Sang Guru Bumi (1): Misteri Kematian
Hamparan ilalang kedukaan. Bentangan awan kesedihan serta
turunnya hujan. Mengiringi air mata kedatangan. Membasahi
rimba dan gelapnya jiwa.
“Aduhai kekasih dimanakah kau letakan hati”
Ujarnya menghiba. Kematiannya telah membawanya ke dimensi yang
tak diketahuinya. Sementara lekat pekat cinta akan kasihnya terus saja
mencengkeramnya, memakunya di bumi.
Lengkingan kesedihan menyayat malam yang panjang.
+++
“Cinta model apakah ini”
Gumam lelaki setengah baya, yang entah mengapa dirinya terkoneksi dengan
alam ghaib yang terbuka. Sehingga seharian perasaannya tidak tenang.
“Cinta bukan hanya menerima namun cinta juga adalah
keberanian untuk melepaskan”
Gerutunya kepada jiwa yang menyambanginya.
Enggan rahsanya mengkisahkannya kejadiannya disini. Namun
entah mengapa tangan ini tak mampu ditahannya. Kesendirian adalah sebuah
perjuangan. Bukan hanya mahluk itu saja
yang menderita sebab kekasih. Semua makhluk pasti sempat merasakannya. Lantas
apa maksud kedatangannya menyambangi dirinya. Apalagi membawa duka kematian?
Heh, kekesalannya terbawa ke alam tidur. Dihadapkan jiwanya
kepadaNya agar tidak terbawa arus pusar
tornado yang terbawa oleh jiwa
makhluk tersebut.
“Lepaskanlah wahai jiwa!. Kematian bukanlah akhir dari sebuah
cinta. Kematian justru akan menghantarkan kepada cinta yang sesungguhnya.
Butalah mata jika tidak mengenali cintaNya. Kembalilah, tinggalkan dunia dan
isinya. Tenanglah di alam sana. Tiada satupun makhluk yang akan dirugikan.”
Masih dalam menahan kekesalan, laki-laki itu terus saja
menasehati.
“Telah ditahannya 99% cinta dilangit sana untuk para kekasih.
Tidakkah engkau tahu hanya 1% yang
dibagikanNya untuk seluruh makhluk di alam semesta. Dan bagian yang sedikit itu yang engkau perebutkan bersama kekasihmu?
Celakalah engkau wahai pecinta. Sesungguhnya bukan matamu yang buta. Namun
hatimulah yang buta. Sedemikian besar cinta yang akan DIA berikan, namun engkau
menyelingkuhiNya. Tinggalkanlah kekasih semu. Kembalilah kepadaNya. Dan itulah
sebenar-benarnya cinta.”
Lelaki itu diam dalam kesadarannya. Disapanya langit dan bumi
dan segala makhluk yang melintasi pikirannya.
+++
“Tiadalah makhluk
mampu memberikan cinta, sebab untuk dirinya saja mungkin tidaklah cukup.
Manusia sesungguhnya telah bangkrut. Jiwa mereka telah miskin akan kasih
sayang. Mereka mengharap pasokan kasih sayang dari makhluk lainnya. Jiwa mereka
membutuhkan pasokan energi kasih sayang jika tidak mereka akan berubah menjadi
monster yang mengerikan. Maka jika kalian memilikinya, maka sodakohkanlah barang sedikit. Mungkin saja
sedikit cinta akan menentramkan jiwa-jiwa yang mengelana”
Mendadak sang Guru Bumi menyelinap dalam kesadaran laki-laki
tersebut. Menghentakan kesadaran jauh ke lubuk hatinya. Dirinya tersadar bahwa
sesungguhnya energi kasih sayangnya pun sebentar lagi akan padam. Jiwanya akan
berubah laksana vampir yang akan menghisap kasih sayang dari makhluk lawan
jenisnya. Dirinya akan mengejar dan memintanya dari lawan jenisnya. Berupa
perhatian, berupa pengorbanan, berupa apa saja yang dibtuhkan jiwa. Dirinya akan selalu meminta dan tidak akan
pernah mampu memberikan kasih sayang. Jiwanya telah berubah menjadi monster
adanya.
Iba dirinya akan menenggelamkannya ke palung kesadaran. Jiwa
kemanusiaannya akan tertutup maka perhatikanlah bagaimana nanti perilakunya?
Bentuknya saja manusia namun jiwanya sesungguhnya adalah makhluk haus darah.
Makhluk yang akan senantiasa menumpahkan darah. Makhluk yang akan senantiasa
menuntut dan menuntut kepada siapapun. Jiwanya haus kasih sayang bahkan jika
air lautan diubah menjadi air minum, itu
tidak akan cukup untuk meredakan hausnya walaupun sedikit.
Sang Guru Bumi tersenyum kepadanya. Wajahnya teduh, jenggot
tipis di elusnya dengan perlahan. Membiarkan lelaki tersebut tercenung
sendirian. Sudah saatnya manusia memahami hakekat kematian. Kematian
sesungguhnya adalah kelahiran. Begitulah pesan sang Guru. Kematian dari seluruh
nafsu manusia akan melahirkan kehidupan berkasih sayang. Maka jangan salah
memahami. Oleh sebab itu janganlah tangisi kematian. Sebab kematian itu sendiri
adalah pembebas dari penderitaan. Lahirnya kehidupan berasal dari kematian.
Manusia yang hidup wajib belajar mati. Matikan seluruh nafs
yang hidup. Hidupkan lampu kasih sayang yang mati agar hati menjadi terang.
Nyalakan terus hingga semua makhluk yang mati, terterangi jalan-jalannya. “Mati sak jroning urip” Bukankah itu pengajaran para nabi? Matikan
nafs dan hidupkan hati.
+++
“Matikan nafs dan hidupkan hati?”
Laki-laki itu bergumam sendiri tak mengerti. Ingin dirinya
menanyakan kembali. Sayang sang Guru Bumi telah pergi. Menyisakan tanda tanya
dihati. Bagaimanakah caranya? Bagaimana dengan arwah yang mendatanginya?
Bukankah dirinya telah mat? Mengapa dirinya diminta mengajarkan hakekat
kematian kepada makhluk yang sudah mati? “Rasionalnya dimana?”
Sungguh kemampuannya memasuki alam-alam ghaib kini menjadi
dilema tersendiri. Bukan salah para makhluk itu datang dengan jiwa-jiwa mereka
yang penasaran atas hakekat kematian. Mereka tidak merasa mati. Karena tidak
merasakan mati maka mereka menyambangi lelaki itu memohon pertolongan agar
dirinya mampu tetap bersama kekasih hatinya.
“Kalau begitu apakah hakekat hidup itu sendiri?”
+++
Laki-laki itu tak mampu melanjutkan kontemplasinya lagi. Dari
tempat yang jauh, rekannya sedang menyambangi rumah temannya. Katanya suaminya
baru saja meninggal belum lama. Sering dia bersapa-sapa seakan akan suaminya
masih ada. Laki-laki itupun menghela nafas. Berdoa agar mereka berdua
suami-istri ditenangkan jiwanya dalam menghadapi takdir kematian dan kehidupan
diantara mereka berdua. Dua keadaan yang terpisah namun sama hakekat keadaan
bagi mereka. Hati mereka masih terpaut
satu sama lainnya.
“Hhh...Hidup saja begitu misteri apalagi kematian?”
Laki-laki itu kembali berguman. Melanjutkan perjalannya
kembali belajar bersama sang Guru Bumi.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar