Kisah Spiritual; Ini Jalan Pedang

Hasil gambar untuk kilatan bintang
“Jika kerinduan ini adalah  keinginan,
Bagaimana aku bisa datang padamu
Rinduku adalah penantian dalam kembara panjang
Muara ruang dan waktu yang berujung sepi
Bagaimana aku bisa ukur mampuku ?
Duh,
Maka katakanlah,
Apa yang harus kulakukan
Bila residunya saja sudah terlalu?”
+++
Mas Thole mencoba mengumpulkan sisa-sisa ingatannya. Bertanya dalam hati, apakah kisahnya kali ini layak disandingkan disini. Jika muaranya akan selalu begini ini. Apa makna yang bisa dijelaskan. Memasuki lintasan dimensi sama saja dengan memasuki belantara hutan rahsa.Selalu saja menyisakan banyak misteri. Dan berjuta pertanyaan di kemudian hari. Berasal dari dimensi manakah kerinduannya kali ini? Pedarannya mampu meliputi seluruh kesadarannya. Kepada siapakah ditujukan muatan energy dan rahsa  kasihnya? Berada diujung manakah lintasan kasih. Jika tidak di alam ini, dimana lagi, kemana lagi?   Apakah itu anugrah sebuah  rahsa ataukah hanya semisal bom waktu semata. Bagaimanakah menjelaskan belantara rahsa yang tiada ujungnya ini?
“Adakah ini inginku, apakah itu mauku ?
Ataukah setiap kerinduan harus mewujud  penantian?
Jika mengingatmu adalah kenistaan
Jika merindukanmu adalah siksaan
Jika hulu dari rahsa berupa kehampaan
Maka kemanakah aku harus mencari engkau
Jika setiap kali kupanggili namamu,
Maka maafkan saja  aku
Pahamilah manakala rindu meliputiku!“
+++
Dua kota terakhir dalam kisah perjalanan, Ujung Pandang dan kota Solo, adalah penantian usang sebuah harapan gersang. Maka dari itu, jika saja dua kota ini adalah sebuah awal dari kisah dalam peradaban nusantara baru. Jika dua kota ini adalah wakil dari keadaan kota lainnya. Bagaimanakah mencari titik temu rahsa di jiwa. Mengapa terasa berbeda antara kedua kota ini. Tarikan harapan, nuansa dendam dan pengkhianatan, meliputi udara kedua kota.Hingga diare, demam, sakit kepala, dan hembusan udara sesak meliputi seluruh sel-sel dalam sistem ketubuhan Mas Thole. Tak mampu rahsanya. Jika kemudian dia merebahkan badan di sebuah tempat kost anaknya di kota Solo itu. Sebab karena memang sedang menahan sakitnya. Rahsa benci, dendam, sakit hati, was-was, teramu di jiwa menjadi rahsa ketakutan atas sebuah tragedi yang sudah dan akan sudah dan  bakalan akan terjadi di negara ini sebuah ‘PEKHIANATAN’.
Ujung Pandang dan Solo,  adalah asal  kota tempat dari  Raja terpilih atas bangsa ini. Maka haruskah semua AWAL di mulai dari AKHIR?  Dua kota yang harus di datangi Mas Thole. Dua dimensi, dua dunia, dua keadaan, dua perupaan. Berjalan diantara gelap dan siang, meniti di kehampaan malam. Tiada lagi sedih, tiada lagi duka, tiada lagi nelangsa. Hampa dan hambar terasa. Dua kekuatan yang terbalik , dua keadaan yang menyulut kesedihan. Pengkhianatan, iri dengki, benci, dan kemunafikan. Begitu asal muasal energy peradaban bangsa ini. Sejak jaman para raja-raja jawa di nusantara ini.   Energy inikah yang berada diantara dua kota ini. Mengapa tarikannya mampu membuat Mas Thole luka dalam waktu lama.
“Maka pahamilah manakala rindu ini terlalu
Bukan saja indah matamu, atau putih kulitmu
Bukan juga halus tutur bahasamu
Bukan karena sebab itu saja,
Tuhan mencipta makhluk terindah
Itu masalahnya,
Maka wajar saja bunga, kupu-kupu, atau burung-burung
Malam juga merindu bau tubuhmu”
+++
Semua berawal di akhir, dan semua akan berakhir di awal. Maka putaran waktu akan pergulir dan terus dibalikan. Arah jarum jam berputar searah dalam putaran Mas Thole mengitari tempat semedi Paku Alam IX, di keraton Solo.Nampak dua sumur empat persegi yang terpisah disana, tempat Mas Thole mengambil air wudhu dan minum dua teguk air. Semua harus di putar dalam 7 putaran tawaf. Menembus di mensi raja-raja Mataram. Dimensi para raja yang sudah melahirkan kesadaran atas bangsa ini. Kesadaran para pembesar dan raja yang memberikan teladan atas arti pengkhianatan, permusuhan, pertentangan, perebutan kekuasaan, perebutan wanita. Nafsu keserakahan atas harta, tahta dan wanita. Mereka telah menjadi potret bangsa ini. Bangsa nusantara yang tidak pernah berhenti atas keduniawian. Maka perhatikanlah bagaimana kelanjutan generasi setelah mereka ini. Bilakah kententraman, ketenangan, keharmonisan antar suku, ras dan agama, bisa dinikmati?
Kesadaran keraton Solo menjadi daya dorong bagi kelanjutan bangsa ini. Kesadaran Mas Thole menghablur. Keriuhan keratin Solo menjadi hening, bisu tanpa suara. Gambar seperti diam tak terdengar. Kedua tangan seperti menempel di pohon beringin disana. Kuat menompang seakan khawatir pohon tersebut akan runtuh. Alam kesadaran Mas Thole mencoba menembus keadaan dimensi disana. Terpampang jelas nampak di mata, kesadaran kerajaan manakah yang saat sekarang ini tengah berkuasa dan bertahta. Yah, kerajaan Mataram. Energy kesadaran Mataram yang sekarang sedang berkuasa. Energy kesadaran yang berasal dari trah Solo.
Bagaimanakah keadaannya nanti, jika energy trah Mataram Solo berkuasa?  Terjawab sudah keadaannya nanti. Terbaca sudah pada sejarah yang terbaca disana, terpampang di pintu masuk depan keraton Solo. Sebagaimana susunan raja-raja jawa dan bagaimana mereka berkuasa. Maka nusantara akan dibangun sebagaimana  trah kerajaan Solo. Bagaimana kekuasaan mereka di tegakkan. Perhatikan saja kisah-kisah mereka. Begitulah keadaannya nanti. Tidak akan lama lagi semua akan terjadi. Hal yang sama saja keadaannya bagi trah lainnya. Trah Majapahit, Sriwijaya, dan seluruh kerajaan nusantara. Para raja membangun kekuasaan diatas pilar-pilar permusuhan danketakutan atas pengkhianatan.
+++
“Adakah kisah ini layak disandingkan? Bukankah hanya semisal khabar kesedihan lainnya. Sebuah ironi dan ketidak percayaan diri. Sebuah kegamangan atas ketidak yakinan. Pesimistis dan kekhawatiran semata. Lantas apa gunanya? “Begitu akal menghakimi rahsa. Tak peduli seperti apa? Apalagi bertanya mengapa? Semua sama saja bukan? Ya, akan sama saja keadaannya. Adakah yang akan mengerti bagaimana keadaan jiwa ini saat mendapatkan khabar-khabar yang selalu saja sama? Kisah-kisah yang terpola dan sama saja akhirnya. Dari tahun ketahuan selalu saja begitu. Dari musim ke musim selalu saja itu-itu. Khabar Al qur an adalah berita yang di ulang-ulang.Khabar bagaimana ulah manusia, bagaimana keadaan mereka nanti. Bagaimana kesudahan bagi mereka yang aniaya. Semua ada dalam hukum surga dan neraka.
“Lihat disana gadisku,
Perahu para penggali pasir
Anak-anak bersorak di tepinya
Menunggu langit terbuka”
Ingatan Mas Thole menerobos beberapa saat sebelum dirinya berada di keraton Solo. Saat mana dia bersama beberapa kawannya di Ujung Pandang. Menanti langit terbuka di perairan laut pantai  Tanjung Bayang. Menanam pohon keabadian di pasirnya. Sambil menunggu jatuhnya bayang dari matahari yang terluka. Berdoa semoga yang Maha Kuasa berkenan memberikan ridhonya atas upaya. Keindahan alam semestayang  tercipta disana. Melihat matahari terbenam dan kilau cahaya yang redup ditutup tabir malam.  Bukankah itu adalah sebuah keadaan?  Bukankah pertanda atas restu alam. Penanaman pohon kesadaran di terima langit dengan suka. Karenanya setelahnya panorama menjadi indah sekali.
Mengapakah keadaannya berbeda sekali saat dirinya masuk ke kota Solo. Energy yangmenyambut dirinya adalah energy yang tidak bersahabat. Menimbulkan gamang, dan rasa bingung.  Hingga sampai dua kali Mas Thole salah masuk ke gerbong kereta. AKhirnya harus kembali ke gerbong awal pertama dirinya salah bertanya. Kesalahan yang kelihatan biasa. Seperti salah membaca kursi tempat duduknya. Keadaan yang terus berlanjut hingga sampai sekarang ini. Lintasan yang terus menggempur pertahanan keimanan dirinya. “Adakah rahsa ini harus dinista? Aku berdiri diatas kegelisahanku sendiri. seperti orang yang tengah patah hati. Bukannya aku sedang putus asa. Atau terjatuh ke dalam lembah cinta buta.  Bukan karena itu! Sesungguhnya aku sedang memaknai bagaimana sesungguhnya CINTA itu”
Rahsa yang satu ini menjadi daya dorong bagi manusia. Bagi pergulatan rahsa di jiwa. Menjadikan manusia tak mengenali bapaknya. Bahkan tak peduli juga pada Ibunya. Cinta, kuasa, dan juga harta adalah triple helix yang sulit  di cari padaannya. Semua berguliran pada jiwa manusia. Hingga manusia harus nelangsa dibuatnya. Merasa papa dan juga nista keadannya. Lantas untuk apa sekarang harus di puja? Yah, sebab tanpa ketiga elemen ini, dunia tidak berarti apa-apa manusia. Hampa tanpa cinta, hambar tanpa kuasa, tak berdaya tanpa harta. Begitulah romantika anak manusia. Bagaimana menjelaskan keadaanya?
+++
Tak tahan atas keadaan, tak mampu mengelak atas kepastian. Seluruh dimensi di jelajahinya sampailah pada suatu kesimpulan. Ini jalan PEDANG. Bilakah pasukan nusantara baru sudah siap keadannya? Tak akan lama lagi adalah perang. Kesadaran murni harsu dilindungi dari keserakahan dan amuk rahsa para durjana. Masih kekurangan pasukan kerajaan nusantara baru dari barisan para Jin Islam. Di hubungilah Tribuana Tungga Dewi, dimintalah kesediaannya untuk mengumpulkan mereka semua. Di bawah panji-panji Majapahit. Mereka adalah pengawal setia kerajkaan Majapahit yang semenjak dahulu telah berkerjasama dengan Tri Buana Tungga Dewi. .  Mas Thole sudah kenal 7 kerajaan diantara mereka. Iskandar raja Jin yang selama ini sering ber silaturahmi kepadanya. Melalui diirnya udanngan disebarkan. Maka dimintakan kepada mereka pasukan kerajaan Jin Islam untuk tyurut mengawal lahirnya kesadaran baru.
Lengkap sudah pasukan nusantara baru, dari golongan Khodam, dari golongan Jin, Kesatria, Brahmana, leluhur, dari seluruh kerajaan yang berjumlah 700 lebih di nusantara ini.  Masih di tambah dari atlantis dan juga banyak makhluk tak tersebut lainnya yang sudah bersedia membantu perjuangan atas lahirnya kesadaran nusantara baru. Bukankah seharusnya dnegan ini Mas Thole bergirang hati? Mengapakah gundah masih saja menggayuti.
“Jika kerinduan ini adalah  keinginan,
Bagaimana aku bisa datang padamu
Rinduku adalah penantian dalam kembara panjang
Muara ruang dan waktu yang berujung sepi
Bagaimana aku bisa ukur mampuku ?
+++
Mampukah Mas Thole menjawab kegundahan rahsanya sendiri? Biarlah waktu yang akan menjelaskan itu. Perjalanannya ke Karang Hawu di Pelabuhan Ratu sudah menunggu. Dia harus bertemu dengan Ratu Kidul untuk menyerahkan Air Amarta. Namun kebimbangan atas rahsa itu masih begitu. Mampukah Mas Thole menyelesaikan lintasan yang sekarang ini meliputi dirinya?
“…Jika takdir semisal  kilatan PEDANG
Dengan apakah kita menghindar?”  

wolohualam

Komentar

  1. Begitupun ditataran nyata, banyaknya moncong senjata mengarah ke negeri ini
    Smakin nyata mereka ingin menguasai lagi
    Bangsa ini digempur dari luar dan dalam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali