Sang Guru Bumi (3) : Kemenangan Manusia

Hasil gambar untuk dewa langit
Telah luruh diri, menghablur membekap bumi. Nelangsa jiwa meraup duka semesta. Fatamorgana telah menjadi nyata. Lantas apakah yang bersisa? Kelopak bunga mayang kini telah  lunglai menahan duka manusia. Ada apakah dengan diri ini? Ada apakah dengan bumi ini?

Bidadari itu diam menatap kesatrianya. Wajah lusuh dengan air mata. 

“Bukankah ini sudah saatnya?”

Bertanya kepada langit untuk apa mengetahui dan memahami hikmah kejadian. Untuk apa menghabiskan waktu menjelajahi peradaban.

Mengapa harus berjalan ke seluruh muka bumi, jika muaranya hanyalah kesakitan yang berulang. Aduh, bagaimana menuliskan ini. Bukankah kebenaran yang disampaikannya hanya akan menambah permusuhan?

Setiap manusia enggan dan sulit menerima kenyataan. Bahwa setiap perbuatan akan menerima balasan. Demikian juga diri ini. Tiada sadar meluapkan perasaan. Bukankah malam tiada meninggalkan siang? Demilkianlah duka manusia. Tiada jua manusia ditinggalkan. Duka akan datang sebagaimana malam mendatangi siang.

Setiap diri sulit memahami apa itu kesakitan. Tidak ada manusia yang siap menerima musibah. Padahal kesakitan adalah sebuah kenyataan. Padahal musibah adalah sebuah keniscayaan. Mengapakah manusia selalu menolak kenyataan?

Akankah makhluk alam semesta mampu menjawab pertanyaan?

Tidak! Penciptaan atas manusia tetaplah misteri. Maka tidak ada satupun manusia mau menerima kedatangan musibah. Manusia akan senantiasa berjalan dengan pikirannya sendiri-sendiri. Memaknai mana musibah dan mana anugrah sesuka-suka dirinya. Jika memberikan rasa nikmat maka disebutlah itu anugrah. Harta-tahta-wanita. Menjadi muara segala persoalan dunia dalam kesadaran manusia.

Maka wajar saja jika kemudian manusia sulit menemukan jawaban untuk apakah dirinya diciptakan? Meskipun jawaban sudah disediakan dalam kitab kejadian. Tetap saja tidak ada satupun makhluk mampu menjawabnya. Tidak juga manusia itu sendiri.

"Aku lebih tahu" Kata Tuhan

+++

Malam yang menutupi siang, dan kemudian hadirnya siang yang mengusir gelapnya malam demikian reka kejadian. Demikian proses alam semesta menjadikan malam sebagai pakaian bagi manusia dan siang untuk meraih keinginan. Adakah yang tidak biasa? Bukankah sudah demikian kewajarannya? Adakah manusia yang engganmengenakan pakaian malamnya? Menafikan malam sebab gelapnya? Enggan menjadikan malam sebagai pakaiannya?

Ada apa dengan penciptaan? Haruskah kedukaan dan kesenangan yang berulang menjadi dan  hanya demi untuk sebuah proses penyempurnaan jiwa?

Akankah jiwa manusia mampu memahami apa itu pergantian malam dan siang juga pergiliran  sedih dan senang. Kemudian sabar dalam menetapi dan menjalani  serangkaian kenyataan hidup yang selalu bergiliran diantara musibah dan anugrah?

Demi penyempurnaan jiwa manusia maka manusia senantiasa diberikan kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Diciptakan dalam keadaan kepayahan saat mana  memaknai manakah kefasikan dan manakah ketakwaan. 

Manusia kesulitan sendiri dalam memaknai manakah musibah dan manakah anugrah. Semua dirasakan sama saja. Maka seumpama Kami memberikan latihan bertinju sebelum pertandingan, maka  bagi manusia pukulan saat latihan akan dengan mudahnya dimaknai sebagai musibah. Sakit sebab pukulan itu sangat nyata sekali. 

Sehingga kemenangan dan kesempurnaan jiwa menjadi hanya sebatas fatamorgana saja. Manusia senantiasa memohon agar disudahi saja latihannya. Tidak peduli dengan kemenangan dan penyempurnaan jiwa itu lagi. Kesakitan telah menutupi mata hati dan juga kesadarannya.

Begitulah kehidupan. Kesakitan itu sangat nyata menguasai kesadaran. Manusia lupa bahwa hakekatnya itu semua untuk melatih jiwa agar manusia mendapatkan kemenangan. Kemenangan dalam kehidupan dunia dan akherat tidaklah mudah. Hanya orang-orang yang tekun melakukan latihan saja yang akan mendapatkan kemenangan. 

“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q. S. Al-Syams: 7-10).

Sang Guru Bumi diam mengamati perhelatan...

Bersambung…




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali