Kisah Perjalanan Paku Bumi (Tamat), Paku Terakhir
“Sebuah lubuk di
antara kuntum yang bermekaran, ada satu duri yang menjadi penusuk pada setiap
keadaan/ Bukan bumi yang menghimpit, tetapi cakrawala yang akan menyentuh bumi
dengan gravitasi pada wujud sang saka/ Ketika getar yang mengantarkan para
pujangga, maka di sana ada satu berita yang tak hanya akan menghancurkan raga2,
tetapi alam semesta menjadi pudar dalam jejak tanpa ada ulas/ Semua hadir dalam
satu ungkapan yang menghunus setiap lempengan pagarruyung, maka hancur dan
musnah pada kaki sang juru kunci yang mengkhianati/
Bukan itu yang
menjadi kendali, tapi ingat akan api yang telah kau dekap sejak bayi, api itu
menebar mebjadi tetesan darah yang membakar hangus bumi pertiwi/ Sejumput
rumput akan memadamkannya, tanpa meski ada singgasana di antara perdu yang kau
tebar/ Senyawa menjadi bagian raga di antarw berbagai petaka/ Jangan salahkan astrajingga, karena itu memang
sudah menjadi tugasnya/Ketika sang saka mendekati bumi, kau nemilih berdiam
diri, lalu mati pada kobaran apimu sendiri/ Jejaknya tetap ada, itu akan
menebar ke seluruh panca buana, kecuala mayw cakra dan maya katumba, buana yang
nelampaui sang saka, tempat para pandita yang menyelesaikan astapa waca karma/
Sesungguhnya
ada dalam sebuah perjanjian akan hancurnya sebuah peradaban, yang di bawah buminya
sudah menjadi rangkaian besi, di antara pati2 yang menyusun sel2 yg menyebar di
bumi/ Berita besar itu hanya dalam sebuah hantaran persepsi, karena semua
terhantar pada kutub2 waktu yang sudah mengetahui pesan tersebut dalam paduan
suhu waktu/ Jalur yang ditempuh di antara beda Karna, maka ada kada pada dua
baya/ Tancapkan paku itu di antara
titian bambu dan perdu, serta lagu sang pujangga yang ditelan oleh nestapa duka
karena ditinggal sang panca garwa/ Sejumput rumput itu ada di kedua
kakinya, pada singgasana raja manglayang yang perlaya oleh sang bima pada satu
tusukan batu.”
...
Babak
pemahaman dibuka dengan kesadaran bahwa rangkaian kejadian hanyalah penggalan
kisah yang diulang-ulang dalam skenario akbar. Guliran rahsa yang berkecamuk di
badan menjadi penanda bahwasanya kisah itu bukanlah fatamorgana. Sangat nyata
sakitnya, sangat pedih merasuki sukma. Ketika sukma mengkaji lara, maka
hantaran reka mereka adegan dimuka dan belakang menjadi visual. Saling menyusul
tak berkesudahan. Bagaimana saat tanah di balikkan? Bagaimana saat arah mata
angin dipertukarkan? Bagaiamana saat kesadaran diputar balikan? Bagaimanakah
saat duka merejam? Mampukah manusia bertahan dan dengan referensinya mengenali
koordinatnya sekarang? Siapakah yang mencipakan dirinya? Siapakah yang membuatnya
menjadi ada dalam kesadaran kekinian ini? Rahsanya itu akan mampu membuat diri
menjadi gila.
Amuk
diamuk gelombang pemikiran. Menjuntai bagai kilasan pedang yang terus menuju
tenggorokan. Saat perintah penancapan paku terakhir dicanangkan. Jiwa dan raga
bagai bulu yang diterbangkan angin. Tidak tahu harus bagaimana, tidak tahu haru
kemana, tidak mengerti kenapanya. Sungguh diri dalam keadaan papa, senyap
rahsanya. Pasrah dan berserah atas laku alam. Menanyakan kepada siapa? Semua
diam dalam nelangsa. Sibuk dalam misteri atas tanah negri ini. Tidak tahu harus diapakan paku terakhir ini.
Semua hanyalah potensi-potensi. Entah sudah berapa tempat yang dikunjungi. Mulai
dari Kalimantan Sulawesi, Jawa dan Bali, Ternyata bukan disanalah tempatnya.
Lantas kemanakah lagi? Seentara benturan realitas keadaan di dalam tataran
materi sangat menyulitkan sekali. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan
jika begini caranya?
Mas
Thole dalam ketermanguan sendiri. Harus bagaimana lagi? Meski uang bukanlah
segalanya, namun segalanya sekarang butuh uang. Jangankan untuk perjalanan
hanya sekedar buang air besar kita harus mengeluarkan uang. Benturan antara
ghaib dan kenyataan menjadikan dilema. Allah akan mendatangk rejeki dari arah
yang tidak terduga melawan hukum lainnya (yaitu) Allah tidak akan merubah
apa-apa sampai manusia sendiri yang merubahnya. Hukum bahwa manusia harus
bekerja untuk mendapatkan uang adalah sebuah hukum materi yang harus diikuti.
Materi adalah sebuah parameter keberhasilan dalam hukum ini. Bagaimana dengan
hukum yang satunya lagi? Bukankah Allah yag sudah menjamin rejeki? Bagaimanakah
kita menyikapi? Jika semua urusan diserahkan kepada manusia mengapa alam masih
ingin ikut campur? Jika seluruh urusan dunia adalah urusan sang alam mengapakah
manusia terus menerus diminta untuk membantunya?
Satu
dua kali Mas Thole disergah kebingungan. Pemikirannya diuji, keimanannya
diragukannya sendiri. Apakah dia harus tunduk kepada hukum ‘berserah’ ataukah
dia akan mengikuti alur ‘usaha’. Berusaha dengan upayanya sendiri mencari biaya
untuk perjalanannya. Mampukah? Apakah kompetensi yang dimilikinya sanggup
mendatangkan uang jutaan rupaih sebagai bekal perjalananya? Dirinya bukan
siapa-siapa, bukan orang terkenal dan memiliki kemampuan tinggi di ranah materi
yang akan mampu mendatangkan uang dalam jumlah besar? Lantas, apakah dia harus
menunggu tanpa batas waktu. Sementara perintah menancapkan paku bumi sudah
mendekati titik kulminasi. Pada saat gerhana matahari total paku tersebut harus
sudah ditancapkan. Itulah perintah!
Sungguh
betapa berat keadaan yang harus dilalui. Dirinya diberikan pengetahuan,
dibukakan rahasia alam. Bagaimanakah skenario kejadian yang akan ditimpakan
atas negri ini, atas tanah ini, atas bangsa ini. Sebuah pengetahuan yang terus
mengejar dan menyiksa dirinya. Diri terus dibombardir pertanyaan bahkan sebuah
tuntutan. Mengepakah dirinya tidak bergerak sekarang? Mengapakah dia hanya
berdiam diri saja dan melihat kenyataan yang akan terjadi dengan berpangku
tangan? “Arrrgh....ya Allah sang pemilik
rahsa, sang pemilik segaa rupa dan segala pujian. Dengan cara apalagi aku mampu
menetapi keadaan yang menyiksa jiwa?” Gemetar jiwanya, getar dalam nelangsa. Adakah
yang mampu diperbuatnya? Kemanakah lagi dia mencari letak koordinat terakhir
bagi paku bumi. Hampir dia kehilangan kesadaran diri, menahan beban keinginan
dihati untuk menyelamatkan bumi ini.
...
Hari
berganti, dan waktu berlalu. Menyisakan bunga perdu dihalaman rumah Mas Thole.
Hujan menyirami mereka. Membuat subur tanah disekitarnya. Rumput liarberaneka
warna. Dan anehnya rermuptan itu semua
seperti juga tumbuh di hati sanubari Mas Thole. Rumput meranggas begitu rupa.
Terlalu banyak hujan yang turun disana. Hujan tangisan yang justru menumbuhkan
rumput liat. Tentu saja hal yang tidak dikehendaki. Gulma merasuki hati Mas
Thole. Semak belukar menjadi penghuni ruang hati. Akibatnya arah pemikiran
sudah tidak jernih lagi. Banyak sekali entitas yang kemudian datang menyambangi
menawarkan aneka rupa keindahan, Godaan untuk memasuki ranah materi. Mengejar
kenikmatan indrawi. Pengejaran-pengejaran yang terus dilakukannya lagi, diulang
lagi, lagi dan lagi. Sehingga dirinya lalai atas kehendak ilahi. Ada hukum
satunya lagi. Hukum yang senantiasa mengilhami hati manusia untuk berserah
diri. Biarkanlah Kami yang bekerja. Cukuplah jika manusia berniat dengan
kesungguhan hati. Begitu selalu pesan Kami.
“Sebuah
lubuk di antara kuntum yang bermekaran, ada satu duri yang menjadi penusuk pada
setiap keadaan/ Bukan bumi yang menghimpit, tetapi cakrawala yang akan
menyentuh bumi dengan gravitasi pada wujud sang saka/ Ketika getar yang
mengantarkan para pujangga, maka di sana ada satu berita yang tak hanya akan
menghancurkan raga2, tetapi alam semesta menjadi pudar dalam jejak tanpa ada
ulas/ Semua hadir dalam satu ungkapan yang menghunus setiap lempengan
pagarruyung, maka hancur dan musnah pada kaki sang juru kunci yang mengkhianati/
“
...
Begitulah
pergolakan dalam ranah kesadaran yang dialami Mas Thole. Sayangnya Kami tetap dalam rencanaNya. Tidak peduli
apapun pemikiran manusia. Tidak peduli apapun prasangka manusia. Segala sesuatu
sudah dalam perimbangan dan penataan Kami. Sebaik-baik rencana adalah rencana
Kami. Maka sementara Mas Thole sedang dalam kalut pemikiran. Kami menggerakan
salah satu makhlukNya. Entah bagaimana ceritanya sang tokoh ini dengan
tiba-tiba menghubungi Mas Thole. Berikutnya menyiapkan tiket pesawat dan berikut juga penginapannya. Mas
Thole diam terpaku, menyikapi keadaan ini. Begitu mudahNya jika Kami
berkehendak. Tanpa Mas Thole harus bekerja, tapa harus bersusah payah, seluruh
akomodasi perjalanannya sudah disiapkan. Mas Thole tingal membawa badan.
Begitu
keadaan yang kadang sulit diterima akal logika manusia. Rejeki manusia dalam
pertangung jawaban Kami. Begitulah hukumNya. Adakah manusia meyakini dan
percaya? Sulit dan sungguh berat untuk meyakini hal ini. Meskipun sudah
berkali-kali diberikan bukti. Manusia akan selalu dalam keraguan. Termasuk juga
Mas Thole. Sudah berapa kali dirinya diberikan bukti-bukti atas adanya hukum
ini. Namun setiap kali dia dihadapkan
kepada sebuah persoalan dia akan berpaling dan kembali ‘lupaf’. Akalnya selalu
tidak akan mau terima hukum yang ‘aneh’ ini. Bagaimana manusia tidak bekerja
bisa mendapatkan ‘rejeki’. Manusia harus menggunakan tangannya untuk
mendapatkan ‘uang’. Bukankah itu yang paling rasional. Mana ada manusia
berpangku tangan mendadak kaya raya. Tidak mungkin, dan itu tidak mungkin!
Begitulah akal berkata. Manusia lupa bahwa segala sesuatu tunduk kepadaNya.
...
“Bukan itu yang
menjadi kendali, tapi ingat akan api yang telah kau dekap sejak bayi, api itu
menebar menjadi tetesan darah yang membakar hangus bumi pertiwi/ Sejumput
rumput akan memadamkannya, tanpa meski ada singgasana di antara perdu yang kau
tebar/ Senyawa menjadi bagian raga di antara berbagai petaka/ Jangan salahkan astrajingga, karena itu memang
sudah menjadi tugasnya/Ketika sang saka
mendekati bumi, kau nemilih berdiam diri, lalu mati pada kobaran apimu sendiri/
Jejaknya tetap ada, itu akan menebar ke seluruh panca buana, kecuala mayw cakra
dan maya katumba, buana yang nelampaui sang saka, tempat para pandita yang
menyelesaikan astapa waca karma/”
...
Semalam
menjelang gerhana matahari total, disebuah pantai berkarang. Pantai Ngobaran
namanya. Paku bumi terakhir di tancapkan. Dengan serangkaian adegan dan drama
peristiwa yang mengharu birukan kesadaran manusia. Sebuah portal terbuka.
Membentang disana jalanyang penuh dengan warna warna. Sebuah kereta kencana
terlihat oleh mata. Ribuan makhluk dari seluruh golongan hadir di bukit pantai
berkarang. Nampak ular besar meliuk-liuk berjumlah ribuan. Nampak pula pasukan
para dahyang berdendang riang. Nampak pula glongan perewangan, entah makhluk
apa lagi yang turut serta dalam prosesi. Portal pintu masuk kerajaan Ratu Kidul
terbuka. Dewi Wedari yang berkuasa di tlatah gunung kidul sebelah wetan hadi
menyambut. Menampakan diri diantara sinar cahaya rembulan. Petir di kanan kiri
bersahut-sahutan. Manampakan kesan mistik dan suasana yang tidak bisa
diceritakan.
Turut
serta dalam prosesi tokoh-tokoh spirtitual dari Nepal, Perancis, Amerika dan
juga Jerman. Mereka dengan sangat khusuk mengikuti prosesi. Duduk bersila
dengan khidat menghadap lautan. Ombak terus menerus berdentam. Langit semakin
melangut. Pukul 12 malam prosesi masih belum berhenti. Angin dingin mulai
meniupi. Satu persatu mengundurkan diri dari Gazebo tempat bermeditasi. Nampak
dari ke gelapan malam. Mas Thole undur ke belakang, mencari sisi ruang di
sebelah kirinya. Darisana dia memohon dalam doa panjang. Di tancapkanlah paku
bumi di samping Gazebo peremedian di pantai Ngobaran. Sebuah prosesi alam yang
nampak biasa saja. Namun janganlah ditanyakan bagaimana sang pelaku disana.
Hati mereka diliputi sebuah tanda tanya besar. Apakah berikutnya yang akan
terjadi. Di ruang portal ini, sudah berapa banyak memakan koran. Ada yang
mendadak terpental ke belakang saat meditasi, dsb. Maka prosesi ini [enuh
dengan tanda taya besar.
Begitulah
petala langit manakala didentamkan. Amuknya akan sampai ke mayapada dalam
amarah dan murka. Maka dengarkanlah keributan disana. Mereka saling
bertanya-tanya, ada apa dengan bumi ini. Berita apakah yang menjadi pertanyaan
para makhluk ini? Benarkan berita besar itu adalah datangnya ‘AIN. Turunnya
ilmu Allah melalui raga manusia terpilih. Turunnya sang MEISAS, turunnya sang
IMAM. Ataukah akan turunnya DAJAL dalam ranah kesadaran manusia, sehingga Rosul
memerintahkan ummatnya untuk sujud dan berdoa di masjid-masjid saat gerhana? Manakah
yang akan turun di mayapada? Sebuah pertanyaan terus berguliran. Kilatan petir
nampak dari kanan kiri muka dan belakang. Nyala petir menerangi sekitar.
Cakrawala seperti terbuka. Bintang-bintang diatas sana berjumlah ribuan.
Seperti bernyanyi, terus berusaha menerangi seputar tempat prosesi. Diam namun
sangat menakutkan.
"Sesungguhnya
ada dalam sebuah perjanjian akan hancurnya sebuah peradaban, yang di bawah buminya
sudah menjadi rangkaian besi, di antara pati2 yang menyusun sel2 yg menyebar di
bumi/ Berita besar itu hanya dalam sebuah hantaran persepsi, karena semua
terhantar pada kutub2 waktu yang sudah mengetahui pesan tersebut dalam paduan
suhu waktu/ Jalur yang ditempuh di antara beda Karna, maka ada kada pada dua
baya/ Tancapkan paku itu di antara
titian bambu dan perdu, serta lagu sang pujangga yang ditelan oleh nestapa duka
karena ditinggal sang panca garwa/ Sejumput rumput itu ada di kedua
kakinya, pada singgasana raja manglayang yang perlaya oleh sang bima pada satu
tusukan batu.”
BLAAAM...BLAAM...paku
bumi tertancap dengan kuatnya. Dentamnya sampai menggetarkan alam-alam kesadaran
manusia. Mengguncangkan ingatan dan memori manusia. Terus menohok disana dalam
sebuah pertanyaan “Benarkah Imam Mahdi akan diturunkan di dalam kesadaran manusia
disaat terkini?” Wolohualam bisawab.
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [QS. THAHA 20:14]
BalasHapusSASTRO JENDRO HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU
6713