Bencana dan Musibah 'SPIRITUAL' (The Chronicle Spiritualism) (6)


Hasil gambar untuk letusan kawah dieng

Suasana panas membakar, angin terasa kering di kulit. Mas Thole berada di sebuah kota, setelah lama dia berada di lereng pegunungan Dieng. Kota kecil yang mati, disana ada sebuah pantai tempat dimana Mas Thole kecil sering bermain. Sebuah pantai yang menjadi legenda masyarakat di sekitarnya. Tumbuhnya bunga Wijayakusuma di sebuah batu karang di ujung pulau yang disebut pulau nusakambangan, telah menjadi legenda. Konon bunga tersebut telah di petik oleh Presidan Soeharto. Legenda tersebut  menjadikan pantai ini dipenuhi hawa mistis. Apalagi debur ombak yang kurang bersahabat. Ditambah adanya papan larangan untuk mandi. Lengkap sudah pantai ini menjadi pantai mati. Mas Thole kecil pernah digulung ombak hingga jauh ke lepas pantai, untunglah Ibunda laut pantai selatan masih berkenan menolongnya. Hingga ombak secara otomatis membawanya ke pinggiran.

Bila malam tiba, anginpun begitu dingin meniup pori-pori. Kerasnya suara dentuman ombak bagai suara pengiring lagu perang yang siap menghantarkan kematian bagi para pejuang. Yah, pantai ini memang sangat mistis keadaannya. Pantai pesisir yang semakin mendekat ke daratan itu bernama pantai Teluk Penyu. Sepanjang pengalaman  Mas Thole,  pantai ini paling berkesan dalam kesadarannya, dibanding pantai-pantai lain yang telah dia kunjungi. Sebelumnya dia dan keluarganya baru saja menginap di sebuah pantai di Gunung Kidul. Pantai Teluk Penyu termasuk wilayah  laut pantai laut selatan, konon disana sering terjadi penampakan Ratu Kidul dan juga Nyai Roro Kidul. Setiap tahun masyarakat mengadakan ritual sedekah laut, sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Diujung pulau ada sebuah batu karang yang terpisah, Karang Bolong, namanya. Bunga Wijaya Kusuma tumbuh di batu batu karang disana. Bunga tersebut hanya akan mekar di waktu bulan purnama, dan konon siapa yang mampu memetiknya akan menjadi raja.  Mitos masyarakat disana, setelah mekar daun-daun akan guru, dan daun yang berjatuhan akan berubah menjadi ikan. Ikan  Dawah (Jatuh) namanya. 

Pulau Nusakambangan adalah pulau yang menahan keganasan ombak pantai selatan, agar tidak menerjang kota. Sejarah telah mencatat perjuangan pantai ini. Disana juga terdapat sebuah benteng peninggalan Belanda. Pusat pertahanan ini ada diseputar pulau berupa meriam-meriam besar yang masih utuh disana. Mas Thole dibesarkan di pantai itu. Sering dia bermain di bekas kapal yang tenggelam akibat hantaman meriam.  Kapal yang mungkin berumur ratusan tahun. Bangkai kapal perang dahulu jelas sekali. Kini sudah hilang tertutup ombak. Pantainya kini semakin mendekat ke daratan. Tidak ada lagi tempat yang bisa dijadikan bermain. Biasanya Mas Thole kecil akan mengejar-ngejar kepiting pantai yang membuat lubang di pasir. Nampak jelas dalam gerakan lambat, bagaimana saat dirinya bermain-main sekedar melepaskan penderitaan.  Kedatangan saudara-saudaranya yang saat itu menjenguk dirinya saat liburan masih bekas dalam ingatan. Entah mengapa Kami membawa kembali Mas Thole ke kota itu. “Pembelajaran apakah yang ingin dihadirkan Kami?”  Mas Thole menggeleng tak pahami.

Sambil mencari penginapan di kota tersebut, Mas Thole terus asyik dalam perenungannya, mengeksplorasi diri. Mencari jejak-jejak residu yang mungkin masih tertinggal di memorinya. Yah,  sejak kemarin terjadi benturan pemahaman dengan sang putri. Sepanjang hari dan sepanjang waktunya, Mas Thole terus menelisik kesadarannya. Sebuah prasangka harus diuji kebenarannya. Begitulah tekadnya. Benarkah dalam jiwanya masih bertengger ego diri, benarkah diri masih memuja harta, tahta dan juga wanita. Walau kejadiannya itu sudah lewat seminggu. Tak mengapa, semua harus dijalani sebagai sebuah laku. Bagiannya adalah instrospeksi diri. Bukankah segala sesuatu datangnya dari Allah? Termasuk chat sang putri dan juga, ujaran kebencian yang terus membombardiri kesadaran ini. Pasti ada penjelasan mengapa semua itu terjadi pada dirinya. Allah tidak akan mengutus makhluk-makhlukNya (semisal Iblis yang datang itupun atas ijinNya), ya benar,   jika jiwa manusia sudah mengerti dan memahami hikmah pengajaranNya. Maka Kami tidak akan mengulang pembelajaran ini.

...

Tengah malam Mas Thole terbangun. Ada suatu daya yang membangunkan dirinya. Sejenak Mas Thole mengumpulkan kesadarannya dan mulai membuka mata batinnya. Ada utusan dari laut pantai selatan. Mereka datang lengkap dengan rombongan dan juga kereta kencana.  Lirih Mas Thole berucap sambil membungkukkan badannya, keharuan terpancar dari nada suaranya. “Selamat datang Ibu…” Suara seperti tercekatlah di kerongkongan. Terjadilah dialektika transendental. Pembicaraan yang hanya bisa dipahami oleh Mas Thole sendiri. Entitas tersebut diminta Kami untuk mengundang  Mas Thole ke laut pantai selatan, ke Segara Anakan malam itu juga. Mas Thole pun menyanggupi. Mas Thole segera bergegas, sebelumnya dia sholat malam terlebih dahulu baru kemudian dia berjalan kaki menuju ke pantai teluk penyu. Suasana masih benar-benar sunyi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Dari hotel perjalanan ke pantai kurang lebih 1 jam berjalan kaki.

Mas Thole melewati beberapa kelokan baru sampai di pantai. Dilewatinya rumah bekas neneknya dahulu, dirinya pernah tinggal disana dalam waktu yang lama. Rumah itu sekarang tanpa penghuni, bagai rumah hantu. Ditinggalkan oleh saudara-saudara ayah Mas Thole. Menjadi rumah tua. Keluarganya ingin menjual saja rumah tersebut. Entah mengapa tidak ada keinginan Mas Thole membeli rumah warisan tersebut. Padahal kepadanya diberikan harga sangat murah. Selang beberapa saat, sampailah di pantai. Sesampainya di pantai, dibentangkanlah tangannya lebar-lebar. Dibiarkannya udara pantai laut selatan menghantam dadanya yang terbuka. Sesaat kemudian. Suara angin menderu. Ombak semakin keras benturannya. Namun Mas Thole tetap dalam meditasinya. Angin berputar di sekeliling Mas Thole. Terdengar suara penjual mengeluh dengan angin yang tidak biasa malam itu. Mas Thole juga tidak mengerti mengapa begitu. Alam seperti menyambut kedatangan Mas Thole dengan suka cita. Apakah itu hanya perasaannya saja? Mungkin saja begitu. Mas Thole tidak ingin larut dalam pertanyaan. Dirinya harus segera memasuki alam dimensi untuk mendapatkan pemahaman dan pengajaran. Sebab Mas Thole tahu, sang Ibu sendiri yang datang kepadanya dan berkenan memberikan pengajaran. 

Memasuki alam kesadaran, keadaan tanpa jeda waktu. Ruang menjadi tak berjarak. Mengapakah pelajaran, itu, itu, dan itu lagi harus diulang-ulang lagi? Mengapa terjadi lagi fase pengulangan? Apakah pembelajaran kehidupan yang sudah dilalui dengan aneka ragam dinamikanya masih belum menjadi ukuran keberhasilan? Pembelajaran yang sudah hampir setengah abad. Hiks!. Apakah Mas Thole  harus mengulang? Betapa berat pembelajaran Kami ini. Sungguh jalan terjal dan mendaki. Mengapa masih saja harus diulangnya lagi. Sungguh, kulit ini rahsanya sudah terkuliti beberapa kali. Yah, pembelajaran atas anggapan dan prasangka.  Inilah pembelajaran spiritual yang terus diulang-ulang. Menganggap dan dianggap. Dua entitas kesadaran yang merajai  jiwa manusia. Mengapa manusia selalu ingin menganggap orang lain begitu dan begini. Mengapa diri tidak pernah mau dianggap begini dan begitu. Sebab apa kita senantiasa ingin dianggap itu dan ini. Aduh...!

Mengapa selalu saja muncul prasangka atas jalan yang dia lalui? Mengapa ya robb? Adakah yang salah. Mas Thole diam membiarkan dialektika yang terus menghujam di sanubarinya. Teringatlah bagaimana laku sang Ayah. Jika dibandingkan, mungkin apa yang dilakukan Mas Thole belum ada apa-apanya. Ya ayahnya menjalani laku sebagaimana para leluhur jawa. Portal-portal kesadaran sudah dia kunjungi. Tempat para jin, siluman, dan segala entitas di nusantara telah dia dayangi. Tempat-tempat yang wingit dan tidak dijamah manusia menjadi rumahnya. bayangkan minimal dia bertapa,  berdiam di tempat tersebut selama enam bulan, melakukan pati geni. Adakah Mas Thole mampu melakukan laku spiritual model itu? Bertapa dengan segala model yang beliau jalani. bahkan masih dalam ingatan Mas Thole saat terakhir kali, ayahnya menjalankan laku jalan kaki mengelilingi pulau jawa tanpa alas kaki. Yah, Ayah  Kandung dan Ayah Sambung Mas Thole melakukan itu. 

Semua laku spiritual kejawen dia jalani kedua ayahnya. Apakah yang kurang? Namun apa kenyataannya, membahagiakan istrinya tidak bisa. Laku yang dijalaninya tidak membuat orang lain senang. Bahkan akhirnya dia sendiri di tinggalkan oleh istrinya. Begitukah anugrah atas laku spiritual? “Aduh, bagaimana ini..?”  Dimanakah letak kepuasaan manusia itu? Apakah dengan harta? Apakah manusia bisa dipuaskan dengan tahta, atau dipuaskan oleh wanita? Lihat dan pahamilah, seperti apakah perilaku manusia. Lihat di alam nyata, dan juga pahami di kisah-kisah peradaban sebelumnya. Bagaimana manusia memuaskan dirinya. Apakah hasilnya mereka puas hidup didunia? Adakah manusia yang puas atas apa-apa yang dimilikinya? “Tidak! Tidak ada!” Lantas bagaimana caranya Mas Thole ingin memuaskan semua manusia? Jawablah kalau bisa!

Kesadaran ini menghujam begitu dalam di sanubari Mas Thole. Akankah dirinya mampu memuaskan semua orang? Memuaskan dirinya sendiri saja dia kesulitan. Lihatlah keadaanya. Apakah dirinya puas dengan hasil laku spiritualnya saat ini? Bukankah dirinya justru beranggapan bahwa spiritual itu adalah musibah bagi kesadaran manusia? Bukankah sebelumnya dia sangat antipati dengan spiritualisme. Mengapa sekarang dirinya berbalik, kembali mengikuti laku sang ayah? Apakah dengan mengikuti laku sang ayah kemudian dirinya menjadi puas? Tidak! Justru dirinya memasuki alam-alam dimensi yang lebih menyiksa lagi. Apakah dirinya harus berpaling lagi dan kembali ke realitas? Kemudian meninggalkan laku spiritualnya? Manusia seperti apakah dirinya yang terbolak balik seperti ini? Bukankah sudah ditunjukan berbagai bukti dalam setiap perjalanan spiritualnya? Masihkah dia akan berpaling dan ingkar? Sungguh amat berat hukumannya.

“Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kalian kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash [28]: 56)

“Dan barang siapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur’an), kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya.

Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”. (Surat Az-Zukhruf: 36,37)

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba Nya. Dan Dia Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui.”  (Surat Al-An’am: 17,18)

Satu demi satu diulangnya pembelajaran dari Kami. Sang Ibu terus memperhatikan, saat Mas Thole berusaha mengunyah pelan-pelan. Meskipun pembelajaran tersebut membekaskan rahsa sakit yang luar biasa di jiwa. Tak apalah, jika memang harus dijalani. Satu demi satu rahsa kehilangan di hadirkan pada diri, kehilangan tahta, kehilangan harta, dan kini kehilangan kecintaan pada sahabat-sahabatnya. Semua kecintaannya hilang satu demi satu, semua  diambilNya. Dibiarkan diri ini dalam kesendirian. Tanpa teman, sahabat, atau kekuasaan, bahkan tanpa penghasilan. Namun itu semua adalah pembelajaran Kami sebab Mas Thole tidak pernah mau masuk secara sukarela di ranah spiritualitas. Sukarela atau terpaksa Kami akan memberikan pembelajaran kepada manusia demi kesempurnaan jiwa manusia itu sendiri. Ini adalah sumpah Kami. 

Sungguh jika Allah menghendaki kemudharatan bagi diri tidak ada satu makhlukpun yang mampu menolaknya. Begitu juga seadainya Allah menghendaki kebaikan pada diri ini maka tidak ada satu makhlukpun mampu menahannya. Diri Mas Thole dipaksa untuk mau menerima takdir, diri dipaksa untuk menyerah, berserah diri atas apapun kehendakNya. Apakah Allah akan menjadikan diri Mas Thole itu gunjingan, menjadikan dia itu pesakitan dan luapan emosi orang, mau menjadikan Mas Thole apa saja itu adalah kekuasaan Allah semata. Maka jika semua makhluk di dunia misalnya akan membenci Mas Thole itu sekalipun itu adalah kehendak Allah. Di tanganNya tergenggam segala sesuatu. Maka apa yang diterimanya ini adalah bentuk kasih sayangNya. Kebencian makhluk adalah kasih sayang Allah agar Mas Thole cepat-cepat berlindung kepadaNya. 

Hujatan dan makian adalah bentuk kasih sayangNya juga, agar Mas Thole tidak merasa besar kepala dan sombong atas hasil pembelajaran spiritualnya itu. Semua dimaksudkan agar Mas Thole kembali menelusuri jejak kesadaran pada DNA yang dimilikinya itu, Apakah tidak patut disyukuri? Kemudian selayaknya dia mengucapkan terima kasih kepada para gurunya itu. Yaitu orang-orang yang mengajarkan arti KEBENCIAN itu. Tanpa dirinya Mas Thole tidak akan mampu mengenali rahsa benci yang menyergah kesadarannya. Manusia sering terlalu menyandarkan kesadarannya kepada anggapan manusia lain. ANggapan suci, anggapan baik, anggapan benar telahmenjadi kebutuhan jiwa mereka. Maka jika dirinya tidak dianggap suci maka jiwa manusia resah. Demikianlah yang dialami Mas Thole. 

Kemelakatan atas anggapan. Itulah pokok permasalahan. Takut tak dianggap. Resah rasanya tidak dianggap baik, ramah, sholeh,  tidak bla..bla.. Dan lain-lain. Begitulah keadaan jiwa manusia. Manakala dirinya terlalu menyandarkan kepada anggapan orang, maka akibatnya amuk rahsa jadinya. Rahsa sakit jika tidak dianggap. rahsa tidak dihargai. Inilah kemelekatan terhadap anggapan orang. Pelajaran ini sesungguhnya yang sedang ditunjukan Kami. Bahwa ternyata Mas Thole masih sering bersandar kepada manusia. maka ketika orang-orang yang dicintainya, yang sudah dianggap sebagai keponakannya sendiri melukainya. Kesakitan yang dialami tak mampu ditahannya lagi. Pisau kata-kata itu. Telah merobek urat nadinya. Menusuk sangat dalam. Menguliti dinding jantung dan melukai iganya. Luar biasa sakitnya. Berhari-hari bahkan seminggu masih saja terasa. Semakin luka dan bernanah keadaanya. 

Duh, jiwa Mas Thole belum benar-benar lurus kepada Allah! Itu baru disadarinya. Benar bahwa jiwanya selalu menginginkan yang terbaik, untuk keponakan-keponakannya, namun sayangnya keinginan yang baik  ini membawa respon sebaliknya. Maka kekecewaan menghantam dirinya, bagai palu godam, menggedar jiwanya. Hukum aksi dan reaksi bekerja disini. Keinginan menjadi baik akhirnya melukainya. Luka ini lebih karena disebabkan dalam relung hatinya ada harapan. Harapan yang tidak sejalan dengan realitas, menjadikan pukulan yang mematikan. Anggapan ini akhirnya hanyamenjadikan pengejaran bagi jiwa manusia. Persepsi baik itu sendiri menjadi tujuan dalam persahabatn. Manusia dalamkeadaan semisal ini. Pengejaran atas anggapan orang lain menjadi bagian peribadatan mereka. Sesungguhnya manusia tidak sadar bahwa itulah kesirikan. Islam menyebutnya ini sebagai RIYA dalam niat. Dan SIRIK dalam dimensi ruhani.

...

Lihatlah keadaan jiwa manusia,  saat dirinya dianggap ini  oleh si itu dan itu si ini, keadaan jiwanya menjadi gelisah. Amuk rahsa di jiwanya. Akalnya mulai mencari pembenaran atas apa-apa yang telah dilakukannya sebagai pembelaan agar dirinya terbebas dari anggapan. Disinilah letak kekeliruan besar manusia.  Maka perhatikan saja kesudahannya. Betapa sibukklah manusia mencari pembenaran dari sana dan sini. Luar biasa sekali amuk jiwa ini. Reaksi mempertahankan diri begitu kuatnya. Akal dan logika menajdi mati. Demikian pembelajaran sang Ibu yang menohok kesadaran Mas Thole. Keyakinan manusia disandarkan kepada anggapan orang lain. Hijab inilah yang ingin dibuka. Manusia mencari perlindungan dari manusia lain. Sebab dirinya takut tidak dianggap ini dan itu oleh manusia. Maka lihatlah di dunia maya, pamer status menjadi tren saat sekarang ini. Kebutuhan atas anggapan ini telah menjadi Tuhan bagi kesadaran manusia.

‘Di-anggap dan meng-anggap’ menjadi dilemma yang tak berkesudahan bagi kesadaran. Pada diri manusia,  ada yang takut tak dianggap namun sebaliknya dalam jiwa manusia juga ada entitas yang senantiasa ‘menggagap’ orang lain sesuka-suka dirinya. Dia akan marah dan mengamuk jika dirinya tidak dianggap ini dan itu, maunya jiwa dianggap ini dan itu, mau yang enak-enak saja. Namun  sebaliknya dirinya akan dengan seenak-enaknya menganggap manusia lainnya ini dan itu. Sesuka-suka mereka, tanpa merasa bersalah, jika telah menyakiti dengan prasangkaannya itu. Maunya manusia seneak-enaknya saja.  “Hadeh…pelik sekali rahsanya.”  Mas Thole mencoba sedikit mengendorkan syaraf-syaraf nya yang mulai menenggang. Mencoba mencari pijakan di bumi ini. Begitu akut penyakit pada hati manusia. Penyakit yang menjadi benalu di kesadaran. Manusia mencintai anggapan atau prasangkaan orang lain. Berharap prasangkaan orang itu akan sama dengan harapannya. Manusia ingin selalu dianggap benar, suci dll. 

Kecintaan akan 'anggapan' itu telah membutakan manusia dari hakekat kekuasaanNya. Manusia mencintai anggapan ini, melebihi kecintaan akan Allah, artinya anggapan orang akan menjadi tujuan gerak peribadatan, inilah Tuhan manusia selain Allah. Mereka memintal kecintaan ini seperti laba-laba yang membuat sarangnya. Mereka beranggapan kontruksi rumah laba-laba ini kuat. Sungguh manusia keliru!

...


Jalur menunju ke Jakarta masih lengang. Sepanjang perjalanan di putar balik keadaan jiwanya. Disatu sisi ada entitas yang tidak mau dianggap ini dan itu, namun disisi sebaliknya ada sisi jiwanya yang selalu saja begitu. Selalu saja tidak lepas jiwanya menganggap manusia lainnya ini dan itu. “Bagaimana ini?” Betapa dualitas prasangkaan ini tengah menjadi pembelajaran kesadaran Mas Thole. Pembelajaran dualitas yang sekaligus bersamaan datang. Inilah yang rupanya memaksa Ibundanya datang kepadanya untuk mendampingi. Sebab efeknya bisa sangat berbahaya bagi jiwa Mas Thole. Bisa jadi kesadarannya akan lenyap jika tidak didampingi. Bersyukurlah Kami telah mengutus Ibundanya sang Ratu Pantai Selatan untuk mendampingi pembelajaran Mas Thole di alam kesadaran. Sebagaimana selama ini jika dibutuhkan beliau akan hadir untuk mendampingi semua manusia yang yakin adanya eksistensi dirinya.

Mungkin orang melihat bahwa pembelajaran yang dialami Mas Thole adalah kejadian biasa-bisa saja di alam realitas. Namun tidak bagi alam kesadaran. Pembelajaran ini sungguh menentukan mati dan hidupnya kesadaran. Jika salah memkanai maka kesadaran Mas Thole akan masuk ke lorong hitam (black hole). Bisa dibayangkan di alam realitas Mas Thole akan menjadi orang oon, atau lebih parahnya adalah orang gila. Kesadarannya tidak akan ada di raga terkininya lagi. AKibatnya dirinya tidak akan mampu membedakan benar dan salah, raganya akan berjalan sebagaiman instingnya saja Yaitu makan dan minum serta tidur saja. Tidak ada lagi ruh disana. Betapa berbahayanya. Mendapatkan musibha spiritual, mendapatkan bencana spiritual, menjadi orang GILA di realitas manusia. Inilah resiko berjalan di alam kesadaran atau spiritualitas.

...

Yah, kesadaran kita juga sering tertipu dengan pandangan mata. Mas Thole mendapatkan pembelajaran ini. Dirinya berkali kali, sering menganggap bahwa orang yang melakukan ibadah sholat adalah orang yang suci dan bebas dari kesalahan. Dirinya pernah mengkultuskan orang-orang yang luar biasa ini. Beranggapan bahwa dengan peribadatannya itu, orang tersebut akan berperilaku baik. Tidak menipu, tidak berzina, tidak merugikan orang lain dan lain sebagainya. Allah menunjukan pemeblajaran bahwa orang tersebut mampu melakukan itu semua berkat ijin Allah semata. Jadi kepada Mas Thole diberikan pemahaman bahwa jangan melihat luarnya saja. Namun perhatikanlah bagaimana dirinya bermuamalah, nanti kita akan paham seperti apakah akhlak sebenarnya. Berulangkali Mas Thole tak pahami hal ini. Tetap saja mengkultuskan orang-orang yang melakukan peribadatan luar biasa. Mereka yang ahli agama, mereka yang ahli ibadah. Dll. Sampai datang pengajaran Allah bahwa mereka sama saja dengan manusia lainnya.

Pembelajaran demi pembelajaran telah dilalui, semoga pembelajaran yang melelahkan ini menjadi pengajaran yang penting untuk langkah berikutnya. Butuh waktu memahami ini. Sepanjang perjalanan Mas Thole merenungi ini. Memasuki neuron syaraf-syarafnya sendiri. bahkan membuka folder-folder pada DNA nya sendiri. Semoga musibah spiritual ini tidaklah menjadi bencana, namun menjadi anugrah bagi alam semesta. Apa yang kita lihat baik belum tentu baik bagi kita dan apa yang kita lihat buruk belum tentulah buruk. Janganlah tertipu dengan pandangan mata. Janganlah menganggap orang lain itu lebih baik dari kita sehingga kita melalupakan anugrah Tuhan. Namun sebaliknya, janganlah anggapan orang juga kemudian membuat kita lengah dan menjadikan anggapan tersbeut sebagai pengejaran dalam spiritual. Allah yang membolak balikan hati manusia. Belum tentu orang yang ahli ibadah puluhan tahun akan sama keadaannya di esok hari. Jika ALlah berkehendak di balikan hatinya, maka dia akan menjadi manusia hina sebab melakukan kemaksiatan tanpa mapu dicegahnya. Dan demikian pula sebaliknya. 

Begitulah inti pengajaran, janganlah sedih dengan anggapan orang, sebab mereka sama saja dengan kita. Mereka manusia biasa yang tengah menghadapi problematik dan dinamika yang sama dnegan manusia lainnya. Belum tebtu mereka lebih suci dari kita, namun belum tentu pula kita lebih baik dari mereka. Bersikaplah biasa dalam menanggapi hujatan. Hakekatnya mereka sama saja dnegan kita sedang dalam pembelajaran dan pengajaran Kami. Biarkanlah Kami yang mengajari manusia. Kasihanilah mereka, mohon ampunlah kepada Allah. Setelah mendapatkan pemahaman ini, lega sudah hati Mas Thole. rahsanya telah selesai pembeljaran Kami sepanjang perjalanannya kali ini. Saatnya Mas Thole harus kembali pulang. Diajaknyalah keluarganya untuk kembali ke Jakarta. sebelumnya mereka mampir sebentar di keluarganya yang sedang menyusun silsilah keluarga. Semakin dipertegas garis keturunan Mas Thole. Trah Majapahit mengalir dalam darahnya. Itulah kehendakNya.


Kendaraan Mas Thole baru saja keluar dari penginapan. Saat itu, hari sudah selewat dhuhur. Belum ada seperempat minum teh, Xenia putih melaju di jalan nasional. Mendadak Mas Thole dikagetkan dengan meletusnya gunung Dieng. Sudah lama gunung ini tidak bereaksi sedemikian marahnya sampai-sampai ada 10 orang meninggal. Kejadian ini benar-benar memukul kesadaran Mas Thole. Sebab baru saja sehari dia berada disana. Dieng sangat lekat dalam perjalanan spirtual Mas Thole. Ratu Shima disana! Mengapa Dieng murka? Apakah ada kaitannya dengan anak keturunannya yang telah mengabaikan dan menafikan eksistensi dirinya. Mengapa meletusnya Dieng bertepatan dengan selesainya pengajaran Mas Thole. Apakah ini kebetulan?  Ataukah ini sebuah teguran bagi para kesatria yang telah berpaling dari pengajaran Kami. Sungguh amat berat jika para kesatria berpaling setelah datang petunjuk kepada diri mereka. Demikianlah pesan.

Mas Thole hanyalah penyampai pesan, dan mengkhabarkan atas apa-apa yang dipahaminya. Mas Thole tidak mampu berbuat apa-apa. Semua kembalinya kepada jiwa manusia. Dan semua ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka sendiri. Mas Thole hanya mampu berdoa atas keselamatan mereka Alam akan mencatat perjalanan ini sebagai sebuah kepastian. Alam menjadi saksi atas pembelajaran Bani Adam. Bagaimanakah manusia manakala mereka berpaling dari pengajaran Kami?!? Alam akan memberikan tanda-tandanya. Tanda yang dengan mudah terbaca bagi mereka yang menggunakan hati. Kepastian ini sudah ada dalam buku catatan. Bukalah hati! Atau tunggulah saatnya! "Kami menunggu bersama mereka yang menunggu. Saatnya pasti akan tiba. Bagi mereka yang berpaling dari pengajaran Kami. Tunggulah saat-saatnya itu!" Demikian pesan Kami.

TAMAT


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali