Melacak Keberadaan 'Sang Pembeda' (1)
Pengantar Penulis; Serangkan kisah spiritual terbarukan ini, akan mulai menyambangi sidang pembaca. Masih mengusung tema yang sama 'kesadaran'. Bagaimana pergumulan anak manusia mencari jalan-jalan yang terdistorsi di tengah kejumudan umat. Jika semua manusia menganggap hanya keyakinan diri mereka saja yang benar. Bolehkah jika pelaku kisah ini mencari jalan sendiri dengan asumsi bahwa semua jalan yang ditawarkan adalah salah. Asumsi ini terpaksa harus disandingkan. Sang Pembeda, akan menjawab pertanyaan. Bagaimana kita membedakan kebenaran yang diusung setiap keyakinan. Selamat menikmati kisah-kisah kami. Salam
...
Sekarang aku akan beranjak bersama kisaran
sang waktu. Tiada keraguan lagi. Tiada beban yang menghimpit langkahku. Biar
jasad ini tiada bentuk lagi ataukah mesti nanti dilahirkan kembali. Tiada
persoalan bagiku. Itu bukan pikiranku saat ini. Biarlah itu menjadi urusan sang
waktu. Alam sudah dibentuk sedemikian rupa, tiada kuasaku. Hukum entropi
menyatakan bahwa semakin lama alam semesta ini akan semakin mengembang ke arah ketidak
beraturan. Tidak ada satu bendapun jika diletakan di padang pasir akan tetap
keadaannya. Mobil terbaru sekalipun jika diletakkan pasti akan rusak. Bagaimana
dengan jasadku ini?
Batu-batupun yang diam, batu-batu karang
yang kokoh, batu-batu yang berserakan, dimanapun mereka berada, dalam hitungan
waktu akan hancur menjadi butiran debu. Perhatikan dalam kisaran waktu, dalam
ribuan tahun batu-batu akan melapuk menjadi tanah-tanah yang siap dicangkuli.
Proses akan terus demikian. Dikeluarkanlah magma dari dalam tanah. Menjadi
bentukan mula sang batu. Sementara atom-atom penyusun batuan, terus sibuk
membentuk diri mereka menjadi senyawaan atom-atom lainnya. Mereka menjadi
mineral, kemudian menjadi senyawaan asam amino, kemudian membentuk sel,
dst..dst.
Rangkaian kerja alam semesta dalam
perhelatan yang menakjubkan mata. Maka bagaimana dengan diriku ini? Akan
kemanakah perginya? Langit tak menerimaku, bumi tak mau menyanggaku. Apalagi
Tuhanku? Apakah aku keliru? Mengapa harus kulakukan jika aku saja tidak pernah
tau bahwa ini akan berakhir di jalan yang tiada pernah ada ujungnya. Berapa
banyak memori harus dihancurkan dan diulang. Memori kesadaran yang pada proses
penciptaan menjadi sampah-sampah. Sampah kesadaran yang melahirkan kenistaan. Manusia
lebih rendah derajat kulitas memorinya di bandingkan hewan. Benarkan ini jalan
yang Engkau ridhoi? Apakah aku keliru?
Aku berangkat di akhir sampai kejadiannya
aku tidak pernah tahu bagaimana awal mula aku ‘ada’. Seringkali ketika bangun
pagi aku merasa berangkat di awal dari ‘ada’ hingga aku tidak paham akan
kemanakah perjalanan ini berakhir menjadi ‘tiada’. Betapa sulitnya meniadakan
lintasan pikiran ‘ada’ di benak dan di hati ini. Semua seperti dijejalkan sang
waktu. Memori yang kadang tak terbaca. Semacam spam yang mempengaruhi logika. Serasa
di sebuah dimensi yang tiada awal dan tiada akhir. Perjalanan ini rupanya bermula
dari semua sisi waktu dan bertemu disini di keadaanku saat ini (now). Hanyalah serangkaan
memori-memori di DNA.
Pada mula buka kesadaranku. Semua di awal
dan semua di akhir. Pernyataan itu yang membuatku kelu. Begitukah perjalanan
bersama waktu? Hanya riak gelombang rahsa yang terus berpacu dan memburu seakan
mengejar kemanapun tidurku. Kemanapun aku menghadap hanyalah kilas rahsa dan
pikiran. Memasuki hitam kelam lorong kesadaran. Membuka kembali memori yang
tertinggal, sama saja memasuki alam keheningan yang sangat ramai sekali dengan berbillion
memori manusia.
…
Memori para raja, memori para durjana, memori para ulama, memori para pemuja, memori para kesatria, berjuta bentukan memori di alam semesta. Software luar biasa yang harus diturunkan untuk menjalankan pesan scenario Tuhan. Alam kesadaran ramai sekali bagai lintasan internet yang selalu sibuk. Big data terus diakes keluar masuk dari portal-portal dimensi. Lantas memori apakah yang akan diinstal ulang kepada ragaku ini? Apakah memori para raja yang haus kuasa, tahta dan wanita.
Memori para raja, memori para durjana, memori para ulama, memori para pemuja, memori para kesatria, berjuta bentukan memori di alam semesta. Software luar biasa yang harus diturunkan untuk menjalankan pesan scenario Tuhan. Alam kesadaran ramai sekali bagai lintasan internet yang selalu sibuk. Big data terus diakes keluar masuk dari portal-portal dimensi. Lantas memori apakah yang akan diinstal ulang kepada ragaku ini? Apakah memori para raja yang haus kuasa, tahta dan wanita.
Ada memori para ulama yang merasa tinggi
dalam ilmu dan juga suci dalam perangainya. Atau memori para pemuja tokoh-tokoh
sakti mandraguna? Banyak macam memori disana. Apakah aku bisa memilihnya?
Bagaimana cara menentukan pilihan atas memori yang layak kita gunakan untuk
menghadapi realita di dunia nyata. Bagaimanakah membedakan frekuensi energy
yang akan masuk di kesadaran kita. Membedakan software yang akan kita gunakan
di mayapada. Inilah masalah yang terus menghantui pikiranku. Bagaimana seorang
nabi semisal Nabi Ibrahim mampu membedakan suara Tuhan dan suara setan?
..
Semua keadaan semua lintasan berpacu dalam
impian yang menjadi kelaziman dalam pikiran. Bagaimana menemukan software Sang
Pembeda yang akan dapat digunakannya memilih dan memilah energy jin, setan, khadam,
siluman, iblis, dan juga makhluk lainnya. Kita sering salah sangka saat mana mereka
mengaku sebagai leluhur atau bahkan mengaku sebagai golongan malaikat. Alam
kesadaran begitu pelik sekali. Satu digit saja dapat berarti banyak. Semisal
nomer HP jika beda satu digit belakangnya saja maka sudah barang tentu berbeda
orangnya.
Bertanya aku kepada malam, kapankah sebab
mengapa dirinya tidak pernah takut akan gelap. Maka tanyaku kepada manusia
sebab mengapakah dirinya takut atas nasibnya. Bukahkah sama keadaannya? Sebab
apa api tidak takut kepada panas. Bagaimanakahkejadiannya jika api takut
kepada panas. APi takut kepada takdir dirinya. Hanya mengapa manusia begitu
takiut atas takdirnya? Bukankah sama keadaan diantara keduanya? Aku terus berselancar
dalam dunia ilmu diantara kesadaran-kesadaran yang diwariskan.
“Katanya,
satu dalam keadaan, hanya ingat Allah. Segala sesuatu, serahkan semuanya kepada
Allah. Titik yang Kami lihat, tidak dalam sebuah kepastian bila bukan karena
kehendak Allah. Semuanya menjadi satu kesatuan yang mewujud dalam satu
kehidupan yang manunggal. Kesedihan
memang kesedihan. Kegelisahan memang kegelisahan. Rasa kehidupan agar menjadi
sebuah perjalanan, bahwa hal tersebut ada. Ada karena ada dan tiada. Menolak
keadaan sebagai hal yang memang berada dalam satu kehidupan. Keyakinan, itu yang menjadi satu keadaan yang
hadir tetapi tiada. Resapi bahwa itu ada. Bukan hanya bolak balik dalam pikiran
yg fana.”
Mampukah manusia berada dalam keadaan fana.
Melepaskan keterikatan yang ada pada jiwanya atas dunia. Mampukah kita menetapi
takdir. Sebagaimana api menetapi panas. Lihatlah bagaimana manusia terus
berusaha merubah apa saja. Merubah kejadian yang diangganya tidak bersahabat
dengannya. Bagaimana setiap manusia dengan keinginannya masng-masing. Bagamana
manusia dengan segala metodenya, berusaha mewujudkan impiannya. Bagaimanakah
kemudian terpaksa Kami harus berbenturan dengan manusia. Tapi lihatlah
bagaimana teladan manusia. Bagaimana Rosul menyikapi takdir dirinya.
“Suatu
hal yang menjadi keadaan yang berbeda. Ketika Rasulullah berada dalam kepungan
perjanjian, dia menerimanya sambil terus berdoa. Proses yang panjang dalam
menerima suatu pembaikotan. Bila saja Muhammad bilang, hancurkan negri ini,
maka akan hancur seketika. Muhammad
memilih diam dan menerima semuanya sebagai ketetapan Tuhan. Penerimaan dengan
suatu keyakinan, bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Biarkan sistem alam
berjalan sesuai kehendak-Nya. Dalam urutan, penerimaan keadaan menjadikannya
sosok yang agung di antara para makhluk.”
Jalan cerita atas keinginan manusia adalah
sebuah pertanggung jawaban. Apakah mereka mengira bahwa mereka tidak
dimintakan pertanggung jawaban karena sebab keinginan mereka yang melampaui
batas? Perhatikan saja bagaimana mereka membuat jalan-jalan (agama) sebagai satu keharusan bagi semua orang yang akan dilewati
mereka? Apakah jalan kebenaran atas dasar jalan yang mereka prasangkaan benar? Tidak, jalan yang mereka tawarkan adalah kebiasaan. Hanya Keumuman dan kelaziman diantara mereka saja! Bukanlah jalan kebenaran. Aku terhenyak atas fakta ini.
“Ketika
hal yang menjadi sebuah jalan, bukan menjadi suatu tujuan. Hal yang menjadikan
hal tersebut suatu pemahaman bahwa itu menjadi keumuman. Tidak. Dia hanya mengklaim
sebagai suatu keharusan, tanpa melihat dengan pola yg sudah ditetapkan. Itulah,
kesaksian para khadam akan dihadapkan. Mereka datang dengan bayangan dan berkasan
sinar. Seperti suatu fenomena atau keajaiban. Padahal siapa pun bisa
melakukannya. Kekuasaan dan kebenaran yang menjadi pola bahwa itu yg mereka percaya, menjadi titik akan kehidupan yang terus berulang. Hal tersebutlah yang
menghancurkan.”
..
Ketika khadam dan juga kesaktian dianggap sebagai buah kesucian. Maka lihatlah bagaimana alam akan menyapa manusia? Bersambung...
Ketika khadam dan juga kesaktian dianggap sebagai buah kesucian. Maka lihatlah bagaimana alam akan menyapa manusia? Bersambung...
terima kasih sdh muncul kembali walaupun hanya dalam bentuk tulisan tapi sangat berguna bagi saya pribadi banyak pengalaman dan pemahaman cara pandang dan nilai milai positif yg bisa saya pahami salam hormat utk mas Arif Budi Utomo
BalasHapusSalam
BalasHapusRindu ini akhirnya terobati..
BalasHapussudah menjadi kemakluman sifat manusia bahwa hal yg pertama kali dipelajari itulah kadang yg menjadi kebenaran, selanjutnya saat dia bertemu sosok yg dianggap 'berilmu' dialah panutan dan saat mereka menjadi besar dan menjadi suatu komunitas atau kaum itu akan menjadi sesuatu yg sohih..
BalasHapusWelcome back mas arief
BalasHapustulisan2 bapak sepertinya terkoneksi nyata dengan saya..:)
BalasHapusSdh setaun lbh bru buka pondok ini.hmmm kangen mas
BalasHapusMenyimak.. Memahami sedikit demi sedikit
BalasHapus