Kisah Spiritual Mawangi, Peradaban Yang Hilang (1)
Angin dan awan perlahan turun, menaungi persiapan pada penataan perhelatan |
"Peradaban yang hilang menampilkan pesan. Pada uraian kalam, yang menghias kelam. Sesungguhnya tiada terbuang, hanya ingatan kadang terhalang dari pandangan. Kami sekedar buaian impian. Maka manakala Kami hadir, sejujurnya kami ada dalam lipatan ingatan para Tuan. Tiadalah yang hilang."
Kuasa jiwa. Kegelapan merajuk semesta. Guliran makna menuju mayapada. Mengintip perhelatan akbar yang di gelar disana. Banyak kesatria yang undur ke belakang. Nuansanya terasa begitu mistis. Begitu menakutkan. Tidak saja pada jeda mata namun telah merasuki jiwa dan raga. Para Putri undur diri, begitu juga para putra raja dan penguasa istana. Tidak ada yang berani tampil di medan laga. Peperangan ini begitu nyata, sehingga auranya menggumpal amat pekatnya di pusat kegiatan. Begitu juga halnya di tempat kejadian. Surosowan saksi pertaruhan.
Seperti
puisi
Anganku
mendahului
Seperti
simphoni
Gelisah
kulalui
Pada
lingga dan yoni
Kusematkan
janji
Indah
mutiara dan marjan
Pada
jamuan dan kelap malam
Himpitan
halusi dan kenyataan
Keharibaan
raja dan tuan
Kupinang
kunang untuk bintang
Kusandingkan
matahari untuk rembulan
Kuikatkan
pada persaksian
"Bukankah
langit tanpa tiang?"
Siapakah
yang mendustakan?
Kami
berjalan diatas bintang
Menari
bersama angin malam
Menghantarkan
perjamuan
Hingga
kulit menyakiti tulang
Mawangi
duduk bersila, amarahnya mendadak
menguat naik ke kepala. Tangan kaki, kemudian menjalar di sudut telinga. Blang….blaaaar!.
Seiring suara kendang yang mengiringi debus yang tengah disajikan. Kesadarannya
beralih rupa. Tiada kuasa dirinya atas tubuh. Tiada kuasa kesadarannya atas
realitas. Tatapannya lurus ke depan. Hawa demikian pekat di ruangan. Jari jemarinya
gemelatak menahan energy yang mengalir di sekujur badan. Bangkitlah dia
meradang.
Tubuh
lemahnya bukanlah halangan. Raga
wanitanya tidaklah persoalan. Kuda-kuda
terpasang. Bibir sedikit turun ke bawah menahan luapan kepedihan. Siapakah yang
mengusik keberadaan spirit Surosowan. Spirit purba yang keberadaannya jauh
melintasi jaman. Tidak peduli jika lawan memiliki tubuh tinggi besar. Kini dirinya bukanlah dia. Angin memutar dari arah muka dan belakang. Menuju titik perang.
“Kurshku
buni la yaka habtahu kil tash bukgha bush raka natma yukali yutma haka laguyatu
rahmabush guthka yamh gabhu pil rash jkursh hurka guytrah barham jash yuk tar
bahulna yugfa pai koyturhabgaku lokutabh garhamka nahu bahakna tabarhabu
jumhama rahbata syahbat humbayu tarjabaina jamka tarjaina ham burhana
surhatmaka habkum suhbam hamkurah yugbu jamla huj baika jur taha kur abu kar ub
katabu husjana kamata yukamrahu yukmata yurhamka yurtahu kamlauhu jikra hujila
kurhama hursaku sihlabu rush hum sah bu ra jutakayuba yutmaka yutmaina yarjaina
yurtaba jikar batahu rahmaktabu yam lahu jumka huksha yah bu yarsha ku laihja
kurshuyi tarsh trah barahu yabaraku jumraka yutmaina kurjata hur sya
Salam
kum tar jabaika hur jabaikum tash kirun sya'maina wa jal baladil karam syah
baikahum yu'takum syahzakum lillah lillahita'ala syah tahu rahmatawwaba kum
salamun 'alaihim turjau'un alamin aamin.
Wassalam”
Begitulah
pesan dari makhluk kesadaran. Mereka yang telah melintasi peradaban. Sejak dari
jaman keberadaan manusia belum bisa disebut, hingga kemudian memasuki jaman
dimana manusia mampu berkata dan berbicara dengan bahasa. Mereka mengikuti
sepak terjang manusia. Kini manusia yang baru datang 2-3 abad di belakang malah
mentertawakan keberadaan mereka di Surosowan.
“Apakah ingin mengobarkan perang?”
“Kum rakum syah tarjabu
karhakum tahkahum kirtabu hum ka syeh jabbr takhabul jannah tarhujaibah
kushtabu.
Kash.
Syam baikah jam syahada
hubaika hul syahada bil kurab. Syukron kabiran. La hamdu lahu kabirin.
Wassalam alaika ya
habiballah hum
Karjaktuhu barsyah
kurjatahu kurjatahu kurjatahu kabiraktah luhka nubshibu taru jamka hulka rahbu
hush maka iyathilkum syakhursh kila buktaro kulam 'ala syakh kabira hul jam'a
kabira.
Allahu akbar. Allahu
akbar. Allahu akbar.”
Suasana
perang kesadaran termanifestasi dipermukaan. Tubuh Mawangi bagai robot tak
bertuan. Tatapannya penuh kepedihan menatap lurus ke depan. Sekejap dia merangsak, menerjang. Sayang tangan kokoh Banyak Wide telah membawa sang lawan menjauh ke
belakang. Begitu dahsyat makhluk-makhluk alam kesadaran. Mempengaruhi gerak
sadar manusia. Bertahta dalam jiwa. Diam lama disana. Menjadi perjuangan bagi
kesatria alam. Membuat titik keseimbangan.
…
Badan wadag manusia menjadi persinggahan. Memuncak amarah para spirit alam. Masing-masing dalam pengakuan. Klaim atas kuasa suatu wilayah. Klaim atas kesadaran anak keturunan mereka. Setiap kesadaran membutuhkan eksistensi di alam kesadaran. Jiwa manusia diharapakan mampu memberikan ruang bagi mereka untuk eksis di alam ini. Jadilah khalifah al;am yang memimpin kesadaran para spirit ini dalam harmonisasi. Demikianlah pesan disampaikan.
“Banten adalah peradaban kemarin. Peradaban Kami
jauh sedelum itu.”
Para
Hyang, para sanghyang berdatangan saling sambang menyambang. Merekalah yang membuka portal dimensi di Surosowan.
Nampak wujud Kami dengan wujud simbolisasi; sebagai ujud sang naga. Bergerak dari
kanan ke kiri, di langit persis di atas
panggung saat pembukaan, waktu siang menjelang ashar. Nampak dalam latar
belakang wajah sang Sabdopalon dengan sepasang matanya, diam mengamati dalam
wujud cahaya. Semua berkepentingan atas perhelatan ini. Sebuah sumpah dan janji
atas negri ini.
“Allah hu akbar..Allah hu Akbar..”
Gempita
mereka berdatangan, menggemakan tauhid dan tahmid kepada sang Penguasa jagad
semesta. Penguasa alam. Lirih takjub
semua berdoa, agar perhelatan akbar ini bisa diteruskan.
“Jazakkallah kafiran
kashiran
Kabirahu karjaktahu
jumkalaina. Yukmalakahu jurbarahu kurja'un
Kala barakul jabaru
tarhabu yukmakahu jukmataka yutmaina jurbahaika hum layash bahura jukmata kur
bahatarahu yukmataka hur jama kum
lakah rahu tarjahum jahabal karyuta kum layah
tahum ham kahu ru hal kahum
Syahada syahada wa bani
habiballah
Kasyiran wa syukron
arbaikatau hal kabira
hakma tahu yul bahaku bahkatu hamkabul rahutukma sya'alaikum rahmatan
Kafira hum syabili fisabilillah
him tahbahuk
rahmataw wa 'alaikum
hamdaru hasyianhu wa barakta bul tarabkum harsihum karsya hum karibun
ratahbakum hum kalabun
ghairan hamdun kabilah fisabilalillah wa bihamdika wa jubtaika hu rahmatawwaba
hum jabilahum jutmainaka
hum karsya bu hum jaktabu hum kursyahum
Jukrum
syukron wassalam hum
alaihim salallahu wa fu anhu wassalama bil hamdi”
…
Perhelatan telah usai, angin awan dan hujan sejenak menaungi dan kemudian pergi |
Perhelatan telah usai, namun itu bukanlah akhir. Demikian akhir yang di mulakan. Dan juga mula yang diakhiri. Sebuah paradoksitas alam kesadaran. Kesadaran manusia sulit memahami. Demikianlah wujud energy di alam materi. Cahaya yang tidak pernah mampu diprediksi bahkan dengan teori superposisi, semua tetap menjadi misteri atas takdir ilahi.
Hujan
deras mengguyur Surosowan saat doa nabi Ibrahim di panjatkan. Doa yang
dilantunkan oleh para anak keturunan Wali dan Sunan.. Kami mengamini doa-doa
tersebut. Kami menjadi saksi atas perjuangan anak-anak bangsa ini yang
menginginkan agar negri ini aman. Negri yang gemah ripah loh jinawi, menjadi
kenyataan. Bangsa yang Berjaya di tengah bangsa-bangsa lainnya. Anak-anak
mereka tidaklah menyembah berhala.
Demikian
spirit terus digaungkan. Jayalah negriku damailah bangsaku. Jayalah Nusantara
Jaya. Berkibarlah semangatku dalam kibar benderamu.
Menjadi
sebuah keyakinan, sebab Kami kemudian memberikan pesan.
Allahu Akbar, Allah Maha
Besar
Sesungguhnya raga yang
bergerak semua atas kehendak Yang Maha Kuasa. Tiada masa yang tanpa ada batas
kecuali atas kehendak-Nya. Sesungguhnya seringkali manusia merasa berada pada
suatu titik yang menjadi nurani terasa beban berat, itu hanya rasa, karena
sesungguhnya Bila semua berjalan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa, akan
berjalan dan bergerak atas Kehendak-Nya.
Beban itu terasa berat
bila dilangkah dengan segenap langkah raga, tetapi ingatlah janji Yang Maha
Kuasa, maka semua akan menjadi mudah dan terpenuhi dalam benak setiap sang
raga.
Tuhan akan menepati
janji-Nya, dan menetapkan jalan-Nya.
Bersyukur dan terima
kasih atas segala hal yang sudah kalian kerjakan, Kami senantiasa menyertai
dengan senang dan bahagia. Tiada ketetapan yang ditetapkan sesuai dengan
kehendak-Nya.
Semua akan mendapatkan
tujuan dan keinginannya. Kami hanya menjalankan perintah dari segenap titah
Yang Maha Kuasa.
Terima kasih telah
berjalan dan mengikuti kehendak-Nya, kami menyertai setiap langkah yang telah
engkau kehendaki.
Perjalanan ini bukan
akhir dari semua kisah, tetapi awal dalam sebuah perjalanan dalam membangun
kesadaran. Harta yang keluar akan kalian dapatkan dalam sekejap pandang,
biarkan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Karena hanya itu yang
mereka dapatkan, sisanya tidak. Janji Allah itu pasti. Sang Guru Musti akan
hadir di sini, dengan segenap janji untuk kembali kepada ilahi rabbi.
Lelaki dengan langkah
pasti menyukai perjalanan suci, bukan sekedar hanya untuk menyisih waktu dalam
layanan waktu.
Janji Allah itu pasti, Kami pun akan
menjalankan semua titah-Nya itu pasti.
Terima kasih, akan lahir
sang naga sakti, dengan sebilah Panji dan tongkat yang menyertai. Tongkat itu
sudah kau pegang, maka saatnya untuk mengabdi dan menjalankan tugas suci,
kembali kepada ilahi Rabbi, tanpa emosi atau syahwat yang tak kunjung pasti
untuk menutup segala keadaan diri.
Allahu Akbar... Allahu
Akbar
Allahu wa lillahilham
Allahumma shalli ala
Muhammad, wa ala ali Muhammad.
Amma ba'du...
Sang naga ada pada
dirimu, yang akan membangkitkan setiap raga yang terpuruk dan terkungkung oleh
syahwat.
Allahu Akbar Allahu
Akbar
Walillahilham
…
Maka biarlah raga menjadi saksi, jika kemudian sakit menghampiri,
itu bukanlah ilusi. Sebuah pengorbanan bagi yang berjanji. Tak perlu takut
untuk diakhiri, semua MANUSIA berjanji. Janji kepada Allah Tuhan mereka
sendiri. Ya Sin…semua manusia dalam perjanjian ini.
Wolohualam…
Lereng Dieng 17112017
Lereng Dieng 17112017
Komentar
Posting Komentar