Kisah Spiritual Mawangi, Peradaban Yang Hilang (2)


Watu Gong tak sengaja ditemukan. Gong sebagai harmonisasi orchestra alam semesta menjadi bagian kisah perjalanan. Informasi lembah bukit Gong yang ditemukan memaksa perjalanan meski harus kesana. Diam diatas bukit yang bernuansa misteri sebagai kelanjutan bukti atas perhelatan akbar yang baru dimulai. Musik akan ditabuh dari sini. Desa Tumenggungan masih berada di wilayah Dieng. Irama orchestra alam semesta mengusik perjalanan. Berhenti sejenak disini untuk memaknai semua yang terjadi. Gong mestikah di tabuh kembali?

(i)

Riak gelombang di dada
Irama tetabuhan orkestra alam
sering muncul disini, menjadi mitos
dan misteri yang terkuak kembali. 
Menatap nusantara 
Jauh di sebrang sana 
Bukit dan laut  khatulistiwa
Negriku tanpa aroma

Gentar teriakan lagu
Di dadaku garudaku
Mirip ciap ayam 
Bersarang benalu

(ii)

"Bunuh saja aku wahai perayu!"

Geliat ragaku menjadi saru
Maka biarlah aku hidup
Menjadi  belatung dalam pikiranmu itu
Hingga cengkramanmu layu

(iii)

"Tunggulah, aku akan hidup dalam sanubarimu"

Dalam kebebasan 
(yang) kelak menakutimu, 
Larilah sejauh engkau mampu..
Demi jiwaku,
damai bersama bumiku

...



Seiring dendang lagu dan gong yang ditalu. Begitu juga kemunculan Turangga di sebrang lautan. Fenomena ini menjadi layak untuk disandingkan disini sebagai bumbu kisah. Apakah jalan ceritanya sudah bisa dimulai? Lantas siapakah yang memegang skenarionya? Siapa yang berperan apa? Dan apa yang menjadi siapa? Siapkah manusia? Semua menjadi misteri yang terbarukan mengawali peradaban yang terbangkitkan.

“Kan kami sibak langit. Perhatikan saat kalimat ini akan kami sampaikan kepadamu. “Malam tak pernah tinggalkan siang. Meski panasnya akan selalu meniadakannnya. Matahari akan bersinar dan rembulan tetap dengan cahayanya. Biarlah ingatan atas peradaban yang hilang menjadi kenangan. Bukan untuk diributkan namun lebih kepada bagaimana manusia mengerti. Sungguh Kami akan tunjukan kepada manusia kekuasaan kami di ufuk timur dan barat dan juga di dalam diri mereka sendiri. Agar manusia pahami bahwa kamilah yang berkuasa.””

Mawangi hilir mudik kesana kemari. Sibuk dengan apa yang berjalan didalam pikirannya sendiri. Sering dia tak pahami mengapa dirinya ikut perhelatan. Betapa enggan rahsanya berada disana. Benar, Banten mungkin saja memiliki kisah dan cerita kepahlawanan yang luar biasa. Dari sana telah lahir para ulama yang mendunia. Namun apakah hanya itu?.Hhh...selalu saja kisah indah tak selalu sama dimulanya. Sebuah cerita yang luput dari pengamatan anak keturanan mereka. Banten sebagaimana kerajaan lainnya telah menorehkan sejarah kelam bagi peradaban.

Kisah perebutan harta-tahta-wanita melatar belakangi itu semua. Kisah bagaimana anak melawan ayahnya, kisah bagaimana cucu melawan kakeknya, kemudian kisah bagaimana sang keponakan menghancurkan pamannya sendiri. Semua menjadi catatan sejarah, melatar belakangi peradaban yang hilang. Kisah persetereuan antar sultan telah  disajikan dengan sangat apik sekali sehingga yang melakoni seakan-akan berada dalam kebenaran ilahi.

Atas nama perikemanusian kisah-kisah semacam ini melukai perasaan. Kemudian terekam dengan jelas di DNA anak-anak keturunan. Alam bawah sadar mencatat bagaimana rahsanya berada di puncak kemenangan dan juga bagaimana rahsanya di jurang kekalahan. Masing-masing memberikan makna atas kalah dan menang. Tentu saja dengan persepsinya sendiri-sendiri. Kemudian dengan makna yang diyakini tersebut mereka mulai mengobarkan perlawanan. Melawan takdir Tuhan.

“Apakah manusia tidak mengerti bahwa kisah para raja dan sultan dan semisal kisah kepahlawanan selalu saja menorehkan dendam atas kekalahan yang dialami oleh sang lawan?”

...

Mawangi masih tak mengerti sebab apa kemarin ini system ketubuhannya bergerak sendiri, seperti ada hawa yang menyeruak dan menguasai. Kesadarannya hanya mampu mengamati semua yang terjadi. Tragedi hancurnya kerajaan Pakuan oleh serbuan pasukan Banten masih jelas menorehkan kenangan. Menyisakan dendam anak keturuan galuh Pakuan atas Banten yang sesungguhnya adalah saudara mereka sendiri. Dendam itu termanifestasi dengan enggannya Mawangi untuk datang di perhelatan. Tidak saja Mawangi semua yang dikenalinya seperti enggan untuk mendatangi tempat perhelatan.  Mereka tidak ingin ikut campur dengan urusan Kami ini.

Yah..Perhelatan kemarin ini masih saja menyisakan misteri. Memaksakan keraguan pada diri apakah peradaban meski dibangkitkan dari Surosowan ini. Lihatlah di alam nyata bagaimana permusuhan antar sultan amat kental terasa sekali. Meskipun sesungguhnya seharusnya tidak ada yang mesti diributkan lagi. Bukankah perseteruan itu sudah terjadi di masa lalu? Bukanah tidak ada tahta lagi? Ada apakah dengan bangsa ini? Hingga dendam keturunan masih saja dilanjutkan di masa kini?


Lihatlah awan, disana manusia meski memperhatikan. Belajar dari tanda-tanda alam ini. Gumpalan awan bergerak dinamis dengan wujud apa saja. Mereka bergerak secara simultan menuju suatu tempat yang telah diperintahkan dan ditempat yajg ditentukan akan turun menjadi hujan. Menjadi rahmat semesta alam. Sungguh awan itu, tidak peduli bagaimana proses yang mereka jalani. Air menghimpun diri mereka sendiri menjadi menguap dengan dipanaskan, kemudian bergumpal menjadi awan, selanjutnya akan  turun sebagai hujan. bagaimanakah air berhimpun? Air yang berasal dari seluruh pelosok dunia ini? Adakah yang berfikir atas hal ini?

Air yang berasal dari comberan, air yang berasal dari limbah, dari sungai, dari kanal-kanal, dari danau. Air yang terjebak disela bebatuan. Bahkan air yang terhimpun di lautan itu sendiri. Semua air pahami hakekat dirinya ini. Pendek kata semua air di  bumi ini memahami fitrah mereka ini. Air tidak pernah meributkan darimana mereka berasal.  Mereka kemudian bersatu di langit dan jika saatnya nanti mereka akan dipanggil oleh Kami untuk menjalankan misi. Mereka tunduk dengan patuh dan mereka berserah diri dalam pengaturan Kami.

Air menguap menjadi awan dan akan diturunkan dimana saja untruk menghidupkan bumi. Tidak peduli bagaimana setelahnya mereka nanti. Mereka tidak meributkan dari mana mereka berasal? pakah dari comberan ataukah dari pemandian istana. Tidak ada yajg mempersoalkan itu. Mereka bersatu, bersama-sama untuk sebuah misi suci. Menghidupkan bumi.

Apakah kisah air menginspirasi ataukah justru akan berhenti di septik tank manusia. Terjebak bersama kotoran yang dibenamkan begitu dalam, ditutup dengan beton yang tebal. Sehingga dilupakan. Sungguh air tak pernah peduli. Tugasnya adalah menghidupkan bumi. Melarutkan kotoran yang dibuat oleh manusia. Meskipun tak di-ingini air tetap menjalani perannya ini. Datang dan pergi tiada yang merindukannya, tidak disini di Nusantara ini.


Air yang telah menjadi awan kemudian menjadi tanda-tanda Kami. Apakah menjadi rahmat ataukah menjadi turunnya bencana. Bagaimana tanda yang kemudian terbaca disana? Tanda sang naga dan juga wajah Sabdopalon yang nampak wujudnya? Apakah tanda ini bermakna? Tentu saja tanda ini menjadi pertentangan adanya. Ada yang mengambil hikmah dari sebuah perumpamaan symbol ini. Dan ada yang berpaling dari kemunculan tanda alam ini. Bahkan mungkin juga tidak peduli. Sungguh telah datang peringatan-peringatan ini kepada leluhur-leluhur mereka sebelumnya. Kebanyakan diantara manusia tidak peduli.

“Awan bisa berbentuk apa saja. Itu hanya kebetulan saja”

Begitu kata mereka. Apakah ada yang kebetulan di dunia ini?  Apakah langit tanpa tiang itu juga suatu kebetulan? Apakah manusia dilahirkan itu juga suatu kebetulan? Kalau demikian kebetulan-kebetulan yang terjadi itu adalah suatu kenyataan? Kenyataan yang terjadi adalah kebetulan? Bagaimana logika menjelaskan bahwa rencana yang manusia buat dan kemudian terjadi adalah suatu kebetulan? Bagaimana kalau tidak terjadi? Apakah suatru kebetulan juga? 

Apakah manusia mengira jika rencana mereka yang menjadi kenyataan adalah kebetulan saja? Tidak ada upaya mereka sedikitpun disana? Demikian halnya apakah manusia mengira setiap kejadian di alam adalah kebetulan saja (jika) tiada yang merencanakannya? Sama saja manusia itu telah melawan logikanya sendiri. Mengapa manusia bisa tertipu pandangannya sendiri? Sehingga mereka mengira dirinya tidak dibangkikan lagi. Apakah jika nanti manusia dibangkitkan lagi itu suatu kebetulan? Kebetulan yang manakah yang manusia percayai? 

"Kebetulan dibangkitkan kembali ataukah
Kebetulan tidak dibangkitkan? Bisakah manusia memilih diantara dua pilihan ini?"


Mawangi merengut, jiwa bocahnya kadang muncul dengan lugu. Dirinya kangen Ibu. Yah, dia ingin menemui Ibunya sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Realitas kenyataan hidup harus dijalani sebagaimana manusia lainnya. Menikah dan melanjutkan keturunan. Meski jodoh tak pernah dia pahami. Namun demi keluarga dan khusus demi Ibunya dia akan memohon kepada Kami. Dia tidak pernah memahami bahwa sesungguhnya jiwanya tengah disucikan Kami.

Sebagaimana nampak kemunculan sang naga. Naga adalah symbol para pencari jalan sunyi. Memang simbol naga dalam kesadaran kolektif manusia dapat bermakna sebagaimana referensi mereka. Naga sering disandingkan dengan Cina. Banyak yang lupa bahwa dalam hikayat tanah Jawa, naga menjadi simbol utama pencarian jatidiri manusia. Kisah pencarian air tirta atau TIRTAYASA menjadi mitos dan legenda tanah jawa.

"Terkisah sang Bima saat ingin mencari kesaktian yang tanpa tanding. Bima  di perintahkan Dorna untuk mencari tirtayasa. Kepatuhan Bima kepada Guru menjadi teladan disini. Meskipun Ibu dan juga saudaranya mencegah Bima. Keyakinan Bima terhadap kebenaran Gurunya tidak bisa di halangi. Saat sampai tepi samudera Bima berusaha menekan segala hawa nafsu, ketakutan dan keraguan dan meyakinkan dirinya sendiri apakah ia sanggup untuk menyelami samudera. Saat menyelam ke dasar samudera, dirinya bertemu dengan naga (Dewa Ruci), terjadilah pertarungan sengit. Bima hampir mati saat dirinya dililit seluruh badannya. Namun dengan kekuatannya bima bisa mengalahkan naga itu dengan menacapkan kuku pancanaka pada badan naga.

Sesaat setelah mengalahkan sang naga, bima bertemu dewa ruci yang wujudnya kecil hanya setelapak tangannya, rupanya persis seperti bima. Bima diperintahkan oleh dewa ruci untuk masuk kedalam telinga kirinya. Perintah yang mustahil tapi bima bisa memasukinya. Setelah masuk, bima mendapati dunia yang sangat luas. Terjadilah dialog-dialog antara bima dan dewa ruci, kemudian dewa ruci mengatakan bahwa air kehidupan tak akan pernah didapati karena memang tak pernah ada namanya air kehidupan. Dewa ruci mengatakan bahwa air kehidupan hanya ada dalam diri manusia itu sendiri.


Bima menyadari bahwa dewa ruci adalah representasi dirinya. Ia menyadari bahwa jalan menuju sang Tuhan ada dalam dirinya dengan cara melawan hawa nafsu dan istiqomah. Dirinya bertemu kemuliaan yang tak pernah didapati oleh tokoh lain sebagai murid yang sangat patuh terhadap gurunya."


Demikianlah symbol yang seharusnya mampu dimaknai oleh anak keturunan Ki Ageng Tirtayasa. Kisah ini menjadi teladan bahwa jika ingin mencari kemuliaan hakiki maka carilah kedalam diri mereka sendiri. Pesan ini jelas dan tegas, anak keturunan Ki Ageng Tirtayasa meskinya memahami hakekat ini.  Sabdo Palon diam mengamati bagaiman sang naga ini meliuk dari kanan ke kiri jika di lihat dari muka.

“Sudah saatnya manusia mencari air kehidupan. Mencari Air yang menghidupi hati manusia. Tirtayasa yang hilang hendaknya kembali mengalir di hati setiap insan."

Itulah pesan Kami. Ki Ageng Tirtayasa adalah sebuah simbol tokoh yang memiliki air kehidupan. Tokoh yang mengayomi masyarakat Banten. Sungguh pesan yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memang bersiap diri menerima pesan-pesan ini. 



Bagaimana menjelaskan kisah ini secara logika? Sesungguhnya manusia memiliki bagian otak yang sangat primitive yaitu otak reptil. Otak reptil ini berfungsi sepeerti otak para naga. Sistem ketubuhan manusia memiliki system reflek motorik para naga sebagaimana kisah dalam mitos dan legenda. Sebagian manusia adalah keturunan para naga ini. Otak manusia mewarisi otak naga. Ini adalah realita jika manusia membacanya.

"Otak naga (reptil), adalah bagian otak pertama dan terletak di dasar otak. Otak reptil merupakan pusat perilaku inderawi dan naluriah yang memiliki tugas mengatur kebutuhan mendasar seperti bertahan hidup, berkembang biak, dan perawatan diri. Selain itu, otak reptil juga mengambil tanggung jawab mengendalikan fungsi tubuh otonom, seperti detak jantung, pernapasan paru-paru dan regulasi suhu tubuh.

Karena peran inilah, otak reptil dikatakan bersifat “kebinatangan dan primitif”, bertindak berdasarkan nafsu. Inilah sebabnya mengapa sering disebut sebagai “otak reptil”, karena fungsinya sangat mirip dengan otak reptil yang dimiliki reptilia. Ketika otak reptil ini sedang aktif, yang berperan adalah insting dan reaksi spontan. Ia aktif apabila seseorang merasa ketakutan, stres, merasa terancam, marah, kurang tidur, atau kondisi tubuh lelah.

Beberapa ciri yang terkait dengan otak reptil meliputi : agresi, dominasi, mencari pasangan, seks, kefanatikan, obsesif, kompulsif, dan keserakahan. manusia bisa melihat contoh binatang liar yang mempertahankan wilayahnya dari penyerbu, dan manusia akan segera memahami mengenai jenis perilaku yang berasal dari bagian otak ini. Sistem otak reptil inilah sesungguhnya yang harus dikelola oleh diri manusia. Demikianlah logika pesan-pesan yang mestinya dimaknai secara bijak."


Kusiapkan diri 
Menjadi jembatan,
Tak lekang panas dan hujan
Menghantarkan ketepian
Dilapukkan waktu
Seribu tahun menunggu

Bunga gugur satu
Tawarkan rindu
Bukan pada matamu
Indah senyummu 
Riuhkan sedihku

Pengabdianku seumur waktu
Meski sembilu gantikan senyummu
Diujung musim itulah aku
Pada tepian saat gugurnya daun
Dan bekunya air dilautan

Seusai masa 
Tak lekang panas dan hujan
Jembatan pengharapan
Saat penantian hanya ingatan
Menunggu hadir bayangmu

Dimanakah engkau kesatriaku?


Wolohualam,
Dieng 18112017



Komentar

  1. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri apakah suatu kebetulan? Kalo berubah kalo tidak berubah ! Apa juga suatu kebetulan?

    BalasHapus
  2. Ya benar, harusnya dimjlai dari diri sendiri. Si Thole gak ada habisnya gilanya. Perasaan masang paku bumi ud 3x d. Abal-abal pakunya jd harus diulang-ulang. Dari gak mikir modus akhirnya terbukti memang modus kan.

    Coba baca lagi pesannya Prabu Siliwangi... PRABU SILIWANGI TIDAK LAHIR KEMBALI. http://pondokcinde.blogspot.co.id/2013/05/kisah-spiritual-jejak-jejak-kasat-yang.html?m=1
    Itu bukti semua yang ditulis di sini pelakunya palsu jejadian.

    Lantas mau apa? Mau bilang fiksi lagi? Hihihi.. Kamu menyangkal tulisan kamu sendiri dan mulai berbohong lagi.

    Kasian kamu mawangi, mau-maunya dimanipulasi Thole. Hahaha....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih panjenengan masih setia di blog ini. Memberikan warna indah disana.

      Semoga rahmat Allah terlimpah untuk anda dan orang tercinta..subhanalloh indah sekali perbedaan itu

      Hapus
    2. Surah An-Nas (114):

      Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
      Raja manusia.
      Sembahan manusia.
      Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
      yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
      Dari (golongan) jin dan manusia.

      Hapus
  3. Tidak ada dalam ilmu biology batang otak disebut otak reptil. Itu hanyalah bahasan artikel-artikel spiritual yang mengistilahkan batang otak dengan kata otak reptil.

    Padahal batang otak fungsinya bukan untuk nafsu dan amarah, melainkan
    http://www.ilmudasar.com/2017/04/Pengertian-Struktur-Fungsi-Batang-Otak-adalah.html?m=1


    Jadi artikel-artikel mengenai otak reptil https://www.google.com/search?q=otak+reptil+pada+manusia&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b
    Tidak dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah.

    Mungkin kamulah yang berotak reptil, keminter... Hahaha...

    BalasHapus
  4. Lanjut gan sharingnya
    sangat memberikan pencerahan dan bermanfaat bagi yang sedang mensucikan jiwa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali