Kisah Kami (1), Episode Turunnya Para Sanghyang dan Batara


Hasil gambar untuk batara kamajaya dan batari kamaratih
Mengapa Engkau hadirkan aku pada rahsa ini? Ya Rabb.. Kau hempaskan aku tak berdaya. Pada titik kesadaranku, telah kukatakan kepadaMu. Akulah penyaksiMU, tiada kuasa atasku pada diriku ini. Lantah,  entah apa yang kutuliskan pada DNA ku sendiri, sehingga rahsa ini begitu terlalu. Apakah itu salahku tak memahamiMU? Mengapa Engkau hadirkan aku pada kenangan  yang masih terus saja merindu? Merindu pada apa, wahai Robb? Telah kuarungi jejak alam semesta, telah kujelajahi hamparan mikrokosmos dan makrokosmos, tak kudapatkan jejak-jejakku merindu. Merindu pada apa ya Robb...!

 “Aku tak akan pernah menjadi sempurna sebagaimana Engkau pinta? Arghhhh...!” Telahkah Engkau dengarkah jeritan piluku ini?

Cintaku bukan karena menyaru, bukan pula sebab membatu. Sungguh aku tak pahami rahsaku. Meski telah Kau hadirkan aku pada raga ini. Jauh dilubuk hatiku masih tersimpan kenangan itu. Dan aku tetap bertahan dan berharap semua ini bukanlah kekeliruan yang seperti aku kira. Seumur hidupku akan menjadi doa padaMu.

Mengapa Engkau hadirkan aku pada rahsa ini yang Robb? Bilakah cukup waktuku? Adakah yang keliru? Apakah keluhanku ini akan sampai padaMU ?   Hik! Meski aku kelu sebab selalu kusebut namaMu, sungguh aku tak akan jemu itu. “Andai waktu bisa terulang kembali pasti akan aku tuliskan kisahMu ini dengan indah.” Demikianlah aku akan  menjenguk kenangan itu.

Hhh...jauh dilubuk hatiku masih teringat kisah dan kejadian itu, yang kutuliskan dengan tinta biru, dan dijeda tanda merah serta ungu. Kisah yang tak mampu kuselesaikan kala itu. Kisah yang akhirnya menjadi benalu yang membawaku ke masa kini dengan raga yang baru. Raga yang tak pernah memahami atas apa-apa yang kulakukan pada masa lalu. Kuendapkan lara ini.

“Katakanlah apakah ini rahsaku, ya Robb. Kalau begitu siapakah aku?”

Blaaar!

+++

Langit merah, ufuk jauh dari pandangan. Dua gunung kembar, Sindoro dan Sumbing bagai dua penjaga yang terus membayangi ingatan. Nun, jauh dijaman dahulu kala. Saat tanah tlatah jawa ini masih berupa tanah para dedemit dan setan gentayangan. Hutan wingit serta bebatuan yang membawa hawa dingin hujan hutan tropis. Telah ada kehidupan para Sanghyang dan para Batara tanah jawa. Siapakah sesungguhnya  mereka itu? Mengapa kesadaran orang-orang jawa sangat lekat dan demikian dekat dengan kisah para Sanghyang dan Batara ini. Apakah ada memori DNA pada diri anak keturunan manusia jawa? Rahasia ini mestinya dapat disingkap dan diungkapkan disini. Entahlah itu, bila saja sampai waktu menuliskan itu.

Lihatlah gunung yang sering kali menggeliat menahan beban. Perut bumi dengan isi lava dan magma panas, seperti menahan gerakan peristaltik rongga perut yang ingin memutahkan. Situasi memang sudah tak aman lagi bagi penduduk bumi. Nusantara kembali ke jaman dimana berkuasanya para dedemit dan setan gentanyangan, sebagaimana sumpah Sang Sabdo Palon pengasuh para dedemit tanah jawa. Setiap saat bumi tanah jawa memang akan mengalami siklus bagai siklus panas dan hujan. Jawa yang terletak di garis lidah api memang sudah menjadi kodrat alaminya begitu. Medan magnet Bumi akan berpihak kepada dedemit ini, mereka akan memasuki raga manusia yang sudah tak terjaga sebab bergesernya medan sentripetal bumi. Keperihatinan ini menjadi keprihatiann makhluk lintas dimensi. Demikian juga menjadi keprihatinan para Sanghyang dan Batara.

Apakah mereka benar-benar ada? Kalau ada siapakah yang percaya? Sebab wujud mereka tak mampu dilihat mata. Inikah yang disebut realita sesuatu yang ada namun tak mampu menempati logika? Hanya kadang sering orang arif berkata, “Si Fulan lebih tua dari siapapun?” Apakah maksudnya? Raganya saja masih umur belasan tahun, paling dua puluhan tahun, atau paling lima puluhan tahun, mengapa disebut tua? Siapakah yang tua? Jasadnya atau jisimnya? Siapakah yang tua?

+++

Diufuk jauh sana pada dimensi yang diam tak terbaca angan manusia. Duduk diantara dua marjan. Sosok makhluk menyerupai manusia. Meski umurnya sudah ribuan tahun dalam dimensi manusia, namun wajahnya menunjukan paruh baya.  Penampilannya tak biasa pada jamannya. Rambutnya disanggul bagai resi jaman hindu. Tangan kanan memegang kemonceng seperti pengusir lalat namun bukan. Bulunya halus karena terbuat dari rambut para peri dan bidadari surga. Tangan kiri memagang semacam tongkat namun bukan. Bercahaya bagai kilatan rembulan. Wajah teduh, mata menatap tajam.

Bajunya bagai baju ihram namun juga bukan. Entahlah, sulit sekali menggambarkan keadaan sebenarnya atas keadaan sosok ini. Tatapannya yang tajam terus menembus dimensi waktu. Sosok tersebut melintas sistem alam semesta hadir dalam dimensi terkini pada raga yang baru. Kesadaran sosok ini mampu memindai masa depan dan masa lalu, kemudian diam dalam mengamati sistem ketubuhan raga yang ditempatinya. Mengobrak-abrik sistem memori disana. Menyiskan ingatan dan kenangan yang terus menjadi tanda tanya. Mengembalikan seluruh memori yang dahulu tak mampu terbaca. Dan pada akhirnya...

Raga berdentam jatuh tersungkur dalam kesakitan dan kehancuran logika. Bertanya tanpa kepastian, sebab kerinduan telah mencabik sebagian ingatannya tentang cinta. Bertanya kepada Tuhannya, tidak ada jawaban. Bertanya kepada malam-malamnya perihal kengeriannya yang hadir tak ketara. Bertanya kepada bintang perihal  kekelaman pikirannya yang selalu datang, pikiran  yang selalu mengajaknya melarikan diri dari kenyataan atas ingatan dan kenangan. Semua kini menjadi ada hadir dalam kesadaran, semisal inikah kenyataan kehadiran para Sanghyang?

Dirinya kemudian bertanya kepada angin, sebab mengapa rahsa yang tertinggal ini bagai tornado dan mampu mengeluarkan isi sel dan isi kepala. Apakah rahsa ini nyata? Kalau tidak nyata mengapa mampu menghadirkan sensasi yang luar biasa? Hingga pada akhirnya semua itu tak mampu mampu ditahannya, seluruh hawa keluar begitu saja, dalam penderitaan berhari hari lamanya, mutah dan hancurnya perasaan atas kenyataan dialam materi ini.

“Apakah hidup itu” Bertanya dirinya lirih dengan terbata.

+++

Aku terbangun dalam mimpi yang sama. Berulang lagi dan tak mampu lagi ku baca makna. Ingatan dalam sebuah pertanyaan yang itu-itu saja. “Apakah hidup itu?” Jika jejak rahsa yang tertinggal adalah kenangan merindu saja. “Apakah hidup itu” Jika  kehidupan yang ada dialam materi yang kumasuki ini hanyalah usikan energi manusia akan cinta. “Apakah hidup itu?” Jika yang kurasakan hanya penderitaan umat manusia yang haus akan kuasa harta dan cinta. “Apakah makna hidup itu Ya Robb...!”

Aku tak bisa menahan laju angin yang membawa masa lalu, begitu juga aku tak mampu menghindari hembusan angin yang akan membawa masa depan, aku tak bisa mengatakan apapun itu,  jauh dilubuk hatiku masih terukir namaMU. Lantas mengapakah Engkau hadirkan aku ditengah manusia yang selalu menumpahkan darah ini?  Aroma amis darah, aroma kedengkian, kemunafikan, kemarahan, kebencian, keserakahan, jutaan aroma anyir yang memuakan ada didimensi ini. Semua hadir dan nyata, menjadikan aku bertanya atas keagunganMU.

“Mengapa Engkau ciptakan manusia yang senang menumpahkan darah?” Maafkanlah aku dengan pertanyaan bodoh itu. Sebab  demikian adanya. Begitu dangkalnya pikiranku. Sebab Apakah makna hidup itu? Jika kehidupan itu hanya diisi dengan  nafsu keserakahan atas tahta harta dan cinta. Bagaimana makhluk seperti itu akan mencintaiMU. Bukankah cukup telah Engkau ciptakan makhluk yang senantiasa tunduk dan sujud kepadaMu. UntukMu seluruh nafas yang mereka hembuskan. “Cukuplah Kami yang senantiasa bersujud dan bertasbih padaMU, ya Robb!” 

“Aku lebih mengetahui” Demikian jawabMu. 

Alam semesta diam tak mampu bersuara. Hanya Iblis tertawa pongah terbahak-bahak. Menanggapi lelucon itu. Iblis tak percaya jika Tuhan ingin menciptakan manusia. Manusia yang konon mampu melebihi makhluk mana saja di alam semesta dalam mencintaiNya. Maka kepongahan Iblis di jawab dengan diusirnya Iblis dari dimensi Kami. Iblis melengking tidak terima diperlakukan seperti itu. Lengkingan hati yang kesakitan sebab mencinta. Ya Iblis demikian mencintai Tuhannya. Cinta yang tidak ingin disaingi. Demikian buta Iblis dalam mencintai, benarkah itu cinta kepada Tuhan? Ataukah Iblis mencintai dirinya sendiri? Cinta yang ingin diakui Tuhannya? Cinta model apakah itu?

Bahkan Iblis tidak mampu bersyukur atas rahsa cinta itu sendiri. Iblis merasa benar dalam mencintai Tuhannya. Iblis kemudian bersumpah bahwa manusia lebih buruk dari dirinya dalam mencintai Tuhannya. Jangankan mencinta bahkan sekedar bersyukur saja manusia pasti tidak bisa. Iblis akan menyakinkan kebenaran anggapannya itu kepada seluruh makhluk alam semesta bahwa dirinya adalah benar. 

Dan...kenyataannya di didemensi sekarang ini dialam manusia, semua perkataan Iblis adalah benar adanya. Sangat sedikit manusia yang mampu bersyukur, sangat sedikit manusia yang benar dalam mencintaiNya. Kenyataannya manusia saling menumpahkan darah saudaranya sendiri. Manusia saling tikam, saling bunuh demi harta dan wanita, serta kekuasaan. Keserakahan, kepongahan, dan sifat bengis  lain-lainnya merajalela. Kerakusan atas harta tahta dan wanita merajalela di pelbagai starta manusia. Argh.....ada apa denganku ini. Mengapa aku membenarkan prasangkaan Iblis atas manusia? Siapakah aku?

+++

Dan akhirnya aku menemukan diriku disini di raga ini dengan rahsa yang masih sama, dengan sisa pertanyaan yang masih serupa. Saat hati mulai merapuh mempertanyakan itu. Saat raga ini ingin berlabuh. Akhirnya aku menemukanMU dan ku berharap Engkaulah jawaban atas semua pertanyaan dan atas semua keraguan serta kerisauan  yang membayangi ingatan. Maafkan aku, dan tak mungkin kumeninggalkanMu didalam sepiku.

Meski aku belum pahami perihal hidup itu, meski aku belum mampu mengerti atas keadaan diri manusia, meski aku belum juga bisa mengetahui apa apa atas rencanaMU menciptakan semua itu, meski aku belum juga mampu menerima semua takdirMu, meski aku juga tidak sanggup melepaskan apa-apa atas rahsa ini, namun aku tetap akan menghembuskan nafas untukMu. MengingatMu dalam setiap gerakku. Menganggungkan asmaMu dalam setiap sel-sel kulitku. Jika aku juga belum mampu melakukan semua  itu, maka maafkanlah aku. Sesungguhnya tanpaMu aku lemah.

Dan..
Ijinkanlah Kami mengajarkan apa-apa yang bisa Kami ajarkan kepada manusia. Maha besar Engkau Ya Robb...

Bersambung...

Taman Kembali, 06042019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali