Episode Lawon Ngesti Aji; Tahun Kesedihan
Nuansa bening mengembang, mengembun
di sudut mata. Pandangan bias ke depan sesekali nafas di tariknya perlahan,
helaan nafas panjang menggumpal. Tertahan angin di sudut ruang. Malam menjadi
sunyi sepi dan aroma kesedihan menyebar ke hamparan. Pandangan nanar, seperti
menahan mendung yang sudah menghitam. Jatuh, satu dua tetesan embun. Pucuk daun
hati tak mampu menahan berat laju air yang berjatuhan dari langit
kesadarannya. Lelaki itu menangis, memekik merambahi istana padang tak bertuan.
Sekuat dayanya dirinya menahan agar
tidak menjadi raungan. Adalah harapannya menjadi lelaki yang seutuhnya lelaki, kuat
menanggung beban, walau kesedihan datang setiap kali mendampari. Langit ingatan terus mengembara, adakah yang
salah dalam memakna kejadian. Apakah ada kalimat yang ditahannya. Apakah ada
kemarahan dan menyalahkan dalam setiap uraian kehidupan. Lelah dirinya mencari
jawaban, hingga tubuhnya jatuh berdetam di kasur yang terhampar di lantai
kenangan yang ingin dilupakannya. Dia memasuki alam mimpinya sendiri. Apakah
yang menyedihkan dirinya?
Kilas membalik kesadaran, menuai
pekikan kemurkaan dan keputusaan. Menghardik anggapan yang tak sama antara
kenyataan dan keadaan. Dia Galuh Candra Kirana menarik semua peran, menyudahi
semua kisah yang mulai dipertautkan. Mengundurkan diri dari semua rangkai
kehidupan di alam kesadaran. Tidak ingin dikisahkan, dan tak ingin disalahkan juga tak ingin menjadi
beban. Mohon segera diakhiri kisahnya disini. Biarlah dia berjalan dengan
keinginannya sendiri. Telah lelah diri merangkai kenyataan yang selalu
menyakiti. Sudah, sudahi saja semua pesan. Demikian permintaan. Dan lelaki itu
hanya terpekur diam, satu dua bahkan sejuta alasan yang disampaikan
tentu saja akan percumah. Dengan berat hati kisah spiritual perihal dirinya tentu saja akan
diakhiri. Menjadi pembelajaran kemudian meskipun dirinya sendiri yang memulakan
tidaklah ingin kisah
ditamatkan dan diselesaikan alam. Menyudahi tanpa bermaksud mengakhiri. Bagaimanakah itu? Sebagai pelaku sendiri kisah tidaklah sama keadaanya
dengan sang pembaca kisah. Jelas sekali beda rasanya. Demikianlah persaksian akan disampaikan. Pemain dan penonton jelas beda keadaan dan nuansanya serta sensasinya.
Setelah semua pesan disampaikan,
setelah semua keadaan dipaparkan, setelah semua anggapan dan persaksian diutarakan.
Galuh Candra Kirana merasa dipersalahkan atas semua kejadian. Pesan-pesan
dianggapnya sebagai hujatan dan makian kemarahan. Maka ditariklah semua pembelajaran. Menjadi
kesedihan yang tak tertahankan bagi alam kesadaran. Namun apa boleh buat sebab
itu adalah permintaan. Sebagaimana sebuah kisah dalam film yang mesti
ditayangkan, sang sutradara tentu saja akan mencari pemeran lain yang bersedia
menjadi pemeran dalam kisah yang akan dimainkan. Kisah akan sebagaimana pakem
alam semesta, tinggal siapakah yang mau menjadi pemeran utama dalam kisah-kisah
tersebut. Demikianlah takdir anak manusia. Sayang sekali manusia selalu salah
mengerti. Selalu saja manusia terburu-buru memaknai kejadian. Tergesa-gesa
dalam mengambil kesimpulan. Dipikirnya jika tidak ada dirinya yang mau memainkan
kisah tersebut, kisah itu tidak akan tayang lagi di kesadaran. Sungguh sebelum
manusia diturunkan ke muka bumi telah ditanyakan kepadanya berulang kali atas
peranannya nanti di bumi.
Manusia hanyalah wayang yang akan
memainkan peran-peran di kenyataan. Janganlah salah memahami bahwa raga itu
adalah dirinya. Sehingga salah menganggap bahwa nasib raga adalah takdir
dirinya. Sungguh dia nanti akan mengerti saat nanti semua kejadian diputar
ulang dihadapan Tuhannya. Manusia nanti akan diperlihatkan seluruh kehidupan
yang dijalaninya dimuka bumi. Bagaimana keadaan dirinya saat berperan sebagai panglima,
bagaimana kehidupan dirinya saat berperan sebagai putri istana, juga bagaimana
saat dirinya sebagai manusia biasa. Semua peran yang dimainkannya akan diputar
ulang dihadapan Tuhan. Apakah manusia telah berperan sebaik baiknya dalam
setiap peran yang dimainkannya. Apakah manusia kemudian bersyukur dengan sebaik
baiknya syukur manakala diijnkan berperan sebagai Galuh Candra Kirana, apakah
dirinya memuji Tuhannya saat berperan sebagai rakyat jelata yang miskin dan
papa?
Perhatikanlah bagaimana manusia dimasa hidupnya nanti selalu akan mempertanyakan keadilan Tuhan saat dirinya
berperan sebagai apa saja. Sama saja keadaan manusia di raga apapun. Sedikit
sekali manusia bersyukur dalam menjalankan peran-peran yang diberikan Tuhan.
Demkianlah kisah ini diulang-ulang. Tidak dapat dipungkiri bagaimana kesedihan
kehidupan yang dijalani anak manusia yang di alam ghaib kemudian disebut dengan
Ratu Galuh. Bagaimana juga laki-laki itu tersungkur saat mengkoneksikan pecahan2an yg berserakan atas cahaya awal dari Dewi Sekartaji karena tidak semua
yang terkoneksi itu hrs diaktifkan. Yah, itu dilakukannya hanya sekedar untuk mencari jawaban atas
hakekat kisah mitologi yang masih tersimpan kuat sekali di alam bawah sadar
bangsa ini. "Hung rahung dawagung agung rahyang dawanta gantyang. Oh, baru paham kenapa disebut Ratu Galuh. Kalau
di dunia manusia, Ratu Galuh sebagaimana yang dimaksudkan ada lintasan yang tak
sama". Memang dapat julukan Ratu Galuh itu sebetulnya ya putri yg ke laut ikut
Ratu Kidul. Dia dikenalnya di dunia mereka Ratu Galuh. Di dunia mereka,
dipanggilnya Ratu Galuh, krn putri itu kan msh ada keturunan Galuh juga.
Kalau dicerita Sunda kan putri ini
memang disiksa karena kecantikannya dan putri ratu. Sejak kecil memang menderita.
Udah dewasa diracun sampe buduk seluruh tubuhnya. Dia mau bunuh diri, terus dari
dalam laut ada yang manggil utk datang aja dan tinggal bersama mereka yang
manggil ini antara ratu kidul atau roro kidul. Inilah kisah yang lekat dalam
mitologi orang-orang Pasundan, versi penjaga laut selatan. Bayangkan bagaimana
jika kisah ini adalah kenyataan adanya. Kemudian kisah ini kembali terulang di
alam manusia dengan pola yang sama hanya seeting lay out yang berbeda. Apakah
Ratu Galuh ini masih dikenali oleh masayarakatnya dan masih dianggap sebagai
ratu? Sebagian orang tua atau sesepuh masih mungkin saja ada yang mengenal keadaan dirinya,
sehingga dia jika datang ke petilasan masih ada yang mengenalnya sebagai RATU. Demikian
memori ini ada dalam DNA manusia masa kini. Apakah sama keadaanya, di alam ghaib dan di kenyataan. Apakah sebutan RATU itu bermanfaat bagi dirinya di kehidupan terkini. Lantas apakah artinya reinkarnasi?
+++
Lelaki itu demikian lelah, dia
tertidur, memasuki alam mimpi diatas mimpinya lagi. Sesuatu yang tidak bias diingat
hanya muncul lintasan mimpi justru saat terbagun di pagi hari. Teringat hadis
yang menceritakan bahwa Rosululloh beliau hampir setiap malam memandang bukit
Uhud sambil bilang, "Ummatiii... Ummatiii... " Sangat berasa banget
kesedihan Rasul sampai rasanya perih dan seperti berasa di sana sambil melihat
padang Uhud yang menyajikan berbagai cerita umat Islam yang akan datang
(mungkin sekarang juga sdh ada gambaran). Melihat fenomena sekarang aja melihat
umat Islam berasa sedihnya, bagaimana yang melihat umat secara keseluruhan dari
zaman ke zaman. Begitu kesedihan yang dialaminya, betapa sedih dirinya
menyaksikan kehidupan yang harus dijalani manusia. Bagaimana manusia mengalami
benturan kehidupan. Manakah yang nyata dan mankaah yang ghaib keadaannya. Apakah
dirinya terlalu keras menyalahkan kemarin malam itu? Apakah kisah yang
dihantarkannya mengusik sehingga membuat dirinya berpaling. Kalau demikian
jelas itu kesalahannya. “Ya robb…” laki laki itu mendeking memasuki alam bawah
sadar, alam mimpi yang menuntunnya bertemu dengan Ibunya Ratu Pantai Selatan.
“Anakku…janganlah terlalu keras menghukumi dirimu sendiri. Ibu tahu apa
yang engkau rasakan itu. Ibu tahu betapa kasih sayangmu kepada mereka yang juga
anak-anakku. Ibu tahu bagaimana upayamu menyadarkan mereka atas hakekat
jatidiri mereka. Namun manusia hanya berusaha anakku, Allah yang akan
menentukan hasil dari semua yang kita usahakan. Berserah dirilah kepada Allah.
Allah sebaik-baik pembuat rencana. Biarkanlah adikmu Ratu Galuh belajar tentang
kehidupan di alam realitas. Biarlah dirinya mencari kenangan yang hilang saat di
kehidupannya dahulu sebagai manusia biasa. Tentu saja yang dikenangnya adalah
masa kesulitan dahulu dihujat, dinista dan juga dianiaya. Kecantikannya menjadi
musibah bagi dirinya, demikian alam tengah mengajarinya. Kehidupan sebelumnya
tentu saja dia tidak ingat itu. Sekeras apapun engkau mengkhabarkannya, akan
sia-sia. Engkau hanyalah pemberi khabar saja tidak lebih. Biarkan dia anakku.
Biarkanlah dia belajar sendiri”
Suara lirih Ratu Kidul terus menggema
di rongga dada, jauh melampaoi mimpinya, walau telah hadir dan eksis di kesadarannya sebagai
manusia suara itu terus mencoba menenangkan dirinya. Suara yang bagai genta
lonceng yang diulang ulang. Jauh menembus nuraninya.
“Kehidupan bukanlah tentang benar dan salah, anakku. Kehidupan sesungguhnya adalah tentang
persaksian. Bagaimanakah persaksianmu itu yang akan menjadi arti dan makna
hidupmu. Sesekali bukanlah benar dan salah, ingatlah itu anakku. Lihatlah
pengajaran para nabi, lihatlah bagaimana nabi Musa juga harus diajari oleh
manusia biasa yang telah diberikan kelebihan ilmu hikmah. Lihatlah bagaimana nabi
Ibrahim juga diajari untuk melakukan perbuatan salah dalam anggapan manusia
dengan menyembelih anaknya sendiri. Perhatikanlah anakku, sekali lagi hidup itu
bukanlah tentang benar dan salah. Apakah anggapanmu nabi Ibrahim salah dengan melakukan
percobaan pembunuhan kepada anaknya sendiri. Coba tanya logikamu sendiri
anakku, apakah perbuatan nabi Ibrahim itu dapat kamu salahkan? Apakah jika engkau meniru
perbuatan seorang nabi seperti yang dilakukan nabi Ibrahim menyembelih anak itu, perbuatanmu dapat
dibenarkan?
Perhatikanlah anakku, perhatikanlah. Kisah-kisah yang dihantaran al quran
itu. Disana banyak kisah yang telah diajarkan kepada manusia-manusia terdahulu.
Maka janganlah engkau terlalu menghukum dirimu dengan kamu salah dan dia benar,
atau kamu benar dan dia salah. Bukan begitu anakku. Biarkanlah Allah yang akan
mengadili perihal benar dan salah Tugasmu hanyalah menjadi saksi atas kekuasaan
Allah atas semua makhluknya. Tugasmu hanyalah menjadi saksi atas perilaku yang
dicontohkan nabimu. Lihatlah pada dirimu sendiri apakah telah benar persaksianmu
itu. Jika telah benar mengapa perilakumu tidak bisa mengikuti perilaku nabimu, masih ada hawa amarah dan hawa kemasgulan di dalam dadamu itu. Janganlah begitu
anakku, sekali-kali jangan begitu! Jadilah penyaksi yang benar. Sudah benarkah persaksianmu sebagaimana yang engkau ucapkan; ashadu ala ila hailallah wa ashadu ana muhamadarosulillah.
Anakku, tidak usah engkau terlalu bersedih atas kehilangan adikmu Ratu
Galuh, setiap diri dalam pembelajaran Tuhanmu. Setiap diri harus berusaha
menyempurnakan jiwanya. Jiwa yang telah sempurna adalah jiwa yang selalu
bersyukur (puas), jiwa yang telah tenang
memerankan peran apapun dimuka bumi ini, jiwa yang ridho diberikan peran apapun
dimuka bumi. Dirinya tidak mempersoalkan lagi apakah dirinya ada di dalam raga
manusia hina dan papa, atau di dalam raga pelacur dan juga raga lainnya. Dirinya
sudah tenang mau di dalam raga siapapun itu. Jiwa yang telah sempurna adalah
jiwa yang pandai mensyukuri apapun yang menimpa dirinya. Jiwa yang sukarela
menetapi takdir dirinya. Jiwa yang selalu berserah diri. Tetapilah langkahmu
kesana anakku, Ibu akan selalu mendampingimu bersama paman-pamanmu.
Anakku, Ibu harus segera pulang. Ingatlah tahun Lawon Ngesti Aji sebentar
lagi. Tahun itu adalah tahun dimana perang Barata Yudha terjadi. Perang ini adalah
perang kesadaran. Jika kita kalah maka para makhluk dimensi rendah akan mengisi
kesadaran manusia. Maka kita tahu apalah jadinya. Jika makhluk dimensi rendah
menguasai, perilaku manusia akan seperti mereka. Hilang sudah perikemanusiaan.
Hilang sudah sifat manusia yang ada adalah sifat-sifat dimensi rendah. Camkan dan
perhatikanlah anakku. Teruslah berjuang dan mengumpulkan kesadaran baik dari
manusia maupun dari kesadaran lainnya di Nusantara ini. Eyangmu Sabdo Palon
juga sudah menyiapkan diri. Semua dimensi telah bersiap diri. Membekali diri
mereka untuk persiapan perang ini. Engkau akan ditemani orang masa lalu yang
adalah dirimu sendiri dari dimensi lapisan tujuh. Brahma Mahaputra Wijaya. Dia
akan selalu dating menjadi penasehatmu. Wikarya Pandanu Wisesa. Selamat tinggal
anakku. Jaga dirimu baik-baik.”
+++
Malam telah menjelang siang, bahkan
matahari telah bersuara bingar di balik jendela. Lelaki itu bangun kesiangan.
Entah mimpi apakah yang dialaminya. Mimpi tapi bukan mimpi. Jelas sekali dalam
ingatan dan didalam rongga dadanya. Rahsa sejuk dan dingin teah menyebar di
dalamnya. Rahsa masgul dan rahsa bersalah hebat yang menghantarkan tidurnya lenyap
seperti dihapus angin. Mendung yang menetes kini justru memekarkan bunga
dipelataran belakang rumahnya. Bunga Kamboja tersembul di pelataran belakang demikian halnya bunga Wijaya Kusuma yang sudah lebih dahulu mekar mengawalinya.
“Lawon Ngesti Aji…Perang Barata Yudha…”
laki-laki itu bergumam sendiri…
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar