Misteri Negri Diatas Awan

Hasil gambar untuk mistis dieng
Meranggas di Kamis pagi. Nampak sederetan penggunungan terpampang nyata. Tinggi menembus langit, dua gunung kembaran Sindoro dan Sumbing di depan mata. Awan masih meliputi, suasana terasa dingin di kota ini. Kaki-kaki dua gunung seperti akar raksasa yang menjalar membentuk gumpalan-gumpalan pegunungan lagi. Perahu, Dieng, Sitieng dan banyak lagi nama-namanya. Kesanalah rombongan  menuju, sebuah daerah yang sering di sebuh sebagai ‘Negeri Di atas Awan’atau ‘Kahyangan’. Tempat dimana seorang tokoh sakti mandraguna ‘Gatotkaca’  dibenamkan di sebuah kawah disana. ‘Kawah Candradimuka’ namanya. Dikisahkan dalam pewayangan bahwa Gatutkaca adalah anak seorang raksasa yang menguasai kerajaan Pringgondani. Sebagaimana kisah lainnya. Kisah inipun hanya ada dalam tataran kesadaran orang-orang jawa. Namun bagi orang-orang yang mampu beranjang sana ke dimensi para raksasa di balik bukit disana, maka kisah ini bukanlah sekedar dongeng wayang belaka. Sebab Mas Thole sudah bertemu dan menjadi saksi keberadaan dimensi para raksasa yang ada disana.

Inilah kisah Mawangi! Dia datang di kota ini. Menetapi lagi sebuah janji, bersama menemani alam yang  bersusah hati. Sebuah elegi esok pagi akan kembali di nyanyikan untuk menghibur disini. Di sebuah negeri yang telah mati. Bersama kidung-kidung alam semesta. Dan fatamorgana keindahan mata. Apakah itu nyata? Hamparan awan menutup perkampungan di bawahnya. Seperti salju lembut, dingin terasa di muka. Membelai pipi yang semakin merona merah sebab dinginnya. Tanpa jaket penutup, rasanya hawa dingin terus menembus kulit dan menuju ke tulang. Laju kendaraan hanya mampu berjalan 10 km per jam. Meski langit cerah dan matahari bersinar, namun terlihat panasnya belum  mampu menembusi butiran air yang terikat kuat karena kohesitasnya.  Awan putih tenang berjalan bagai kumpulan naga putih yang berbaris menuju ke sarang. Belum turun sebagai hujan.

Menatap ke atas pandangan hanya mampu 50 meter ke depan.  Menengok ke kiri hanya perbukitan yang masih tetap saja gundul terabaikan. Manusia terus mengeksploitasi tanah, demi untuk kehidupan ekonomi mereka. Hutan-hutan pinus yang dahulu kekar saat Mas Thole kecil sekarang hilang dari pandangan. Bunga-bunga yang ditanam sepanjang jalan sudah tinggal kenangan.  Waktu terus berjalan, bumi terus berputar, yang hilang adalah hilang. Hanya nyata dalam ingatan kesadaran Mas Thole. Nampak disana hutan masih kekar sepanjang jalan. Bunga pukul empat, bunga terompat, dan banyak bunga beraneka warna menjadikan negri ini dahulu kala di huni oleh para dewa. Menjadi kahyangan yang indah di mata. Telaga warna kini menjadi saksi kebenaran kisah itu. Saat mana para bidadari turun dari pelangi dan kemudian bermandi dengan aneka bunga yang disebarkan di telaga warna. Warna telaga memancar seribu warna pelangi. Nampak indah pancaran sinarnya terlihat dari pedesaan. Para penduduk desa yang melihat sering terpesona. Hanya mereka tak berani mendekat kesana. Maka mitos dan legenda ini hanya menambah kebingungan manusia.

Sementara waktu sudah telah lewat ratusan tahun berganti. Lihatlah, kini negri ini kini telah mati suri. Pusaka-pusaka di seluruh pelosok negeri telah di curi oleh manusia yang tidak mengerti. Negri ini telah kehilangan daya hidupnya. Pusaka yang ada di telaga warna raib entah kemana, pusaka yang ada di goa Semar, yang konon dahulu menjadi tempat pertapaan Soekarno dan Soeharto pemimpin negri ini, juga sama saja, telah hilang di curi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tempat-tempat lain yang di datangi juga begitu keadaannya. Telaga Menjer, kawah si Kidang, bahkan seluruh tempat telah kehilangan pusakanya. Negri ini benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk hidup. Energinya sudah melemah dan hampir mati. Pusaka-pusakanya telah habis di curi. Tidakkah ini memprihatinkan sekali.

Tidakkah manusia memperhatikan. 99% persen alam semesta ini dibangun dari energy, hanya 1% dari alam semesta ini yang berupa materi. Maka jika suatu negri sudah tidak ada energy yang menjadi daya dukung kehidupannya, apakah nanti yang terjadi? Manusia juga 99% energy dan 1% adalah materi. Maka tidakkah manusia mengerti keadaan ini. Sehingga kemudian berbagi energy dan tidak saling mengangkangi. Jika begini keadaannya, bagaimana alam bisa berdampingan hidup dengan manusia? Keserakahan manusia akan membawa dampak kemana-mana. Perubahan energy. Energy akan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Siklus yang tidak wajar ini akan menghantam seluruh manusia. Mempengaruhi kesadaran manusia. Manusia akan banyak yang gila. Sebab gelombang electromagnet yang bergerak cepat menuju tekanan rendah akan berimbas kepada energy manusia. Aliran ini tidak saja di ranah materi namun juga dari gelombang elektroimagnet alam ghaib akan masuk ke dimensi nyata. Makhluk golongan siluman akan ikut masuk melalui portal yang tercipta ini.

Apakah manusia tidak memperhatikan itu?  Memasuki negri ini sekarang ini seperti memasuki perkampungan biasa. Tiada lagi penjaga yang menjaga pintu masuk gerbang pertama dan kedua. Tiada lagi pasukan dan juga para raksasa yang menjaga candi-candi. Negri ini telah kehilangan ‘jatidiri’ sebagai negri para bidadari. Negri ini benar-benar telah kehilangan Ratu nya yang dahulu setia melindungi dan sering menyambangi. Negri ini telah di tinggal kan para resi dan juga para orang suci. Hanya pertapa sakti saja yang masih setia disana. Itupun dalam penglihatan Mas Thole sudah tidak lama lagi, sebab waktunya sudah mendekati akhir masa pengabdiannya. Dia sudah berusaha keras sekali menjaga agar itu tidak terjadi. Namun kembali manusialah khalifah di muka bumi. Alam hanya mengikuti apa keinginan manusia itu. Hanya saja ~ sayangnya manusia sering tidak mengerti, justru keinginan mereka itu sendiri yang akan menghancurkan ras mereka sendiri.

Mawangi duduk diam dalam seribu bahasa. Terus bertanya kenapa berbukitan itu gundul. Mengapa negri ini menjadi seperti ini. Pandangannya sedikit liar kesana-kemari. Kadang menatap Hp nya yang hanya dipermainkannya sendiri. Entah apa yang dipikirkannya lagi. Dia tidak mengerti. Selalu tidak tahu. Benarkah ini perjalanan spiritual, atau hanya sebuah perjalanan melihat-lihat pemandangan. Apakah bedanya?  Gunung yang terhampar di hadapannya dengan gunung-gunung lainnya. Kenapa harus ke tempat ini? Memang pegunungan ini  lebih dingin dari Gunung Galunggung tempat dari mana dia berasal. Perbukitan dan suasananya terasa berbeda. Selebihnya sama saja. Dia tidak melihat apa-apa. Dirinya tidakmenyaksikan apa-apa. Kenapa ini disebutkan sebagai perjalanannya?

Semakin dipikirkannya, semakin tidak bisa dipahaminya, Ya, mengapa dengan dirinya. Mengapa dirinya harus mengikuti perjalanan Mas Thole yang tidak karuan arah muaranya ini. Apakah yang nanti akan didapatkannya dengan semua yang dilakoni. Semua hanya menjemput ketidak pastianyang hampir pasti. Ironisnya semakin  jauh  masuk kedalam rasa  ‘tahu’ perihal perjalnan, semakin jauh di terjebak pada dimensi ‘ketidak tahuan’.  Sehingga tampilan wajahnya memelas seperti wajah yang polos tanpa dosa. Berbeda saat mana dia berserah diri dalam dimensi ketidak tahuan justru dari bibirnya mengalir pengetahuan yang tidak pernah dipahami sebelumnya. Dengan kata lainnya, pengetahuan datang manakala dirinya dalam ketidak tahuan. Ini dilemma yang harus dialami. Seperti seorang bayi yang belajar bicara dan tidak pernah memahami apa yang dikatakannya. Itulah keadaan Mawangi.
Pegunungan Dieng kini terhampar. Sejauh mata memandang hanya rerumputan dan sisa-sisa rerentuhan pabrik jamur. Jamur Dieng dahulu kala pernah berjaya disini. Bahkan pernah sampai  ekspor hingga ke manca Negara. Tidak sedikit  penduduk yang menggantungkan hidup dari perusahaan ini. Sayang kini semua tinggal cerita. Seluruh kejayaan negri diatas awan kini hanya layak jadi cerita untuk anak cucu nanti.  Penghasilan penduduk kini mengandalkan pertanian kentang dan beberapa hortikultur lainnya. Beberapa objek wisata yang menjadi andalan pun seperti dalam dilema. Sebab dieng sendiri terbelah di bawah dua pemerintah kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Ironis keadaannya. Negeri diatas awan, tempat para dewa-dewa kahyangan saat sekarang seperti keadaan kota-kota lainnya. Tidak ada energy yang melingkupinya lagi. Semua sangat terbuka dan dengan mudah para silmuman akan bercokol disana.
 
Mawani berjalan mengikuti kata hatinya, memasuki telaga warna. Sampailah di telaga Pangilon. Sebuah telaga yang dahulu kala mampu memantulkan segala macam warna dan cahaya yang masuk. Telaga yang bisa menjadi kaca atau cermin bagi siapa saja. Kini telaga tersebut menjadi telaga mati. Kaca cermin cupu manik astagina yang menjadi inti kekuatan telaga tersebut sudah diambil oleh manusia. Bergeser ke telaga sebelahnya lagi. Keadaannya sama saja. Penghuni dasar telaga kini sudah berpencaran entah kemana. Sepi keadaannya. Seperti mati. Sungguh berbeda keadaannya dengan kondisi di luarnya. Pengunjung saat itu begitu ramai. Hari libur tiga hari membuat tempat tersebut di datangi pengunjung dari seluruh daerah.

Telaga warna suram tanpa warna. Kilau indah yangbiasa dahulu Nampak menghiasi disana. Hanya fatamorgana yang tidak menyisakan apa-apa. Hanya terasa nelangsa di dada. Begitu juga manakala memasuki goa-goa pertapaan. Kosong keadaannya. Siluman dan jin yang sekarang sudah menggantikan menjadi penghuni pertapaan. Dan rupanya merekalah inilah yang memenuhi hajat keinginan manusia jika bertapa disana. Negeri yang dahulu pernah disinggahi oleh para Pandawa pada saat di buang ke hutan. Negeri yang dahulu pernah menjadi tempat pertapaan para Pandawa kini tidak menyisakan energy. Sungguh ironisi keadaannya. Maka sangat wajar manakala, salah satu penghuninya meminta bantuan Mawangi untuk pergi dari daerah sana. Inilah dialog antar mereka, saat mana Mawangi di panggil ke telaga lainnya. Telaga yang tidak jauh dari pusat candi disana. Candi Ajuna yang menjadi pusat candi di daerah itu.

Sosok 1: “Aku, Ratu Wulandari Aryanidwipa, dari kerajaan Kediri.  Aku terbeku di wilayah ini dr perjalanan Ratu Kencana Ungu.  Ssebagai putri dr kencana Ungu untuk hadir dalam perjalanan menuju Demak. Setelah itu, aku berada dalam titian telaga sekar, menjadi penjaga telaga. Aku ingin pulang ke Wangasturi, dan pergi dari telaga. Ibu Ratu Dyah Kumala Sari mengijinkanku pergi, dan ikut dengan raga ini. Ibu Batari mengijinkannya, sampai aku bisa pulang. Aku pulang untuk mengenang yang terkenang. : Dalam rangkaian perjalanan. Secara kasar bukan dalam tepian. Sejak menuju perjalanan, aku tidak akan mengganggu raga anak ini. Itu janjimu dengan Batari dan Sang Hyang Widhie.  Sudah dengan ini saatnya aku kembali dalam limpahan yang belum dimengerti.  Seperti paduan yang mengisahkan perjalanan, maka ini bukan hanya tentang perjalanan dan pulang. Aku menyatu dengan alam, maka aku akan kembali ke alam. Telaga sekar sudah aku jaga ratusan tahun, anak ini telah membebaskanku. Jadi aku akan berterima kasih dengan segala genap baktiku”.
Sosok 2:” Hmm..baiklah. Aku lepaskan bersama sang waktu. Jelaskan kepada raga ini siapakah jatidirmu utk pembelajaran mereka. Agar hilang prasangka.  Aroma tubuhmu menimbulkan curiga..bukan salahmu. Persepsi manusialah yg menjadi hijab mereka sendiri. Maka jelaskan siapa hakekat dirimu.”
Sosok 1: “Baik, akan aku jelaskan.  Aku sesungguhnya dewi yang lahir dr seorang ratu. Kehendak alam yang Menjadikanku berada dalam lintasan dimensi manusia, dewi dan pertapa sakti. Keadaanku menjadi penjaga telaga sekar atas titah dari ibu Ratu Kencana Ungu, aku didera karena lahir bukan seperti manusia biasa, tetapi dewi yang berjasad manusia. Suaruku merdu bak seruling sahdu, dan wajahku canti bak cahaya yang berpualam. Aku manusia tetapi dewi.”
Sosok 2: “Hmm…siapakah siluman yg mengikutimu. Menimbulkan aroma kemenyan sebagai bentuk  pemujaan.  Ya Aku mengerti jasad manusia mu..”
Sosok 1: “Iya, dia Siluman Ronggo Geni, yang bertugas mengawasiku dr ibu ratu.  Dalam pertapaanku, hanya ibu ratu yang dapat menghardiknya pergi dariku. Tidak bisa. Aku adalah aku, bukan dia dalam diriku. Aku bukan berada dalam diri untuk mengubah jasad. Jasadku yang membuatku berada di telaga sekar telah menjadi tanah, air dan udara. Iya, itu pasti terjadi. Sedang dalam bertapa untuk menguji jati sejatining jati diri.  Aku jati dalam menempuh yang pasti terjadi, sejati wangi dalam setiap sudut sanubari.”
Sosok 2: “Ya aku tahu..cahayamu akan nampak sebagi sirr dari dalam..  Pancaran cahaya akan membuatnya memukau.  Maka tinggallah barang sesaat..Aku mengijinkanmu. Leburlah cahayamu dalam sanubari…sejati manusia jati.”
Sosok 1: “Peri yang ada bukan karena jasad raga ini, tetapi melewati batas yang memang harus dia hadapi.
Sosok 2: “Hmm…Jati..bukan saatnya engkau mendebatku”
Sosok 1: “Iya, tapi wingit akan menyertai”
Sosok 2: “Aku tahu lepaskan sejenak dalam waktu yang pasti ku tunggu. Sudah saatnya setiap diri mendapatkan apa yg diusahakannya. Biarkan raga itu mendapat bahagia.”
Sosok 1: “Itu berada dalam debat tak bertepi.  Karena aku pun menjadi saksi. Aku tahu. Wulandari akan segera pergi bila tugasnya sudah selesai.  Adapun mengenai lebur dalam kubur, menjadi istilah dalam penyatuan suci. Baiklah bila itu yang kamu kehendaki. Wulandari menjadi satu dengan raga ini, dalam sela titian menuju ilahi rabbi. Iya, aku bersedia, krn aku memang menginginkannya.  Dan sengaja memanggilnya. Memanggil secara fisik kehadirannya utk menjemputku.”
Sosok 2: “Semoga rahmat Allah atas Wulandari. Ingat jangan sia sia kan kesempatan ini utk beribadah kepada Allah. Niatkan karena Allah. Sekali lagi niatkan karena Allah. Dengan dimikian engkau memperbaiki kesalahan yg telah engkau buat di masa lalu. Sehingga engkau terjebak di lorong waktu.  Penuhi tugasmu.”
Diujung penantian dalam sebuah asa yang terbuang. Jalan panjang kini terbentang. Satu persatu pusaka nusantara hilang. Lenyap dan raib di telan sang waktu. Adakah yang peduli?. Kesedihan mayapada adalah kesedihan yang menyiksa. Sebab menifestasi kesedihan itu terus memasuki relung hati manusia. Manusia yang membuka hatinya mampu merasakan tangis semesta. Apakah manusia tidak merasa, betapa lemah alam jika satu demi satu sumber energy diambil untuk memuaskan nafsunya. Sudah terasa keadaan ini. Mulai dari keraton Jogja dan Solo, terus meluas penjarahan pusaka-pusaka nusantara. Tidak saja di tempat-tempat yang di sucikan umat Budha, umat Hindu, para petilasan, namun penjarahan itu sudah sampai ke alam-alam lainnya. Untuk apakah manusia membutuhkan pusaka. Bukankah energy manusia sangat berbeda dengan energy alam ini? Bukankah manusia diciptakan dari Min Ruhi, cahaya diatas cahaya alam ini. Cahaya yang sangat dekat dengan Tuhannya. Itulah manusia.  Mengapa mereka masih serakah mengambil energy yang bukan hak mereka.  Bagaimanakah langit bisa tegak tanpa tiang lagi?

Nimas Ayu yang secara kebetulan berangkat ke lereng gunung salak mengalami kejadian yang hamper serupa. Kesedihannya menyapu jagat raya. Tangisannya tidak mampu di bendungnya lagi. Mendapati pusaka-pusaka yang seharusnya berada disana. Kini sudah tidak ada. Inilah kisahnya. Di hantarkan disini sebagai pembuka kisah perjalanannya. Menemani perjalanan rekan lainnya. Bilakah ini nyata? Entahlah, semua berjalan dalam ketidaktahuan. Memasuki dimensi yang benar-benar baru. Rasa keinginan tahu malah akan menyebabkan ketidak tahuan yang menggelisahkan. Bukankah lebih baik jika dirinya juga merasa tidak tahu. Biarkan saja lam yang mengajari. Memasuki dimensi ini benar-benar membalikan kesadarannya. Berkali dia harus menghadapi kenyataan yang ilusi.  Beberapa catatannya akan dihantarkan di sini sebagai pelengkap kisah perjalanan Mawangi yang baru saja di mulai. Inilah catatan Nimas Ayu;
Catatan 1: Awalnya sempat ada rasa takut, tapi tidak tahu apa yg saya takutkan. Hhanya seperti badan lebih lemas dan bagian lain dari saya melayang2. Tangan kanan seperti  memegang sesuatu dan sesekali mengacungg ke udara seperti memegang tombak atau sesuatu yg panjang. Ada rasa senang luar biasa, menengok kiri kanan , senyum2. Badan saya seperti beriram naik kuda. Beirama bergerak seperti naik kuda. Ada iramanya persis seperti orang sedang berkuda. Kalau tre badan saya terguncang2  hebat, ini tidak. Lucunya dia bergerak seolah seirama dengan gerakan saya. Beberapa saat yg terbayang ada tabir2, sekilas ada jajaran lilin di bawah. Sekelabat rasanya ada dalam suasana hutan dan saya sedang berburu, seperti saya ini seorang yang gagah. Bukan perempuan kayaknya. Tapi ada perasaan bangga, gagah.
Catatan 2: Tadi malam agak menyedihkan. Saya kan tertidur di.depan komputer sambil terduduk, tiba2 terbangun dan kaget . mau pindah ke kamar, tapi sulit berjalan. Rasanya berat sekali.kaki saya, kepala rasanya berputar dan ada rasa mual. Diantara rasa itu saya masih bisa menutup laptop, bangkit dari duduk, matikan lampu, dan berjalan terhuyung2 ke kamar. Saya bangunkan suami, yg sudah tertidur duluan, saya duduk di.sisi tempat tidur, tidak kuat mengangkat kaki. Rasanya gak karuan pak, saya sadar, tapi mata terpejam, Seperti biasa, yg saya rasakan masuk ke dalam tabir2 berlapis2. Kali ini ada sensasi menggigil, kemudian mual, dan kaki saya berat. Seperti mencari2 pegangan , ada rasa sakit tapi tidak paham sakitnya dimana. Saya sempat lihat cahaya biru titik2 menjadi besar ,.terus tabir terang, gelap, terang lagi. Terlintas pikiran apakah ini rasanya menghadapi sakratul…maut? Kali ini saya terus menggumamkan doa tri sandhya ,.tapi dorongan hati hanya mengucap om om om yanamah. Saya sendiri tidak paham apa arti om ya namah.
Catatan 3; Kemarin sore saya sedang membuat proposal, lalu terasa tangan gemetar. Tapi saya berusaha konsentrasi, untuk tidak menghiraukan. Namun twrnyata semakin tangan kanan kuat gerakannya  seperti meremas remas sambil berputar. Tangan kiri masih biasa saja. Apakah orang2 seperti kita dianggap sesat oleh lingkungan? (Satu hari sebelum terjadi gempa Nepal, dan banyak rekan yang lain mengalami keadaan yang sama. Mereka menjadi saksi atas khabar Kami ini)
Catatan 4 : Kami…kemarin.ke pura jagad karta, di gunung salak. Pas disana sih tidak merasakan apa2.  Hanya ada keinginan untuk duduk diam berlama2 memandangi dalamnya pura. Setelah itu pulang ke rumah juga biasa saja. Baru tadi pas sembahyang, saya duduk di mrajan dan mwnghitung mundur. Lalu mulai terasa tangan bergerak2 seperti membersihkan lantai mrajan (tempat sembahyang). Lalu saya merasa air mata merembes dan terbayang pura gunung salak yg terasa adalah saya membuang benda2. Lalu begitu terbayang balai tempat duduk peranda, rasa nelangsa semakin kuat. Satu persatu peranda nya dirajah. Kali ini diantara rasa sedih itu ada perasaan kuat yg menyatakan ini sudah tugasmu. “Jikapun orang lain tidak memahami atau tidak percaya, tetap jalankan tugasmu. Jalankan tugasmu, kami jalankan tugas Kami. Siapapun yang berjalan dalam kebenaran dan dijalan Nya janganlah kuatir atau bersedih hati.

Demikianlah risalah, kepingan hati yang terus tersakiti. Bila kami berteriak kami mati. Bila  kami diam seakan kami tidak memiliki hati atas tangis Ibu pertiwi. Coba katakanlah pada kami ini. Tidakkah pantas jika kami hanya berkisah disini. Di pembaringan yang sepi, di pondok milik kami sendiri, sebagai obat gundah hati atas nasib Ibu Pertiwi. Ibu yang air susunya telah diperah tanpa kendali, ibu yang terus meratapi anak-anaknya yang tidak pernah mau kembali kepadanya. Silahkan benci kami, silahkan caci maki kami. Kami hanya ingin berbagi. Kami hanya ingin mewartakan sudah saatnya manusia peduli kepada Ibu. Bukankah air, tanah dan udara telah dia beri. Semua urusan itu  telah dilimpahkan Allah pemilik alam ini kepada sang Ibu Pertiwi. Tidakkah manusia mengerti ini?

Bencilah kami yang mewartakan ini , hujatlah kami dengan sepenuh hati. Sebab ini kesalahan kami,  hanya pinta kami kembalilah kepada ibu. Ibumu merindukan kalian. Ibumu menyintai kalian dengan tulus hati. Ibu masih akan menjaga diri. Tidaklah bumi ini bergoncang jika manusia mau kembali ke jalan-jalan-Nya. Manusia dari tanah akan kembali ke tanah. Jasad manusia pasti akan kembali kepada Ibu Pertiwi. Entah kini atau nanti. Janganlah lupa memahami ini. “Kalian pasti akan kembali kepada Ibu ini dengan sukarela ataupun Kami paksa. Hanya akankah manusia kembali dalam keadaan ber-Iman ataukah dalam keadaan  Kafir.” Itulah pertanyaan Ibu pada kalian umat manusia.  Ibumu telah menyusun daging dan tulangmu dari darah dan daging Ibu sendiri. Kembalilah dalam keadaan ber-Iman kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Hanya itu yang Ibu minta. Jangan kotori darah dan daging Ibu pertiwi dengan kekotoran nafsu duniawi. “Janganlah nak…!”
“Apakah perkataan ini (akan)  terlalu mengusik mu?”

Wolohualam…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali