Kisah Spiritual, Sang Panca Tirtha




Bunga bougenvile di halaman rumah, tidak berbunga lagi. Tanaman  yang sepanjang tahun ini biasanya ini   terus saja  berbunga, kini tidak lagi !. Bunga merah seperti kertas yang sering berguguran, dan selalu menghiasi halaman rumah, sudah tidak ada. Kini nampak hanya rimbun hijau daun saja. Karena itulah tanaman itu dipangkas minggu kemarin ini, dirapikan, membentuk bulatan. Setiap bangun pagi Mas Thole melihat kearah bunga itu. Terbersit lintasan pemikiran. “Adakah bunga itu tahu apa yang tengah dialami Mas Thole akhir-akhir ini..” Mengapakah di akhir tahun ini bunga itu tidak mau berbunga.

Sakit yang mendera raga Mas Thole, batuk yang kian menghebat. Rasa sakit kepala, bahkan kemarin ini bagai sebilah tombak menembus ubun-ubunnya sampai ke ulu hati. Membuat lintasan-lintasan tersebut semakin menguat saja. “Benarkah bunga itu menegrti apa yang dirasakannya, hingga tidak mau berbunga ?,  entahlah ..!”  Memang Mas Thole di pagi hari selalu berusaha bersapa dengan tanaman-tnaman bunganya, selalu tak lupa salam keselamatan dan kesejahteraan di lontarkan setiap pagi. Dan hasilnya tanaman bunga Mas Thole sangat rimbun dan subur, sepertinya mereka membalas salam itu melalui daun-daun mereka yang indah di pandang mata. "Kemanakah bunga di pagi hari ini.?." Mas Thole membatin dengan prihatin.

+++

Perjalanannya kemarin ke Ende, masih menyisakan residu energy yang mengkoyak dadanya. Ada rahsa yang menggumpal sehingga menyebabkan batuk yang luar biasa. Raga Mas Thole adalah raga orang-orang masa kini. Pantas saja jikalau tidak akan mampu menahan energi jutaan kilovolt yang terus membombardir dirinya. Peristiwa di sumur rumah tinggal Soekarno di Ende. Dan juga persitiwa sehari sebelumnya, di kompleks RRI . Telah membuat habis energinya. Hampir saja perhelatan yang akan di lakukan Mas Thole dan rekannya dalam rangka menjejak kiprah Soekarno di Ende, menemui kegagalan. Awan mendung dan hujan mulai dari pagi. Membuat pesimis keadaan. Rasanya tidak mungkin mengadakan acara di cuaca seperti ini. Mau tidak mau Mas Thole harus melakukan sesuatu, sebab malam nanti ribuan penonton pasti akan memadati tempat ini. Jika hujan masih seperti ini, tentu saja akan gagal acara tersebut.

Rekan Mas Thole juga berharap agar Mas Thole melakukan sesuatu. Siang itu bagaikan malam, matahari bersinar redup nampak seperti bulan.  “Gejala alam apakah ini..” Saat itu Mas Thole membatin saja saat melihat situasi.  Keluarlah Mas Thole dari ruang gedung RRI, sambil berjalan dimasuki kesadarannya, sepersekian detik kesadarannya sudah meluas ke alam raya, mencoba bersapa dengan awan dan hujan disana. Tagannya secara otomatis mengembang, naik sejajar dengan pinggang. Menghadaplah dirinya kemuka. Ditengadahkan kepalanya, mendongak, berdoa kepada pemilik alam ini. Dengan atas nama-Nya yang Maha Pengasih dan Peyayang, disapalah awan dan hujan yang berada di muka dan belakang. Kemudian dirinya melangkah ke sebelah kirinya. Dilakukan hal yang sama. Sekali lagi diulang, dia melangkah ke sebelah kanan. Setelahnya, kemudian Mas Thole maju melangkah tenang, ke bagian paling ujung depan halaman. Di kuatkannya kesadarannya.

Dalam kesadaran, tersambunglah Mas Thole dengan alam. Sang awan dan hujan berkata, mereka mengerti akan keperluan Mas Thole, tapi diri mereka juga sedang melaksanakan urusan Allah, bukankah hujan adalah rahmat,  maka tunggulah saja sehabis ashar nanti. Mereka akan menyelesaikan urusan mereka di hari ini secukupnya. Mendengar jawaban tersebut Mas Thole mengerti dan paham. Setelah itu, terdengar bisikan KAMI agar dia menuju ke tower pemancar ada tonggak kesadaran yag harus di pancangkan disana. Melalui pemancar inilah nanti akan digaunkan keadaran atas negri ini.  Maka tanpa membuang waktu Mas Thole mencari symbol tonggak, sebagaimana yang diwangsitkan melalui mimpi sebelumnya. Yah, batang pohon singkong. Tanaman asli Indonesia, adalah batang tanaman yang akan mampu tumbuh dimana saja. Sebagaimana kesadaran yang dipancarkan nantinya, akan mampu tumbuh dimana saja. Bahasa simbol yang harus dimaknai dengan arif. Bahasa yang tidak untuk diperdebatkan.

+++ 

Begitulah perumpamaan kesadaran nanti. Batang tanaman inilah yang ditancapkan tepat di bawah menara pemancar. Semoga energi-nya akan meluas dan memancar ke alam semesta dan dapat diterima oleh makhluk lainnya. Dengan pemahaman dan keyakinan itulah, maka di tancapkan tonggak kesadaran dengan, dihadiri oleh sesepuh purba para ghaib yang mewakili Indonesia bagian timur. Prosesi tonggak kesadaran di Pulau Ende pun diselesaikan disini, ditempat yang mungkin tidak trepikirkan siapapun. BUkan tempat angker atau wingit sebagaimana praduga sebelumnya. Semua sangat biasa dan logis saja. Bagaimanakah memaknainya ?. Setelah selesai prosesi ini, maka di hari berikutnya Mas Thole mendatangi rumah Soekarno, sebagaimana dikisahkan pada episode ‘Jejak-jejak Spirit Purba’ Pajajaran 2’. Dan Sungguh, luar biasa pada malam harinya saat perhelatan berlangsung, malam itu bagaikan siang hari saja. Jikalau siang hari tadi matahari redup bagai bulan. Maka sebaliknya di malam ini bulan bersinar bagai matahari disiang hari tadi.  Keadaan yang sama antara malam dan siang. Ugh...!. Subhanalloh, begitu perkasanya alam ini, mengatur kejadian. Mas Thole bersyukur, semoga ini menjadi pertanda baik. Bergetran syaraf Mas Thole menangkap sensasi alam seperti ini. Manakah ada malam dan siang sama keadaannya. Subhanalloh...!.   Sungguh pengalaman yang menakjubkan, ghaib di Ende benar-benar misteri.

+++

Pagi ini puzzle-puzle tersebut terulang sangat nyata. Dan entah mengapa seakan ada energy yang mendorongnya untuk mengkisahkan bagian ini. Padahal sehabis maghrib kemarin ini (24/12) dia langsung tidur. Istrinya sudah menyiapkan obat-obatan dokter. Dia tidak tega mendengar batuk hebat yang dialami Mas Thole. Mas Thole menyadari akan keterbatasan raganya. Setelah kepulangannya dari Ende, raganya masih harus di perjalankan, dia harus bertemu dengan Ki Ageng dan anaknya. Tentu saja banyak energi-energi yang harus di kalibrasi. Beberapa kali anak Ki Ageng berusaha membantu Mas Thole. Namun memang raga Mas Thole bukan diperuntukan untuk keadaan ini, tetap saja ‘tepar’. Bayangkan saja, kejadian demi kejadian tak berjeda, tiada selang waktu untuk istirah. Hari berikutnya harus diadakan pertemuan antara kesatria. Tanggal (18/12) memang ada saran dari Patih Nambi untuk silaturahmi, mumpung Ki Ageng ada di Jakarta.

Maka pada hari itu, diundanglah rekan-rekan seperjalanan spiritual, hadir saat itu adalah Ki Ageng, bersama 2 orang tokoh wakil dari Dieng, hadir juga Udin dari Bangka Belitung, Patih Nambi. Pambayun, dan juga Sang Prabu. Ditambah seorang tokoh lagi yang datang belakangan. Pertemuan itu memang nyars tidak direncanakan mengalir saja. Karaguan akan bisa terselenggaranya pertemuan itu sudah muncul sejak siang bahkan sampai malam. Patih Nambi yang bertugas menjemput, tiba-tiba tidak bias meninggalkan pekerjaannya. Sementara Ki Ageng tidak tahu jalan di Jakarta ini. Rekan dari Surabaya yang konon akan ikut hadir, juga mendadak tidak bisa. Begitu juga yang dari Bandung.  Semua seperti serba tak pasti. Akhirnya baru jam 9 malam, semua bisa hadir dalam pertemuan tersebut. Pertemuan yang tidak lama, namun sempat panas suasananya. Banyak energi yang menumpangi keadaan disana. Mas Thole sadar sekali saat diawal. Ribuan pasukan entah dari mana datangnya sudah mengepung rumah Mas Thoel di langit sana. Suasana bisa yang nampak bisa, tidaklah bagaimana keadaannya, sesungguhnya adalah perang kesadaran yang hebat.

Nampak Udin sudah mulai resah, raganya sudah nyaris tidak mampu dikuasainya. Begitu juga Pambayun, energy kasar dan menyakitkan menusuki wajahnya yang halus. Membuat bergidik, dan tak nyaman sekali. Semua duduk dalam keadaan siap perang, gelisah sekali keadaannya. Mas Thole memang dalam keadaan waspada. Beberapa penjaga ghaib di luar rumahnya memang sudah memberitahukan akan keadaan di atas langit  sana. Para ghaib lain sedang mengepung rumah Mas Thole. Melihat keadaan tersebut Mas Thole menghela nafas, jika pasukan Majapahit, Sriwijaya, atau bahkan kerajaan Pajajaran, dan kerajaan lainnya yang turun menghadang para ghaib yang mengepung, hasilnya adalah ‘perang’ terbuka di alam kesadaran. Bukan kebaikan yang akan didapat nantinya. Mengapakah pertemuan silaturahmi biasa menjadi seperti ini keadaannya ?. Mas Thole tidak mengerti. Dari manakah para ghaib ini mengetahui, dan berduyun-duyun datang mengepung rumahnya.Ugh..!. Namun Mas Thole tidak dapat berfikir panjang. Berdoalah dirnya kepada Allah , Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, memohon pertolongan-Nya, memohon perlindungan-Nya,  dari kejahatan makhulk-makhluk-Nya. Dalam keadaran Mas Thole memohon untuk dikirimkan para malaikat, ‘para pasukan Allah’. Terlihatlah di langit sana, cahaya berpendaran membentengi rumah Mas Thole. Mas Thole menarik nafas lega. Maka begitu pada puncak acara suasana memanas, Mas Thole masih tenang saja, sebab keadaan diluar sana sudah berhasil di kendalikan. Begitulah rangkaian kejadian.

+++

Peristiwa demi peristiwa sejak kedatangan Ki Ageng dengan anaknya, telah merubah tatanan alam kesadaran di nusantara. Entah mengapa terasa ada sesuatu yang diubah. Perubahan ini tentu saja membawa dampak sinkronisasi di badan. Raga Mas Thole tak sanggup menahan situasi ini. Mas Thole juga mendapat khabar setelahnya, anak terkecil sang Prabu sakit demam yang tak biasa. Seiring dengan itu adik ipar Sang Prabu juga mengalami sakit, bahkan sampai kritis keadaannya. Sementara kandungannya sudah menjelang tua. Jika panasnya tidak turun juga maka bayi yang di kandungnya, harus dikeluarkan melalui operasi, keadaan yang sangat krisis. Ya robb..inikah pembelajaran ?. Semua terangkai menjadi 'kebetulan'. Begitu juga, langit diluar sana, seperti ada sesuatu yang aneh terasanya. Sesuatu yang baru yang belum mampu dimaknai. Keadaan cuaca mendung dan hujan terus menerus di hari tertentu dan di lain hari tidak ada hujan, meski mendungnya juga sama hebatnya. Anehnya lagi, meski hujan sepanjang hari, Jakarta tidak di landa banjir, sementara daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan banyak daerah lainnya yang dilanda banjir.He eh…apakah kebetulan ?. Apakah pertanda ?. Entahlah !. Yang jelas saat sekarang ini, Mas Thole harus menetapi keadaan dirinya. Menerima jika keadaan raganya memang tidak diperuntukan untuk seperti ini. Raganya tidak di desain untuk orang-orang masa lalu. Ugh…!. Raganya hanyalah raga manusia biasa. Raga yang lemah, yang akan bisa tumbang kapan saja dan dimana saja. Namun walau begitu dia masih harus bersyukur, raganya masih bisa diajak untuk memenuhi kewajibannya bekerja. Meski setelahnya dia harus tidur semalaman untuk memulihkan dirinya. Yah..sudahlah.

+++

Peristiwa yang memapar raga masih belum selesai. Entah sebab apa, Mas Thole diajak bertemu rekan Ki Ageng bersama Patih Nambi. Rekannya adalah seorang scientific dan sudah bergelar Profesor doctor.  Penghargaan tertinggi atas pencapaian kecerdasan manusia. Luar biasa sekali, umurnya hampir sama dengan Mas Thole Cuma beda dua tahun saja. Namun jangan ditanyakan prestasinya. Kiprahnya sudah keseluruh dunia. Sayang sekali keadaan raganya tidak mendukung semua aktifitasnya. Benturan energi di dalam tubuhnya mengakibatkan system ketubuhannya tidak mampu berfungsi dengan baik. Melihat keadaannya, ada lintasan yang muncul di dada Mas Thole, dalam kesadarannya begitulah yang biasa dialami orang-orang masa lalu.

Manakala ‘orang masa lalu’  keberadaannya dinafikkanoleh dirinya sendiri maka  akan ada saja instrument ketubuhan yang tidak harmonis, tentu saja akibatnya organ-organ tubuhnya tidak akan bisa bekerja dengan baik. Hal yang sama yang dialami Ki Ageng sebelumnya. Dokter sebleumnya sudah memvonis Ki Ageng tidak bisa disembuhkan. Ragaya setiap saat bisa mendadak tidak bisa difungsikan. Maka yang bisa dilakukan hanya mencegah dan mengurangi dampaknya saja. Bertahun-tahun Ki Ageng harus meminum obat hingga 20 butir, karena sakitnya ini. Dan syukurlah sekarang ini Ki Ageng sudah mampu mensinergiskan dan mampu melakukan penerimaan atas keadaan dirinya, berikut juga energinya. Sehingga penyakitnyapun setelah di test di laboratorium sudah hilang dari raganya. Subhanalloh.

Begitulah yang menimpa raga rekan Ki Ageng.  Mas Thole mencurgai keadaan yang sama. Sebab saat pertama bertemu auranya dan energy yang dipancarkannya berbeda dari lainnya. Energi ‘orang-orang masa lalu’ sangat terasa sekali. Maka setelah pertemuan pertama. Berikutnya Mas Thole datang sendiri untuk mencoba melakukan eksplorasi lebih jauh. Sebagaimana biasa, didahului dengan bincang-bincang untuk menyamakan persepsi dan menjajaki sejauh mana pemahaman, agar tidak terjadi penolakan akal. Mas Thole menunggu perintah Kami untuk prosesi. Ketika waktunya sudah pas, merekapun berhadapan. Keadaan rekan KiAgeng sang Profesor sangatlemah sekali, sehinga Mas Thole harus hati-hati. Cukup untuk mengenal saja siapa dirinya. Itulah yang ingin dilakukan malam mini.

“Mpu Baradha…!’ Dia memperkenalkan dirinya dalam bahasa rahsa, bahasa energy yang sulit berdusta. Bahasa yang dipahami juga oleh Mas Thole. Energi inilah yang juga rupanya menambah parah keadaan Mas Thole yang memang sudah lemah belakangan ini.  “Siapakah Mpu Baradha, benarkah seorang Mpu Sakti reinkarnasi di raga ini..?” Mas Thole berkutat dengan pemikirannya sendiri. Maindstream yang ada menyoal reinkarnasi adalah bahwa setiap kelahiran akan memiliki kemampaun dan kesaktian yang sama dengan saat hidupnya. Tapi keadaannya sekarang yang dilhatnya tidaklah begitu. Sebelumnya Mas Thole memang sudah mendapat pemahaman bahwa reinkarnasi akan membuat orang-orang masa lalu akan kehilangan memorynya. Dia tidak akan pernah tahu siapa jatidirinya sesungguhnya. Jika dia tidak tahu siapakah jatidirinya, bagaimanakah menggunakan kesaktiannya di masa lalu ?. Itulah problematka orang masa lalu. Hanya orang-orang yang hidup semasanya saja yang akan mampu mengenali. “Apakah para Resi sakti  para Mpu akan mulai reinkarnasi dan menunjukan jatidir mereka masing-masing ..?” Siapakah mereka itu sesungguhnya ?.

+++

Tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iaki-laki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.

Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali.

Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.

Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.

Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.

Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.

Benarkah para Mpu sudah saatnya mulai turun membantu perjuangan negri ini. Mereka hadir untuk mewujudkan nusantara baru. Menjadi pertanda kebenaran Sumpah Sabdo Palon dimana akan datangnya suatu masa , dimana saatnya manusia-manusia di bumi nusantara mampu mengolah ‘BUDHI’. Mengolah hati nurani untuk mewujudkan ‘budhi pekerti’ yang luhur bagi anak cucunya. Jikalau benar, sungguh merupakan anugrah bagi alam ini. Tonggak kesadaran ‘budhi’ akan semakin diperkuat dengan kedatangan mereka ini. Semoga saja Ya, Allah. Semoga khabar ini memberi arti. Sebab sesungguhnya mereka adalah saudara kami.

+++

Kisah Mas Thole tidak berhenti disini..ada sumpah yang harus ditetapi, ada lakon yang harus dijalani, menyoal negri yang aman ini. Manakala kita harus bersumpah atas tanah ini, atas Tin dan Zaitun, atas bukit Thur..sumpah atas sebuah negri..yang aman dan sentosa…apapun itu, akan terus dijalani. Meski jiwa ini sudah semakin ringkih, meski raga ini disana sini telah berlubang menahan duka dan luka. Negri ini harus aman dan sentosa, dalam naungan rahmat Illahi. Itulah tekadnya, meski semua itu dilakukannya dalam kesadarannya. Dalam keyakinannya sendiri. Dalam sepi-sepi hari. Dalam gundahnya menetapi. Semua pasti akan teruji, itulah sumpah, itulah keyakinan sebagaimana nabi Ibrahim, yang telah meletakkan pondasi kesadaran bagi negrinya (Mekah). Sambil terus dalam harap dan doa, ada seseorang yang akan  menjawab panggilan ini. "Demi kota (negri) yang aman ini !"

“demi  Tin dan  Zaitun
dan demi bukit Thuri- (sinina),
dan demi kota ini yang aman,
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya ,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Maka Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan pembalasan sesudah itu?
Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?”
(QS, At Tin, 1-8)

Demi sebuah negri ini, kami berjanji, dan bersiap untuk mati !.

wolohualam

Komentar

  1. amin allahuma amin semoga mas thole dan kawan kawan diberikan kemudahan dalam melaksanakan tugasnya kami selalu mendoakan yang terbaik demi terwujudnya NUSANTARA baru...kami yakin akan janji itupasti ada.bersabarlah sesungguhnya semua bekerja....

    BalasHapus
  2. Spiritual is everything but also is nothing. Dimensi gaib adalah yang meliputi realitas.
    Itulah segalanya, seperti sofware yang membentuk gambar di layar komputer. tetapi juga tidak menjadi apa-apa bila tak ada layarnya. Kosong tak bermakna apapun. Memaknai spiritual begitu sulitnya bila tak mampu membuat tampilan di layar kaca. Sedangkan spiritual (gaib) untuk membentuk menjadi sebuah realitas memerlukan energy dan waktu.

    Sungguh menjadi beban dan kesulitan bagi para pelaku spiritual untuk merangkai menjadi kisah dalam realitas (tampilan raga sekarang). seumpama menjelaskan bahasa microsoft ke grafik dan tabel, atau lebih tinggi lagi operating systemnya. Bagaimana merangkai semua alur software itu membentuk sebuah realitas di layar kaca.

    Maka menjadi wajar saja, bila kisah ini hanya diperuntukkan bagi yang mengalaminya dan meyakini adanya dimensi ini, dan selebihnya hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur belaka.

    Betapa berat kerja para perancang software, adakah nama mereka dikenali?.
    dan demikian pula maka para pelaku spiritual akan selalu berada di belakang layar
    dan tak akan dikenali karena bahasanya memang tidak banyak yang mengerti

    namun tetaplah berjuang
    karena tanpa adanya yang bekerja di belakang layar, maka tampilan di layar akan tidak karuan

    selamat bekerja
    teruslah berjuang


    salam sejahtera

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali