Kisah Spiritual, Sang Panca Tirtha
Bunga
bougenvile di halaman rumah, tidak berbunga lagi. Tanaman yang sepanjang tahun ini biasanya ini terus
saja berbunga, kini tidak lagi !. Bunga
merah seperti kertas yang sering berguguran, dan selalu menghiasi halaman rumah, sudah tidak ada. Kini nampak hanya
rimbun hijau daun saja. Karena itulah tanaman itu dipangkas minggu kemarin ini,
dirapikan, membentuk bulatan. Setiap bangun pagi Mas Thole melihat kearah bunga
itu. Terbersit lintasan pemikiran. “Adakah
bunga itu tahu apa yang tengah dialami Mas Thole akhir-akhir ini..” Mengapakah
di akhir tahun ini bunga itu tidak mau berbunga.
Sakit
yang mendera raga Mas Thole, batuk yang kian menghebat. Rasa sakit kepala,
bahkan kemarin ini bagai sebilah tombak menembus ubun-ubunnya sampai ke ulu
hati. Membuat lintasan-lintasan tersebut semakin menguat saja. “Benarkah bunga
itu menegrti apa yang dirasakannya, hingga tidak mau berbunga ?, entahlah ..!” Memang Mas Thole di pagi hari selalu berusaha
bersapa dengan tanaman-tnaman bunganya, selalu tak lupa salam keselamatan dan
kesejahteraan di lontarkan setiap pagi. Dan hasilnya tanaman bunga Mas Thole
sangat rimbun dan subur, sepertinya mereka membalas salam itu melalui daun-daun
mereka yang indah di pandang mata. "Kemanakah bunga di pagi hari ini.?." Mas Thole membatin dengan prihatin.
+++
Perjalanannya
kemarin ke Ende, masih menyisakan residu energy yang mengkoyak dadanya. Ada
rahsa yang menggumpal sehingga menyebabkan batuk yang luar biasa. Raga Mas
Thole adalah raga orang-orang masa kini. Pantas saja jikalau tidak akan mampu
menahan energi jutaan kilovolt yang terus membombardir dirinya. Peristiwa di
sumur rumah tinggal Soekarno di Ende. Dan juga persitiwa sehari sebelumnya, di
kompleks RRI . Telah membuat habis energinya. Hampir saja perhelatan yang akan di lakukan Mas Thole dan
rekannya dalam rangka menjejak kiprah Soekarno di Ende, menemui kegagalan. Awan
mendung dan hujan mulai dari pagi. Membuat pesimis keadaan. Rasanya tidak
mungkin mengadakan acara di cuaca seperti ini. Mau tidak mau Mas Thole harus
melakukan sesuatu, sebab malam nanti ribuan penonton pasti akan memadati
tempat ini. Jika hujan masih seperti ini, tentu saja akan gagal acara tersebut.
Rekan
Mas Thole juga berharap agar Mas Thole melakukan sesuatu. Siang itu bagaikan
malam, matahari bersinar redup nampak seperti bulan. “Gejala
alam apakah ini..” Saat itu Mas Thole membatin saja saat melihat situasi. Keluarlah Mas Thole dari ruang gedung RRI,
sambil berjalan dimasuki kesadarannya, sepersekian detik kesadarannya sudah
meluas ke alam raya, mencoba bersapa dengan awan dan hujan disana. Tagannya
secara otomatis mengembang, naik sejajar dengan pinggang. Menghadaplah dirinya kemuka. Ditengadahkan
kepalanya, mendongak, berdoa kepada pemilik alam ini. Dengan atas nama-Nya yang
Maha Pengasih dan Peyayang, disapalah awan dan hujan yang berada di muka dan belakang.
Kemudian dirinya melangkah ke sebelah kirinya. Dilakukan hal yang sama. Sekali
lagi diulang, dia melangkah ke sebelah kanan. Setelahnya, kemudian Mas
Thole maju melangkah tenang, ke bagian paling ujung depan halaman. Di kuatkannya kesadarannya.
Dalam
kesadaran, tersambunglah Mas Thole dengan alam. Sang awan dan hujan berkata,
mereka mengerti akan keperluan Mas Thole, tapi diri mereka juga sedang
melaksanakan urusan Allah, bukankah hujan adalah rahmat, maka tunggulah saja sehabis ashar nanti.
Mereka akan menyelesaikan urusan mereka di hari ini secukupnya. Mendengar
jawaban tersebut Mas Thole mengerti dan paham. Setelah itu, terdengar bisikan
KAMI agar dia menuju ke tower pemancar ada tonggak kesadaran yag harus di
pancangkan disana. Melalui pemancar inilah nanti akan digaunkan keadaran atas
negri ini. Maka tanpa membuang waktu Mas
Thole mencari symbol tonggak, sebagaimana yang diwangsitkan melalui mimpi sebelumnya.
Yah, batang pohon singkong. Tanaman asli Indonesia, adalah batang tanaman yang akan mampu tumbuh
dimana saja. Sebagaimana kesadaran yang dipancarkan nantinya, akan mampu tumbuh dimana saja. Bahasa simbol yang harus dimaknai dengan arif. Bahasa yang tidak untuk diperdebatkan.
+++
Begitulah perumpamaan kesadaran nanti. Batang tanaman inilah yang ditancapkan tepat di bawah menara pemancar. Semoga energi-nya akan meluas dan memancar ke alam semesta dan dapat diterima oleh makhluk lainnya. Dengan pemahaman dan keyakinan itulah, maka di tancapkan tonggak kesadaran dengan, dihadiri oleh sesepuh purba para ghaib yang mewakili Indonesia bagian timur. Prosesi tonggak kesadaran di Pulau Ende pun diselesaikan disini, ditempat yang mungkin tidak trepikirkan siapapun. BUkan tempat angker atau wingit sebagaimana praduga sebelumnya. Semua sangat biasa dan logis saja. Bagaimanakah memaknainya ?. Setelah selesai prosesi ini, maka di hari berikutnya Mas Thole mendatangi rumah Soekarno, sebagaimana dikisahkan pada episode ‘Jejak-jejak Spirit Purba’ Pajajaran 2’. Dan Sungguh, luar biasa pada malam harinya saat perhelatan berlangsung, malam itu bagaikan siang hari saja. Jikalau siang hari tadi matahari redup bagai bulan. Maka sebaliknya di malam ini bulan bersinar bagai matahari disiang hari tadi. Keadaan yang sama antara malam dan siang. Ugh...!. Subhanalloh, begitu perkasanya alam ini, mengatur kejadian. Mas Thole bersyukur, semoga ini menjadi pertanda baik. Bergetran syaraf Mas Thole menangkap sensasi alam seperti ini. Manakah ada malam dan siang sama keadaannya. Subhanalloh...!. Sungguh pengalaman yang menakjubkan, ghaib di Ende benar-benar misteri.
+++
+++
Begitulah perumpamaan kesadaran nanti. Batang tanaman inilah yang ditancapkan tepat di bawah menara pemancar. Semoga energi-nya akan meluas dan memancar ke alam semesta dan dapat diterima oleh makhluk lainnya. Dengan pemahaman dan keyakinan itulah, maka di tancapkan tonggak kesadaran dengan, dihadiri oleh sesepuh purba para ghaib yang mewakili Indonesia bagian timur. Prosesi tonggak kesadaran di Pulau Ende pun diselesaikan disini, ditempat yang mungkin tidak trepikirkan siapapun. BUkan tempat angker atau wingit sebagaimana praduga sebelumnya. Semua sangat biasa dan logis saja. Bagaimanakah memaknainya ?. Setelah selesai prosesi ini, maka di hari berikutnya Mas Thole mendatangi rumah Soekarno, sebagaimana dikisahkan pada episode ‘Jejak-jejak Spirit Purba’ Pajajaran 2’. Dan Sungguh, luar biasa pada malam harinya saat perhelatan berlangsung, malam itu bagaikan siang hari saja. Jikalau siang hari tadi matahari redup bagai bulan. Maka sebaliknya di malam ini bulan bersinar bagai matahari disiang hari tadi. Keadaan yang sama antara malam dan siang. Ugh...!. Subhanalloh, begitu perkasanya alam ini, mengatur kejadian. Mas Thole bersyukur, semoga ini menjadi pertanda baik. Bergetran syaraf Mas Thole menangkap sensasi alam seperti ini. Manakah ada malam dan siang sama keadaannya. Subhanalloh...!. Sungguh pengalaman yang menakjubkan, ghaib di Ende benar-benar misteri.
+++
Pagi
ini puzzle-puzle tersebut terulang sangat nyata. Dan entah mengapa seakan ada energy
yang mendorongnya untuk mengkisahkan bagian ini. Padahal sehabis maghrib
kemarin ini (24/12) dia langsung tidur. Istrinya sudah menyiapkan obat-obatan
dokter. Dia tidak tega mendengar batuk hebat yang dialami Mas Thole. Mas Thole
menyadari akan keterbatasan raganya. Setelah kepulangannya dari Ende, raganya
masih harus di perjalankan, dia harus bertemu dengan Ki Ageng dan anaknya.
Tentu saja banyak energi-energi yang harus di kalibrasi. Beberapa kali anak Ki
Ageng berusaha membantu Mas Thole. Namun memang raga Mas Thole bukan
diperuntukan untuk keadaan ini, tetap saja ‘tepar’. Bayangkan saja, kejadian demi kejadian tak berjeda, tiada selang waktu untuk istirah. Hari berikutnya harus diadakan pertemuan antara kesatria. Tanggal (18/12) memang ada saran dari Patih Nambi
untuk silaturahmi, mumpung Ki Ageng ada di Jakarta.
Maka
pada hari itu, diundanglah rekan-rekan seperjalanan spiritual, hadir saat itu adalah Ki
Ageng, bersama 2 orang tokoh wakil dari Dieng, hadir juga Udin dari Bangka Belitung, Patih Nambi.
Pambayun, dan juga Sang Prabu. Ditambah seorang tokoh lagi yang datang
belakangan. Pertemuan itu memang nyars tidak direncanakan mengalir saja. Karaguan
akan bisa terselenggaranya pertemuan itu sudah muncul sejak siang bahkan sampai
malam. Patih Nambi yang bertugas menjemput, tiba-tiba tidak bias meninggalkan
pekerjaannya. Sementara Ki Ageng tidak tahu jalan di Jakarta ini. Rekan dari
Surabaya yang konon akan ikut hadir, juga mendadak tidak bisa. Begitu juga yang dari Bandung. Semua seperti serba tak pasti. Akhirnya baru jam
9 malam, semua bisa hadir dalam pertemuan tersebut. Pertemuan yang tidak lama,
namun sempat panas suasananya. Banyak energi yang menumpangi keadaan disana.
Mas Thole sadar sekali saat diawal. Ribuan pasukan entah dari mana datangnya
sudah mengepung rumah Mas Thoel di langit sana. Suasana bisa yang nampak bisa, tidaklah bagaimana keadaannya, sesungguhnya adalah perang kesadaran yang hebat.
Nampak
Udin sudah mulai resah, raganya sudah nyaris tidak mampu dikuasainya. Begitu
juga Pambayun, energy kasar dan menyakitkan menusuki wajahnya yang halus. Membuat bergidik, dan tak nyaman sekali. Semua duduk
dalam keadaan siap perang, gelisah sekali keadaannya. Mas Thole memang dalam
keadaan waspada. Beberapa penjaga ghaib di luar rumahnya memang sudah memberitahukan
akan keadaan di atas langit sana. Para
ghaib lain sedang mengepung rumah Mas Thole. Melihat keadaan tersebut Mas Thole
menghela nafas, jika pasukan Majapahit, Sriwijaya, atau bahkan kerajaan Pajajaran, dan kerajaan lainnya yang turun
menghadang para ghaib yang mengepung, hasilnya adalah ‘perang’ terbuka di alam kesadaran.
Bukan kebaikan yang akan didapat nantinya. Mengapakah pertemuan silaturahmi
biasa menjadi seperti ini keadaannya ?. Mas Thole tidak mengerti. Dari manakah para
ghaib ini mengetahui, dan berduyun-duyun datang mengepung rumahnya.Ugh..!.
Namun Mas Thole tidak dapat berfikir panjang. Berdoalah dirnya kepada Allah ,
Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, memohon pertolongan-Nya, memohon
perlindungan-Nya, dari kejahatan
makhulk-makhluk-Nya. Dalam keadaran Mas Thole memohon untuk dikirimkan para
malaikat, ‘para pasukan Allah’. Terlihatlah
di langit sana, cahaya berpendaran membentengi rumah Mas Thole. Mas Thole
menarik nafas lega. Maka begitu pada puncak acara suasana memanas, Mas Thole
masih tenang saja, sebab keadaan diluar sana sudah berhasil di kendalikan. Begitulah rangkaian kejadian.
+++
Peristiwa
demi peristiwa sejak kedatangan Ki Ageng dengan anaknya, telah merubah tatanan
alam kesadaran di nusantara. Entah mengapa terasa ada sesuatu yang diubah.
Perubahan ini tentu saja membawa dampak sinkronisasi di badan. Raga Mas Thole
tak sanggup menahan situasi ini. Mas Thole juga mendapat khabar setelahnya, anak terkecil sang Prabu sakit demam yang tak biasa. Seiring dengan itu adik ipar Sang Prabu juga mengalami sakit, bahkan sampai kritis keadaannya. Sementara kandungannya sudah menjelang tua. Jika panasnya tidak turun juga maka bayi yang di kandungnya, harus dikeluarkan melalui operasi, keadaan yang sangat krisis. Ya robb..inikah pembelajaran ?. Semua terangkai menjadi 'kebetulan'. Begitu juga, langit diluar sana, seperti ada sesuatu yang
aneh terasanya. Sesuatu yang baru yang belum mampu dimaknai. Keadaan cuaca
mendung dan hujan terus menerus di hari tertentu dan di lain hari tidak ada
hujan, meski mendungnya juga sama hebatnya. Anehnya lagi, meski hujan sepanjang hari,
Jakarta tidak di landa banjir, sementara daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, dan banyak daerah lainnya yang dilanda banjir.He eh…apakah kebetulan ?. Apakah
pertanda ?. Entahlah !. Yang jelas saat sekarang ini, Mas Thole harus menetapi
keadaan dirinya. Menerima jika keadaan raganya memang tidak diperuntukan untuk
seperti ini. Raganya tidak di desain untuk orang-orang masa lalu. Ugh…!. Raganya
hanyalah raga manusia biasa. Raga yang lemah, yang akan bisa tumbang kapan saja
dan dimana saja. Namun walau begitu dia masih harus bersyukur, raganya masih
bisa diajak untuk memenuhi kewajibannya bekerja. Meski setelahnya dia harus
tidur semalaman untuk memulihkan dirinya. Yah..sudahlah.
+++
Peristiwa
yang memapar raga masih belum selesai. Entah sebab apa, Mas Thole diajak bertemu
rekan Ki Ageng bersama Patih Nambi. Rekannya adalah seorang scientific dan
sudah bergelar Profesor doctor. Penghargaan
tertinggi atas pencapaian kecerdasan manusia. Luar biasa sekali, umurnya hampir
sama dengan Mas Thole Cuma beda dua tahun saja. Namun jangan ditanyakan
prestasinya. Kiprahnya sudah keseluruh dunia. Sayang sekali keadaan raganya
tidak mendukung semua aktifitasnya. Benturan energi di dalam tubuhnya
mengakibatkan system ketubuhannya tidak mampu berfungsi dengan baik. Melihat
keadaannya, ada lintasan yang muncul di dada Mas Thole, dalam kesadarannya begitulah yang biasa dialami orang-orang
masa lalu.
Manakala
‘orang masa lalu’ keberadaannya dinafikkanoleh
dirinya sendiri maka akan ada saja instrument
ketubuhan yang tidak harmonis, tentu saja akibatnya organ-organ tubuhnya tidak
akan bisa bekerja dengan baik. Hal yang sama yang dialami Ki Ageng sebelumnya.
Dokter sebleumnya sudah memvonis Ki Ageng tidak bisa disembuhkan. Ragaya setiap
saat bisa mendadak tidak bisa difungsikan. Maka yang bisa dilakukan hanya
mencegah dan mengurangi dampaknya saja. Bertahun-tahun Ki Ageng harus meminum
obat hingga 20 butir, karena sakitnya ini. Dan syukurlah sekarang ini Ki Ageng sudah mampu
mensinergiskan dan mampu melakukan penerimaan atas keadaan dirinya, berikut juga energinya. Sehingga
penyakitnyapun setelah di test di laboratorium sudah hilang dari raganya. Subhanalloh.
Begitulah
yang menimpa raga rekan Ki Ageng. Mas Thole mencurgai keadaan yang sama. Sebab
saat pertama bertemu auranya dan energy yang dipancarkannya berbeda dari lainnya. Energi
‘orang-orang masa lalu’ sangat terasa sekali. Maka setelah pertemuan pertama.
Berikutnya Mas Thole datang sendiri untuk mencoba melakukan eksplorasi lebih
jauh. Sebagaimana biasa, didahului dengan bincang-bincang untuk menyamakan
persepsi dan menjajaki sejauh mana pemahaman, agar tidak terjadi penolakan
akal. Mas Thole menunggu perintah Kami untuk prosesi. Ketika waktunya sudah
pas, merekapun berhadapan. Keadaan rekan KiAgeng sang Profesor sangatlemah
sekali, sehinga Mas Thole harus hati-hati. Cukup untuk mengenal saja siapa
dirinya. Itulah yang ingin dilakukan malam mini.
“Mpu
Baradha…!’ Dia memperkenalkan dirinya dalam bahasa rahsa, bahasa energy yang sulit
berdusta. Bahasa yang dipahami juga oleh Mas Thole. Energi inilah yang juga rupanya menambah parah keadaan Mas Thole yang memang
sudah lemah belakangan ini. “Siapakah Mpu Baradha, benarkah seorang Mpu
Sakti reinkarnasi di raga ini..?” Mas Thole berkutat dengan pemikirannya
sendiri. Maindstream yang ada menyoal reinkarnasi adalah bahwa setiap kelahiran
akan memiliki kemampaun dan kesaktian yang sama dengan saat hidupnya. Tapi
keadaannya sekarang yang dilhatnya tidaklah begitu. Sebelumnya Mas Thole memang
sudah mendapat pemahaman bahwa reinkarnasi akan membuat orang-orang masa lalu
akan kehilangan memorynya. Dia tidak akan pernah tahu siapa jatidirinya
sesungguhnya. Jika dia tidak tahu siapakah jatidirinya, bagaimanakah menggunakan kesaktiannya di masa lalu ?. Itulah problematka orang masa lalu. Hanya orang-orang yang hidup semasanya saja yang akan mampu
mengenali. “Apakah para Resi sakti para Mpu akan mulai
reinkarnasi dan menunjukan jatidir mereka masing-masing ..?” Siapakah mereka
itu sesungguhnya ?.
+++
+++
Tersebutlah
di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iaki-laki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita,
beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan
mahasakti seperti ayahnya Danghyang
Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan
sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan
beliau semuanya.
Mpu Gnijaya.
Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali
pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang
Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di
Bali.
Mpu Semeru,
membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999.
Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian
menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
Mpu Ghana,
membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka
922 atau tahun Masehi 1000.
Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha,
datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di
Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.
Ida
Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan
Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan,
sekitar tahun Masehi 1000.
Benarkah para Mpu sudah saatnya mulai turun
membantu perjuangan negri ini. Mereka hadir untuk mewujudkan nusantara baru.
Menjadi pertanda kebenaran Sumpah Sabdo Palon dimana akan datangnya suatu masa , dimana saatnya
manusia-manusia di bumi nusantara mampu mengolah ‘BUDHI’. Mengolah hati nurani untuk
mewujudkan ‘budhi pekerti’ yang luhur bagi anak cucunya. Jikalau benar,
sungguh merupakan anugrah bagi alam ini. Tonggak kesadaran ‘budhi’ akan semakin
diperkuat dengan kedatangan mereka ini. Semoga saja Ya, Allah. Semoga khabar
ini memberi arti. Sebab sesungguhnya mereka adalah saudara kami.
+++
Kisah
Mas Thole tidak berhenti disini..ada sumpah yang harus ditetapi, ada lakon yang
harus dijalani, menyoal negri yang aman ini. Manakala kita harus bersumpah atas
tanah ini, atas Tin dan Zaitun, atas bukit Thur..sumpah atas sebuah negri..yang
aman dan sentosa…apapun itu, akan terus dijalani. Meski jiwa ini sudah semakin
ringkih, meski raga ini disana sini telah berlubang menahan duka dan luka. Negri
ini harus aman dan sentosa, dalam naungan rahmat Illahi. Itulah tekadnya, meski semua itu dilakukannya dalam kesadarannya. Dalam keyakinannya sendiri. Dalam sepi-sepi hari. Dalam gundahnya menetapi. Semua pasti akan teruji, itulah sumpah, itulah keyakinan sebagaimana nabi Ibrahim, yang telah meletakkan pondasi kesadaran bagi negrinya (Mekah). Sambil terus dalam harap dan doa, ada seseorang yang akan menjawab panggilan ini. "Demi kota (negri) yang aman ini !"
“demi
Tin dan Zaitun
dan
demi bukit Thuri- (sinina),
dan demi kota ini yang aman,
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
kemudian
Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya ,
kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya.
Maka
Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan pembalasan sesudah itu?
Bukankah
Allah hakim yang seadil-adilnya?”
(QS,
At Tin, 1-8)
Demi
sebuah negri ini, kami berjanji, dan bersiap untuk mati !.
wolohualam
amin allahuma amin semoga mas thole dan kawan kawan diberikan kemudahan dalam melaksanakan tugasnya kami selalu mendoakan yang terbaik demi terwujudnya NUSANTARA baru...kami yakin akan janji itupasti ada.bersabarlah sesungguhnya semua bekerja....
BalasHapusSpiritual is everything but also is nothing. Dimensi gaib adalah yang meliputi realitas.
BalasHapusItulah segalanya, seperti sofware yang membentuk gambar di layar komputer. tetapi juga tidak menjadi apa-apa bila tak ada layarnya. Kosong tak bermakna apapun. Memaknai spiritual begitu sulitnya bila tak mampu membuat tampilan di layar kaca. Sedangkan spiritual (gaib) untuk membentuk menjadi sebuah realitas memerlukan energy dan waktu.
Sungguh menjadi beban dan kesulitan bagi para pelaku spiritual untuk merangkai menjadi kisah dalam realitas (tampilan raga sekarang). seumpama menjelaskan bahasa microsoft ke grafik dan tabel, atau lebih tinggi lagi operating systemnya. Bagaimana merangkai semua alur software itu membentuk sebuah realitas di layar kaca.
Maka menjadi wajar saja, bila kisah ini hanya diperuntukkan bagi yang mengalaminya dan meyakini adanya dimensi ini, dan selebihnya hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur belaka.
Betapa berat kerja para perancang software, adakah nama mereka dikenali?.
dan demikian pula maka para pelaku spiritual akan selalu berada di belakang layar
dan tak akan dikenali karena bahasanya memang tidak banyak yang mengerti
namun tetaplah berjuang
karena tanpa adanya yang bekerja di belakang layar, maka tampilan di layar akan tidak karuan
selamat bekerja
teruslah berjuang
salam sejahtera