Kisah Spiritual; Melacak Jejak Orang Atlantian (1)
Hanyut sudah sapa dalam pusaran
waktu. “Selamat pagi Indonesiaku”. Demikian selalu tegur sapa mengawali
hari-hari. Kemudian dalam penantian yang terus saja membelenggu. Berjuta
kenangan bermain dalam ingatan. Tentang kejayaan. Tentang sebuah perjuangan. Tentang
kesakitan. Tentang kerinduan dan tentang kehampaan. Berjalan bagai kelopak
mayang yang terbawa angin. Menyusuri lautan, menggenangi parit dan coberan.
Bersama burung hinggap di dahan. Bersama angin menyusuri padang-padang,
gurun-gurun, dan juga ilalang. Benarkah itu hanya kenangan. Sebuah negri yang
telah hilang. Indonesiaku. Dahulu atlantian namanya. Kini yang tersisa hanya
dalam buku-buku puisi sebagai puji-pujian.
Telah diuraikan semua harap. Semua
semangat. Tentang negri ini. Masih saja tersisa bergumpal perasaan. Ah, sungguh
terlalu. Jika muara waktu adalah rindu. Dan jika muara syahdu adalah saru.
Sementara haru telah menjadi paku. Membatu. Kemanakah langkah harus mencari
jejak rindu. Jejak Ibu tidak ada yang tahu. Terasa dekat namun jauh. Serasa jauh
namun begitu dekat. Seperti berburu waktu. Sewindu tak terasa. Kain dan baju
penuh debu. Hingga derita pilu menjalar sampai ujung kuku. Peradaban yang hilang akan timbul dan
tenggelam. Nuansa romansanya akan berulang. Begitu halnya keserakahan dan juga
kemunafikan. Masih akan terus merajalela di negri ini.
Sebentar lagi tahun akan berganti,
berulang hari. Hari yang sama dengan hari-hari kemarin. Hanya bertambah satu
angka dari 2017 menjadi 2018. Semua
masih sama. Kesadaran masih disini di dalam jiwa ini. Kaum peramal mulai unjuk
gigi. Mereka reka adegan dan kejadian. Kisah
yang sama akan di hantarkan. Kisah perjuangan, kisah rindu dan dendam. Kisah
yang berulang dengan pelaku yang berbeda dalam setiap kejadian. Romantika nan
romansa pemikiran. Kekhilafan dan juga kesemrawutan ingatan. Manakah masa lalu
dan manakah masa depan. Semua berimpitan di dalam ingatan. Siapakah yang gila
jika waktu bertemu dalam satu titik
ingatan.
Waktu yang disimbolkan dengan Ba.
Waktu yang akan menjadi kerangka
acuan kesadaran. Waktu yang akan menjadi pijakan dalam memaknai setiap
kejadian. Waktu yang akan terus menjadi misteri terbarukan. Apakah terlalu jika
mempersoalkan waktu? Rasanya tidak. Batu yang terkikis sang waktu menyisakan
sendu. Menjadi saksi bisu, ketka atom menjadi mineral. Mineral menjadi senyawa.
Senyawa menjadi materi. Materi menjadi sel dan organ. Menjadi sesuatu yang
kemudian bisa menguraikan keadaan. Menjadi sesuatu yang bisa disebut dan juga
dikenali. Menjadi sesuatu yang disebut sebagai benda. Benda-benda dengan
namanya. Dengan ciri dan sifatnya. Dan juga rahsanya.
Sebuah siklus kejadian dalam fase
penciptaan alam semesta. Bagaimana waktu kemudian memperkenalkan aku, kamu, dia
dan juga kita? Meperkenalkan kata ganti orang. Tidakkah Kami bersama sang waktu
menjadi saksi? Bagaimana kemudian aku dan kamu belajar nama-nama benda? Belajar
menggunakan panca indera. Belajar mengenali. Belajar membedakan. Belajari
mensifati. Belajar melakukan. Belajar membenarkan. Belajar menyalahkan. Belajar
memiliki. Hingga belajar memaki-maki. Sampai aku, kamu menjadi kita. Dia dan
mereka menjadi kalian. Menjadi bergolong-golongan. Bersuku-suku. Berbangsa dan
juga bernegara. Ketika aku menjadi kamu maka saatnya kita akan menjadi
berseteru.
"Manusia kemudian menjadi saksi
dirinya sendiri" Bagaimankah manusia yang menjadi aku, menjadi kamu,
menjadi kita, dan menjadi mereka. Bagaimana manusia paham saat dirinya memilih
perbedaan. Bagaimana manusia kemudian melakukan pengejaran atas
sebutan-sebutan. Manakalah menjadi aku maka dia tidak mungkin mau menjadi kamu.
Sebuah pengajaran kesadaran kemudian disaksikan oleh dirinya sendiri. Seluruh
pengajaran2 bermuara disini. Raga hanyalah layar kesadaran. Sebuah mesin yang
merangkai sistem hormonal. Sebuah kreasi maha dahsyat atas sebuah ciptaan.
Akhirnya hanya bentuk pengagungan kepadaNya
yang mampu sang diri lakukan. Layar hanyalah layar menerima apapun cahaya yang
datang dari proyeksi. Apakah cahaya berupa informasi suara dan gambar atau kata
dan simbol2. Ataukah cahaya yang datang berupa energi? Layar hanyalah layar yang tak pernah mampu
memaknai apa apa. Diri sang Penyaksi yang akan memaknai cahaya cahaya yang
datang di layar.
Layar hanya menerima cahaya yang akan
berubah menjadi banyak warna2 kehidupan. Menjadi warna gelap dan terang.
Menjadi merah putih hijau dan ungu. Menjadi sebuah bentuk dalam kehidupan. Cahaya
yang bergerak bukan Penyaksi. Cahaya yang memainkan seluruh dinamikanya
kehidupan bukan Penyaksi.
Penyaksi akan menikmati sensasi di
dalam dirinya saat menonton pertunjukan. Sensasi yang memabukkan juga melenakan
bahkan mungkin menyakitkan. Adakah sang Penyaksi mampu menyakinkan diri bahwa
semua itu bukanlah dirinya? Bahwa sang
Penyaksi bukan semua itu. Semua hanya permainan sang cahaya. Cahaya
yang bukan miliknya. Bagaimana jika layar kesadarannya di gelapkan? Jika tidak
ada cahaya disana yang bermain kesana kemari membuat indah layar?Mereka seperti
menyalakan obor dan sinar dari obor itu diambil. Mereka tetap dalam kegelapan.
Sama halnya kita menyalakan korek saat bioskop
padam. Apakah yang kita lihat? Tidak ada cahaya dalam kehidupan nya. Biarkanlah
cahaya cahayaNya bermain di layar kesadaran kita. Biarkan cahaya cahayaNya
memperindah kehidupan. Biarkan cahaya cahayaNya menampilkan banyak tontonan.
Menangis lah jika tontonan itu menyedihkan. Bergembiralah jika tontonan itu
menyenangkan. Kesedihan dan juga kegembiraan hanya sebuah permainan di layar
kesadaran yang dimainkan oleh cahaya cahayaNya.
Jadilah Penyaksi, jadilah Penikmat,
jadilah Pemimpin atas diri sendiri. "Manusia
menjadi saksi atas dirinya sendiri. Menjadi penikmat dirinya sendiri. Menjadi
pemimpin dirinya sendiri"
Kisah kepahlawanan selalu lahir dr
kisah2 perang. Baik itu di alam nyata maupun di alam kesadaran. Jihad terbesar adalah menyoal diri sendiri.
Peperangan di level kesadaran diri. Demikian diri selalu diingatkan dan
diingatkan terus. Setiap saat. Hanya saja diri ini lupa dan lemah. Selalu saja
mengulang dan mengulang kembali. Kalah dan kalah lagi dalam peperangan ini.
Perang kesadaran dalam diri untuk selalu ingat Allah. Hanya sekedar ingat saja
mengapa demikian beratnya perang ini?
Saking beratnya manusia kemudian
mencari perang yang mudah. Yaitu memerangi orang lain, memusuhi kaum lainnya.
Berharap disana dirinya dapat memenangkan peperangan. Mati syahid dalam perang
membunuh jiwa manusia lainnya. Sayang justru banyak diantara mereka yang kalah
perang melawan dirinya sendiri. Melawan ego dan nafs nya.
Wahai manusia janganlah memintakan
perang. Janganlah meminta azab atas kaum lainnya. Sungguh azab Allah amat
pedih. Azab Allah akan datang tidak melihat itu Islam atau kafir. Semua yang
melata diatas bumi akan diratakan. Maka jika sudah datang kepastian Kami. Tidak
ada yang bisa diundur kan lagi. Maka rasakan lah akibat doa doa yang dipanjatkan
sebab ego dan nafs manusia itu sendiri.
***
Begitulah pelajaran sebagai
pengingat, bahwasanya tidak ada yang kekal. Bahwasanya manusia pasti akan
dipergiliran. Seperti debu, seperti mineral, seperti hujan, seperti awan,
seperti burung, dan seperti gunung-gunung. Semua dalam sebuah siklus pengabdian
kepada yang maha kuasa. Namun mengapa ingatan atas negri ini tidak juga lepas.
Mengapa impian itu datang dan datang lagi. Mencabut kehendak dan juga
kemungkinan untuk lari. Padahal sesungguhnya raga ini bukanlah siapa-siapa
lagi. Manusia biasa yang hanya mampu menuliskan sebait dua bait puisi ntuk
mengenang negri ini. Adakah yang salah dengan ingatan ini? Siapakah yang
menarok rahsa ingat ini sehingga jiwa seakan terkunci.
Ya robb, Tuhan semesta alam yang
mencipta segala. Jika reinkarnasi adalah sebuah kemungkinan. Jika ingatan
adalah sebuah kepastian dan jika semua ciptaan untuk sebuah peruntukan. Maka
jelaskan bagaimana harus memulai langkah untuk negri ini? Jiwa terjebak dalam
ingatan masa lalu dan masa kini Bagaimana dengan masa depan? Ugh...Bukankah
masa depan adalah sekarang ini? Sekarang ini adalah masa depan bagi masa lalu.
Lantas dimanakah masa lalu? Benarkah atlantis itu ada? Benarkah dunia ini
berjalan beriingan. Masa lalu dan masa kini dalam satu layar. Hanya kesadaran
manusia yang tak mampu membuka hijab diantara keduanya.
Ya robb, jika kehidupan telah Engkau
ciptakan dalam sebuah kepingan CD. Jika
kepingan CD kemudian Engkau putar maka apakah yang terjadi? Mampukah manusia
bersama-sama denganMU melihat putaran CD yang telah Engkau buat? Mampukah aku
bersamaMu menjadi Penyaksi atas film yang ada pada kepingan CD? Kembalikanlah
ingatan kami wahai Tuhan pencipta segala alam. Ingatan dimana pada saat itu
kami semua manusia bersaksi bahwa Engkau adalah benar Tuhanku. Persaksian yang
kini kami tidak mampu mengingatnya lagi. Sebab dimensi ruang dan waktu alam
materi telah menghapus semua memori itu. Kembalikanlah ingatan itu wahai
Tuhanku.
Bagaimana dengan Nusantara kami wahai
Tuhan segala alam. Ada apakah dengan ingatan ini. Mengapakah kami tidak mampu
keluar dari kepingan CD yang telah menjebak kami dalam dimensi masa lalu dan
masa kini bahkan masa depan yang tidak kami pahami. Mudah bagiMu memindahkan
kami dianatar adegan demi adegan, sesuka-suka Mu. Bukankah kami ada bersama
dalam serangkaian adegan di dalam sebuah CD. CD yang kemudian diputar
oleh sang waktu. Cokro Manggilingan menjadi alat penanda manakala perhelatan pemutaran
CD kehidupan alam semesta di mulai. Mudah bagiMU memutar ulang dan mudah bagiMu
untuk langsung di akhir kejadian. Sesuka-suka Engkau memutar CD kehidupan. Bagaimana kami tidak berharap padaMU.
Dimanakah sesungguhnya kami ini? Beritahulah
kami wahai robb segala alam.
Hanyut sudah sapa dalam pusaran
waktu. “Selamat pagi Indonesiaku”. Demikian selalu tegur sapa mengawali
hari-hari. Kemudian dalam penantian yang terus saja membelenggu. Berjuta
kenangan bermain dalam ingatan. Tentang kejayaan. Tentang sebuah perjuangan. Tentang
kesakitan. Tentang kerinduan dan tentang kehampaan. Berjalan bagai kelopak
mayang yang terbawa angin. Menyusuri lautan, menggenangi parit dan coberan.
Bersama burung hinggap di dahan. Bersama angin menyusuri padang-padang,
gurun-gurun, dan juga ilalang. Benarkah itu hanya kenangan. Sebuah negri yang
telah hilang. Indonesiaku. Dahulu atlantian namanya. Kini yang tersisa hanya
dalam buku-buku puisi sebagai puji-pujian.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar