Kisah Perjalanan Paku Bumi (Tamat), Paku Terakhir


Hasil gambar untuk dewa yunani

“Sebuah lubuk di antara kuntum yang bermekaran, ada satu duri yang menjadi penusuk pada setiap keadaan/ Bukan bumi yang menghimpit, tetapi cakrawala yang akan menyentuh bumi dengan gravitasi pada wujud sang saka/ Ketika getar yang mengantarkan para pujangga, maka di sana ada satu berita yang tak hanya akan menghancurkan raga2, tetapi alam semesta menjadi pudar dalam jejak tanpa ada ulas/ Semua hadir dalam satu ungkapan yang menghunus setiap lempengan pagarruyung, maka hancur dan musnah pada kaki sang juru kunci yang mengkhianati/

Bukan itu yang menjadi kendali, tapi ingat akan api yang telah kau dekap sejak bayi, api itu menebar mebjadi tetesan darah yang membakar hangus bumi pertiwi/ Sejumput rumput akan memadamkannya, tanpa meski ada singgasana di antara perdu yang kau tebar/ Senyawa menjadi bagian raga di antarw berbagai petaka/  Jangan salahkan astrajingga, karena itu memang sudah menjadi tugasnya/Ketika sang saka mendekati bumi, kau nemilih berdiam diri, lalu mati pada kobaran apimu sendiri/ Jejaknya tetap ada, itu akan menebar ke seluruh panca buana, kecuala mayw cakra dan maya katumba, buana yang nelampaui sang saka, tempat para pandita yang menyelesaikan astapa waca karma/

Sesungguhnya ada dalam sebuah perjanjian akan hancurnya sebuah peradaban, yang di bawah buminya sudah menjadi rangkaian besi, di antara pati2 yang menyusun sel2 yg menyebar di bumi/ Berita besar itu hanya dalam sebuah hantaran persepsi, karena semua terhantar pada kutub2 waktu yang sudah mengetahui pesan tersebut dalam paduan suhu waktu/ Jalur yang ditempuh di antara beda Karna, maka ada kada pada dua baya/ Tancapkan paku itu di antara titian bambu dan perdu, serta lagu sang pujangga yang ditelan oleh nestapa duka karena ditinggal sang panca garwa/ Sejumput rumput itu ada di kedua kakinya, pada singgasana raja manglayang yang perlaya oleh sang bima pada satu tusukan batu.”

...

Babak pemahaman dibuka dengan kesadaran bahwa rangkaian kejadian hanyalah penggalan kisah yang diulang-ulang dalam skenario akbar. Guliran rahsa yang berkecamuk di badan menjadi penanda bahwasanya kisah itu bukanlah fatamorgana. Sangat nyata sakitnya, sangat pedih merasuki sukma. Ketika sukma mengkaji lara, maka hantaran reka mereka adegan dimuka dan belakang menjadi visual. Saling menyusul tak berkesudahan. Bagaimana saat tanah di balikkan? Bagaimana saat arah mata angin dipertukarkan? Bagaiamana saat kesadaran diputar balikan? Bagaimanakah saat duka merejam? Mampukah manusia bertahan dan dengan referensinya mengenali koordinatnya sekarang? Siapakah yang mencipakan dirinya? Siapakah yang membuatnya menjadi ada dalam kesadaran kekinian ini? Rahsanya itu akan mampu membuat diri menjadi gila.

Amuk diamuk gelombang pemikiran. Menjuntai bagai kilasan pedang yang terus menuju tenggorokan. Saat perintah penancapan paku terakhir dicanangkan. Jiwa dan raga bagai bulu yang diterbangkan angin. Tidak tahu harus bagaimana, tidak tahu haru kemana, tidak mengerti kenapanya. Sungguh diri dalam keadaan papa, senyap rahsanya. Pasrah dan berserah atas laku alam. Menanyakan kepada siapa? Semua diam dalam nelangsa. Sibuk dalam misteri atas tanah negri ini.  Tidak tahu harus diapakan paku terakhir ini. Semua hanyalah potensi-potensi. Entah sudah berapa tempat yang dikunjungi. Mulai dari Kalimantan Sulawesi, Jawa dan Bali, Ternyata bukan disanalah tempatnya. Lantas kemanakah lagi? Seentara benturan realitas keadaan di dalam tataran materi sangat menyulitkan sekali. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan jika begini caranya?

Mas Thole dalam ketermanguan sendiri. Harus bagaimana lagi? Meski uang bukanlah segalanya, namun segalanya sekarang butuh uang. Jangankan untuk perjalanan hanya sekedar buang air besar kita harus mengeluarkan uang. Benturan antara ghaib dan kenyataan menjadikan dilema. Allah akan mendatangk rejeki dari arah yang tidak terduga melawan hukum lainnya (yaitu) Allah tidak akan merubah apa-apa sampai manusia sendiri yang merubahnya. Hukum bahwa manusia harus bekerja untuk mendapatkan uang adalah sebuah hukum materi yang harus diikuti. Materi adalah sebuah parameter keberhasilan dalam hukum ini. Bagaimana dengan hukum yang satunya lagi? Bukankah Allah yag sudah menjamin rejeki? Bagaimanakah kita menyikapi? Jika semua urusan diserahkan kepada manusia mengapa alam masih ingin ikut campur? Jika seluruh urusan dunia adalah urusan sang alam mengapakah manusia terus menerus diminta untuk membantunya?

Satu dua kali Mas Thole disergah kebingungan. Pemikirannya diuji, keimanannya diragukannya sendiri. Apakah dia harus tunduk kepada hukum ‘berserah’ ataukah dia akan mengikuti alur ‘usaha’. Berusaha dengan upayanya sendiri mencari biaya untuk perjalanannya. Mampukah? Apakah kompetensi yang dimilikinya sanggup mendatangkan uang jutaan rupaih sebagai bekal perjalananya? Dirinya bukan siapa-siapa, bukan orang terkenal dan memiliki kemampuan tinggi di ranah materi yang akan mampu mendatangkan uang dalam jumlah besar? Lantas, apakah dia harus menunggu tanpa batas waktu. Sementara perintah menancapkan paku bumi sudah mendekati titik kulminasi. Pada saat gerhana matahari total paku tersebut harus sudah ditancapkan. Itulah perintah!

Sungguh betapa berat keadaan yang harus dilalui. Dirinya diberikan pengetahuan, dibukakan rahasia alam. Bagaimanakah skenario kejadian yang akan ditimpakan atas negri ini, atas tanah ini, atas bangsa ini. Sebuah pengetahuan yang terus mengejar dan menyiksa dirinya. Diri terus dibombardir pertanyaan bahkan sebuah tuntutan. Mengepakah dirinya tidak bergerak sekarang? Mengapakah dia hanya berdiam diri saja dan melihat kenyataan yang akan terjadi dengan berpangku tangan? “Arrrgh....ya Allah sang pemilik rahsa, sang pemilik segaa rupa dan segala pujian. Dengan cara apalagi aku mampu menetapi keadaan yang menyiksa jiwa?”  Gemetar jiwanya, getar dalam nelangsa. Adakah yang mampu diperbuatnya? Kemanakah lagi dia mencari letak koordinat terakhir bagi paku bumi. Hampir dia kehilangan kesadaran diri, menahan beban keinginan dihati untuk menyelamatkan bumi ini.

...
Hari berganti, dan waktu berlalu. Menyisakan bunga perdu dihalaman rumah Mas Thole. Hujan menyirami mereka. Membuat subur tanah disekitarnya. Rumput liarberaneka warna. Dan anehnya rermuptan  itu semua seperti juga tumbuh di hati sanubari Mas Thole. Rumput meranggas begitu rupa. Terlalu banyak hujan yang turun disana. Hujan tangisan yang justru menumbuhkan rumput liat. Tentu saja hal yang tidak dikehendaki. Gulma merasuki hati Mas Thole. Semak belukar menjadi penghuni ruang hati. Akibatnya arah pemikiran sudah tidak jernih lagi. Banyak sekali entitas yang kemudian datang menyambangi menawarkan aneka rupa keindahan, Godaan untuk memasuki ranah materi. Mengejar kenikmatan indrawi. Pengejaran-pengejaran yang terus dilakukannya lagi, diulang lagi, lagi dan lagi. Sehingga dirinya lalai atas kehendak ilahi. Ada hukum satunya lagi. Hukum yang senantiasa mengilhami hati manusia untuk berserah diri. Biarkanlah Kami yang bekerja. Cukuplah jika manusia berniat dengan kesungguhan hati. Begitu selalu pesan Kami.

 “Sebuah lubuk di antara kuntum yang bermekaran, ada satu duri yang menjadi penusuk pada setiap keadaan/ Bukan bumi yang menghimpit, tetapi cakrawala yang akan menyentuh bumi dengan gravitasi pada wujud sang saka/ Ketika getar yang mengantarkan para pujangga, maka di sana ada satu berita yang tak hanya akan menghancurkan raga2, tetapi alam semesta menjadi pudar dalam jejak tanpa ada ulas/ Semua hadir dalam satu ungkapan yang menghunus setiap lempengan pagarruyung, maka hancur dan musnah pada kaki sang juru kunci yang mengkhianati/ “

...

Begitulah pergolakan dalam ranah kesadaran yang dialami Mas Thole. Sayangnya  Kami tetap dalam rencanaNya. Tidak peduli apapun pemikiran manusia. Tidak peduli apapun prasangka manusia. Segala sesuatu sudah dalam perimbangan dan penataan Kami. Sebaik-baik rencana adalah rencana Kami. Maka sementara Mas Thole sedang dalam kalut pemikiran. Kami menggerakan salah satu makhlukNya. Entah bagaimana ceritanya sang tokoh ini dengan tiba-tiba menghubungi Mas Thole. Berikutnya menyiapkan tiket  pesawat dan berikut juga penginapannya. Mas Thole diam terpaku, menyikapi keadaan ini. Begitu mudahNya jika Kami berkehendak. Tanpa Mas Thole harus bekerja, tapa harus bersusah payah, seluruh akomodasi perjalanannya sudah disiapkan. Mas Thole tingal membawa badan.

Begitu keadaan yang kadang sulit diterima akal logika manusia. Rejeki manusia dalam pertangung jawaban Kami. Begitulah hukumNya. Adakah manusia meyakini dan percaya? Sulit dan sungguh berat untuk meyakini hal ini. Meskipun sudah berkali-kali diberikan bukti. Manusia akan selalu dalam keraguan. Termasuk juga Mas Thole. Sudah berapa kali dirinya diberikan bukti-bukti atas adanya hukum ini.  Namun setiap kali dia dihadapkan kepada sebuah persoalan dia akan berpaling dan kembali ‘lupaf’. Akalnya selalu tidak akan mau terima hukum yang ‘aneh’ ini. Bagaimana manusia tidak bekerja bisa mendapatkan ‘rejeki’. Manusia harus menggunakan tangannya untuk mendapatkan ‘uang’. Bukankah itu yang paling rasional. Mana ada manusia berpangku tangan mendadak kaya raya. Tidak mungkin, dan itu tidak mungkin! Begitulah akal berkata. Manusia lupa bahwa segala sesuatu tunduk kepadaNya.

...

“Bukan itu yang menjadi kendali, tapi ingat akan api yang telah kau dekap sejak bayi, api itu menebar menjadi tetesan darah yang membakar hangus bumi pertiwi/ Sejumput rumput akan memadamkannya, tanpa meski ada singgasana di antara perdu yang kau tebar/ Senyawa menjadi bagian raga di antara berbagai petaka/  Jangan salahkan astrajingga, karena itu memang sudah menjadi tugasnya/Ketika sang saka mendekati bumi, kau nemilih berdiam diri, lalu mati pada kobaran apimu sendiri/ Jejaknya tetap ada, itu akan menebar ke seluruh panca buana, kecuala mayw cakra dan maya katumba, buana yang nelampaui sang saka, tempat para pandita yang menyelesaikan astapa waca karma/”

...

Semalam menjelang gerhana matahari total, disebuah pantai berkarang. Pantai Ngobaran namanya. Paku bumi terakhir di tancapkan. Dengan serangkaian adegan dan drama peristiwa yang mengharu birukan kesadaran manusia. Sebuah portal terbuka. Membentang disana jalanyang penuh dengan warna warna. Sebuah kereta kencana terlihat oleh mata. Ribuan makhluk dari seluruh golongan hadir di bukit pantai berkarang. Nampak ular besar meliuk-liuk berjumlah ribuan. Nampak pula pasukan para dahyang berdendang riang. Nampak pula glongan perewangan, entah makhluk apa lagi yang turut serta dalam prosesi. Portal pintu masuk kerajaan Ratu Kidul terbuka. Dewi Wedari yang berkuasa di tlatah gunung kidul sebelah wetan hadi menyambut. Menampakan diri diantara sinar cahaya rembulan. Petir di kanan kiri bersahut-sahutan. Manampakan kesan mistik dan suasana yang tidak bisa diceritakan.

Turut serta dalam prosesi tokoh-tokoh spirtitual dari Nepal, Perancis, Amerika dan juga Jerman. Mereka dengan sangat khusuk mengikuti prosesi. Duduk bersila dengan khidat menghadap lautan. Ombak terus menerus berdentam. Langit semakin melangut. Pukul 12 malam prosesi masih belum berhenti. Angin dingin mulai meniupi. Satu persatu mengundurkan diri dari Gazebo tempat bermeditasi. Nampak dari ke gelapan malam. Mas Thole undur ke belakang, mencari sisi ruang di sebelah kirinya. Darisana dia memohon dalam doa panjang. Di tancapkanlah paku bumi di samping Gazebo peremedian di pantai Ngobaran. Sebuah prosesi alam yang nampak biasa saja. Namun janganlah ditanyakan bagaimana sang pelaku disana. Hati mereka diliputi sebuah tanda tanya besar. Apakah berikutnya yang akan terjadi. Di ruang portal ini, sudah berapa banyak memakan koran. Ada yang mendadak terpental ke belakang saat meditasi, dsb. Maka prosesi ini [enuh dengan tanda taya besar.

Begitulah petala langit manakala didentamkan. Amuknya akan sampai ke mayapada dalam amarah dan murka. Maka dengarkanlah keributan disana. Mereka saling bertanya-tanya, ada apa dengan bumi ini. Berita apakah yang menjadi pertanyaan para makhluk ini? Benarkan berita besar itu adalah datangnya ‘AIN. Turunnya ilmu Allah melalui raga manusia terpilih. Turunnya sang MEISAS, turunnya sang IMAM. Ataukah akan turunnya DAJAL dalam ranah kesadaran manusia, sehingga Rosul memerintahkan ummatnya untuk sujud dan berdoa di masjid-masjid saat gerhana? Manakah yang akan turun di mayapada? Sebuah pertanyaan terus berguliran. Kilatan petir nampak dari kanan kiri muka dan belakang. Nyala petir menerangi sekitar. Cakrawala seperti terbuka. Bintang-bintang diatas sana berjumlah ribuan. Seperti bernyanyi, terus berusaha menerangi seputar tempat prosesi. Diam namun sangat menakutkan.

"Sesungguhnya ada dalam sebuah perjanjian akan hancurnya sebuah peradaban, yang di bawah buminya sudah menjadi rangkaian besi, di antara pati2 yang menyusun sel2 yg menyebar di bumi/ Berita besar itu hanya dalam sebuah hantaran persepsi, karena semua terhantar pada kutub2 waktu yang sudah mengetahui pesan tersebut dalam paduan suhu waktu/ Jalur yang ditempuh di antara beda Karna, maka ada kada pada dua baya/ Tancapkan paku itu di antara titian bambu dan perdu, serta lagu sang pujangga yang ditelan oleh nestapa duka karena ditinggal sang panca garwa/ Sejumput rumput itu ada di kedua kakinya, pada singgasana raja manglayang yang perlaya oleh sang bima pada satu tusukan batu.”


BLAAAM...BLAAM...paku bumi tertancap dengan kuatnya. Dentamnya sampai menggetarkan alam-alam kesadaran manusia. Mengguncangkan ingatan dan memori manusia. Terus menohok disana dalam sebuah pertanyaan “Benarkah Imam Mahdi akan diturunkan di dalam kesadaran manusia disaat terkini?” Wolohualam bisawab.

Komentar

  1. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [QS. THAHA 20:14]

    SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU

    6713

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali