Kisah Spiritual Mawangi, Yang Hilang dan Kembali
Kemuning mekar bersemi. Semerbak harum
mewangi . Siapa yang tahu. Kemudian jika
musim berganti, ditelan masa. Bukankah
tetap akan layu?
Jangan
termenung
Sungai
masih mengalir
Daun
akan berganti
Bukalah
jendela
Dan
engkau tidaklah sendiri
Duh Gusti, Mawangi melangut dalam perjalanan menuju ke
kota kelahirannya. Kerinduan atas sosok Ibu tak mampu di tahannya lagi. Daya
dorong apakah yang memaksanya harus bertemu Ibu. Terbayang sepanjang
perjalanan. Perhelatan akbar telah selesai, dalam alam realitas banyak orang
mengagumi kemegahannya. Sebuah perhelatan yang nyaris tidak mungkin dilakukan.
Bukan hanya tanah yang sakral disana, dimana perhelatan semisal itu belum
pernah dilakukan sekalipun. Inilah awal dan mula. Mawangi dan rekan-rekannya
seperti melakukan ‘perkosaan’ atas tanah suci. Portal meski dibuka agar
kesadaran mencapai titik optimumnya. Demikian keyakinan yang terpatri, sehingga
Mawangi dan rekan-rekannya nekad melakukan perhelatan disana. Sesuai petunjuk
Kami.
Tidak pernah terbayangkan jika perhelatan
tersebut diikuti oleh 7 negara dan juga oleh para raja dan sultan seluruh
Nusantara. Sebuah prestasi yang luar biasa sebab Mawangi dan rekan-rekannya
adalah manusia biasa. Mereka para pejalan spiritual biasa yang tidak memiliki
koneksifitas dengan sultan dan raja nusantara, apalagi para ulama dari manca negara. Mereka benar-benar
orang-orang biasa, bukan siapa-siapa. Sebagaimana orang-orang biasa yang berjalan di
pasar-pasar. Maka sungguh jika tidak atas berkat rahmat Allah, perhelatan tersebut tidak mungkin terjadi. Berapa
milyard dana yang dibutuhkan untuk mengadakan acara semegah itu? Tidak terbayangkan walau dalam pikiran
paling liar sekalipun. Demikianlah kekuasaan Allah bekerja di alam ini.
***
Apakah perjuangan mereka sia-sia.
Sebagaimana cemoohan yang sering mereka dapatkan baik di realita maupun di
dunia maya ini? Yah, fitnah keji selalu saja dilontarkan oleh mereka yang tidak
suka. Sebagaimana manusia biasa, kadang kesedihan merambahi sukma. Bukan mereka
salah. Sudah berulang kali pemancangan paku kesadaran di lakukan. Apakah dengan
itu mampu merubah peradaban? Apakah bukan modus namanya jika begitu? Mawangi
dan rekan-rekannya menunggu bersama Kami menunggu. Sungguh kegelisahan yang
sama, menjawab pertanyaan apakah yang terjadi jika misi ini bisa diselesaikan? Keraguan
yang sama. Apakah paku itu bekerja sebagaimana mestinya? Rasanya mau gila
menjalankan peran yang tak biasa ini. Yah, gila lebih tepat buat mereka.
Setitik pemahaman mengembirakan dari
Kami, sebuah khabar biasa saja agar Mawangi dan rekan-rekannya mau melihat
bagaimana perubahan kesadaran nampak fenomena yang terjadi di Nusantara.
Lihatlah bagaimana gerakan 212, lihatlah bagaimana satu demi satu sultan dan
keraton bangkit kesadaran mereka, lihatlah situs-situs mulai didatangi manusia,
lhatlah komunitas-komunitas yang peduli nusantara mulai menggeliat. Mereka
mulai sadar, mereka mulai terbangun, mereka mulai memahami, bangsa ini mulai
beregerak menuju penggalian jatidiri. Itu nampak diufuk timur dan juga barat.
Keliatan sangata nyata sekali kebangkitan Nusantara ini. Munculah
komunitas-komunitas baru. Munculah majelis-maljelis baru. Semua bergerak
simultan menuju kebangkitan kesadaran nusantara.
***
“Bukankah
Tuhan telah mentakdirkan bahwa setiap manusia berpasangan? Mengapa engkau
melawan takdirmu Mawangi? Carilah jodohmu.”
Tidak sebagaimana biasanya Mawangi
diam mendengarkan nasehat dan wejangan sang Ibu. Gejolak dan kecamuk di jiwa
tak mampu ditahan. Semua ingin diungkapkan. Tidak ada satupun manusia yang mau
hidup menderita. Semua ingin serba sempurna. Demikian Mawangi mengutarakan
kekekesalannya.
Bernyanyi
dalam duka
Menatap
ke depan
Dalam
pengharapan
Langkah
pasti meski berat hidup ini
Dan
langkah pasti
Dalam
pertanyaan
Bagaimana
keadaan sang diri
Ketika
raga menjadi tanah
Kemuning
cantik
Tetap
akan layu
Hitam
dan berdebu
Masih
akan kemanakah diri
Atas
kepastian ini
***
Langit seakan mengerti perasaan
Mawangi, gumpalan awan menaungi. Nun jauh disana di sebuah lereng gunung,
disebuah dusun yang bernama Tumenggungan, Irama Gong bertalu-talu. Sebuah
nyanyian terdengar. Begitu nelangsa, ingin dhadirkan untuk memuja Siwa.
Seandainya
tahu apa perasaan
Bunga
tak mesti kubuang
Kan
kusimpan sebagai kenangan
Indah
tak mesti hilang
Biar
dalam ingatan
Dalam
pandangan mata
...
Lantas
apa yang kubawa
Jika
badan sudah tak kupunya
Yah
..hanya kenangan indah dunia
Tak
mesti perahu ku dayung sendirian
Kemana
berlabuh
Laut
juga tak bertepi
Hati
tak punya rasa
Kuberikan
diri cemburu
Prasangka
yang membatu
Lantas
apa yang tersisa?
Pada
indah dunia
...
Bagaimana
jika diri tak punya raga lagi?
Bukankah
yang tersisa kenangan?
Lantas
apa yang kupunya?
Apakah
kenangan cinta
Atau
indah lainnya?
Ah...bukan
itu
Cemburu
dan curiga selalu membelit di dada
Hingga
murka melibas angkasa
***
Berabad
mengelana dalam rahsa
Apakah
itu cinta?
Atau
purba prasangka
Bagaimana
jika aku tak punya raga
Sampai
dimanakah aku?
***
Bagai laron mencari cahaya, terbukanya tanah yang menutupi situs Gong
membangkitkan ingatan mereka atas apa-apa yang terjadi di negri ini. Mengapa
kemudian tempat mereka dikubur dengan tanah. Misteri apakah yang tengah
ditutupi? Demikian pertanyaan. Situs-situs peradaban telah sengaja ditutup oleh
leluhur. Demikian kenyataan yang didapati. Salah jika ada anggapan bahwa situs-situs
terkuur oleh lumpur dan bencana. Ternyata ada sebagian situs yang sengaja
dikubur oleh leluhur bangsa ini. Kedatangan bangsa asing ke negri ini membawa
peradaban baru.
Apakah para leluhur telah mengetahui
akan masa depan? Yah, bisa jadi demikian, tembang dan lagu dolanan yang
diciptakan para leluhur ternyata sarat makna dan menjadi petunjuk bahwa leluhur
paham atas apa yang nanti akan terjadi di negri ini. Sehingga peradaban sengaja
mereka kubur sendiri agar anak cucu mereka mampu mempelajari hikmah kejadian di
dunia ini. Mereka semua menunggu saat-saat sekartang ini. Dimana manusia
bersatu untuk mengawal kebangkitan negri ini. Inilah saat kebangkitan spirit
gunung dan lautan. Spirit yang akan bersatu menjadi daya dorong manusia.
***
Perjalanan ini ini demikian berat.
Kadang demikian membosankan. Banyak pertanyaan yang sulit dipahami sebab
jawabannya selalu tidak pas dengan keadaan jiwa. Belum lagi berat sebab realita
tidak sama dengan keadaan jiwa..Kadang terbersit tanya untuk apa setia pada majelis
yang mempersoalkan kata dan juga energynya. Spirit apakah yang datang mencoba
menguasai raga. Hantaran kata saja mampu terbaca energinya.
Alam semesta memiliki hukum kekekalan
energi. Hukum aksi dan reaksi. Setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat, aline
yang terbaca membawa ide dan pemikiran. Membawa energi, membawa aksi. Berlaku
kepadanya hukum kekekalan masa. Berlaku hukum gaya. Gaya aksi = gaya reaksi.
Ketika kita memukul tembok maka tenbok akan memantulkan gaya reaksi yang sama
yang dihantarkan melalui tangan.
Kemampuan materi menerima pukulan dan
beban gaya menjadi persoalan. Materi bisa hancur atau tetap? Jika gaya pukulan yang bekerja lebih kuat maka materi
akan hancur, seiring dengan itu gaya pukulan di materi akan lepas ke alam.
Seberapa kuat materi tersebut menahan gaya agar tidak memberikan reaksi balik? Materi akan menahan beban gaya kemudian akan
membalikan gaya tersebut. Demikian yang terjadi pada raga manusia.
Setiap kata adalah energi. Setiap
kalimat adalah energi. Dalam teori bela diri. Bertinju misalnya. Kemenangan
dapat diraih bukan hanya kekuatan pukulan namun lebih kepada daya tahan tubuh
menerima pukulan2. Latihan demi latihan harus dijalani. Agar tubuh mampu
menerima pukulan yang lebih kuat lagi dan lagi.
Kata atau kalimat sama saja. Energy
akan terasa sekali. Meskipun kata itu terbaca manis semisal "I love"
namun tubuh mampu membaca. Ada bagian tertentu dari sistem tubuh yang tidak
mampu menahan energi kata. Titik terlemah setiap tubuh akan terusik . Memberikan
respon balik. Respon ini yang mengganggu ketenangan jiwa. Logika kadang
dibenturkan sebab kalimatnya manis alasan apa harus bereaksi.
***
Nabi adalah sosok manusia yang Umi.
Dirinya tidak membaca dari kalimat namun lebih kepada energi yang sampai
kepadanya dari setiap hurufnya. Sebelum tulisan datang padanya, Beliau sudah mampu membaca
maksud dari si penulisnya. Membaca energi dari niat awal penulisnya. Mencoba
memahami makna hakekat UMMI. Tidak saja membaca dari setiap baris kata. Namun
lebih kepada energi siapa? Spirit apa yang terbaca dalam tiap huruf dan kata. Menjadi persoalan. Bagaimana caranya?
Inilah hakekat belajar nama2 benda.
Setiap kata membawa spirit masing2 membawa entitas atau sering disebut KHODAM. Khodam
bahasa lain dr kuantum energy dari setiap huruf. Mengapa dari
jaman dahulu kata sering diulang2 dengan ritme tertentu? Ritual pengulangan
kata adalah utk menciptakan makhluk energi ini. Ritual kuno ini sudah di
lakukan oleh manusia. Sering disebut mantra atau doa.
Semakin sering diulang2 oleh jutaan
manusia. Apalagi berlangsung berbad abad lamanya. Maka makhluk energi ini akan
semakin kuat. Maka sulit sekali berhadapan dengab makhluk ini. Begitu kuatnya
ikatan makhluk ini dengan manusia. Sekuat nafs manusia. Semakin kuat nafs maka
dari ke hari makhluk ini akan semakin luar biasa. Karena itu Islam mengajarkan
saat berhadapan dengan makhluk ini kita merubah materi tubuh kita menjadi
'agile'. Islam tidak mengajarkan manusia utk membentuk 'shield' (pelindung).
Islam mengarahkan agar mansuia mampu merubah dirinya menjadi materi yang
'agile'.
Materi ini akan berserah diri mau
dibentuk apa saja oleh energi yang menekannya. Dia mampu melenting seperti
bola. Semakin di pukul kelantai semakin melenting ke atas. Dia juga mampu
menyesuaikan ruang dll. Islam adalah berserah diri...maka keyakinan ini penting
agar materi ketubuhan membentuk dirinya sebagaimana yang diinginkanan. Saat
berhadapan dengan energi kata...kepada sistem ketubuhan kita perintahkan utk
berserah diri. Terserah apa katanya. Semua kata diterima, kemudian disalurkan
semua energy di kembalikan ke alam.
Latihan ini semisal latihan menerima
pukulan dan bantingan pada bela diri. Tentu sangat menyakitkan dan luar biasa
di badan. Remuk redam...babak belur dan lembam. Merasakan mati berulang kali. Namun
demikianlah hukumnya di alam realitas ini. Namun Allah maha adil ..diberikanlah
malam utk kita istirahat. Berhenti
sejenak merasakan. Melupakan segala persoalan dan beban gaya. Bukankah lebih
panjang waktu tidur kita? Sayang sangat sedikit diri memanfaatkan waktu tidur
ini. Tidur dalam sadar...mati sak jrone
urip.
Dalam fisika. Gaya akan menimbulkan
tekanan. Tekanan berbanding terbalik dengan penampangnya. Tubuh 80-90% air.
Maka teori tekanan air relevan utk tubuh. Luas penampang (A) atau kapasitas
tubuh manusia sangat penting. Semakin luas maka semakin kecil tekanan. Bagaimana
memperluas penampang (A)? Bisa dengan melatih raga bisa juga melatih jiwa.
Semua ditujukan utk memperbesar kapasitas A.
Sabar adalah kapasitas A dalam
pemahaman ini. Semakin luas A maka semakin besar kapasitas sabar nya. Jika
tekanan (pressure) diberi simbol P, Gaya (force) diberi simbol F, dan luas
(area) diberi simbol A, maka tekanan
pada zat padat adalah: P = F/A. Menjadi
persoalan dalam spiritual adalah gaya yang ada di dalam tubuh. Gaya atau daya
ini berasal dr entitas2. Sehingga kapasitas tubuh sudah penuh dengan gaya2. Maka
bagaimana akibatnya?
Tekanan aksi menjadi besar. Kita
menjadi sangat reaktif dan reaponsif. Energi kata yang datang akan langsung
menjadi energi reaksi. Maka spiritual
mengajari agar. Meniadakan gaya (daya) konsepsi lahaula wala kuwata, la ila ha
illah, dan inalilahi wainailahi rojiun. Memperluas kapasitas (A) konsepsi subhanalloh,
alhamdulillah, dan Allah hu akbar. Tekanan pada otak..tekanan pada sel, tekanan pada jantung...akan
menggerakkan sistem _motoric_. Mengontrol motorik artinya mengontrol tekanan pada tubuh. Mengontrol
gerak reflek hanya bisa dilakukan dengan meniadakan tekanan. Ritual puasa, dll pada ujungnya adalah terkait
hukum ini.
***
Bukankah
realita sama saja..
Bahkan
mungkin sebaliknya
Meamasuki
majelis ini membalik semua realita
Keadaan
yang tadinya baik bailk saja menjadi porak poranda
Namun mengapa dorongan jiwa seperti
tak kuasa? Utk terus mengkajinya, meski semua bahasan keluar masuk saja. Demi
buah Tin dan buah zaitun dan bukit tursina.
Buah Tin (At-Tīn):1 - Demi (buah) Tin dan
(buah) Zaitun,
Buah Tin (At-Tīn):2 - dan demi bukit Sinai,
Buah Tin (At-Tīn):3 - dan demi kota (Mekah)
ini yang aman,
Buah
Tin (At-Tīn):4 - sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.
Buah
Tin (At-Tīn):5 - Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka),
Buah
Tin (At-Tīn):6 - kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Buah Tin (At-Tīn):7 - Maka apakah yang
menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya
keterangan-keterangan) itu?
Buah
Tin (At-Tīn):8 - Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Yah Tuhan maha Adil, manusia akan
dinilai atau apa yang diupayakannya...bukan pafa hasilnya..Satu huruf saja
simisal A atau B atau C telah mewakili sebuah benda dan juga sebuah nama. Satu
huruf ini sangat berarti di alam semesta. Manusia diminta menguak rahasianya.
Mengabarkan agar berada di kesadaran. Menjadikan makna benda ini ada dan
disadari. Demikian halnya pekerjaan para scientis menguak rahasia alam semesta.
Para ahli tidak pernah lelahnya mengungkapkan rahasi laut, langit dan bumi.
Juga rahasia hewan2 yang melata. Mereka para scientis ini yang terus belajar
nama nama benda. Mengungkapkan rahasianya.
Merekalah ADAM dalam bahasan kajian
ini. Para pengamat para saksi dan juga para penikmat dunia misteri. Banyak
sekali ahli penganatan oni bertebaran maka munculah ilmu ilmu baru dalam khasanah
refernsi manusia. Semua sudah pada bagiannya masing2 mereka akan mendapatkan
apa apa yang mereka upayakan itu? Demikian juga di majelis ini. Pengamatan terhadap diri. Pengamatan terhadap
subjek dan juga objek. Pengamatan terhadap sang pengamat. Pengamatan atas sang
penikmat. Pengamatan atas sang pemimpin. Bukankah semua entitas ini ada dalam
diri manusia?
Kisah perjalanan dalam majelis ini
mengusung pengamatan atas pengendali diri yaitu sang penyaksi, sang penikmat
dan sang pemimpin. Memisahkan pengamatan secara jelas dan lugas manakah jiwa
manakah raga dan manakah ruh serta manakah min ruhi. Manakah hardware (raga)
manakah software (jiwa) manakah energy listrik (ruh) dan manakah user (min
ruhi) nya. Siapakah pencipta hardware di realita. Siapakah pencipta software. Siapakah
pencipta listrik. Dan siapakah pencipta user nya?
Nampak jelas pada analogi ini.
Hardaware di ciptakan oleh entitas yang disebut ilah. Demikian juga software.
Begitu juga listrik. Namun siapakah yang menciptakan user? Pemahaman menjadi berpilin..namun saat kita
segmetkan dan kita analogikan pada realita kita mendapatkan gambarannya. Bumi
adalah manucfatured yang menciptakan hardware. Langit yang menciptakan software nya
(langit dan bumi= dunia). Siapakah yang menciptakan energy dan juga user?
Inilah dimensi ghaib nya (akherat). User adalah manusia maka dari analogi ini
dapat kita pahami siapakah manusia?
Dialah user atas raga. Bukan raga
(hardware) bukan jiwa (software) dan juga bukan energi listrik (ruh). Maka
pengamatan disini dalam keyakinan majelis ini tidaklah sia sia. Belajar nama
nama benda di dimensi ini. Mengenali ratusan dimensi yang tak kasat mata. Mengenali Instrumen ketubuhan kita sendiri. Bukan utk mendapatkan hasil
di alam materi. Namun demi dedikasi utk sebuah keyakinan diri. bahwa memang
harus ada yang peduli disini.
Semisal seorang ahli pengamatan
plankton di didasar lautan yang dalam. Dia tidak peduli tempat kerjanya. Hanya
dia terpanggil utk melakukan pengamatan itu. Panggilan jiwa bahwa harus ada
diantara manusia yang peduli. Untuk mengabarkan keadaan plankton itu ke
kesadaran manusia di permukaan. Bukan utk dipuji. Dan bukan utk dihargai
apalagi mengharapkan materi. Bukan itu semua.
Mengungkap dan mengenalkan hakekat Nun
yaitu hakekat user adalah analogi hakekat manusia kepada kesadaran kolektif itulah hakekat pengajaran2
kepada Adam. Nun adalah hakekat fitrah manusia. Dalam bahasa simblo. Hakekat
fitrah ini perlu terus menerus diamati dan diungkapkan rahasianya agar dikenali.
Diantara manusia seyogyanya ada yang mengamatinya.
Lihatlah dunia realistas sudah demikian
banyak ahlinya. Puluhan cabang ilmu sudah bermunculan disana. Maka tidak lah
berlebihan jika ada yang berminat mewarnai dunia keilmuan ini. Bagaimana dengan
dunia ghaib yang masih misteri ini. Bagaimana dengan keadaan diri yang masih
belum dikenali. Mengenali diri manusia itu sendiri. Adalah sebuah jalan untuk
mengenali Tuhan. Demikian sering diajarkan pemahman ini.
Maka bukan pada hasilnya lebih kepada
kesungguhan dalam proses pengamatannya. Apakah pengamatan Einstan secara serta
merta merubah dunia? Butuh waktu lama manusia memahaminya. Apakah dengan
demikian ilmu murni tidak ada artinya? Semisal ilmu Fisika, biologi dan kimia
juga matematika tdk berguna? Justru sebaliknya tanpa ilmu murni ini peradaban
manusia tidak mungkin berkembang sedemikian pesatnya.
Kajian yang dihantarkan melalui kisah dan pengalaman di majelis ini semisal itu. Bukan
kepada hasil direalitas yang dikaji. Namun kisah ini adalah sebuah upayadialektika
ilmu murni pengetahuan atas pengalaman yang dialami oleh pelakunya. Maka kita
akan kecewa jika membahas hasilnya. Jika
bicara hasil maka tentu kita bicara ilmu terapan. Maka jika kita mau bicara hasil kita bicarakan
ilmu fiqih dan syariat nya.
Semisal paku kesadaran yang ditancapkan nabi
Ibrahim disebuah bukit dan kemudian daribukit tersebut beliau berdoa. APakah doa beliaudikabulkan seketika? Padahal beliau kekasih Allah. Kita saksikan doa
nabi Ibrahim baru terwujud setelah ribuan tahun lamanya. Begitu halnya teori Einstein baru
dapat dipahami dan diwujud setelah sekian puluh tahun. Lantas mengapa para kesatria harus berkecil hati jika paku-paku kesadaran yang ditancapkannya tidak bekerja? Jangan pedulikan mereka yang hanya bisa mengolok-olok saja. Biarkan mereka dengan urusannya itu.
Demikianlah Kami menasehati, agar para kesatria tidak putus asa dan kemudian berbalik ke belakang.
Bukan hasil yang harus di fokuskan namun pengulangan dan pengulanganlah yang
harus terus dilakukan. Law of Repetetion. Inilah hukum yang melatar
belakanginya. Hukum ini juga yang menjadi landasan mengapa sholat harus terus
menerus dilakukan sepanjang waktu. Meskipun hasilnya belum tentu.
“Manusia sesungguhnya di nilai atas apa
yang telah diupayakan oleh niat (jiwa) mereka bukan kepada hasilnya. Bersungguh-sungguhlah dalam niat, kemudian serahkanlah hasilnya kepada yang Maha Kuasa. Inilah sebaik-baik upaya.”
Jika diukur dari hasil maka akan
banyak yang frustasi. Banyak yang enggan menjalankan proses pencarian jatidiri.
Maka fokus diri lebih kepada niat. Lebih kepada membereskan niat diri. Bukan
fokus kepada hasil di realita. Semoga
Allah ridho. Tidak usah dipikirkan apa kata mereka itu. Mereka akan mendapatkan
pengajaran tersendiri. Kisahkanlah apa yang perlu dikisahkan. Semoga ada yang
mampu mengambil hikmah kisah perjalanan ini.
***
Kerisauan Mawangi adalah kerisauan
alami. Siapakah yang tidak inginkan diri menjadi apa apa yang dia ingini? Namun
sayangnya setiuap diri tidak mendapatkan apa-apa yang diingini. Semua dalam
hukum keadilan ilahi. Semua manusia akan diuji jika meminta apa-apa yang
diingini. Bahkan manakala merasa diri beriman sekalipun. Manusia tetap akan
diuji dengan ketakutan dan kehilangan.
Ya... peringatan ini sudah ribuan
kali. Namun keadaannya jika datangnya ujian itu (musibah) situasinya sedemikian
pekat. Sulit sekali diri menyadari bahwa musibah ini adalah pembelajaran saja
agar menambah iman dan yang sudah ada. Perjuangan utk meyakinkan diri ini atas
kebenaran peringatan ini tidak mau dengar. Diri tetap dalam prasangka. Bahwa
Allah tengah menganiayanya. Apakah diri
bisa percaya atau yakin begitu saja?
Ternyata diri meminta bukti atau fakta Allah sayang padanya. Namun bagaimana kejadiannya saat setelah diberikan
fakta/bukti? Lihat bagaimana sesaat diangkat
bebannya. Satu demi satu diangkat. Apakah bukti dan fakta yang dihadirkan membuat diri percaya? Apakah diri
kemudian yakin dan percaya (iman) bahwa musibah itu adalah pembelajaran baginya?
Walau sudah diberikan bukti. Ternyata juga tidak semudah itu percaya. Diri justru semakin kehilangan
keperrcayaan atas keadilan Tuhan. Prasangka justru menggumpali jiwanya. Menjadi benih
permusuhan. Perjuangan meyakinkan diri sedemikian berat. Luar biasa
berat...apalagi hasil tidak sebagaimana yang diinginkan. Maka perubahan sedikit
itu tidaklah dianggap sebagai fakta atas kasih sayangNya Kehilangannya dianggap terlalu berat.
Apalagi penghianatan kekasihnya. Aduh...semakin jauh saja dia dalam anggapan
dan prasangka. Kemudian dirinya membabi buta. Membenci siapa saja tidak pandang bulu. Termasuk kisah-kisah fiksi sekalipun.
***
***
Sungguh berat meyakinkian diri sendiri. Pertolongan Allah dianggap kebetulan
saja. Diare..demam...mutah..sakit kepala...hingga kelumpuhan sesaat ..bahkan
kesadaran hilang timbul...itulah keseharian dalam upaya meyakinkan sang diri. Tiada hari tanpa kesakitan. Tiada hari tanpa
penderita. Tiada hari tanpa kesedihan. Tiada hari tanpa kedukaan. Begitu sulit ya
diri percaya bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang..sebab fakta nya kehidupan
memang kejam. Saling menelikung dan menghantam...saling caci dan membenci. Demikian
Paradoksal...fakta manakah yang harus diyakini sang diri? Maka wajar saja jika kemudian manusia saling benci satu sama lainnya.
Superposisi kadang juga hanya ilusi.
Sebab fakta yang dihadirkan itu lagi dan itu lagi. Demikianlah perjuangan
meyakinkan sang diri atas kebenaran peringatan2Nya. Maka wajar saja jika banyak
yang kemudian lari dan berpaling dari pengajaran Kami. Sebab sakitnya memang luar
biasa sekali.
Dari mana harus memulai lagi dan
lagi untuk meyakinkan diri. Hanya diam dalam niat...niat dalam diam. Hanya dalam niat...bukan kepada hasil fakta di
kenyataan. Sebab kenyataan tidak seindah ingatan. Maka biarlah jika penancapan paku kesadaran ini belum memperlihatkan
hasilnya. Biarlah itu menjadi urusan Kami. Para kesatria diingatkan sekali lagi,
janganlah memikirkan hasil. Sebab hasil itu adalah urusan Tuhan. Apakah negri ini
akan dihancurkan ataukah diberikan kemenangan. Manusia diharapkan dalam ikhtiarnya,
dengan berbaik sangka kepada Allah SWT.
Wolohualam...
Komentar
Posting Komentar