Paragreg, Perang Yang Tak Usai (1)
Pengantar; Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293 berkat kerja sama Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Pada tahun 1295, Raden Wijaya membagi dua wilayah Majapahit untuk menepati janjinya semasa perjuangan. Sebelah timur diserahkan pada Arya Wiraraja dengan ibu kota di Lumajang. Perang Paregreg
adalah perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan
istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404-1406
dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.
***
Siang
menunjukan warna merahnya. Panas membakar. Tubuh itu terhuyung, “Siang ini bukanlah siang yang kemarin.”
Bisiknya menahan haru. Seluruh kesadaran
dicobanya dikumpulkan. Namun aneh tidak diketemukan jejaknya. “Bukankah langit ini masih sama dengan langit
yang kemarin?” Melangkah seperti tak menapak. Sementara bumi terus memanas.
Pertanyaan
yang sepertinya tidak perlu dijawabnya lagi. Langit itu masih sama dengan
langit semasa hidupnya di ribuan tahun lalu. Pendarannya sedikit berbeda.
Nuansa kebiruan yang sering membayang kini telah hilang. Jejak aroma udara juga
sudah tidak menyisakan sejuknya embun dan jatuhnya daun dari pepohonan. Semua
nampak sama namun tidaklah dirasa.
Awakening..ya
seperti itu. Terbangun dari kesadaran masa lalunya. Meski sekarang di kesadaran
raga terkini namun rasanya tidak asing. Ah, rasa masih sama. Aroma kehidupan
masih menyisakan misteri yang berulang. Sakitnya kehilangan dan hancurnya
perasaan menjadi keseharian hingga mati menjelang. Semua masih saja dipertanyakan.
“Mengapakah kehidupan senantiasa
menyisakan rindu dendam?”
Lantas
bagian manakah yang harus dikisahkannya? Jika lintasan rasanya hanya dirinya
saja yang paham. Berjalan mendekati jemu. Sendiri di alam semesta. Hanya
menanti pilu yang kadang ragu menjamu. Ruang tunggu kalbu telah sudahi rindu.
Maka pandang saja kilatan yang menyaru. Bukankah malam senantiasa ditutupkan
kepada langit yang biru?
Seketika saraf sadar lelaki setengah baya itu menghablur.
Kesadarannya tersedot ke suatu masa dimana keberadaan akan berimpit pada
suatu ketiadaan. Di kejapkannya matanya
berkali-kali. Manakala nampak layar terbuka menampilkan adegan demi adegan yang
tak dipahami. Kejadian dan peristiwa yang meloncat-loncat. Bagaimanakah
merangkaikan puzle yang berloncatan antara dimensi. Sebentar ke dimensi para
naga dimana dikisahkan Bima mencari tokoh sakti. Kemudian meloncat lagi ke masa sesudahnya.
Masa dimana Bre Wirabumi tengah berkuasa. Entah akan kemanakah lagi?
***
Jejak
sang naga menjadikan Bima menelusurinya di antara belantara, semua terhenti
ketika mengingat cerita Sakuntala. Meregang dalam kesepian dan kesedihan karena
ditinggal Sakuntala, ia terus berjalan untuk mencari sang naga. Naga yang akan
menyelamatkan ibunda tercinta.
Langit
gelap tak nenyelimuti penglihatan Bima, yang terus berjalan dan bergerak dalam
kegelapan.
“Sang Hyang Naga, dimanakah kau berada?”
Bukankah
dalam tutur Pujangga di Astinapura menyebutkan kau ada di dekat hutan piningit
Ajis Barang Rakyat wandu.
“Duh wahai rasa yang mengemban segala
peristiwa, hantarkan aku pada sang naga yang akan membantu Sakuntala dari
derita?”
Sekian
detik, ranting patah tak bergoyang, dedaunan menalu tak mengunci segala
kehidupan. Jejaknya ada di antara belantara.
"Bima. Lihatlah itu sebagai tanda, telapak kaki naga dalam rincian batu permata yang hanya dapat kau lihat dengan mata batin. Jejak rumpaka menjadi kaya, jejak kata menjadi sastra, semua terpatri pada jiwa-jiwa yang sedang mencari."
"Bima. Lihatlah itu sebagai tanda, telapak kaki naga dalam rincian batu permata yang hanya dapat kau lihat dengan mata batin. Jejak rumpaka menjadi kaya, jejak kata menjadi sastra, semua terpatri pada jiwa-jiwa yang sedang mencari."
"Inilah
aku... Tetapi bukan itu... Semua menyatu dalam setiap titian yang menjadi padu
pada setiap desiran waktu. Sesungguhnya semua ini hanya perjelanan."
"Bima, temukan sang naga pada setiap dinding yang tak bertuan, dia ada di antara dedaunan dan tebing yang mencuram, di antara rintik air pegunungan. Sakuntala sebetulnya bukan sakit karena derita badan, tetapi dia terhantam oleh sejuta bayangan kelam. Itu karena Sakuntala ada pada setiap kehidupan. Raganya pun menjadi tak bertuan."
"Bima, temukan sang naga pada setiap dinding yang tak bertuan, dia ada di antara dedaunan dan tebing yang mencuram, di antara rintik air pegunungan. Sakuntala sebetulnya bukan sakit karena derita badan, tetapi dia terhantam oleh sejuta bayangan kelam. Itu karena Sakuntala ada pada setiap kehidupan. Raganya pun menjadi tak bertuan."
***
Kisah
Sakuntala terus saja menyisakan pertanyaan. Apakah hubungannya dengan Nagawardhani istri dari Bhre Wirabumi. Apakah mereka satu orang yang sama dalam dua dimensi berbeda? Adakah kisah tersebut akan mampu
dituntaskan. Sementara pemerannya sendiri
tidak pernah menghendaki. Bagaimana tidak? Memasuki lorong waktu kembali
ke masa lalu, bukanlah hal mudah. Kesadaran yang kembali dari masa lalu akan
membawa residu rahsa. Energi yang akan membuat sistem ketubuhanny amengalami
turbulensi. Rahsanya mau mati. Mutah
berkali-kali, batuk darah, dan banyak fenomena lainnya.
Maka
biarkanlah kisah di blog ini seakan meloncat kesana kemari tiada ujung
pangkalnya. Menelisik lintasan para tokoh masa lalu sama saja membuka portal
antar dimensi. Lintasan yang sama akan
terbuka dan bisa saja mengundang makhluk lintas dimensi lainnya. Apakah ini
realita? Sebuah pertanyaan yang terus saja menyapa setiap para pencari. Maka
cobalah berfikir lebih realitas mana hidup dan mati? Lebih realitas mana antara
tidur dan bangun? Mampukah kesadaran melihat perbedaan?
***
Lintasan
kini mengarahkan kesadaran kepada rasa duka Bhre Wirabumi. Perang Paregreg, perang yang menyisakan duka
bagi Brhe Wirabumi. Benarkah Perang ini akan
dibawa ke masa kini? Mengapa lintasannya kuat sekali? Marilah kita telusuri, melacak jejak-jejak orang-orang
masa lalu yang sudah membanjiri kesadaran manusia terkini. Mereka merasuki dan akan
mengulang kembali kisah perang ini.
Semua
senyap dalam pandangan, hanya duka yang tak berkesudahan terus menjadi teman. Duka itu bukan untuk kau genggam, bisa
dilepaskan dengan melihat perjanjian yang sudah ditetapkan. Itu bukan duka,
tetapi kisah nyata dari sebuah perjuangan. Semua menjadi bagian dari
perjalanan, tetapi hal tersebut jangan disesalkan, karena Perang Paregreg
menjadi penentu setiap pejalan, sendirian atau berkelompok dalam menjalankan
kehidupan.
Perang
Paregreg sebentar lagi akan dihantarkan, maka bersiap sebagai selaksa
perjalanan dalam menerima segala keadaan. Allahu Akbar. Ada perbedaan unsur
yang menjadi penyebab semua terbengkalai dalam beberapa hal dengan berbagai
keadaan, maka itu yg menjadi bagian. Sesuatu yang terujar sehingga Bre Wirabumi
menjadi duka yang sangat mendalam. Hal tersebut karena kematian Wijaya.
Selubung
yang menyerupai tirai terangkat pada dinding goa, itu suatu mukjizat, karena
selama ini Wijaya menjadi hal yang utama. Namun sayang, kabut tipis namun
menutupi pintu gua tak terbayangkan ada sisa-sisa jejak perjalanan. Itukah
Wirabumi atau Kamanjaya?
Sanghyang
menatap Sri Surya yang terlelap dalam tidur yang nyenyak. "Jangan bangunkan aku
dalam tidur nyenyak wahai sanghyang, kecuali ada hal yang mendesak, seperti
titah Sangkakala."
Iya, dalam jalurnya ada berbagai hal yang
membuat sanghyang membangunkan Sri Surya, dia hanya ingin mengetahui dimana
Kamanjaya dan Kamandaka, karena Wirabhumi mencari keduanya dalam derai air mata.
Namun teringat pesan Sri Surya,
Sanghyang pun mengulurkan keinginannya.
“Oh Wijaya, dimana kau berada?” Terdengar ratapan menyayat
di balik gua.
Semua terasa gelap bagi rasa yang terselimuti
lenyap
Kekuatan Bre Wirabumi tak sanggup membangunkan
yang sudah terbujur kaku di atas singgasana batu. Dialah putri tunggalnya yang
mati mengenaskan, dengan menyayat sebilah keris pada tangannya yang terluka.
“ Apakah ini gara-gara Wijaya?”
“Bukan...”
Ini
hanya rasa yang tersimpan dengan serpihan luka dari mata yang menyikapi sebagai
kehancuran. : Dia tidak berujar, hanga memilih menyayat tangan dengan keris
titipan dari Pujangga Keastuan Hulubalang untuk Sang Pangeran.
“Rentaknya menjadi kaku, perang belum
usai menurutku...”
Bergumam
Bre dalam angkara sang ayah yang ditinggal merana.
Tak hanya raungan dan sayatan perpisahan,
Wirabumi pun menghancurkan portal kematian dan kehidupan dengan dinding yang
membuka lebar bagi dua dimensi yang berlainan. Senyum tawa dalam perang, tangis
berderai dalam kekalutan, semua menjadi hancur oleh dinding keegoisan.
Layaknya
yang berduka, Brhe Wirabumi pun memilih mundur atas apa yang telah
dihancurkannya karena duka yang mendalam.
Perang
Paregreg akan kembali berulang. Dengan lintasan dan kisaran yang berbeda ruang.
Brhe bukan menutup perang dengan damai, tetapi dendam pada kehidupan berikutnya
yang menjadi palung dalam setiap relung. Penyesalan ketika pintu portal yang
hancur, tak akan bisa menutup sang waktu untuk mengulang segala hal peristiwa
dan kejadian. Ribuan abad kemudian, itu akan menjadi tanda dalam setiap hal
yang sudah tertera.
Sanghyang
menatap Brhe dengan kekalutan, dia pun membangunkan Sri Surya yang sedang
terlelap dalam tidur nyenyak.
“ Ada apa Sanghyang, kenapa kau
bangunkan aku?” Tegur
Sri Surya
“Maafkan aku, Surya, lihatlah di sana,
manusia telah menghancurkan dinding portalnya”
“Biarkan itu Sanghyang, karena memang
sudah menjadi takdir perjalanannya”
“Lalu bagaimana dengan masa depannya?”
“ Tak usah risau, setiap garis keturunan
bukan berarti penghancur kehidupan pada masa kehiduoan berikutnya.”
“Ingatlah ketika semua menjadi bagian
dalam setiap keadaan ketika berada di hadapan-Nya? Memang ada dampak dari
hancurnya, tetapi itu bukan berati kiamat bagi alam semesta. Hanya dia yang
berbuat yang akan bertanggung jawab mendapatkan balasannya. Adapun yang lain,
berada pada pijar garis perisai diri dengan jenjang yang sudah Allah tetapkan.”
Bersambung....
19012018
Mulai lagi deh......
BalasHapus