Kisah Spiritual, Amanah Langit Prabu Silihwangi (3)
“Telah
tersibak makna dalam sejuta asa. Menistakan rupa, menggayuti raga. Dimanakah
muara atas kejadian. Dimana akhir atas semua pengabdian. Dimanakah kutorehkan peradaban. Hik. Suara hatiku, jerit
jiwaku, menggumpal dalam tanda. Sering
aku bertanya, mengapakah semua meski dimaknai. Haruskah aku mencari suara-suara
burung, di tengah lautan, diatas matahari ?. Haruskah aku menyerah kepada
kebisingan ?.
Sesungguhnya aku tak mampu menjawab. Ketika semua orang bertanya, bagaimanakah bersapa kepada burung, gunung, angin dan matahari. Dan juga bagaimanakah aku bisa membahasakan diri dengan KAMI. He eh..!. Bagaimanakah mengajarkan bahasa KAMI ini ?. Bagaimanakah aku kemudian mengkhabarkan semua berita ini ?. Masih adakah yang peduli bahasa KAMI ?. Entahlah, lebih baik mari kita lanjutkan saja keheningan. Sebab semua itu menyoal kasih sayang. Yaa. bahasa KAMI adalah kasih sayang. Andai saja manusia mengerti, setidaknya mereka akan meyakini bahwa KAMI adalah dekat. ”
+++
Sesungguhnya aku tak mampu menjawab. Ketika semua orang bertanya, bagaimanakah bersapa kepada burung, gunung, angin dan matahari. Dan juga bagaimanakah aku bisa membahasakan diri dengan KAMI. He eh..!. Bagaimanakah mengajarkan bahasa KAMI ini ?. Bagaimanakah aku kemudian mengkhabarkan semua berita ini ?. Masih adakah yang peduli bahasa KAMI ?. Entahlah, lebih baik mari kita lanjutkan saja keheningan. Sebab semua itu menyoal kasih sayang. Yaa. bahasa KAMI adalah kasih sayang. Andai saja manusia mengerti, setidaknya mereka akan meyakini bahwa KAMI adalah dekat. ”
+++
Hari telah berganti.
Hujanpun telah henti. Mengapa masih disini duduk dan termenung. Jangankan indah
yang tercipta, senyumpun aku tak tahu lagi. Bunga telah hilang dihatiku, berdiripun
aku tak mampu lagi. Rahsa sakit ini terus mengumpali seluruh syaraf dan
persendian. Bagai ikan dikuliti hidup-hidup. Menggelepar..!. Merenggangkan nyawa...
“Malam,
tunjukkanlah keheninganmu
Aku
tengah bercermin dalam gelap
Telah
jauh perjalanan yang aku tempuh,
telah
banyak peristiwa aku lihat
Dan
sekarang aku merasa berhutang untuk mengisi kemerdekaan
Meskipun
hanya lewat nyanyian kuhembuskan ruh perjuangan
Ketika
aku mulai beranjak tua
hari-hari
terasa semakin singkat
Saatnya
untuk mengabdi, berkorban untuk bangsaku
Menembus
keterlambatan
Saat
aku lahir perang telah usai”
(Ketika Aku Mulai
Ebiet G.Ade)
Arrgh…..!!!!.
+++
Malam itu melangut, (28 Muhamram), tak nampak bintang diatas sana. Rumah Mas Thole berdiri ditengah-tengah. Diapit 5 rumah kanan kirinya. Ada tanah luas terbentang didepannya. Anak-anak kampung bermain bola persis di depan sebrang jalan. Malam itu jarak pandang hanya kegelapan semata. Sebatang pohon ceri berdiri menaungi pelataran rumah, sering kelelawar hinggap dan berkerubutan di dahannya, meninggalkan kotoran di halaman. Setiap pagi Mas Thole harus membersihkan kotoran-kotoran itu. Pohon mangga ada dibelakang rumah, musim ini sempat berbuah banyak sekali lebih dari 100 butir. Untuk pohon hanya setinggi 2 meter, maka jumlah tersebut sudah tergolong banyak. Baru kali ini pohon mangganya bisa berbuah, sebelumnya nyaris tidak ada sama sekali. Puzle-puzle tertata menyusun diri, menjadikan hari ini, terasa langit berdimensi, auranya sudah begitu ketara sejak siang tadi. Langit tiba-tiba mendadak berubah menjadi redup, awan putih menyebar di angkasa. Jakarta dalam suasana misteri.
Nampak kesibukan di suatu ruangan. Sebuah ruangan kamar yang isi perabotannya sudah dikeluarkan. Menjadi ruangan kosong tempat biasa prosesi. Tidak terlalu besar. Hanya kipas kecil yang ada disana. Suasana yang seharusnya panas, sebab terisi oleh 5 orang itu, mendadak dingin sejuk saja. Yah..ruangan kamar itulah menjadi saksi, saat Mas Thole menetapkan diri memberikan ruhnya kepada semesta. “La syarikala hu wa bidza likha wa ana minal muslimin.” Maka kemudian seluruh instrument ketubuhannya bergetaran. Seperti udara yang dimampatkan di sebuah tong dan siap meledak, menggetarkan sekelilingnya. Ujung syaraf rambutnya seperti ditariki satu satu secara bersamaan dalam jeda waktu yang tak sama. Ruhnya sepersekian detik hilang dari kesadarannya. Blaar..blaarr…rrrt…!!!. Blip...blegh..!.
Maka hanya erangan dahsyat menggetarkan yang kemudian terdengar di lontarkan. Energi kosong tapi isi. Isi tapi nyatanya ketika dia masuki hanya kekosongan semata. Tidak ada apa-apanya. Mengalir dari tangan kirinya yang berada pada pundak kiri Udin, menuju tangan kanannya yang berada pada pundak Sang Prabu. Kesakitannya tak terkatakan lagi, mungkin itulah rahsanya mati. Bagai dikuliti hidup-hidup beberapa kali. Mengapakah energy itu begitu dahsyatnya merejam seluruh persendian dan syarafnya?. “Amanah apakah yang diberikan KAMI kepada Sang Prabu ?. Ugh..mengapakah dashyat begini..!”
Nampak kesibukan di suatu ruangan. Sebuah ruangan kamar yang isi perabotannya sudah dikeluarkan. Menjadi ruangan kosong tempat biasa prosesi. Tidak terlalu besar. Hanya kipas kecil yang ada disana. Suasana yang seharusnya panas, sebab terisi oleh 5 orang itu, mendadak dingin sejuk saja. Yah..ruangan kamar itulah menjadi saksi, saat Mas Thole menetapkan diri memberikan ruhnya kepada semesta. “La syarikala hu wa bidza likha wa ana minal muslimin.” Maka kemudian seluruh instrument ketubuhannya bergetaran. Seperti udara yang dimampatkan di sebuah tong dan siap meledak, menggetarkan sekelilingnya. Ujung syaraf rambutnya seperti ditariki satu satu secara bersamaan dalam jeda waktu yang tak sama. Ruhnya sepersekian detik hilang dari kesadarannya. Blaar..blaarr…rrrt…!!!. Blip...blegh..!.
Maka hanya erangan dahsyat menggetarkan yang kemudian terdengar di lontarkan. Energi kosong tapi isi. Isi tapi nyatanya ketika dia masuki hanya kekosongan semata. Tidak ada apa-apanya. Mengalir dari tangan kirinya yang berada pada pundak kiri Udin, menuju tangan kanannya yang berada pada pundak Sang Prabu. Kesakitannya tak terkatakan lagi, mungkin itulah rahsanya mati. Bagai dikuliti hidup-hidup beberapa kali. Mengapakah energy itu begitu dahsyatnya merejam seluruh persendian dan syarafnya?. “Amanah apakah yang diberikan KAMI kepada Sang Prabu ?. Ugh..mengapakah dashyat begini..!”
Rekan Udin yang datang bersamanya siang tadi nampak duduk diluar ruangan, dia menangsi sesenggukan mendengar teriakan-teriakan layaknya kematian. Berkali-kali diusapnya air mata. Sangat kontras sekali dengan penampilannya yang lebih mirip preman, dengan rambut panjang sebahu. Seorang lelaki prekasa, yang ditakuti rekan-rekannya, menangis menyaaksikan prosesi yang luar biasa itu. Istri Mas Thole memperhatikan saja, saking tidak tega akan tangisan pemuda yang masih lajang ini, istri Mas Thole menawari makanan.
+++
Di dalam ruangan itu, suasana hidup dan mati, masih terasa kuat mencengkeram sendi. Mas Thole sudah pasrah. Habis nafas sudah, saat itu dirinya benar-benar sudah sudah ikhlas jika ruhnya akan dicabut, jikalau memang takdirnya hanya sampai disini. Sang Prabu yang duduk dihadapannya juga mendapat lintasan begitu, sedetik saja terlambat Mas Thole akan kehilangan yawanya. Mendadak ada selarik energy menguatkannya kembali. Seketika itu Mas Thole mampu bernafas lagi. Tersedak dari kesadaran. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi tubuhnya. Namun dipertahankannya kedua tangannya tetap berada di pundak. Tangan kiri berada di pundak kanan Udin dan tangan kananya berada di pundak kiri Sang Prabu.
+++
Di dalam ruangan itu, suasana hidup dan mati, masih terasa kuat mencengkeram sendi. Mas Thole sudah pasrah. Habis nafas sudah, saat itu dirinya benar-benar sudah sudah ikhlas jika ruhnya akan dicabut, jikalau memang takdirnya hanya sampai disini. Sang Prabu yang duduk dihadapannya juga mendapat lintasan begitu, sedetik saja terlambat Mas Thole akan kehilangan yawanya. Mendadak ada selarik energy menguatkannya kembali. Seketika itu Mas Thole mampu bernafas lagi. Tersedak dari kesadaran. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi tubuhnya. Namun dipertahankannya kedua tangannya tetap berada di pundak. Tangan kiri berada di pundak kanan Udin dan tangan kananya berada di pundak kiri Sang Prabu.
Pambayun
yang duduk di sebelah belakang kananya terlihat gelisah khawatir sekali. Beberapa kali
dia menyapu langit-langit dengan tangannya. Berusah mencoba mengurangi tekanan energi yang menghimpit ruangan itu. Secara samar, kemudian terlihat menguat. Dia melihat selarik cahaya demi
cahaya memasuki tubuh Sang Prabu, cahaya yang menyerupai kelopak teratai putih dengan
cahaya keperakannya. Bunga itu turun bertkilauan dari langit-langit, seperti ada energi yang menarik masuk ke dalam pundak Sang Prabu. Bersama cahaya putih peraka yang sedikit demi sedikit mulai memasuki tubuh Sang Prabu, cahaya itu semakin mengkristal dan semakin
menguat dan menguat seiring dengan gerakan Mas Thole. Beebrapa kali tangan Mas Thole seperti mengunci, memutar, mengunci dan memutarnya lagi. Seperti mengunci sebuah brankas dengan putaran nomer-nomernya. Mengacaknya dnegan kode digit, yang tak dimengertinya.
+++
Patih
Nambi yang bersila di belakang sebelah kirin Mas Thole, dengan reflek membantu aliran energy. Dia
melihat ada sebilah senjata berbentuk Trisula turun dari langit. Rupanya Mas
Thole tegah membuka kode-kode dari tubuh Udin. Kode-kode yang akan membuka
amanah yang berada di langit untuk Sang Prabu. Entah apakah amanah itu. Hanya
Sang Prabu dan KAMI saja yang tahu maknanya. Hampir seperminuman teh lamanya.
Mas Thole seperti membiarkan tubuhnya menjadi media perantara mengalirnya energy
dari Udin ke tubuh Sang Prabu. Rasany tubuhnya sudah tak memiliki tenaga lagi. Bagai
layang-layang putus tali. Tinggal menunggu angin saja yang akan membawanya
pergi.
Dari
sudut matanya Pambayun melihat keadaan Udin yang sangat mengenaskan sekali.
Tubuh itu sepertipohon yang rapuh meliuk-liuk diterpa badai. Mau jatuh seperti
baju yang terlepas dari gantunganya, sayang tangan kiri Mas Thole bagai mesin
penghisap yang dahsyat sekali melolosi sleuruh isi selnya. Meliuk-liuk badanya.
“Udin juga bisa mati kalau begitu..” Batin Pambayun. Maka dia mencoba sedikit
membantu dengan mengayun kan tangannya seperti gerakan menari. Perjuangan yang
benar-benar sangat berat bagi Udin. Disinilah titik hidup dan matinya. Sungguh
patut diberikan apriasasi atas kesungguhan hati Udin. Dalam raganya tersimpan
kode pembuka amanah di langit. Dan dia harus mempertahankan itu seumur
hidupnya.
Ayahandanya
meninggal tanpa sebab, begitu juga adiknya meninggal tanpa mampu dijelaskan
karena apa. Semua serba misteri. Mungkin saja menyoal amanah ini yang ada dalam
raganya. Wolohualam. Amanah tersebut benar-benar dijaga dan dilindungi. Udin
benar-benar terpingit dan dipingit KAMI. Oleh keadaan yang tidak dimengertinya.
Raganya selalu saja mendadak sakit jika diajak untuk bekerja. Itu masih belum
seberapa. Ynag paling menyiksanya adalah manakala badannya mendadak bau
sekali, busuk menyengat. Saat dia berada diantara orang-orang yang berilmu spiritual.
Berulang kali dirinya mencoba shalat
berjamaah, sholat jumat misalnya, orang-orang yang disekitarnya akan terbatuk-batuk hebat sebab tidak
tahan dengan bau dari tubuh Udin. Begitulah keadaannya, oleh karena itu sekarang ini, Udin sudah bertekad untuk
menyampaikan amanah itu. Hidup atau mati sudah tidak ada bedanya lagi !.
+++
+++
Argh…..gh…h..!.
Sisa-sisa suara, mirip erangan itu lirih terus terdengar dari bibirnya, manakala setiap kali Mas Thole merubah gerakan
demi gerakan. Ada bisikan yang disampaikan kepada Sang Prabu agar terus senantiasa bertasbih mengagungkan asma Allah. Berkali-kali tangannya Mas Thole nampak menepuk
bumi, seperti mengambil energi, kemudian dipindahkan ke pundak Sang Prabu. Selanjutnya tangannya bergerak memutari penjuru angin. Mengambil sesuatu
dari seluruh penjuru mata angin yang ada. Dalam kesadarannya dia tengah berbincang
dengan 7 lautan, 7 samudra, 7 lapisan langit, 7 lapisan dasar bumi, dan seluruh
dimensi yang tidak diketahuinya. Memohon restu kepada mereka semua. Tangan kanannya
berulang kali seperti memutar sesuatu, mengunci sesuatu. Beberapa kali terus
dia lakukan itu, putaran searah jarum
jam di pundak Sang Prabu.
Hingga
pada klimaksnya, dia mengerang tak mampu lagi. Tubuhnya jatuh berdentam. Argh…seiring
tenaga terakhir yang dimilikinya, beberapa kali dia harus bergulingan,
menggelepar menahan benturan rahsa yang
begitu hebatnya. Efek balik energy menerjang bagai tsunami. Dengan sigap Patih
Nambi melakukan gerakan melindungi tubuh Mas Thole. Dalam keadaan lemah begini,
bisa saja makhluk jejadian akan merasuki dirinya. Beberapa detik kemudian mulai
terdengar suara Mas Thole lirih, suara erangan yang begitu lemah, seperti tangisan.
Beban yang dipikulnya puluhan tahun seperti terlepas dari pundaknya.
“Sudah
aku sampaikan ya Allah, sudah aku sampaikan…pesan-pesan itu..” Ucapan it uterus lirih diutarakan, seperti
suara dawam saja layaknya. Tak mampu Mas Thole menahan rahsa itu. Sensasi rahsa
bahagia, dan kepasrahan, serta totalitas dalam menjalani semua lakunya
tertumpah disini. Dia takjim dalam berdoa. Dalam sebuah rahsa syukur yang tak
mampu dilukiskan disini. Bahagia, sedih, nelangsa, harap, semua rahsa
berkecamuk, menimbulkan sensasi lemas sekali disekujur badannya.
+++
Malam masih terus merambat, memasuki waktu isya. Lamat Mas Thole menyaksikan Sang Prabu bangkit dari duduknya, menyalami semuanya yang hadir. Prosesi ini telah selesai. Dalam keadaan lemas sekali Mas Thole bangkit menyabut uluran tangan Sang Prabu. Ada rahsa trenyuh di dadanya. Perjuangan ini baru dimulai. Betapa berat perjalanan yang akan ditempuh Sang Prabu nanti. Permusuhan dari kaumnya sudah nampak di mata Mas Thole. Mata mas Thole berkaca-kaca. Setetes air mata mengembang disana. Sebagaimana keadaan para utusan yang kedatangannya akan dimusuhi. Lirih Mas Thole menyampaikan sepatah dua patah kata. Sebagaimana yang dibisikan saat prosesi tadi.
Malam masih terus merambat, memasuki waktu isya. Lamat Mas Thole menyaksikan Sang Prabu bangkit dari duduknya, menyalami semuanya yang hadir. Prosesi ini telah selesai. Dalam keadaan lemas sekali Mas Thole bangkit menyabut uluran tangan Sang Prabu. Ada rahsa trenyuh di dadanya. Perjuangan ini baru dimulai. Betapa berat perjalanan yang akan ditempuh Sang Prabu nanti. Permusuhan dari kaumnya sudah nampak di mata Mas Thole. Mata mas Thole berkaca-kaca. Setetes air mata mengembang disana. Sebagaimana keadaan para utusan yang kedatangannya akan dimusuhi. Lirih Mas Thole menyampaikan sepatah dua patah kata. Sebagaimana yang dibisikan saat prosesi tadi.
Kalimat tersebut diulang dengan bahasa hati. “KAMI semua adalah makhluk Allah, tidak ada kelebihan dari KAMI. Semua akan tunduk dan patuh kepada kehendak Allah semata. Penuhilah janjimu. Allah akan menepati janji-Nya pula. KAMI hanya mampu berdoa akan keselamatanmu, semoga Allah meridhoi “ Patih Nambi juga menambahi sepatah dua patah kata. Begitu juga Pambayun. Sang Prabu hanya berpesan agar kita semua berjamaah. Sebab tanpa jamaah kita semua bukan apa-apa.
Keheningan
tiba-tiba menyelimuti suasana disitu. Lengang sekali, semua sibuk dengan jalan
pikirannya masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara air hujan yang mendadak turun
membasahi. KAMI telah memberikan pertanda bahwa prosesi telah boleh diakhiri. Mereka
semua keluar dari ruangan dan duduk diserambi. Udin benar-benar merasa lega
sekali. Beban yang memberati punggungnya sekarang ini sudah lepas. Dia kemudian
menunjukan tangan kirinya. Diantara garis tangannya ada gambar sebilah tombak
berbentuk Trisula. Tombak inilah yang ghaibnya berpindah ke tubuh Sang Prabu.
Gambar tersebut nampak semakin jelas, setelah prosesi. “Trisula Veda..” batin
Mas Thole. Semoga saja ya..Allah. Semoga keyakinannya benar..!.
+++
Prosesi
yang luar biasa sekali, syukurlah berlangsung dengan selamat. Lega rahsanya hati Mas Thole. Mengingat betapa sebelum prosesi banyak sekali kejadian tak biasa. Tingkah laku Udin yang tak wajar. Meneyrgah hati. Mengapakah
Udin, tiba-tiba saja bersujud,
menghaturkan sembahnya kepada Patih Nambi, dan menyebutnya sebagai 'Prabu Silihwangi' ?. Ekspresi aneh
yang dinampakkannya, dan kemudian dia menyebut Patih Nambi berkali-kali dengan sebutan “Sang
Prabu”. Sembah dan sebutan yang yang terasa bagi Mas Thole janggal sekali.
Mengapakah Udin memanggil Patih Nambi dengan sebutan Sang Prabu Silihwangi. Megapakah Udin membahasakan dirinya sebagai anak Sang Prabu..?. “Ada yang tidak beres..” batin Mas Thole. Serangkaian kisah keanehan Udin akan dikisahkan…pada bagian ke 4 dari kisah ini. Kisah yang mengawali kejadian sebelum prosesi tersebut berlangsung. Siapakah Udin sebenarnya ?. Bersambung…Amanah Langit Prabu Silihwangi (4)
Mengapakah Udin memanggil Patih Nambi dengan sebutan Sang Prabu Silihwangi. Megapakah Udin membahasakan dirinya sebagai anak Sang Prabu..?. “Ada yang tidak beres..” batin Mas Thole. Serangkaian kisah keanehan Udin akan dikisahkan…pada bagian ke 4 dari kisah ini. Kisah yang mengawali kejadian sebelum prosesi tersebut berlangsung. Siapakah Udin sebenarnya ?. Bersambung…Amanah Langit Prabu Silihwangi (4)
“Malam,
tunjukkanlah keheninganmu
Aku tengah
bercermin dalam gelap
Telah jauh
perjalanan yang aku tempuh,
telah banyak
peristiwa aku lihat
Dan sekarang aku
merasa berhutang
untuk mengisi
kemerdekaan..”
(Ketika Aku Mulai
Ebiet G.Ade)
Wolohualam
asslmkm wrwb...
BalasHapusBismillahirrohmanirrohim...
Subhanallah walhamdulillah walaa ilaha illallah walahaula walaquwwata illah billahil aliyil adzim...
Ini sebuah pengalamanQ yg tak dpt di ungkap dgn kata2...
Saudaraku sabranglor
Hapussekali lagi maafkan kelancanganku
...
masuki sebelum menjadi kata
ketika masih berbentuk gelombang
atau lebih dalam lagi ketika masih berupa energy
atau lebih dalam lagi
ketika masih berupa lambang dan simbol yaitu berupa informasi-informasi
lalu gunakan untuk menemukan jati diri
untuk mengenal aku yang akan dikenalkan oleh AKU (KAMI)
coba masuki lambang-lambangnya
coba
masuki dari pintu gerbang kesadaran pertama yaitu mim
masuki dengan perlahan
dari kumpulan huruf dalam kalimat suci
Audzubillahi minas syaitonir rojiem
masuki mulai dari huruf akhir mim dalam kalimat (ayat) ini
lalu kenali siapa yang bicara
kenali kepada siapa dia itu bicara
kenali apa tujuan dan arah pembicaraan ini
lalu kenali metode dan cara membentuk benteng pelindung
masuki bara (api) yang ada dalam jiwa
yang dalam ayat ini disebut sebagai syaiton
lalu berputarlah kesadaran mengelilingi inti bara api (energy/api/) dari Tuhan
agar mulai membentuk benteng pertahanan yang kokoh
..
coba ulangi dan ulangi ayat-ayat ini
sebelum membentuk makna
ketika masih berupa medan-medan energy dalam tubuh
bahkan sebelum itu
ketika masih berbentuk kumpulan demi kumpulan informasi
yang belum tersusun
bentuklah kristal-kristal kesadaran
yang membentuk benteng yang "hidup"
yang melindungi jiwa/kesadaran sang aku sejati
semoga mampu mengenali aku sejati
semoga mengenali sang pendamping
yang dimaksudkan dalam ayat ini
yaitu pendamping yang sejati
salamku untukmu
maafkan aku...
sungguh maafkan aku
maafkan kelancanganku
bila menuliskan ini kepadamu
ini hanya sekedar pesan saja
namun bila tak berminat
tolong dilupakan saja
bgmn keadaan bang Udin sekarang stlh amanah disampaikan? semoga baik dan semakin baik. Tiada daya dan upaya kecuali atas izin Allah. Semoga rahmat Allah selalu utk kita semua. Salam
BalasHapusAssalam mualaikum warroh matullahi wabarokatuh...
BalasHapusSubhanallah walhamdulillah...
Terimakasih bnyk atas pesanya kIdung alam saudaraQ...
Assalammu alaikum warroh matullahi wabarokatuh,..
Sang Anonim
subhanallah walhamdulillah ...
KhabarQ sangat baik....
Berkat pesan kidung Alam... maupun doa saudaraQ smua...
Salam sejahtera smuanya
Selamat bertafakur.
BalasHapusSemoga segera mampu memaknai simbol dan lambang.
Coba berlatih dg symbol ini membentengi diri.
Membangun perisai diri yg tersambung dg alam
Salam.
amin yaa allah ...allahumma amin
BalasHapusterimakash atas pembelajarannya...
Kidung alam saudaraQ
salam