Misteri Kabut Suci Kelud (3); Kisah Kasih Sang Dewi


Image result for dewi sekartaji
“Akan kukatakan padamu, ketika kesedihan bagai tsunami menyapu?”

“Akan ku kisahkan kepadamu, kenapa kebencian dan kecintaan menurun atau menyebar dan menghitamkan langit?”

Marilah kita belajar dari kisah Sekartaji dan Inu Kertapati yang membuat semua makhluk menanyakan hal tersebut. 

Pertanyaan sebab kenapa cinta mereka malah merampas cinta-cinta jiwa sang penghuni raga?

Kisah cinta mereka yang terpisah dan bertemu menjadi lenggeda, dan bila sekarang bila mereka menyergap raga yang terlahir, abadikah cinta mereka?

Sungguh pemaknaan yang sangat sulit, karena dengan menghapus ingatan, itu adalah pertanda suatu perselingkuhan terhadap yang sudah membaca? Apakah itu namanya cinta? Atau sebetulnya emosi rasa suka yang menyelimuti dengan rasa-rasa yang berbeda.

Ah, Tulisan ini hanya mengejawantahkan yang ada dalam pikiran atau perbincangan ketika menanyakan semua.

Agungkah cinta mereka, atau memang itu namanya cinta abadi?

Dan benarkah itu cinta yang sampai merenggut jiwa pada raga-raga yang berlaku sekarang?

Delusi, itu jawabannya mereka (sisi pikiran lain yang menjawab).

Sesungguhnya itu ujian, ujian dalam mencintai Tuhan mereka.

Sungguh kasian Inu dan Sekartaji bila cinta mereka delusi?

Cinta Inu dan Sekartaji seperti cinta dalam menjelang hal-hal yang tak terelakkan. Semua rasa menyergap dalam jiwa. Ah, ingatkah kisah Laila Majnun?

Lompatan kisah yang menggambarkan cinta dan keinginan.
Sesungguhnya hakikat cinta ada pada kisah Ibrahim dan anaknya. Kecintaannya pada Tuhan telah mendorong kecintaannya pada anaknya.

Betapa polemik tentang cinta ini menyandung berbagai raga?

Iya, karena cinta itu berkaitan dengan hablumminallah dan hablumminannas.

***
Langit yang gelap mengantarkan sang putri pada singgasananya. Di sana gelap, tak ada penerang yang menjadi penunjuk akan keberadaannya.

Sang putri merenggut dalam diam, kenapa keheningan berada dalam kegelapan?

Sang putri menggengam hati yang menjadi pegangannya, bahwa itu sesungguhnya kekuatan. Kekuatan dalam menyembunyikan hal-hal yang tak terelakkan.

Langit masih gelap, tiada yang datang menemui putri, hanya air matanya menjadi saksi dalam gelap gulitanya

Angin menjadi gelap itu berada pada dinding yang melingkari hati, di sana ada Putri Anjani.

Segumpal darah dalam dada Sekartaji ada Putri Anjani yang sedang menghening dalam sepi, mencari arti diri. Kenapa dia sampai tersesat pada dinding tembok Sekartaji?

Itulah kisah perjalanan Durga, sesungguhnya setiap hal akan dihadapkan dengan berbagai keadaan dan rasa yang hinggap silih berganti dalam raga-raga.

Inu dan Sekartaji bermain dalam delusi anak-anak sekarang dalam menemukan cintanya kepada Tuhan

Sejatinya cinta yang abadi itu terukir pada diri sendiri, bukan dari berbagai entitas yang hadir. Karena itu ujian, Durga

Apakah itu kehendak Tuhan, termasuk perguliran rasa itu?

Iya, sesungguhnya semua rasa berasal dari Tuhan. Mereka ibarat ilah-ilah, Durga...

Ilah-ilah ini terus berputar dan mengerubungi jiwa-jiwa yang menjadi saripati kehidupan untuk menunjukkan adanya Allah dalam rasa raga.

***

Ingatkah dengan Isa?

Suatu ketika dia akan hadir kembali ke bumi. Masa itu, semua berada pada titik akumulasi pemahaman reinkarnasi.

Jiwa yang hadir dengan kesederhanaan hadir ke dunia sebagai sang penyelamat.

Hakikatnya, delusi-delusi rasa yang terus bergelembung ini menjadikan bumi penuh sesak orang berbagai keinginan antara yang berkehendak dan tidak.

Isa hadir dalam tugasnya, sebagaimana tugas sebelumnya, hadir sebagai diri yang menjadi matram penebus atau penutup para lelaku leluhur. Menyelamatkan generasi berikutnya. Menyelamatkan keturunannya dari para kehendak yang menyelimuti kehidupan.

Itulah kehidupan, itulah perjalanan.

Sesungguhnya pelajaran itu tak sejauh mata memandang, tetapi berada dalam jiwa-jiwa yang berada pada raga sendiri.

Ketika cinta Inu dan Sekartaji dihadapkan kepada Tuhanmu, dan meminta sang jiwa kembali pada hakikatnya, maka akan ditemukan semua itu, apakah itu cinta atau emosi yang tiada berkesudahan.

***

Langit masih gelap gulita, Anjani yang tersergap pada raga Sekartaji memohon kepada Tuhan, memohon pertolongan dan perlindungan, karena gelapnya keadaan sehingga rasa cintanya pada Tuhan berbalut emosi yang menyelimuti rasa pada insan. Seperti daging merah yang terselimuti lemak-lemak putih. Allahu Akbar

Allahu Akbar, hanya kata itu yang ditemukan. Gelap tetap merayap, Anjani terus menyebut Tuhannya dalam kegelapan rindu Sekartaji pada Inu Kertapati.

Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar...

Pelan dan lamat, Anjani menyebutnya dalam gelap. Tak ada respon dalam ucapannya.

Bergelimang air mata Anjani terus mengucapkan itu. Bila pun aku mati dalam dinding gelap ini, aku ikhlas bila ini kehendak-Mu, Tuhan. Hanya Engkau yang dapat menolong hamba, dan mengembalikan hamba kepada-Mu.

Kegelapan malah semakin pekat dan tercium bau yang menyengat, Anjani menggelepar dan terkapar dalam jiwanya dengan terus menyebut Tuhannya.

Itulah kehidupan, itulah perjalanan.

Anjani memilih Tuhannya meski berkelindan dengan kegelapan.

Itulah delusi Sekartaji dan Inu Kertapati yang menghiasi setiap raga di bumi pertiwi. Mereka akan terus hadir dengan perguliran raga yang silih berganti.

“Kenapa seperti membenci bila itu memang bagian dari Kami?”

Bukan membenci, tetapi setiap titiannya menjadi mihrab yang menjadi bagiannya tersendiri.

***
Sebagaimana keadaan, Ismail yang juga menanyakan ayahnya kenapa dia memilih untuk membunuhnya?

Apakah cinta ayahnya hanya delusi pada Tuhannya?

Bagaimana melihat itu cinta Tuhan atau hanya ilusi cinta?

Pertanyaan itu menyergap Ibrahim dalam pemaknaan cintanya, maka ia pun terdiam ketika sang anak menanyakan hal demikian

Hari pertama ketika cinta itu menyeruak dalam mimpinya, Ibrahim menggigil

Ketika menyampaikan kepada sang anak, pertanyaan tersebut yang ia dapatkan.

Jamuan (Al-Mā'idah):3 – “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ibrahim mendapatkan pemahaman tersebut pada hari pertama dalam bukti cinta kepada-Nya

“Takutlah hanya kepada Allah!”

Sebuah pemahaman yang menjungkirbalikan rasional.

Bukankah membunuh itu suatu dosa?

Bagaimana prasangka makhluk-makhluk alam semesta kepada dirinya, sebagai utusan Tuhan?

Membunuh anak sendiri adalah kejahatan yang tidak main-main, bukan? Apa kata mereka?

“Tapi ini adalah perintah Allah?!”

Demikianlah pergulatan perihal cinta kepada Allah atau cinta kepada makhluk.

Sebuah ketaatan para pecinta. Taat dan tunduk kepada Allah mengikuti perintahnya membunuh anak,  agar mendapatkan cintaNya ataukah berpaling mengikuti rahsa cinta kepada anaknya dengan tidak menjalankan perintahNya.

***

“Aku mengerti takutmu, namun aku bukanlah makhluk tanpa perasaan. Telah kuukir lautan dengan air mataku. Telah kuaduk dasar samudra karena deritaku. Tak kalian lihatkah bagaimana ganasnya  ombak menghantam karang, begitulah amarahku”  Jagad semesta diam mengikuti irama tangis sang Dewi.

“Dan Aku terdampar dalam palung hatinya” Bisik  lirih Anjani kepada takdir yang setia menemaninya.

Anjani berkata dalam pedih dan perih sakitnya tak diakui. Sementara tak ada satupun makhluk yang berani menghampiri apalagi mengajaknya bernyanyi.

Dewi Sekartaji hanya bergumam tak mengerti. 

“Larut sudah kedukaanku, seperti larutnya garam di lautan” Ujarnya dengan iba.

“Akan kukatakan padamu, ketika kesedihan bagai tsunami menyapu?”

Dua orang Dewi dalam raga yang padu, entah harus bagaimana mengkisahkan ini. 
Diam sudah alam tak mau lagi mengganggu.

Anjani dan Dewi Kilisuci? Kisah yang sama-sama misteri. Kisah yang terwakli pada raga Dewi Sekartaji. Bagaimana cintanya pada Raden Panji Inu Kertapati. Benarkah hanya delusi anak manusia? 

Ah, nyatanya lakon ini terus saja dimainkan oleh anak-anak manusia. Kisah dan cerita ini masih menjadi duri yang padu dalam kilatan cahaya mata perihal CINTA. Kisah Romeo dan Yulia yang akan terus melegenda sepanjang masa. Meskipun kisah ini telah memporak porandakan jiwa para pelakunya. Nyatanya kisah ini disuka. 

Demikan halnya kisah Dewi Kilisuci yang akhirnya diam dipertapaannya. Semua kisah tentang wanita yang kasihnya tak pernah sampai.

Pejaten 06012019

Komentar

  1. sampurasun, salam sejahtera, buat para ksatria salam kerinduan teramat sangat, dalam realita kehidupan mungkin kami orang yang terpinggirkan, terrsisihkan dan terbuang tapi kami berusaha berpegang pada apa yang orang tua kami ajarkan, pajajaran , galuh , panjalu , cirebon, sumedang dan masih banyak lagi yang datang silih berganti bersilahturahmi,, maka kepada siapa akan kami kabarkan berita ini, sedangkan orang tua kami berpesan untuk REPEH RAPIH, untuk apa dan untuk siapa kalian mencari anak keturunan pajajaran ? karena bila kalian melihat kehidupan realitanya kalian akan kecewa , karena mereka bukan orang orang yang bergelimang harta, bila kalian ingin melihat pajajaran : cari pohon jeruk yang apabila purnama datang cahaya purnamanya langsung menyinari pohon tersebut disitulah pajajaran berada. salam rahayu salam nusantara salam untuk indonesia jaya.

    BalasHapus
  2. bisakah saya menghubungi penulis blog ini, untuk bertanya hal hal yg tdk saya pahami

    BalasHapus
    Balasan
    1. silahkan ke email saja

      utomo.arief66@gmail.com

      Hapus
  3. Akan ku kepakan kedua sayapku ini terbang jauh ' jauh di atas awan yg indah namun penuh misteri ' biarkan kucari kehidupanku sendiri yg penuh teka teki






    Wahai sang pendengar...dengarkanlah hati ini , hati yg penuh penantian , penantian yg panjang dan berliku dalam kehidupannya




    Syair demi syair , bait demi bait telah ku lantunkan dengan syahdu penuh makna diri di sini.
    Di mana dirimu masih ada dalam hati ini dengan indahnya




    Wahai sang pendengar....masih ingatkah syair yang kau titipkan ? Syair yang kau dengdangankan setiap waktu ? Syair yg selalu kau lantunkan dengan merdunya sama seperti diri ini melantunkannya , hanya syair inilah yang menemaniku di dalam kesunyian di lembah yg tak ku mengerti

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali