Transformasi Spiritual


Menandai hijab

Sebuah pertanyaan yang seringkali dilontarkan ketika kita tengah menapaki jalan spiritual adalah antara realitas dan ghaib. Antara imanen dan transeden. Kemudian pertanyaan akan berkembang apakah alam semesta merupakan suatu yang realitas atau suatu yang ghaib.?.   Jikalau kita memaknai bahwa alam semesta adalah suatu realitas maka kita menjadi terhijab. Kita tidak akan mampu memahami keghaiban alam semesta. Demikian juga  sebaliknya, jika kita memaknai bahwa alam semesta adalah sesuatu yang ghaib maka kita menjadi terhijab pula. Kita akan kesulitan memahami realitas dari alam semesta itu sendiri. Dikotomi ini membingungkan para penempuh jalan spiritual. Saat kapan alam semesta menjadi ghaib dan saat mana merupakan realitas. Cara sederhana sebenarnya adalah menggunakan logika kesadaran manusia. Saat manusia tidur maka alam semesta menjadi ghaib baginya dan saat manusia bangun alam semesta menjadi realitas baginya. Namun bagaimana jika manusia bangun ?. Apakah alam semesta menjadi realitas terus bagi dirinya. Ternyata tidak juga. Saat manusia bangun pun, saat manusia sadarpun alam semesta tetap dapat menjadi realitas ataupun menjadi ghaib, tergantung apakah dia mau meng on kan atau meng off kan kesadarannya.

Kaum spiritualis senantiasa mengajak kepada pemahaman-pemahaman ini untuk menghantarkan manusia kepada suatu kesadaran lain tentang Tuhan. Sebuah pemahaman yang cukup rumit; Tuhan adalah Dzat yang Dzahir dan juga  Batin. Tuhan adalah Dzat yang realitas dan juga ghaib. Kesulitan dalam memahami ini sedikit dapat terbantu dengan terbukanya hijab dalam memaknai antara yang ghaib dan realitas tersebut. Melalui eksplorasi kesadaran diri manusia. Kaum spiritualis dapat menggunakan semua entitas dirinya, secara lebih efektif, karena memang sudah tidak dibingungkan lagi oleh hal yang ghaib dan hal yang realitas. Bagi kaum spiritualis kedua eksitensi tersebut adalah relative. Relatif dalam kesadarannya, dalam posisi mana saat itu dia  memaknai dan menetapinya. Maka ketika dihadapkan kepada sebuah khabar tentang adanya Allah,  malaikat, adanya kitab, adanya rosul, adanya hari akhir , adanya takdir mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk melakukan transformasi kepada keyakinan tentang hal tersebut. Transformasi dari spiritual lokalnya kepada spiritual Islam. Spiritual Islam adalah spiritual yang mengkhabarkan tentang itu, dimana khabar tersebut kemudian  diyakininya sebagai IMAN. Salah satu pilar Islam, spirit Islam, ruh Islam.

Namun pada prakteknya, kearifan lokal (baca; spiritual lokal), generasi awal,  sering membiaskan pemahaman dan keyakinan-keyakinannya ini dengan simbolisme-simbolisme yang sangat sulit dipahami oleh generasi-generasi berikutnya. Kesulitan kaum spiritualis menyampaikan pemahaman mereka melalui ungkapan ungkapan, memaksa mereka hanya berjalan pada tataran artificial saja.Hal ini berlaku hingga sampai jaman ini. Sebuah pemaknaan yang menggunakan bahasa simbolis akan menimbulkan persepsi yang tentunya berbeda bagi setiap orang, atau kaum, atau sekte, golongan atau bahkan agama. Kaum teologis banyak menyerang bentuk-bentuk ungkapan simbolisme ini. Sebagai bid’ah, kurafat, syirik dan lain sebagainya. Sementara kaum spiritualis juga melakukan serangan yang sama terhadap kaum teologis yang tidak mampu mengambil hakekat atas pemaknaan simbolisme mereka. Bahasa metafora, bahasa simbolis, bahasa hati, dan lain-lain istilahnya, selama manusia masih menggunakan bahasa maka apapun bentuknya akan membuahkan persepsi. Persepsi akan melahirkan perselisihan dan perpecahan. Inilah yang terjadi pada saat ini permusuhan tak kasat mata antara spiritualis dan teologis.

Kegamangan kedua pihak menyikapi ini mengakibatkan kebingungan umat. Sehingga kaum yang semula sangat erat memegang tradisi kearifan lokal (spiritual lokal), mengalah, menyingkir dalam pencaturan teologis. Mereka merasa bahwa agama adalah urusan para teolog saja, para Dai dan Ustad. Keterpaksaan dan ketersisihan, menyebabkan kaum spiritualis lokal membelakangkan pemahaman mereka. Mengesampingkan kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan yang telah bertahan ribuan tahun di tanah air ini.  Kesepahaman dengan alam semesta, keharmonisan dengan lingkungan telah mereka tinggalkan. Bentuk frustasi mereka, mengakibatkan kearifan itu tidak mereka ajarkan kepada generasi berikutnya.  Tinggalah hanya simbolisme-simbolisme yang tetap bertahan pada kesadaran kolektif kaumnya. Sehingga generasi berikutnya terseok-seok memaknai semua itu. Maka menjadi keprihatinan ketika bangsa ini sedikit demi sedikit telah kehilangan jati dirinya. Kita semestinya memahami bahwasanya, kearifan alam tropis bukan untuk  disandingkan dengan kearifan padang pasir. Ke-arifan lautan tidak bisa diperbandingkan dengan kearifan daratan. Masing-masing berada dalam hakekatnya.   Ketika semua dicampur adukan, maka sekarang ini, kita dapat rasakan bersama seperti apa aura bangsa ini. Saatnya kita membebaskan diri kita atas frgamen-fragmen yang kita ciptakan sendiri. Fragmentasi dalam spiritual sudah saatnya mengalami transformasi.

Wacana untuk menggulirkan sebuah transformasi, yang mampu menjembatani kedua dikotomi ini, layak digulirkan, mengingat bahwa agama tanpa spiritual adalah kesia-siaan. Bagai tubuh tanpa spirit (ruh). Spiritual tanpa agama adalah  melelahkan pula. Suatu kesia-sian yang akut. Hilangnya spiritual lokal adalah hilangnya kearifan lokal. Hilangnya kearifan lokal, akan membawa dampak bangsa ini semakin kehilangan jati diri, terpuruk dalam moralitas-moralitas yang dikemas sekedar untuk bisa dijual. Untuk itulah kaum spiritualis harus mulai membuka diri. Kasus yang terjadi di masa lalu, yang menimpa Syech Siti Jenar di Indonesia, atau Al Halaj, bukan menjadi sebuah ukuran. Manusia harus senantiasa belajar, menjadi spiritualis adalah sebuah pilihan yang harus ditetapi dengan keyakinan dan kesungguhan bahwasanya kita semua sedang menuju kepada Allah.  Menapak Jalan Spiritual adalah menapaki hidup dalam sebuah realitas yang serba ghaib.


 Realitas hakekatnya adalah  keghaiban

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita tidak menyadari jika kita telah  menganggap suatu yang ghaib adalah suatu realitas.  Sering kita membicarakan benda-benda yang belum pernah kita lihat, belum pernah kita sentuh, belum pernah kita rasakan, namun  kita telah meyakini benar keberadaannya. Seakan-akan benda tersebut sangat nyata ada di depan mata kita. Kesadaran kita telah mengakui keberadaan dan eksitensi benda tersebut di alam ini walau kita belum pernah melihatnya sama sekali. Keberdaan atom, keberadaan elektron, dan lain sebagainya adalah sebuah contoh. Seseorang (ilmuan) telah melihat keberadaan benda-benda itu, kemudian mengabarkan kepada kita. Pengkhabaran ini terus berjenjang, melalui mulut, melalui pengajaran-pengajaran di sekolah, dan sebagainya dan sebagainya. Secara terstruktur dan sistematis. Walau Kita sendiri tidak pernah tahu berapa orang sebenarnya yang telah melihat atom, atau elektron itu. Mengapa sedemikian hebat mempengaruhi kesadaran kita. Kesadaran kolektif manusia.  Jika kemudian ada yang  meyangkal keberadan benda-benda tersebut sekarang ini. Mampukah kesadaran kita menerima pengyangkalan tersebut.?. Dan menggantikannya dengan kesadaran baru bahwa atom adalah tidak ada, bahwa elektron adalah tidak ada. Jelas bahwa kedua benda itu ghaib, yaitu sesuatu yang tidak kita ketahui sejatinya seperti apa. Walau nyata-nyata kedua benda tersebut ghaib bagi kita yang awam, namun kesadaran kita tetap menyatakan bahwa benda tersebut adalah real adanya. Sangat sulit sekali kesadaran manusia untuk beralih. Maka kedua benda tersebut telah menjadi sebuah realitas bagi kesadaran kita. Realitas yang ghaib bukan..?.


 Keghaiban hakekatnya adalah tetap realitas

Hampir setiap hari kita bertemu dengan anak dan istri atau suami. Tanpa kita sadari ingatan tersebut begitu kuat mengikat kita, dalam kesadaran kita. Kesadaran kita telah membuat pola tertentu atas  kewajiban-kewajiban atas masing-masing peran dalam keluarga. Kesadaran kita begitu sulit lepas atas semua itu. Dimanapun berada akan terus diikuti. Sebuah kesadaran bahwa anak, istri atau suami kita adalah suatu yang real ada. Dapat dirasakan, dapat dicium dan dapat dinikmati  perasaan kita. Tidak ada yang salah jika kita mengatakan bahwa semua itu adalah realitas.
Saat kita bersama mereka maka benar mereka adalah real dalam kesadaran kita. Namun pada saat ini anda sedang membaca tulisan ini di kantor. Anda tidak dapat merasakan mereka saat ini. Mereka tidak dapat anda lihat, tidak dapat anda cium. Pendek kata indera kita tidak dapat mendeteksi keberadaan mereka saat ini. Kalau begitu  bukankah hakekatnya sekarang ini mereka adalah ghaib. Saat ini,  detik ini, saat anda sedang membaca tulisan ini, hakekatnya mereka tidak ada. Anda hanya dapat menemukan mereka dalam kesadaran anda saja. Apa bedanya anak dan istri atau suami anda dengan elektron yang dibahas di depan tadi. Sama-sama ghaib sekarang bukan..?.

Sesuatu yang tadinya kita lihat sebagai realitas, nyatanya,  saat ini bagi anda adalah sesuatu yang ghaib. Anak, istri atau suami sekarang ini menjadi mahkluk ghaib bagi anda. Seluruh atribut ketubuhan anda tidak mampu memindainya sekarang. Itu terjadi karena anda saat ini sedang membaca tulisan ini di kantor. Maka ketika saya bertanya kepada anda saat ini. “Apakah anak, istri atau suami anda benar masih ada di rumah..?”. Anda pasti akan gamang, tidak yakin atas keberadaan mereka. Anda menjadi yakin kembali ketika anda menelpon mereka, dan  indera anda mengenali mereka. Oleh karenanya, maka saat ini kesadaran anda mengakui bahwa nyatanya mereka ghaib. Ghaib dalam kesadaran kita. Ghaib dalam  realitas kesadaran anda bukan ?.
Sesuatu akan menjadi realitas bagi kesadaran kita ketika kita secara menyengaja memasukan dalam kesadaran kita secara terus menerus dan berkesinambungan dan sistematis. Sesuatu  menjadi ghaib ketika kita tidak mampu menemukan referensi dalam kesadaran kita akan keberadaannya. Maka ghaib dan realitas sejatinya adalah sebuah kesatuan. Sebuah dualitas alam semesta.


Ghaib dan realitas hakekatnya adalah relatif

Pada pemahaman pertama diatas kita dihadapkan kepada suatu benda atom yang tak kasat mata yang ghaib, namun karena khabar yang begitu tersistematis dan berulang kepada kita. Maka mau tak mau alam kesadaran kita menerima sebagai sebuah realitas. Sekarang kembali kepada diri kita, apakah akan menolaknya..?. dan mengeluarkannya dari kesadaran kita. Kemudian kita lakukan penyangkalan. Kita tidak meyakini adanya benda (atom) tersebut, benda tersebut adalah ghaib tidak ada sama sekali, itu khabar bohong, dan sebagainya dan sebagainya. Tidak apa-apa, dan jamak saja. Namun perlu diingat penyangkalan ini akan berhadapan dengan kesadaran kolektif. Ketika kesadaran diri berhadapan dengan kesadaran kolektif, perlu perjuangan diri yang hebat untuk menetralisirnya. Nah..pada esensinya maka ghaib inipun menjadi relative. Karena ada yang menyangkal dan menerima.

Begitu juga hal sama  dapat kita lakukan pada pemahaman  kedua. Kita dapat melakukan penyangkalan dengan mengubah kesadaran kita dengan melakukan on atau of pada kesadaran kita. Pada saat kesadaran kita tidak mengakui keberadaan anak, istri atau suami kita. Maka mereka langsung lenyap dalam kesadaran kita. Kita pun seakan terbebas dari beban. Mereka menjadi relative bukan..?. Karena mereka sudah kita lenyapkan dari kesadaran kita. Kalau begitu, bukankah ghaib dan realitas dapat kita on dan of kan sekehendak diri kita..?.  Ghaib dan realitas menjadi relative jadinya. Dan jika kita gagal men transformasi hal ini dan menempatkan kepada posisinya maka kita akan tersesat dalam memaknai mana sejatinya ghaib dan mana sejatinya realitas.  Inilah hijab dalam spiritual. Keghaiban dapat menjadi hijab begitu juga realitas. Untuk itulah kita memerlukan panduan agama. Kita memerlukan spiritual Islam yang akan kita gunakan sebagai guiden dalam menapaki jalan spiritual.

Sejenak jika kita luruhkan perlahan atas pemahaman-pemahaman tersebut, ternyata ghaib dan realitas sangat tergantung bagaimana entitas kesadaran kita dalam memaknainya. Jika entitas ini memaknai sesuatu sebagai yang ghaib maka meskipun sesuatu itu merupakan realitas (bagi orang lain) tetap saja bagi dirinya adalah ghaib. Dan begitu juga sebaliknya, jika entitas kesadaran kita memkanai sesuatu sebagai realitas maka meskipun sesuatu itu merupakan hal ghaib (bagi orang lain) tetap saja dirinya akan memaknai sebagi realitas yang harus diyakininya. Oleh karena itu, Islam telah membingkainya dalam pemahaman Rukun Iman. Sehingga, diharapkan hanya ke enam Rukun Iman inilah yang harus benar-benar diyakini sebagai realitas oleh sang spiritualis.


Kehadiran dan Eksistensi makhluk

Pemahaman tersebut sering dipahami sebagai kehadiran. Sesuatu yang kita hadirkan meskipun ghaib akan menjadi realitas bagi kesadaran kita. Inilah yang sering terjadi pada kaum spiritualis lokal (baca; kejawen). Kaum spiritualis Jawa banyak sekali menggunakan simbolis-simbolisme dalam mengungkapkan alam ghaib. Seperti pemahaman ‘sedulur papat kelimo pancer’, disebut sebagai kakang kawah adi ari-ari, dan sebaginya. Sesuatu yang di maknai selalu menyertai setiap manusia. Ketika mereka dihadirkan maka jadilah mereka sebagai realitas dalam kesadaran sang spiritualis.  Sesuatu yang diakui memiliki kekuatan yang akan mampu membimbing manusia Jawa. Banyak sekali kaum spiritualis di belahan dunia manapun melakukan hal yang sama. Dengan keberagaman menurut persepsi masing-masing. Namun intinya adalah sama memasukan entitas kesadaran lain ke dalam diri kita. Seperti misalnya; keris, dan benda-benda ghaib, dan lain lainnya. Kesemua ini mempengaruhi kesadaran manusia. Kesadaran manusia mengakui bahwa mereka memiliki daya kekuatan. Maka jadilah mereka memiliki kekuatan sebagaimana persepsi kesadaran kita. Jikalau kesadaran kita melakukan penyangkalan maka daya mereka juga tidak akan bekerja pada kita.  Inilah bekerjanya hijab, satu demi satu hijab , dalam kesadaran manusia. Manusia harus bersandar kepada daya diatas daya daya semua itu. Kesadaran manusia harus menuju kepada kesadaran La haula wala quata. Tiada daya upaya melainkan milik Allah.


Transformasi kesadaran

Memaknai sebuah khabar dan kemudian kita hadirkan dalam kesadaran, menjadi hal yang sangat penting bagi kaum spiritualis. Kaum spiritualis berjuang dalam tataran ini. Memilah mana yang realitas dan mana yang ghaib kemudian menjadikannya sebagai kehadiran. Sebagai Iman.  Seperti ketika khabar tentang adanya hari akhir,  kaum spiritualis telah memahami cara bekerjanya kesadaran maka mereka dengan upaya sunguh-sungguh melakukan transformasi dari khabar yag ghaib menjadi realitas yang nyata dalam kesadarannya.  Menjadikannya sebagai suatu kehadiran dalam realitas nya. Kehadiran dalam Iman. Mereka kemudian men-transformasi satu demi satu ke enam rukun Iman dalam agama Islam.

Kesulitan mungkin akan timbul bilamana, kehadiran dan eksitensi sesuatu ghaib (makhluk) sudah menguasai kesadaran sang spiritualis. Setiap makhluk sejatinya membutuhkan kesadaran manusia. Mereka senantiasa berada dekat dengan manusia agar diakui eksistensi mereka oleh kesadaran manusia. Agar mereka senantiasa diingat manusia. Sejak dahulu  seluruh alam semesta di siapkan untuk manusia. Kesadaran manusialah yang menjadi saksi adanya alam semesta, adanya kekuasan Tuhan. Secara alamiah setiap benda ataupun mahluk akan berupaya menarik perhatian manusia. Menarik kesadaran manusia agar selalu mengingat dirinya. Mengingatnya sebagai realitas. Bagi makhluk atau benda akan menjadi sempurna kegunaannya bilamana mereka bermanfaat untuk manusia.  Banyak ayat Al qur’an mengisyaratkan ini. Semua yang di langit dan di bumi di tundukkan untuk kebutuhan manusia. Maka ketika sang spiritualis akan melakukan transformasi menuju spiritual Islam, tentu saja akan mendapat pertentangan hebat dari sesuatu itu. Dari entitas yang sebelumnya di hadirkan dalam kesadaran dirinya. Misalnya di hadirkannya saudara kembar, guru sejati, hantu, jin, dan entitas-entitas lainnya. Semua itu akan bergejolak dalam jiwa sang spiritualis. Sang spiritualis harus membuang semua ini, menggantikannya dengan kesadaran baru kesadaran La ila ha ilallah.

Beralihnya dari kesadaran satu ke kesadaran lainnya, bagai mengupas kulit bawang. Semakin lama kita akan semakin menuju kepada kesadaran tertinggi. Namun, sungguh perjuangan yang tidak mudah. Karena sang spiritualis akan berhadapan dengan entitas lain yang pernah ada pada kesadaran dirinya, sebelumnya itu. Sebagaimana akhirnya menjadi pergulatan antara mati dan hidup. Antara sadar dan tiada. Maka tak aneh jika dalam kontemplasinya, seluruh otot meregang, otot dada, otot leher, rahang, lantas perut mengunci, hingga bahkan terlemparnya badan, dan mungkin saja banyak bagian kejadian yang sulit diuraikan. Perjuangan membersihkan diri, perjuangan membersihkan hati sangat nampak sekali nyata pengaruhnya, bergulatan di badan. Badan langsung terkena dampak pertarungan ini. Bila selesai bisa berupa muntah, batuk, kentut dan lain sebagainya. Sesuatu hawa keluar dari badan sangat terasa sekali. Dan kemudian badan menjadi nyaman, hawa sejuk dingin akan berputar putar, seperti kabut tipis ber desir di dada, di seluruh tubuh, badan menjadi ringan, keyakinan begitu mantap, menjadi, lebih tenang, sabar, dan keyakinan dengan IHSAN begitu membuncah.

Maka Rosululloh memaknai pertarungan tersebut sebagai Jihad besar.  Jihad terbesar adalah jihad melawan diri sendiri, hawa nafsu sendiri, melawan ego sendiri. Melawan seluruh entitas yang sudah berada dalam keadaran diri kita. Karena memang sangat berat, pertarungan dengan lawan yang tak kasat mata, jika kita lengah tidak berserah kepada Allah, kesadaran kita pun melayang. Setelahnya para spiritualis juga harus mampu meletakan entitas ketubuhannya, raga, jiwa, akal, dan ruh pada makomnya masing-masing. Sesuai kehendak Tuhan atas kesemuanya itu. Raga yang dilengkapi dengan perkembang biakan manusia harus pada posisinya, nafsunya harus ditempatkan atas nafsu yang diridhoi Allah. Dan lain sebaginya-dan lain sebagainya. Pelatihan-pelatihan untuk mencapai kearah itu sudah disiapkan lelakunya, tinggal menjalankan Rukun Islam saja. Melalui syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Menuju kepada takwa, suatu kesadaran tertinggi manusia. Perwujudan atas kesadaran la ila hailallah. Menjalankan semua perintah-NYA dan menjauhi segala larangan-NYA. Sungguh laku keseharian yag berat. Mendaki lagi sukar. Maka tiada jalan lain bagi kaum spiritualis dalam mensucikan dirinya, mensucikan jiwanya, menuju kesana, dalam ber spiritual,   selain bersandar kepada Allah. Hasbunalloh.  BERSERAH dalam totalitas. Ber- ISLAM dalam ke-takwa-an.


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan , Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,atau memberi makan pada hari kelaparan, (Al Balad ; 10-14)

Meskipun transformasi dari sebuah kesadaran rendah kepada kesadaran yang lebih tinggi, merupakan jalan yang mendaki lagi sukar. Tetap kita harus lakukan transformasi itu. Menempuh jalan yang mendaki lagi sukar itu. Menuju kepada spiritual Islam.  Sehingga kita mampu ; Melepaskan diri kita, jiwa kita dari perbudakan thogut, dan entitas lainnya atas kesadaran kita. Sehingga kita akan dapat terbebas menuju kepada Allah. Dan selanjutnya kita senantiasa mampu ; Memberikan makanan pada jiwa, men-sucikan jiwa kita, agar senantiasa mampu ber-dzikir, selalu menyebut nama-NYA.
Walahualam 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali