Kisah Spiritual, Jejak-Jejak 'Spirit Purba' Pajajaran (1)
Kemanakah akan
kucari lagi
Butir-butir
cintaku
yang lama kubuang
Apakah pada
gelombang lautan
Atau pada hiruk
pikuk jalanan
Semua sungai ,
ingin kususuri
Semua bukit, akan
kudaki
Semua padang
belantara, akan kutembus
Harus kutemukan
lagi
Sebutir cintaku
yang hilang
Ditelan dusta
Kemarau panjang…
(Petikan
syair Episode Cinta Yang Hilang by Ebiet G Ade)
...
...
Lamat
dalam kesadaran nuansa suasana sebagaimana bait dalam lagu itu menyelusup dan menyelinap
dalam kesadaran. Kisah perjalanannya mencari butir cinta yang hilang, adakah masih ada tersisa cinta
kepada bangsa ini, cinta kepada negri ini, dimanakah itu ?. Pencariannya itu telah membawanya melangkah kesini.
Mendudukannya di sebuah kursi dalam penerbangan Garuda ke sebuah kota yang
bernama Ende. Dia sekarang menyepi dalam
langutan kesendirian menghadap jendela. Kesepiannya menyergap. Perjuangannya
seharian hingga malam tidak sempat tidur, karena memang serba cepat dan mendadak
rencana keberangkatannya kali ini, keadaan itu membekaskan rahsa sakit, pegal, pegal di
badan. “Harus kutemukan lagi, sebutir cintaku yang hilang..” Tekadnya membaja lagi . “Apakah pada pancaran rembulan, ataukah pada hiruk pikuk jalanan..”. Semua
akan disusurinya, entah sudah beberapa tempat dijajahinya, hingga sampai kepelosok negri. “Menelisik jejak-jejak cinta dimana asal muasalnya yang menjadi sebab
terlahirnya Indonesia ini..”.
Kapankah akan
kudengar lagi
nyanyian angin dan
denting gitarmu?
Apakah pada
pancaran rembulan
atau tubuh-tubuh
panas jalanan?
Semua bumi ingin
kujejaki,
semua langit akan
kudaki,
semua
bintang-bintang akan kutembus
Harusku temukan
lagi sebutir cintaku yang hilang
Ditelan dusta
kemarau panjang
(Petikan
syair Episode Cinta Yang Hilang by Ebiet G Ade)
Begitulah
keadaan pencariannya. Kemanakah lagi ?. Keadaannya begitu sepi, bahkan bunyi
mesin pesawatpun nyaris tak terdengar.
Dan sementara itu, para penumpang asyik dengan pikirannya
sendiri-sendiri. Kemanakah cinta anak-anak negri ini. Cinta yang telah di
dustakan para petinggi dan pejabat istana. Mereka menjual mimpi negri ini.
Mereka tak peduli manakala Ibu pertiwi menangisi. Dimanakah harus diletakan
kesadaran ini ?. Ditelan dusta kemarau kesadaran yang begitu panjang. “Haruskah aku tertidur lagi…?.” Pertanyaan demi pertanyaan terus saja memburunya, kesemuanya demi sebuah pijakan keyakinan diri bahwa negri ini pasti akan berjaya. Negri yang aman sentosa dimana masyarakatnya akan membahsakan diri mereka dengan cinta kasih. Saling mengasihi sesama manusia, bermartabat dan berkesadaran tinggi. Begitulah angannya.
...
...
Memandang langit sebelah kiri. Gumpalah awan putih bagai selimut mimpi. Terlihat baling-baling pesawat begitu cepatnya berputar, saking cepatnya hingga sampai pada satu titik dimana baling-baling tersebut justru terlihat berhenti. Baling-baling itu nampak seperti tidak berputar lagi. Berhenti ?!?, sampai beberapa kali Mas Thole harus mengkerjapkan matanya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Baling-baling pesawat GA 300 seakan bergerak melambat dalam kesadaran dan berhenti dalam pandangan Mas Thole. Diam dan gerak adakah dua hal yang sama. Bukankah seharusnya dua hal yang berbeda, namun mengapakah jika dalam kesadaran dua hal yag berbeda ini menjadi sama saja. He..eh, kebingungan ini tak berlangsung lama, dibiarkan saja pemahan ii meresap masuk ke dalam relung jiwa. tatapannya masih terus lekat tertuju kepada baling-baling itu. Memang Mas Thole duduk di kursi nomer 23A persis di jendela pesawat yang berdekatan dengan baling-baling itu. Semenatra itu, alam kesadarannya terus memindai ke seluruh langit yang dilalui. "Mengapakah pesawatnya pun serasa berhenti...?" Keluhnya lagi. Memperhatikan ke luar jendela pesawat. perjalanannya ke Ende, terasa begitu lama.
....
Ende adalah salah satu Kabupaten yang berada disebuah kepulauan yang
di masa lalu disebut sebagai Pulau Bunga. Sekarang orang menyebutnya Flores,
termasuk wilayah Nusa Tenggara Timur. Pulau yang menyimpan banyak misteri akan
energi (spirit) alam. Di pulau inilah Bung Karno dan Inggit Ganarsih, bersama
anak angkatnya, dan juga mertuanya di
buang oleh Belanda pada tahun (1934-1938). Disana ada 3 buah danau hasil
bentukan kawah gunung, orang menyebutnya danau Kelimutu. Danau yang menyimpan
spirit purba. Orang-orang lokal menyebutnya sebagai tempat arwah-arwah nenek moyang mereka. mArwah orang yang sesat, arwah orang yang baik, dan arwah anak-anak muda. Semua menempati danau yag berbeda. Kesanalah Mas Thole diberikan tugas oleh Kami. Guna mencari serpihan yang hilang. Serpihan kesadaran yang menjadi mata rantai anatara Pajajaran dan jug Nusantara Baru. Menanamkan serta menggali potensi
kesadaran bangsa ini. Sebab konon katanya konsep pemahaman Pancasila dibuahi
disini. Konsep pemahaman yang menjadi embrio dilahirkannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. “Namun benarkah itu ?. Apakah
kaitannya pulau ini dengan perjalanan spiritual dirinya ?. Mengapakah dirinya seperti dipaksa kesini. Bukankah kemarin rencananya akan ke Papua, apakah peritah KAMI berubah, setlah peristiwa hebat yang mendampai para kesatria beberapa minggu ini. He..eh Etahlah..!“ Pertayaan-pertanyaan itu seperti membuat buntu pikiran. Sambil terus membatin dengan berjuta pertanyaan, Mas
Thole menyapa awan-awan yang terus bergulung-gulung, mengikuti laju pesawatnya. Sedikit menghibur perjalanannya ini.
....
....
“Menelisik
Jejak Putra Pajajaran..” Inilah salah satu misinya kali ini. Menjadi saksi atas ditorehkannya kesadaran disini, di ulau Ende ini. Bisikan itu begitu aneh terngiang dalam
telinga Mas Thole. Ada apakah dengan jejak-jejak Putra Pajajaran. Jejak
siapakah yang ada di pulau ini. “Serpihan-serpihan
kesadaran…yang harus dirangkaikan..” Pesan itu kembali seperti berbisik,
dan lebih tepatnya seperti bertanya jawab dalam hati Mas Thole. “Bagaimana merangkaikan semua kejadian kalau
begini percepatannya...” Belumlah usai peristiwa benturan energy kesadaran para
kesatria. Benturan yang nyaris membunuh jiwa Mas Thole. Dimana dikisahkan
sebelumnya keadaan Mas Thole tepar, hingga 3 hari lamanya tanpa daya. Secara paralel hal yang
sama juga dialami Ki Ageng, betapa sulitnya Ageng untuk sampai ke Indonesia. Semua tenaga dan ikhtiar sudah dikerahkan semampunya. Dan belumlah mengendap semua itu dalam
otaknya. Kini dia sudah berada jauh sekali, untuk suatu misi yang lain lagi. He ..eh. "Kami tunduk dan patuh Ya Robb...jika itu memang laku yang harus dijalani.." Begitulah Mas Thole berdoa. Helaan nafas yang dalam dan berat nampak terus menghiasi kontemplasinya.
...
...
Angannya kembali mencoba mencari jejak kejadian beberapa hari sebelumnya. Hari Kamis
malam (12/12) Mas Thole mendapatkan khabar bahwa dia harus pergi ke Ende. He..eh.
“Bagaimanakah ini..?” Ugh.., waktu
itu, khabar berita kedatangan Ki Ageng belum juga di dengarnya. Mas Thole harus berangkat ke Ende Jumat Malam
(13/12), untuk penerbangan Sabtu paginya. Pikiran tersebut berlintasan, dia
harus menunggu kedatangan Ki Ageng, tapi perintah berangkat ke Ende sudah
pasti. “Apakah mereka tidak akan bertemu …?”
Mas Thole kebingungan sendiri. Bagaimana keadaannya jika dia tidak bertemu. Bagaimana
dengan misi-misi penanaman pohon kesadaran yang akan dilakukan. “Kenapakah menjadi serumit ini..?”. Jumat Siang (13/12) Hp Mas
Thole drop, dia kehilangan kontak sama sekali. Bagaimana juga dengan khabar Ki Ageng. Dia
juga tidak tahu. Kepastiannya berangkat juga belum ada konfirmasi lagi. Mengapakah
selalu saja ada kejadian begini. Kealpaan, kebetulan, ataukah apa ?.
Perasaannya sudah mulai tidak enak, ada sesuatu yang sedang terjadi. Siang itu
dia sudah berencana datang ke salah satu client nya. Perasaan sudah semakin tidak karuan sepanjang perjalanan. Baru saja di
stasiun kereta, hujan sudah deras sekali mengguyur Jakarta. Mas Thole terus
menunggu hujan reda, namun terlihat dari arah yang akan menjadi tujuannya langit
menggelap. Haruskah dia lanjutkan perjalanannya ?, namun hujan sepertinya tak
bersahabat sekali. Sampai sore hujan tak juga reda. Maka diputuskannya sore itu juga kembali pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah,
istrinya sudah terlihat panik. Khabar keberangkatan ke Ende harus di
konfirmasikan jam 4 sore, dan sekarag sduah jam berapa ?. Jam sudah lewat maghrib. Jika tidak seluruh akomodasi puluhan juta akan
hangus. Maka dengan terburu-buru segera Mas Thole melakukan konfirmasi, syukurlah masih bisa
berangkat. Anehnya, seiring dengan khabar kepastian keberangkatan ke Ende, Mas Thole
juga mendengar khabar bahwa Ki Ageng dan anaknya ingin bertemu, malam itu juga. Sebab dia sudah sampai di Jakarta malam. “Waduh sudah malam begini..?” Bukan
apa-apa, mencari kendaraan sungguh susah sekali. Tidak ada Taksi yang mau masuk
ke kompleks perumahan Mas Thole. Kalaupun ada yang mau, pasti dengan harga yang
fantastik. Akhirnya diputuskan untuk mencari kendaraan diluar kompleks
perumahannya. Sekalian saja, memang rencananya setelah pertemuan dia akan
berangkat ke bandara. Meskipun jam keberangkatan masih esok harinya, tak
apalah, daripada harus kembali ke rumah lagi. Begitulah rangkaian sebelumnya.
Sehingga saat sekarang ini Mas Thole ada di pesawat ini, di penerbangan GA 300
menuju Ende.
….
Dalam heningnya, Mas Thole masih terus memandang keluar jendela lagi, bersitan pemikiran terus saja berkejaran slide
demi slide. Pertemuannya dengan Ki Ageng semalam menyisakan banyak pertanyaan.
Pertemuan selama 2 jam terasa sangat sebentar. Jam 23.00 WIB Mas Thole baru
sampai di tempat yang dijanjikan. Setelah basa-basi sebentar, tiba-tiba anaknya
Ki Ageng menghampiri dan berbicara dengan bahasa Inggris yang cukup sulit
dimengerti. Ki Ageng pun mengajak Mas Thole ke sebuah kamar yang kosong.
Sebelumnya mereka ber wudhu terlebih dahulu. Setelahnya itu mereka duduk
bersila membentuk segitiga sama sisi. Mas Thole dipersilahkan untuk memimpin
prosesi tersebut. Pada saat itu berkelebatan pikiran Mas Thole apakah yang
harus dia katakan, niat apakah yang harus dia utarakan, agar alam mengerti,
agar bahasa nurani ini dipahami. Maka dalam kesadaran Mas Thole memohon kepada
Allah dengan niat sungguh-sungguh menanamkan pohon kesadaran dalam bentuk
virtual. Dimensi kesdaran sangat jauh berbeda dengan dimensi materi. Maka
dimanapun pohon ditanamkan maka pohon tersebut akan mampu meliputi. Itulah keyakinan mereka.
Merekapun siap dalam meditasi. Tiba-tiba mengalirlah gerak. Gerakan yang tidak pernah
dimengerti, bagai gerakan tai chi. Mengalun mengikuti gelombang,
mereka bertiga bergantian, menanam pohon kesadaran dalam dimensi virtual. Melalui gerak alam. Sebuah
kejadian yang sangat aneh mungkin bisa dikatakan ‘gila’. Gerakan kosong tanpa
makna, gerakan yang bisa di tafsirkan seribu rupa. Untuk apa mereka melakukan
itu ?. Apakah mereka sangat bodoh ?. Ataukah mereka kurang kerjaan ?. Sungguh
akal manusia normal tidak akan bisa menterjemahkan apa-apa yang meraka lakukan
itu. Dan memang Mas Thole serta Ki Ageng tidak berharap siapapun dapat memaknai
itu semua. Apa yang dilakukan mereka ada dalam di mensi keyakinan mereka
sendiri. Mereka tidak membutuhkan pengakuan atas apa-apa yang sedang mereka
kerjakan. Ki Ageng merasa harus datang jauh-jauh dari Australia untuk sebuah melakukan prosesi ini. Itu saja !. Maka Ki Ageng dan anaknya pun berjuang mati-matian untuk
bisa datang, berapapun harga yang harus mereka bayar. Semua dilakukan demi
sebuah perjuangan atas keyakinan yang ada dalam diri mereka. Bagaimana
membahasakan ini ?.
Pohon kesadaran harus
ditanamkan, pohon yang akan menaungi kesadaran-kesadaran yang ada di seluruh
pelosok negri. Pohon yang akan menjadi peneduh bagi para pencari. Mengapakah
dimensinya hanya begitu ?. Mereka hanya duduk bertiga, melakukan gerakan seperti
menanam pohon, mengasosiasikan pohon itu dengan kesadaran mereka. Membuat pohon
tersebut tumbuh besar meliputi nusantara juga, dan itu juga dilakukan hanya dengan virtual, dengan kemampuan visualisasi kesadaran mereka saja. Apakah akan bermakna ?. Entahlah itu…?. Tidak ada satupun
yang tahu, bagaimana nanti akhir kisah pohon kesadaran ini. Mereka sepertinya
tidak pernah risau dengan hasil seperti apakh nanti. Mereka semua sudah dalam
keyakinan diri, atas apa-apa yang sedang dan yang akan mereka lakukan. Dalam
keyakinan mereka, pohon kesadaran inilah yang akan menjadi naungan buat
kesadaran-kesadaran lain yang akan berdatangan ke Indonesia.
Prosesi yang tidak lebih
dari 30 menit. Namun jangan ditanyakan bagaimana perjuangan mereka sebelumnya itu. Perjuangan yang nyaris membunuh mereka bertiga. Terjadi dan berlangsung apa adanya. Bagaimanakah kita
memaknainya ?. Hal inilah yang menyebabkan Mas Thole dalam lamunan sepanjang
perjalanannya ke Ende. Pesawat yang ditumpanginya, seperti mengerti, hingga
mesin pun nyaris tak terdengar. Awan bergumpalan putih susu, seperti gula
kapas yang bergunung-gunung. Pemandangan yang menakjubkan sekali. Betapa
indahnya nusantara ini. Betapa sejuknya kilauan suasana ini. Semua teramu di
jiwa, membuat Mas Thole nelangsa. Mengapa dengan manusianya ?. Mengapa mereka manusia yang tinggal di bumi pertiwi ini, tidak menyadari keadaan ini.
Kemanakah cinta anak-anak negri kepada bumi pertiwi. Kemanakah akan dicari
benih cinta mereka. Benarkah benih cinta kepada bumi pertiwi telah mati ?. "Tidak..benih itu masih ada, meski entah dimana...?." Mas Thole menggelengkan kepala membantah angannya sendiri.
Semua bumi ingin
kujejaki,
semua langit akan
kudaki,
semua
bintang-bintang akan kutembus
Harusku temukan
lagi sebutir cintaku yang hilang
Itulah tekadnya, mencari JEJAK-JEJAK PUTRA
PAJAJARAN, mencari benih cinta mereka yang entah disemaikan kemana atas bumi pertiwi ini. Barangkali memang mereka masih memiliki cinta atas negri nusantara ini.
Kemanapun akan dicari, dimanakah benih cinta ini bersemi. Dimanakah peranan Pajajaran di bumi pertiwi ?. Benarkah semua Putra Pajajaran tertidur kesadarannya ?. Benarkah mereka sudah tidak memiliki cinta lagi atas bumi nusantara ini ?. Mari kita telisik lagi. Apakah karena itu,
kemudian Mas Thole dipaksa ke Ende. Sebab disana pernah lahir sebuah kisah
INGGIT GANARSIH, seorang Putra Pajajaran dan SOEKARNO. 'Disinilah pondasi kesadaran Pajajaran di transformasikan oleh Inggit Ganarsih kepada Soekarno, yang
kemudian melahirkan sila-sila yang kita kenal dengan
PANCASILA..' Kalau begitu, apakah berarti spirit Pajajaran sebenarnya sudah diletakkan pada mula lahirnya bangsa ini. Benarkah pemikiran semua itu ?.
Wolohualam
Siapakah INGGIT GANARSIH itu ?.
Misteri itu harus disikap, kebenaran harus diungkap.
Meski raga ini telah lelah, meski jiwa ini telah lungkrah, sebab tidak sedikit yang mencoba menghalangi langkah-langkahnya ini..
Mari kita ikuti kisah lanjutannya
BERSAMBUNG…
Tidak akan pernah habis cintaku terhadap negri ini ,
BalasHapusSaya amaruLoh gumiLang mencintai negri ini dari atas kepaLa sampai ujung kaki ,, LiLLahita`aLa