Kidung Phrameswara (3), Kisah Para Sang Hyang




“Aku bukanlah pujian atau nyanyian penantian.
Rumahku tiada bertepian
Batasan ada dalam kedukaan imajinasi yang dalam”

Rangkaian langit seperti dalam gambaran. Kesadaran menjelajah memasuki angan dan pikiran. Disanalah pusat peradaban manusia yang ditorehkan dan kemudian dilahirkan secara turun temurun. Memasuki dalam pengamatan, menyusuri lingkar waktu, menjelajahi semua peristiwa, dalam guratan kesadaran makhluk alam semesta. Sama saja dengan menyusuri neuron otak manusia. Memory manusia tersusun atas peradaban dimensi tak kasat mata. Berisi ribuan cerita yang terus saja dikisahkan kepada anak manusia. Kisah manakah yang mengandung nila-nilai kebenaran dalam ranah kemanusian. Membutuhkan kearifan manusia untuk membacanya. Kesadaran apakah yang patut dan pantas dipertahankan demi membangun budi dan daya akal manusia. Inilah pertanyaan dan juga  tantangan terbesar bagi kesadaran manusia. Bertahan dalam belantara informasi. Bertahan dalam benturan energy. Bertahan dalam putaran evolusi sang waktu. Dengan maksud itulah manusia diciptakan. Maka diam menyaksikan itulah yang dilakukan lelaki tanpa nama. Menjadi penyaksi bagi penciptaan dirinya sendiri.

Rangkain memory itu terus terbaca, guratan nasib dan segala peristiwa menjadi sebuah pijakan untuk menyusuri makna diantara kejadian yang mamasuki layar kesadarannya. Membaca yah..perkerjaan lelaki itu hanya membaca saja. Dengan atas nama Tuhan yang menciptakan maka dia mulai membaca. Membaca alam kesadaran yang tersusun menjadi dimensi-dimensi yang dihuni oleh milyard-an makhluk. Mereka menyusun dirinya sebagaimana perintah Tuhannya. Masing-masing berada dalam dimensinya. Setiap dimensi berdiri kerajaan Tuhan. Setiap dimensi dalam ukuran dan juga proporsi yang pas. Sehingga keadaan setiap dimensi dalam keadaan seimbang. Dan lelaki itu hanya diam membaca, membaca alam pikirannya sendiri. Bersama kesadarannya memasuki lebih jauh lagi. Menyusuri lorong-lorong labirin di balik nuraninya sendiri. Dia membaca…sebagaimana kehendak Tuhannya, dia membaca kesadaran-kesadaran yang menyusun alam semesta, menguak misteri penciptaan manusia.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Dia hanyalah segumpal darah, bahkan lebih nista dari itu. Dia hanyalah setitik debu alam semesta yang bisa saja menempel pada apa saja dan juga siapa saja. Lelaki tanpa nama itu beringsut mendekap dadanya yang mulai sakit menyadari dzat apakah dirinya itu. Dia bukan seorang raja, bukan pula seorang pangeran, atau pejabat istana. Bukan pula seorang pujangga, atau ahli pikir lainnya. Dia hanyalah dzat yang tak berupa tak berwarna dan tak tahu sejatinya dirinya itu apa. Lantas untuk apa dia mengaku aku? Manakala dirinya melekat pada sesuatu, jadilah dirinya itu sesuatu yang disebutkan itu. Hanya itu! Maka lelaki itu semakin dalam mendekap dadanya. “Tidak pantas dirinya disandingkan dengan Ratu semisal ‘Ratu Shima’, dan tidaklah dirinya juga pantas disandingkan dengan seorang putri semisal Gusti Ratu Putri Pambayun. Dirinya juga tidaklah patut bersanding dengan para kesatria semisal Bandung Bondowoso yang sakti mandraguna.” Yah, tidak patut dirinya mempersamakan dengan mereka mereka  itu yang memang diciptakan  sangat  luar biasa. Sesuai dengan peruntukannya. Sementara dirinya hanyalah seonggok tanah yang diberikan bentuk.  Maka karena sebab itulah dirinya menyingkir dari kehidupan para kesatria. Memohon maaf kepada mereka. Dia menyepi dalam laku ‘Tapa Pasak Bumi’.


Satu persatu alam kesadaran dimasukinya. Membaca yah, sekali lagi, dia membaca apa-apa yang nampak disana. Alam hakekat, alam makrifat dan juga alam syariat, itulah alam alam yang nampak --adalah keadaan yang bisa dimaknai manusia. Namun sesungguhnya, tidaklah sesederhana dan dapat diringkas seperti itu. Memang benar bahwa semua susunan kontruksi alam terdiri dari pola yang sama, hakekat, makrifat, dan juga syariat. Dari keadaan itu kemudian menyusun sebuah pola, mulai  dari pola yang kecil dan kemudian membesar. Kontruksi ini di bangun sedemikian rupa sehingga tersusun pola-pola baru yang serupa dengan kontruksi yang sama. Maka kita akan dapat menarik gambaran sebuah pola penciptaan dari besar ke kecil atau pun sebaliknya dari kecil ke besar. Oleh karena itu menjadi lumrah jika kita dapati seluruh informasi sebuah pohon jeruk akan ada pada satu bijinya. Begitu juga satu alam semesta akan bisa kita baca pada satu sel manusia. Informasi ini begitu luar biasa. Maka menjadi jelas sekali mengapa lelaki itu dengan khusuk terus membaca DNA nya sendiri.

Lelaki tanpa nama semakin khusuk membaca, membaca dengan menyebut nama Robb yang menciptakan setiap dimensi yang dimasukinya. Sementara lamat-lamat terdengar kidung Phrameswara mulai terdengar mengiringi langkah dan perjalanan leleki itu di alam-alam kesadaran. Phrameswara seperti menjaid teman dalam seperjalanan. Menyanyikan kidung-kidung indah saat mana lelaki itu memasuki alam kesedihan para mahluk. Kesedihan yang belum tentu benar namun menjadi kebenaran bagi sang makhluk itu sendiri. Sehingga makhluk itu merasa pantas berada dalam kedukaan. Merasa patut untuk dikasihani oleh seluruh makhluk lainnya. Maka apakah yang mampu disampaikan pada jiwa yang seperti itu. Jiwa yang berada dalam anggapan dan prasangka dirinya sendiri. Jiwa yangtidak yakin bahwa sesungguhnya Tuhan menginginkan kebaikan bagi diirnya. Maka kesedihan itu adalah jalan menuju kepada Nya.

Lelaki tanpa nama itu kuat sekali menempel pada makhluk yang sedang mengalami kesedihan luar biasa itu. Kesadarannya meliputi sedihnya, kesadaran meliputi prasangkanya, kesadaran meliputi kesendiriannya. Maka lara yang tersudut mampu menciptakan lubang hitam kesadaran dan melemparkan lelaki itu kesana, kembali memasuki dimensi kekelaman jiwa  dibalik sisi jiwa manusia. Hampir saja dia larut di dalamnya, ke dalam lautan yang tiada ujung. Palung kesedihan manusia yang tercipta dari pusaran angan dan kenyataan. Pusaran yang menimbulkan tornado di jiwa dan hampir saja lelaki tersebut tak berdaya dalam amuk rahsa sedih dalam jiwa.  Kuat sekali daya magnet kesedihan manusia. Karena itulah Phrameswara selalu bernyanyi kidung asmaradhana untuknya.   Membantu lelaki tanpa nama itu keluar dari sana. Seperti ada cahaya yang muncul dari arah suara Phrameswa, dan lelaki it terus menggapai jalan kesana. Jalan-jalan para penempuh jalan Tuhan. Cahaya di balik cahaya.


Lelaki itu membaca naskah kuno ini ditemukan di daerah Galuh, Kawali. Naskahnya diberi nama Jatiniskala. Dari uraiannya menjelaskan ttng kosmologi sunda. Dari naskah disebutkan bahwa Berdasarkan teks ini, di segenap jagat ini terdapat tiga dunia: sakala (dunia nyata), niskala (dunya gaib), dan jatiniskala (zat sejati yang Mahagaib). Penghuni sakala adalah yang memiliki jasmani dan rohani seperti manusia, hewan, tetumbuhan, dan semua makhluk yang hidup.

Sementara penghuni niskala adalah makhluk tak kasat mata seperti lelembut (makhluk gaib), dewa-dewi, biadari, apsara-apsari, dan syanu (roh yang netral), tak mengenal ruang dan waktu. Syanu yang bergabung dengan bayu, sabda, dan hedap disebut syaku. Ada pun yang berdiam di jatiniskala adalah Hyang Manon (zat Mahatunggal) dan Si Ijunajati Nistemen (zat Maha Pencipta) (dalam Ekadjati, Edi S. dan Hawe Setiawan, 2006: 126).

Jatiniskala sendiri, menurut Sumardjo, merupakan ruang dan waktu tempat Si Ijunajati Nistemen, pencipta batas yang tak terkena batas, dan dunia sakala dan niskala ada dalam zat Si Ijunajati Nistemen ini. Menurutnya, dalam teks ini terkandung secara samar bahwa Si Ijunajati Nistemen menjadikan dirinya Sang Hyang Tunggal yang dikenal oleh manusia.

Anehnya, menurutnya, Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Aci ini “menjelma ke laur dari ketiadaan”, bersama munculnya tekad, ucap, dan tenaga dari ketiadaan Ijunajati Nistemen tersebut. Dengan begitu sesuai dengan konsep tiga batara: Sang Hyang Keresa, Sang Kawasa, dan Sang Hyang Maha Karana. Sang Hyang Ijunajati dengan Sang Hyang Tunggal merupakan hubungan “aing inya eta ingnya aing” (aku adalah dia sebagai aku). Dalam masyarakat Ciptagelar di Sukabumi, adagium tersebut disebut “dua sakarupa”.

Yang Maha Bijaksana berkata:
“Terus cemerlang tembus hingga ke buana bening!/Ah inilah Si Ijunajati./Ah bukan sorga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tirnggal Premana./Kalaulah itu tangguh,/sebab keesaan keesaanku sendiri,/kebijakan kebijakanku sendiri.” Terus cemerlang tembus hingga ke jagat raya.

Ah ujar Sang Hyang Aci:
“Ah inilah Si ljunajati./Ah bukan penjelmaan dari,/Sang Hyang Tunggal Wisesa./Kalaulah itu unggul,/ sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri.” Terus cemerlang tembus hingga ke buana hening.

 Sang Hyang Aci berkata:
‘Aku inilah Si Ijunajati./Ah karena memang bukan,/kediaman Sang Hyang Hurip./Tidak ada kekuatan, ucapan, dan tekad./Kalaulah itu terlalu berkuasa,/sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri,/pengabdian pengabdianku sendiri,/tenaga tenagaku sendiri,/ucapan ucapanku sendiri,/nurani nuraniku sendiri./Segala upaya tembus langsung,/hingga ke alam gaib./Hakikat buana adalah kegaiban buana,/kegaiban itulah gaibnya siang selalu.”

Ujar Sang Hyang Aci pada hakikat kekuasaan:
“Aku inilah Si Ijunajati./Ah bukan kesorgaan Batara Niskala,/yakni Batara Lenggang Buana,/yaitu Batara Sang Acilarang,/hakikat dari kejernihan,/hakikat dari keheningan,/haklkat dari semua sifat kedewaan./Kesejahteraannya untuk kesejahteraan semua./Dialah yang menciptakan,/tenaga, ucapan, nurani,/birahi, emosi, kebaiikan, kekuasaan,/kesentosaan, keesaan, dan pengabdian,/yakni yang menguasai alam kehidupan./ Hakikat kewanitaan itu ialah kekuasaan Sang Hyang Sri,/dari yang berkuasa unggul,/dari yang unggul mengasuh,/dari yang mengasuh sejahtera,/dari yang sejahtera tak nampak,/dari yang tak nampak indah,/dari yang indah halus,/dari yang halus gaib,/dari yang gaib sempurna,/dari yang sempurna bersifat kedewaan,/dari yang bersifat kedewaan./Begitulah sesungguhnya yang tinggal,/di luar sifat kedewaan,/di luar kesentausaan,/di luar kemungkinan,/di luar kemustahilan./Dambaan setiap penjelmaan,/Dambaan semua yang bersifat kedewaan./Dialah ratu dari segala ratu dewata. Batara Jati Niskala (adalah), penjelmaan Batara Niskala,/yakni yang bersifat gaib,/tampil tujuh menjadi tunggal, demikianlah semuanya itu.”

 “Ah,” kata Sang Hyang Aci Kumara.
“Karena itulah berkuasa di mana-mana./Karena itulah terlalu berkuasa,/sebab memang itu keabadianku,/halus halusku sendiri,/kemungkinan kemungkinanku sendiri,/kemustahilan kemustahilanku sendiri,/tiada tiadaku sendiri./Maka dialah yang menemukan,/dunia gemerincing./Ramai suara bunyi-bunyian,/dalam pusat dunia gemerincing,/kumarencyang kumarenycong,/lebih ramai daripada pusat keramaian di bawah,/bunyi gamelan keramat diiringi tarawangsa,/tersebar oleh hembusan angin./Berhasillah dia memerintah,/pada bumi tanpa tanah,/pada ruangan tanpa udara,/pada siang hari tanpa matahari,/pada purnama tanpa bulan,/pada tiupan tanpa angin,/pada cahaya tanpa bayangan,/pada angkasa tanpa langit,/pada kodrat tanpa kehidupan./Tidak ada pelangi yang bersilangan,/angkasa raya yang bersentuhan./Tidak tergelapkan oleh siang hari,/tidak terterangi oleh terang,/tidak terhalangi oleh siang dan malam,/tidak terlebihi tinggi oleh ketinggian,/tidak terlebihi rendah oleh kerendahan,/tidak terkecilkan oleh luasnya./Itulah keluarbiasaan dewata./Makanya dia terkenal,/di Alam Azali./Dikatakan sedang bertapa di perbatasan langit,/berada berhimpitan dengan awan,/diam bagaikan yang tidak bergerak,/tubuh dia adalah tempat permata doa,/sehingga pandangan dia begitu jauh juga dekat.”

Tanpak lelaki itu menarik nafas berat. Memasuki seluruh alam kesadaran, membaca kehendak Tuhan yang menciptakan susunan alam semesta, yang terdiri dari lapis demi lapis cahaya (dimensi), cahaya di atas cahaya. Cahaya satu yang kemudian menembus cahaya lainnya. Cahaya dari satu dimensi menjadi cahay bagi dimensi lainnya. Tindih menindih, liput meliputi, seakan seperti cahaya yang pendarannya meliputi, seperti pesta kembang api di pergantian tahun. Yah, seperti itu keadaannya. Dia belajar membaca lapis demi lapis dimensi yang tak kasat mata. Dirinya membaca bagaimana susunan alam semesta. Langit berlapis langit, cahaya berlapis cahaya, begitulah dimensi alam semesta disusun. Pada setiap lapisan tersebut dihuni oleh makhluk yang tak kasat mata. Mereka bisa disebut dewa, atau makhluk ghaib lainnya. Maka sebagaimana tugas Adam yang harus belajar. Lelaki it uterus saja belajar nama-nama mereka di alam dimensinya. Menjadi saksi atas keberadaan mereka. Sesungguhnya mereka sama seperti kita, diciptakan Robb yang Maha Pencipta.

Tapa pasak bumi harus diselesaikannya dalam laku yang tak biasa. Dalam kesehariannya dia bekerja, mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Dirinya terus memeasuki alam kesadarannya dalam setiap kesempatan yang memungkinkannya untuk itu. Diam dalam gerakannya sendiri. Sehingga waktu seperti melambat dalam kesadarannya. Jeda diantara sang waktu itulah dia mengisi kekosongan hidupnya. Tanpa saudara, tanpa sanak, tanpa teman dalam pencariannya. Beruntunglah Phrameswara senantiasa berkidung untuknya. Mengiringi langkahnya yang terus masuk semakin dalam menguak misteri penciptaan manusia. Menjelajah kearifan budaya nusantara. Dalam gamangnya pikiran para anak keturunannya yang semakin kehilangan jiwa. Lelaki tersebut berjalan dalam kesadarannya. Membaca..yah, dia hanya mengikuti perintah Tuhannya.  Hingga perjalanannya ini dipertemuakan kepada para sang hyang. Sang Hyang Wenang, Tunggal, dan lain sebagainya. Tentu saja ini dalam kesadaran. Dongangan atau apalah sebutannya.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Yah, dia hanya membaca sebagaimana perintah tersebut. Kisah Para Sang Hyang hanyalah membaca kesadaran alam yang menyusun kehidupan sehingga menjadi seperti sekarang ini. Nun, jauh disana Phrameswara tiba-tiba menghentikan kidungnya. Lenyapnya suara itu membuat lelaki tanpa nama itu benar-benar kebingungan. Seperti terbangun dari tidur di sebuah ruangan yang begitu gelap pekat keadaannya. Ruang tanpa suara kedap, sunyi..lelaki itu sendirian. Memasuki alam para siluman dan para danyang, bagaimanakah keadaannya…

Bersambung..


Wolohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali