Mantram Gajah Mada (1), Episode Jejak Langit Yang Terlupa
Pati ajining luhung budi
Tan sirno sakjroning ati
Siro lan manungso, yo jalmo
podo
Tumindak no, tomindak Gusti
+++
Terlelap dalam lautan emosi, tinggalkan
mimpi. Bende Mataram telah di tabuh lagi, bertalu menyambangi waktu yang tidak menanti
lagi. Majapahit jauh dan terlihat hanyalah ilusi. Sumpah Palapa Mahapati tak
terasa gaungnya. Ketika jutaan manusia menuju istana di jaman terkini. Entah
lakon apa yang akan manusia mainkan lagi. Entah apa yang ingin manusia
perjuangkan lagi. Adakah diantara mereka disana mau bersumpah kepada bumi? Ataukah mereka akan berpaling lagi dan tidak mau menepati janji sesaat setelah terpilih
khalifah nant? Benarkah banyak manusia berjanji hanya kepada egonya sendiri?
Entahlah, cakra manggilingan terus berputar,
menjadi penyaksi atas kisah dendam dan rindu para insan manusia yang sering tak
pahami mengapa semua harus terjadi. Mengapa mereka mau berjalan kaki hanya
untuk mengenang kembali sebuah kisah yang tak mungkin kembali? Kisah heroik yang selalu akan menimbulkan perdebatan tentang benar dan salah. Sebagaimana kisah Perang Bubad yang kemudian telah dipolitisasi. Ironi pasti akan selalu terjadi. Hiks...!
+++
Majapahit dengan segala kemegahannya telah
luluh lantak. Hanya tinggal dongengan dan kenangan bahwa disana ada anak-anak
manusia yang rela berjanji demi Ibu Pertiwi. Kisah yang murni, bagaiman sebuah
hati berjanji. Sebuah kisah Sumpah Sakti dan kisah ini dihantarkan lagi.
Kalamana ikrar dan janji telah diberikan oleh
manusia sakti. Maka hingar bingar sorak sorainya lautan manusia memaksa kisah
ini diulang lagi. Perjalanan yang di mulai dari sisa-sisa jejak langit yang terlupakan di bumi Pulau Dewata. Atas bantuan perbekalan dari seorang kawan.
Kisah perjalanan menyusuri spirit yang terbuang dan dilupakan kembali di hantarkan. Sebuah kisah perjuangan anak manusia yang demikian mengharukan dan juga memilukan. Di tengah puncak kekuasaan justru dirinya merasakan kesepian yang luar biasa sekali. Kesepian yang telah membunuh dirinya sendiri. Kisah yang tidak tercatat pada kesadaran manusia. Kisah yang ingin diluruskan oleh para pelakunya sendiri yang datang menyambangi. Disini di majelis ini, akan dihantarkan kisahnya secara berseri.
+++
Gajah Mada?
Ah, lama nama ini tak muncul lagi dalam
kesadaran. Tidak! Walau meskipun hanya
sebuah spirit saja. Serasa mimpi saja manakala kemudian kesadaran tersebut
muncul lagi, melalui pesan singkat yang datang di malam hari dari seorang
kawan.
“Sumpahmu
kini tak berarti lagi? Lihatlah sudah selesai kini. Lantas untuk kepentingan
apakah spiritmu (jiwamu) kembali ke masa kini?”
“Amukti
Palapa?”
“Ah,
itu hanya sebuah dongengan para orang-orang terdahulu. Sudah selesai! Apakah yang
ingin engkau jelaskan lagi. Perangmu, perang yang menimbulkan fitnah hingga
anak keturunan Padjajaran.” Aku menghardik dalam kilatan
kemasgulan.
+++
Senandung Gajah Mada kemudian terdengar, dalam
kepiluan, dan dalam ketidak berdayaan, dalam balutan sakit dan penantian. Yah,
tidak ada satu manusiapun yang tahu apakah yang dirasakannya. Penderitaannya
melebihi hujaman belati dan sayatan bilah sembilu. Kesedihannya kemudian menjadi
sebuah kidung dan nyanyian, mantram Gajah Mada.
SASAKALA TERAKHIR
{ Sang Nayangka Nusantara }
Bhatara Surya didampingi
Bhatara Bayu
berjalan mengiringi
langkah langkah
kakiku
melintasi barisan pohon
pohon
Brastamana, Gaharu, Jati
Hitam
dan Nala serta Kamboja Putih
ketika Sasakala ditiup
bergemuruh
keatas jagad langit
Majapahit Raya
Pada tanah lapang
dihadapan Tatag Ramba
Bale Manguntur
dibawah kibaran panji panji
kebesaran
berkalung Surya Majapahit
Raya
aku sedekapkan bathinku
keatas muka bhumi tanah
persada
Kuhaturkan sembah sujudku
kepada Sang Hyang Maha
Wenang
dan sembah bhaktiku
pada Dua Prabu Putri
maha ayu rupawan
Prabu Putri Sri Gitaraja
Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani
Prabu putri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa
serta pada Paman Arya Tadah
junjungan nuraniku selama
ini
dan juga sahabat sejatiku
Adityawarman
Putra Mahkota kerajaan
negeri
tanah seberang Dharmasraya
Matahari tepat dipuncak
waktu
dibawah kibaran suci
Sang saka berwarna Gula
Kelapa
Aku ikrarkan Sumpah Ca'ktiku
Hamukti Palapa
" Majapahit kedepan
haruslah
merupakan Majapahit yang
besar
kebesaran itu hanya bisa
diraih
hanya oleh dua syarat
yaitu Satu dan Bersatu
Semua orang harus merasa
satu
dan menjadi bagian dari yang
satu
aku bersumpah akan menjauhi
Hamukti Wiwaha
kesenangan duniawi
sampai cita citaku
dan cita cita kita semua
tercapai
aku akan Hamukti Palapa
sampai kapanpun
puasa tanpa ujung
sampai Majapahit yang aku
inginkan
dan kita inginkan bersama
menjadi kenyataan
itulah hakikat sumpahku
Sumpah Palapa
semata mata demi kebesaran
Majapahit.dan tanah Nusa
Persada
Ini Sesorahku !
Aku bersumpah tidak akan
pernah beristirahat
' Lawus huwus kalah
Nusantara
Ingsun Hamukti Palapa
lamun kalah : ning Gurun
ring Seram
Tanjung Pura ring Haru ning
Pahang
Dompo ring Bali
,Sunda,Palembang Tumasek
samana ingsun hamukti !
Matahari menggila panasnya
diatas kepalaku
berubuh suara Bende berderai
bercampur derai tawa
dan ejekkan sinis
dari para pejabat istana
yang hadir dan berdiri
dihadapan kedua pandangan
tatapan tajam mataku
setajam tatapan mata
Nayangka
Bibirku bergetar hebat
jiwaku bergejolak bergolak
membadai
kutikam RA Kembar
manusia keji berhati khianat
serta berotak licik
hingga darah tersimbah
dan tercurah habis dari
raganya
lalu kuhaturkan kembali
sembah
kehadapan Tatag Ramba
Bale Mangguntur
kemudian kulangkahkan
jejak jejak kaki perkasaku
kembali kedalam bangsal
Bale Keprajuritan
Bersama tabuh genderang
perang
angin
kuarungi ganas samudera raya
menembus badai taifun
diujung garis cakrawala
tanpa tepi
ketika sang surya lelah
berpijar
dan kembali pulang tenggelam
kedalam dasar lautan biru
cinta
untuk bercumbu lepas
dengan sang dewi laut
diatas ranjang kelon jiwa
berselimut gulungan debur
debur
birahi ombak kasmaran
Ujung keris keramatku
berkelir 13
kulacungkan keatas langit
jagad
hingga menembus matahari
riuh Bende Perang bertabuh
bertalu talu
menggetarkan bathin sukma
ribuan mata tajam warastra
melesat bagai cahaya kilat
tepat bersama gemerincing
ratusan mata tombak
yang berdencing
mata pedang saling beradu
sama kuatnya
puluhan belati tajam komando
ikut serta merobek robek
ribuan baju zirah besi
lawan lawanku yang perkasa
Banjir bandeng darah
mulai mengalir bagai anak
sungai
diatas teriakan teriakan
maut
yang bergema memenuhi
dari nyawa nyawa
yang tercerabut paksa
dipinggir lembah kematian
Ketika Sasadara bersembunyi
dibalik kabut hitam awan
mendung tebal pekat
dibawah deras guyuran air
hujan
kuderapkan langkah langkah
kaki kuda perangku yang
perkasa
diatas t'latah tanah bhumi
kutembus pekat gelap malam
pada rimba rimba raya lebat
dan ngarai ngarai bukit
berjurang curam serta terjal
kusambangi dan kululuh lantakkan
raga raga
musuh musuh sakti dan
perkasa
Sasadara purnama raya
terbit benderang
diatas punggung bukit
dihadapan anggun berdiri
perempuan berparas maha dewi
ayu rupawan swargaloka
Dyah Citraresmi Ayu Pitaloka
Putri Sekar kedaton
t'latah tanah bhumi Pasundan
sorot binar kedua mà ta
coklat
beningnya menyorot tajam
menembus menghujam
sampai kedalam jantung
jiwaku
hingga melumpuhkan akal
fikiran
Membadai matahari karena
khianat
Putra Mahkota Agung
haus kekuasaan
Bubat tersapu genangan
banjir
darah para perwira dan
ksatria
maha dewi pujaan hatiku
moksa jiwa keatas langit
nirwana
langit bathinku rengkah
pecah
hancur berantakan
seribu mata keris tajam
seakan menghujam deras
tepat kedalam ulu jantungku
nyawaku serasa lepas
seketika
dari raga perkasaku
air mata berkabung duka
penuhi sesak bathin sukmaku
Kutinggalkan Kuta Raja
berbalut sejuta kepedihan
jiwa
kuderapkan langkah langkah
kaki kudaku
berpacu kearah matahari
tenggelam
diujung ufuk cakrawala senja
takdirku
ketika Sasakala Terakhir
dilantunkà n keatas langit
dukaku.
(Mantram Gajah Mada)
+++
“Allahu
akbar... Allahu akbar... Allahu Akbar
Asyhadu
ala ilaha ilallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah
Aku
bersaksi atas semua itu, semua tentang manusia-manusia yang menginginkan
kehidupan
Aku
sungguh merasa nelangsa dengan semua, tapi apa daya betapa kuat keinginan
hawa-hawa yang menyelimuti jiwa
Perjanjian-perjanjian
tak dapat dielakkan mengikuti pandangan mata, pendengaran yang merujuk telinga,
kulit yang meraba, penciuman dengan hidung, semua fana
Tetapi
semua seperti surga
Ada
jejak seperti yang menjadi sebuah pengelana
Jangan
hiraukan tetapi ada seperti yang sudah dalam genggaman
Allahu
akbar... Allahu akbar
La
ilaha ilallah
Untuk
semua yang fana itu menjadi bagian dari rangkaian yang menjadi titik tolak
perjalanan
Ingatlah
Allah Sang Maha Kehendak
Jangan
mengikuti fana
Allahu
Akbar
Semua
yang terjadi menjadi bagian yang sudah tertera dengan berbagai keadaan.
Sungguh
itu tidak dapat berubah yang menjadi berbagai keadaan itu
Allahu
Akbar
Seperti
kisah Nyi Sekar Datu, itulah ibumu
Begitu
pula dengan perjalanan anak manusia yang menyatu dengan ratu roro kidul, dia
pulang sesuai perjanjiannya. Meraih kekuasaan hanya untuk sebuah genggaman. Itu
mudah dilakukan, tetapi lebih banyak memilih dengan kekayaan dan harta yang
melimpah.
Sungguh
itu fatamorgana, maka lihatlah jiwa yang tersiksa, di sana ada duka yang
menjadi bagian dari oerjalanan yang sudah tertunda. Selamat jalan, semoga itu
ada dalam kehidupan kalian yang menjadi bagian yang menunda beberapa hal yang
tertunda.
Aku
Dharma Pala, akan mengkisahkan apa-apa yang tertunda pada dimensi waktumu.”
Bersambung....
Ku datang padamu ketika anyelir di taman masih berkerudung embun Di ambang malamku selaksa kemelut bermain tanpa terali Khayalku berharap ku tawar buatmu mungkin kau minat menjamahnya Di bawah letak hidungmu aku minta tempat sila Dengan segudang kata cinta Pa bila suatu saat umurku dipacu waktu Merdekalah dari kungkungnn mimpi Kicau apa gerangan yang melanda ini Keluh kesah atau nyanyian pecundang Malam masih yatim piatu yang berlenggang Namun tak urung madahmu tampak menusuk Kau iringkan nada cinta bermandi tangis Astaga (astaghfirullah …) … terpukau aku pada dusta yang setia Ku harapkan tangan yang bisa menggapai hatiku yang terbengkalai ini Di ambang kangenku akulah pangeran atas segala nestapa Gerimis yang turun perlahan menitik di dalam gugusan harapan Di bawah letak hidungmu aku minta tempat sila Dengan segudang kata cinta Pabila suatu saat umurku dipacu waktu Merdekalah dari kungkungan mimpi
Ku datang padamu ketika anyelir di taman masih berkerudung embun Di ambang malamku selaksa kemelut bermain tanpa terali Khayalku berharap ku tawar buatmu mungkin kau minat menjamahnya Di bawah letak hidungmu aku minta tempat sila Dengan segudang kata cinta Pa bila suatu saat umurku dipacu waktu Merdekalah dari kungkungnn mimpi Kicau apa gerangan yang melanda ini Keluh kesah atau nyanyian pecundang Malam masih yatim piatu yang berlenggang Namun tak urung madahmu tampak menusuk Kau iringkan nada cinta bermandi tangis Astaga (astaghfirullah …) … terpukau aku pada dusta yang setia Ku harapkan tangan yang bisa menggapai hatiku yang terbengkalai ini Di ambang kangenku akulah pangeran atas segala nestapa Gerimis yang turun perlahan menitik di dalam gugusan harapan Di bawah letak hidungmu aku minta tempat sila Dengan segudang kata cinta Pabila suatu saat umurku dipacu waktu Merdekalah dari kungkungan mimpi
(Sengkala, by Iwan Fals)
Komentar
Posting Komentar