilang? Lantas apakah hilang dan pergi itu? Apakah kehidupan
itu? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah tuntas mendapatkan jawaban. Dan ketika
hujatan demi hujatan berdatangan disini, maka diri hanya memilih pergi dan
berdiam diri cukup lama. Yah, sudah cukup lama kisah tidak dihantarkan lagi
disini.
Membuka kembali catatan. Mencoba
berdiri dan berani lagi menuliskan disini. Meski kadang kekhawatiran
menghampiri, adakah yang akan menyerang dan menghujatnya lagi? Mengapa tidak,
bukankah ini hanya sebuah kisah yang berguna untuk diri sendiri. Sebuah catatan
yang kebetulan digoreskan disini. Biarkan saja yang datang dan kemudian mencaci
maki. Biarkan saja yang bernyanyi kecil dengan sinis sambil pergi. Begitulah
memang alam memberika panca indra kepada manusia untuk dan agar mampu merasakan apa saja. Indra
penciuman misalnya mampu mencium yang harum dan juga yang bau busuk. Biarkan
bau busuk lewat atau pindahlah ketempat yang wangi. Bukankah hanya itu
pilihannya? Mengapakah harus dirisaukan lagi?
Ketetapan diri ingin begitu,
menggoreskan lagi kisah demi kisah agar tidak terlupa. Sehingga jika suatu saat
lagi ingin kembali membuka kenangan bisa kesini. Bukankah hidup adalah
serangkaian kenangan? Maka wajar saja jika kemudian manusia selalu ingin tahu
masa lalu. Ingin tahu siapakah dirinya di jaman dahulu. Meski dengan itu
dirinya akan merasakan reka adegan, bagaimana saat dahulunya dendam rindu
membekap pikiran memaksa jiwa melayang berusaha menghindar dari bayang kelam.
Cinta akan selalu mencari muaranya. Seumpama air yang akan terus mencari jalan
pulang. Demikianlah cinta dan perasaan. Dimanakah muara sumber kasih sayang?
Demikian jiwa hilang timbul dan tenggelam dalam ketidakpastian. Hanya sebuah
kesadaran yang sayup terdengar. “Aku
ingin pulang” Lirih saja diucapkannya. Sungguh jiwa tak sanggup menahan
beban rahsa jika semua kenangan terbangkitkan dikekinian.
Waktu ingin dihentikan namun disisi
lainnya waktu juga ingin diputar ulang. Mengapa jiwa begitu? Terbolak-balik
keadaannya. Demikian sulitnya memahami ini. Terkadang ingin menghentikan kisah
ini agar tidak menjadi beban bagi orang yang mendustakan, namun anehnya seiring
dnegan itu ada saja orang yang menghubungi kemudian merasa ikut merasakan atas
apa-apa yang dikisahkan. Dua perasaan dua keadaan jiwa yang bertentangan
membombardir kesadaran. Diri kembali ingin mengurai catatan. Mencari jawaban
apakah maknanya?
“Sa jane kuwi sing kuminep sumine.
Lakon apik yo ja jane rambine apik kulamang sambyang. Jajane kuwi simng lambine
rumatan kaminep sumkabeh lum kurine, sum kulamat singbapik yen kurane rambang.
Rumbane rumatan sing sapimen sungaben
rumtangen susane suminep. Wis tak lampane kuwi singbrambine ruminep rungsi
sambine runjane suminep kasimun ngambare kuriben lambine suminep rambane
kuminten. Sim kulimet kurimen sunginep, yo wis sambine sing apik
Sing kuwi sing pinatan, yen rumatan
kamine suwi. Kumbine sing apik, kulune pantimen junganane sing saminep”
Sesungguhnyha
setiap hal yang menjadi bagian masing-masing kamu akan mendapatkan bagianmu dengan semestinya. Demikian juga mereka. Masing-masing
akan mendapatkan bagiannya. Tidak ada yang mengingkari janji. Semua berjalan
sesuai dengan kehendak-Nya. Peran serta dalam kehidupan menjadi bagian dari rencana
dan rancangan dalam pengelolaan alam semesta. Terima itu sebagai Takdir dari
Yang Maha Kuasa.
Semua berada
pada garis yang telah ditetapkan-Nya. Lihat dan amati untuk menjadi hikmah pada
setiap peristiwa. Jangan bersedih, karena kehidupan berada pada kuasa-Nya.
Berangkat ke wetan, di sana akan menemukannya,
dalam rangkaian yang menjadi perjalanan menuju kehidupan yang berperadaban.
Seumpama itu memang sebagai suatu bukti, maka Kami buktikan dengan memenuhi
janji Kami. Ini adalah sebuah perjalanan suci, maka hadapi dengan kesucian dan
keikhlasan diri. Rintangan dan tantangan akan hilang, pasti ada penyelesaiannya
dalam setiap yang dihadapkan.
Ingat, semua
sudah kehendak Yang Maha Pengatur Alam, terima dan jalani perjalanan sesuai
kehendak-Nya.
+++
Diri dalam guratan panjang kesedihan.
Ketika sangsakala menggema, tak ada yang bertanya ada apa? Semua kaget karena
melihat diri berada pada berbagai pecahan dengan daya yang masih ada di antara
berbagai keadaan yang menjelma. Sangkakala terus menggema, tetapi manusia tetap
asik dengan kesenangannya, mengikuti emosi dan keegoisan dirinya. Lelaki itu
yang menyadari hakikat setiap peristiwa, dia tak dapat berkata apa2, hanya
membeku diam di antara hiruk pikuk teriakan yang menyuarakan sejatinya diri di
hadapan yang lainnya. Sedangkan dia menangis, menangis sejadi-jadinya, karena
sang kala sudah memecahkan semua dalam lengkingannya yang panjang namun tidak
terdengar oleh sebagian orang. Hanya orang-orang yang beriman yang akan mengetahui
dan mengenalnya. Tabuhan yang bersahut-sahutan membawa riang, gelombamg yang
yang bergerak di dasar samudera tidak terasa karena gelombangnya pelan dan
berirama dalam hempasan irama sangkala dalam cinta Sang Maha Pencipta.
Itu ada di antara berbagai hal yang menjadi
nyata pada kehidupan dengan berbagai hal yang menjadi dasar bahwa perjalanan
memang sedang terus berputar dan dan berputar.
Sangsakala terus meniupkan serulingnya,
bersama awan dan angin menebar kerinduan akan hakikat kehidupan yang sejatinya
sudah berjalan dan bergelak. Tak mengelak kuasa dan kehendak Tuhan, itulah bagi
pecinta yang mencintai Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kebenaran bukan berada dalam aku
benar, tetapi berada dalam keikhlasan. Lirihnya dalam rintih, menjadi nyanyian
penyeimbamg dalam memaknai hakikat kekuasaan Tuhan.
Semua berkehendak dslam bicara, tetapi diam
seribu kata dlaam cinta sang naga, naga yang menjelma dengan berbagai kuasa,
bukan hanya materi tetapi dengan keegoisan pemenuhan diri sendiri.
Lirik dan lirih tak lagi menjadi
asih, tetapi semua menjadi gegap gempita dalam semua rasa, menjelma pada
dewa-dewa dan titisan-titisan padahal itu hanya cinta dalam emosi pemenuhan
keegoisan diri. Sang diri menari dengan mewujud dan melaku dalam riang yang
menjadi perjalanan tak terelakkan di antara jiwa-jiwa yang menyerap dalam jiwa
yang memenuhi kehendak. Sang jiwa pun terus terkoyak pada realitas yang menjadi
paduan pada setiap kehidupan yang terkapar di penghujung kehidupan.
Sementara tangkaian dalam desain yang menjadi
silsilah dengan berbagai kehidupan yang menjadi kuasa atas diri sendiri yang
tak bertuan. Lihat pada sebuau cerita yang menjadi perjalanan tak putus dari
derita ketika ia menganggap itu sebagai sebuah bencana. Sesungguhnya kehidupan
diri di antara dua perapian yang menyala, ada singa yang akan menerkam setiap
baris kata yang penuh emosi jiwa.
Rintang rantung rakyan rakyun wkyuni
aji bati.
Perbedaannya sangat jelas, ketika
keangkuhan itu terus menghantam, maka realitas yang akan terus berkurang.
Tetapi bila realitas dalam satu wadah tanpa pita, maka itu di antara dua
dilema. Hanya saja setiap keadaan yang bermakna dan tanpa makna menjadi
keegoisan jiwa-jiwa.
Setiap lirik ini tak ada yang ajan
akan terus berkembang tanpa tahu alasannya. Sebuah keyakinan yang menjadi dasar.
+++
Aduh, apakah diri dalam supata?
Sesungguhnya ada hal-hal yang
terlewat dan terlihat dengan berbagai rangkaian dalam melihat kehidupan. Aku
menyaksikan itu, ketika semua berperang demi ego masing-masing. Maka dalam
perjalanannya ada yang memilih diam, ada yang berbicara lantang, ada yang
kemaruk dengan segala hal yanh sudah didapatkan, maka itu kan berulang, dan
terus berulang
Kalian akan menyaksikan itu berimbas
pada proses rangkaiannya. Tetapi berdasarkan rangkaian dari perjalanan kemaren,
maka lihat dengan hikmah mata batin sebagai manusia, khilafah di bumi.
Kami khawatir perjalanan ini malah
akan menyesatkan dan menyambung pada keegoisan diri, tetapi kami merasa bangga
dan tersanjung bahwa jejak ini masih ditelusuri dan pengajaran akan aji luwung
pangesti asih menjadi perjalanan kalian. Memang yang menjadi kekahwatiran itu
bagian titak yang menjadi kesaksian kalian. Itu terlalu berlebihan, tetapi
kalian akan menyaksikannya. Hal yang utama, adalah mawas diri, dan penghasutan
yang menerka pada setiap diri yang mengaku turunan suci. Tak ada yang
mengingkari, ego itu ada dalam diri, tapi lihat setiap hal yang nampak, itu
dalam jiwa.
Harisbaya, berkata. “Sesungguhnya
aku menjadi saksi dalam perjalanan ini, seumpama aku menjadi bagian diri itu
bukan untuk menjadi hal yang semestinya smaa sekali, aku ada du angada
relung-relung itu yang menunggalkanku dalam djri yang menjadi wanita piliham
suci. Seumpama semua yang berlanjut dalam hal ini aku mengerti, tak ada yang
melaju dalam satuan waktu, maka lihatlah itu bahwa aku menjadi batu karena
ulahku sendiri, apakah kau akan meniruku seperti itu? Seumpama bumi berputar dan
aku kembali ke dunia, tak akan aku lakukan itu, tetapi aku menjadi bagian itu,
maka lihatlah itu sebagai bagian perjalanan itu. Jika ada yang bertanya dimana
rupa dunia? Itu ada di wajah2 alam semesta yang menjadi butiran kehendak Yang
Maha Kuasa.”
Batara Giiri menimpali,
“Ah Jejak langkahmu tak menentu Harisbaya, kenapa kau lebar pilu pada semua
anak keturunanmu, bila dendam itu ada, maka lihatlah itu sebagai dirimu selaku
manusia?”
“Yah, aku bangga,
karena aku berada dalam barisan yang mereka banggakan saat ini, bahkan banyak
yang mengaku keturuananku, bukankah itu membuktikan bahwa aku masih menjadi
bagian panutan itu? Hahahaha...padahal meraka tidak tahu, untuk gelar putri itu
aku membunuh kemanusiaanku” Menjawab Harisbaya.
Langit meredup dalam ketidakpastian. Adakah
diri yang mampu menyaksikan manakala duan insan makhluk alam semesta berbincang.
Batara Giri kemudian menutup perbinjangan ghaib dengan Harisbaya. Disaksikan angin,
awan dan hujan batara Giri berpesan. Sang diri diam menyaksikan perbincangan itu.
Diam menjadi saksi yang menyaksikan.
“Jejaknya menjadi hal
yang seperti pilu, tetapi itu keutuhan yang menjadi perjalanan. Gandasuka dan
Ajiwinarya bukan bagian dari yang membanggakan, tetapi tetap dibanggakan,
begitu oun dengan dirimua Harisbaya? Kenapa demikian.: Karena itu kehendak
Tuhan, maka dalam sing winarsih aji pangestu rangkyan asih, wista aji waktu. Deru debu yang menjadi luapan angin, seumapama
itu seuatu perjalanan, apakah tetap akan membanggakannya?
Tetapi memang demikian
adanya, ada orang yang berbangga dengan silsilah keturunan, malah tak jarang
yang mencari pengukuhan pada makhluk yang hadir dengan sejenak entitas yang
menyertainya. Itu hal yang biasa dan wajar. Ketika ada yabg hadir, maka
lihatlah itu sebagai kasaksian, bukan keyakinan. Karena yang menyertainya bukan
para keluhur itu, tetapi entititas yang menyertainya makhluk2 yang kekal, yang
hadir dalam perjalanan sampai dia mebyaksikan keberadaan manusia sekarang. Maka,
ketika hadir dalam wajah keinginan, mereka tampil sesuai dengan yang harapkan.
Sesungguhnya yang harus
diperhatikan oleh jiwa-jiwa kalian, bukan bayangan atau kisah-kisah di balik
kesaktian atau kehadiran, karena itu bukan manusia atau yang dianggap leluhur
yang hadir, tetapi para entitas yang ada, seperti makhluk siluman, setan, jin
dan segala nama dimensi yang tak perlu aku sebutkan. Dia hadir untuk membantu
pikiran kalian, yang menerjang, ingin menjadi bagian dari keturuanan.
Sesungguhnya itu sungguh memprihatinkan, tetapi tugas mereka demikian.
Maka semua kembali
kepada perjalanan kalian, karena Allah, atau kebanggaan pada ego diri yang
menerjang. Letaknya dalam hati, letaknya dalam jiwa. Setiap bidadari menyadari
kesalahan jiwanya, setiap putri memahami keadaan nasib, setiap hal yang menjadi
bagian dari ego-ego yang menyertainya, maka itu bak hamparan yang saling
bekejaran pada setiap jiwa yang melayang dan membangkang. Wallahu'alam
Selamat jalan jiwa-jiwa
yang bertebaran dalam genggaman keinginan, selamat menumukan apa yang
diharapkan. Maka, itu yang akan kalian saksikan, wallahu'alam”
Salam
Noted: Kisah Kembalinya Guru Bumi ini mengakhiri kisah perjalanan Mas Thole yang tidak akian dikisahkan lagi.
amiin
BalasHapusGak mengisahkan thole ntar mengisahkan batari, ki kidal, dll. Sama aja hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
BalasHapusDan blog ini memang dimaksudkan menuliskan kisah-kisah mereka. Mohon maaf...
HapusSelamat datang kembali
HapusSalam kang Arief🙏
BalasHapus