Kemunculan Sang Budak Angon (2)
Kesedihan
ini sudah terkunci. Di haribaan bunda ibu pertiwi. Lihatlah langit kini muram.
Pedar asap tak bertuan menyusup siang dan malam. Membiarkan bulan kini tiada
berseri. Sebab sinarnya kini tidak mampu menyetubuhi bumi. Tidak saja bulan bahkan
matahari tiada berdaya, tiada kuasa atas kejadian di mayapada. Menampak manusia
terengah-engah menahan nafas yang satu-satu. Betapa kini mereka menyadari, halnya
kemampuan bernafas saat ini, menjadi sangat vital sekali. Tanpa kemampuan ini
semua sia-sia. Kemampuan berfikir, kemampuan komunikasi, merasa, mendengar, dan
juga kemampuan lainnya sia-sia. Malapetaka ini yang tengah menimpa bangsa ini.
…
Pada
dimensi lainnya, saat malam terjaga. Pada sebuah bukit sana, Tidak jauh dari
Gunung Tsurian letaknya. Nampak seorang pemuda berdiri menengadahkan kepala ke
langit. Bulan redup tanpa cahaya. Bintang banyak bertaburan. Sendu keadaannya. Kesedihan menggumpal, menyesakkan dada. Selaksa
pasukan Cakrabirawa di seputarnya. Mengelilingi bukit mirip pengawalanpara
raja. Beberapa kali pemuda tersebut mengambil nafas. Menahan gejolak rahsa di
dada yang tak dipahaminya. Layaknya memenuhi sebuah janji pati. Sendirian saja
dia disana. Pepohonan tinggi yang menaungi kabuyutan tersebut diam seakan
mengerti. Menunduk sangat dalam sekali.
Entah
bagaimana dia menceritakan keadaannya. Seperti ada sebuah tarikan daya luar
biasa yang tak mampu di tahannya, tiba-tiba ada keinginan kuat untuk ke Gunung
Tsurian. Keinginan telah yang membawa
pemuda tersebut. Jarak ratusan kilometer dia tempuhi di malam hari itu dari
rumahnya yang terletak di Puncak Bogor. Sabtu malam (17/10) dia kesana sendirian adanya. Perawakannya
yang cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, sekitar 174 cm, telah banyak
membantunya menyusuri semak belukar disana. Pengalamannya sebagai pemandu tim
penjelajah hutan menjadikan langkahnya ringan terasa. Semua seperti dimudahkanNya.
Namun
apakah seperti mudah tampaknya? Mendadak pemuda tersebut seperti menggeram menahan
kemarahan. Tangannya melakukan putaran tujuh depa. Menyilang, menyorong
membentuk gerakan swastika. Beberapa kali
tangannya menepuk bumi dan beberapa kali tangannya menepuk langit. Gerakannya
lambat namun sangat kuat bertenaga. Suasana magis malam itu sangat terasa. Seluruh
pasukan cakrabirawa mundur sejauh tujuh tombak. Gerakan putaran maha dahsyat memporak
porandakan alam kesadaran. Para dedemit dan setan jejadian, juga para
perewangan berlarian serabutan. Kiamat keadaan pada dimensi mereka.
Tidak
sampai disitu saja, tangan pemuda tersebut terus saja mengarah ke tujuh mata
angin. Lautan, daratan, tujuh petala langit di sambangi dalam kesadarannya. Membuka
kunci-kunci portal dimensi tak kasat mata. Memanggili para Kesatria Penjaga
Nusantara. Para Penjaga yang masih berada di dalam dimensi mereka dan juga
penjaga yang sudah berada pada raga manusia. Semua tidak terkecuali di
panggilinya. Para penjaga gunung, penjaga laut, penjaga air, tanah dan juga
api. Para penjaga pusaka, para penjaga angin, para penjaga awan. Tak luput
dimensi para raksasa, para naga, dan juga dimensi lainnya. Menggiriskan sekali.
Mendadak,
seiring dengan gerakan tangan yang mulai berakhir dari atas langit turun
pusaran angn yang maha dahsyat mengetarkan tempat kabuyutan tersebut. Pemuda
itu diam mengamati dan terus bergerak seakan tak peduli. Angin terus saja
mengitari, hamper lebih dari seperminuman teh. Angin tersebut berputar di
kompleks kabuyutan itu. Hawa dingin mendadak merasuki dada sang pemuda. Entah
apa lagi dia tidak pahami. Kadang memang tidak perlu mengerti. Bergerak hanya
bergerak atas kehedak Kami. Mengarahkan kesadaran kepada illahi robbi. Pasrah
atas diri yang digerakanNya. Menjadi wakilNya di alam semesta ini.
Siapakah
pemuda tersebut? Benarkah dia sang Budak Angon, salah satu tokoh kunci yang
dikisahkan di Uga? Mas Thole diam menyusuri neuron di otaknya. Pikirannya
berfikir keras. Mencoba merunut kejadian demi kejadian atas apa-apa yang
dirasakan dalam perjalanan spiritualnyau. Selalu dari mula dan dimanakah dia kini. Sebuah perjalanan yang hampir
membuat dirinya gila. Yah, bagaimana tidak, dirinya selalu saja salah memaknai.
Perjalanan ghaib dan realitas. Pemaknaan
yang salah atas keghaiban yang dimaknai sebagai realitas, dan juga sebaliknya.
Sering memebuat turbulensi dan menjadikan sistem ketubuhannya terkunci.
…
Bermula
dari khabar dari Kami bahwa tugas Mas Thole menjadi saksi atas anak keturunan
Sang Prabu sudah selesai. Wahyu Cakra sudah disampaikan kepada mereka. Terserah
mereka mau percaya atau tidak, itu bukan urusan Mas Thole lagi. Peranan Mas
Thole hanyalah pembawa khabar gembira dan peringatan. Cukuplah mereka
mengatakan secara lisan, dan Mas Thole menyaksikan, maka Kami akan mengambil
sumpah-sumpah mereka. Sudah dinampakkan bukti-bukti kepada mereka. Apakah
kemduian mereka akan beriman? Entahlah. Jika kemudian mereka berpaling sungguh
itu bukan kuasa Mas Thole lagi. Sudah lebih 2 (dua) tahun Mas Thole bersama
mereka, menyaksikan apa-apa yang dipersiapkan Kami kepada mereka. Sudah banyak
suka dan duka yang dialami Mas Thole.
Sebuah
keyakinan yang tak biasa. Keyakinan yang melawan logika akal manusia. Siapakah
mereka? Manusia biasa yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dari kebanyakan
manusia biasa. Jangankan harta dan kekuasaan, bahkan kepercayaan diripun tak
punya. Sungguh aneh jika ada orang yang percaya bahwa mereka itu adalah orang
yang terpilih. Jangankan orang lain, bahkan mereka sendiri juga tidak percaya.
Banyak diantara keluarga mereka yang menafikkannya. Menganggap bahwa itu adalah
guyonan belaka. Padahal mereka memiliki catatan dalam kitab keluarga mereka sendiri.
Sungguh ironis keadaanya. Dan jika ada yang percaya maka itu hanyalah ‘orang
gila’.
Maka
kepada keluarga mereka Mas Thole siap dikatakan sebagai ‘orang gila’. Itu wajar
saja. Bahkan jika maksud baiknya tersebut juga dimaknai keliru. Itupun taka pa-apa.
Sudah terlanjur keadaannya. Betapa Mas
Thole menahan kepedihan tak terkira. Menangis dirinya bagai anak kecil yang
kehilangan mainannya. Air matanya mengalir bagaikan banjir badang. Sungguh ini
bukan tangisan biasa. Kerasnya kehidupan tidak mampu membuat Mas Thole
menangis, kematian dua orang Ayahnya tidak membuat Mas Thole meneteskan air
mata setetes pun. Penderitaan Ayahnya dan leluhurnya yang menjalani laku
spiritual demi mewujudkan sebuah harapan agar anak keturunanya menjadi penguasa tlatah tanah
jawa. Adalah bagaian dari perjuangannya.
Namun,
bayangkan jika perjuangan Ayahnya dan juga para leluhurnya demi untuk
mendapatkan wahyu tersebut nyatanya akan kandas di tangan Mas Thole, apa yang
harus dikatakan Mas Thole kepada leluhur mereka? Masih lekat dalam ingatan Mas
Thole saat dia bersama adiknya membentuk formasi bintang pari di laut pantai
selatan, di pusat kerajaan Nyi Blorong. sebua prosesi untuk mengundang wahyu tersebut. benar wahyuu tersbeut menampakan diri, namun berbelok arah tidak kepada meerka. Betapa nelangsa jiwa. Wahyu tersebut datang dan kemudian menghilang di telan gelap sang malam. Betapa sang Adik
menangis tak karuan. Betapa sang Adik menyalahkan dirinya atas hilangnya wahyu
teserbut. Tangisan nelangsa mengetarkan bumi. Seluruh leluhurnya yang hadir saat itu dan juga Ayah
kandungnya yang sudah meninggal, yang menyempatkan diri datang menyaksikan prosesi, larut dalam kesedihan
itu. Kejadian itu masih menggurat dalam sanubari.
...
...
Langit diam menangisi, mencoba mengerti atas duka lara manusia yang kehilangan. Bayangkan
bagaimana Ayahnya menghabiskan seluruh hidupnya bertapa demi wahyu ini. Bayangkan
jika kemudian wahyu itu datang dan kemudian harus untuk diserahkan kepada
keluarga lainnya. Dan bagaimana melalui tangannya wahyu tersebut diserahkan kepada orang lain.
Bagaimanakah rahsanya? Bagaimanakah perasaannya? Arrrghhhh…! Mas Thole ingin
menghujat langt, ingin menggebrak bumi. Mengapa takdir tidak berpihak kepadanya.
Bukankah dirinya selalu menjalankan perintah-perintah Kami. Bukankah dirinya
dan juga leluhurnya bersungguh-sungguh untuk hal ini. Mengapa kejadiannya wahyu
tersebut diserahkan kepada keluarga yang nampaknya tidak peduli, dan menganggap
wahyu tersebut tidaklah penting. Berapa juta nyawa hilang demi memperebutkan wahyu ini. Adakah yang peduli?
Mas
Thole diam menangisi perjuangan sang Ayah yang sia-sia. Bagaimana perasaan
adiknya jika mengetahui hal ini. Dia menginginkan sekali wahyu tersebut turun padanya. Sepanjang hidup Mas Thole adalah untuk
dharma bakti ini. Melanjutkan langkah spiritual sang Ayah demi jayanya kembali trah keluarga
ini. Namun jika di tengah perjalanan datang keputusan Kami bahwa wahyu yang
dicarinya itu bukan diperuntukan untuk keluarga besarnya. Bagaimanakah
rahsanya? Sungguh tidak ada yang bisa dilakukan oleh Mas Thole. Kami memiliki
rencananya sendiri dan Kami tidak pernah takut atas apa-apa yang dilakukannya. Sebab
Kami hanya menjadi perantaraan Tuhan dalam hal ini. Maka terserah keadaan Mas
Thole menyikapi. Itulah kepastian yang harus ditelan Mas Thole.
….
Perhelatan
akbar, perguliran kekuasaan tanah jawa sebentar lagi akan semakin menjadi-jadi.
Pergeseran kesadaran sudah menuju titik kulminasi. Sudah diberikan kesmepatan
kepada keluarga besar Mas Thole. Kepadanya diingatkan bukankah para leleuhurnya
dahulu adalah para raja yang berkuasa? Bukankah sudah selayaknya jika kekuasaan harus
dipergilirkan kepada seluruh anak manusia? Mas Thole sadar itu. Namun kembali sebagai
manusia tetap saja Mas Thole tidak sanggup menahan tangisnya. Bagaimanakah
perasaan adiknya nanti? Dia ingin berkuasa, pada dirinyanya telah disematkan
harapan dan keyakinan orang tua. Bagaimana jika keadaannya saat sekarang ini,
jika keluarga besarnya hanya menjadi para penyaksi saja?
Sungguh
berita ghaib ini sekarang menjadi realitas bagi Mas Thole. Dan ironisnya
apa-apa yang semula diyakini ini justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Yah, siapakah yang percaya cerita gila ini? Siapakah yang percaya jika kepada
dirinya dikatakan bahwa dia adalah calon sang raja? Apakah orang tidak curiga?
Yah, itulah yang dialami Mas Thole. Semua akanmengatakan bahwa dia 'gila'. Energi yang terbaca sekarang seperti itu. Hanya
kepada Tuhannyalah dia kembalikan semua keyakinannya itu. Mas Thole tiada kuasa
atas sesuatu. Jika itu benar maka kebenaran hanya dari Tuhannya. Jika itupun
salah, sebab dirinya memang bukanlah makhluk suci dan sempurna.
…
Langit
diam di bukit kabuyutan itu. Angin yang datang tadi kini telah pergi. Malam
menjadi sunyi pemuda tersebut kini sendiri. Duduk termenung dalam kebingunannya. Seakan tidak percaya atas apa-apa yang tengah dilakukannya di tengah
malam itu sendiri. Terlintas kesadaran Mas Thole bahwa sudah saatnya dirinya akan diperjlankan kembali, menjadi saksi
atas diri pemudatersebut. Benarkah dia sang Budak Angon?. Pertanyan itupunberguliran di dadanya. Apakah penyaksian ini adalah anugrah dariNya. Bagaimana jika penyaksiannya tersebut adalah salah. Kesalahan level pertama yaitu mengatakan bahwa di adalah SangBudak Angon, padahal sesungguhnya BUKAN. Atau melakukan kesalahan level kedua mengatakan pemuda tersebut BUKAN sang Budak Angon padahal BENAR dialah orangnya.
(Hhh... Biarlah nanti waktu yang akan mengatakannya sendiri kepadanya. Perjalanan yang nanti akan dilalui Mas Thole ke selatan adalah menyoal sang Budak Angon. Dirinya akan diperjalankan KAMI ke pelosok nusantara lagi. Menanamkan paku kesadaran level kedua di setiap daerah disana.)
(Hhh... Biarlah nanti waktu yang akan mengatakannya sendiri kepadanya. Perjalanan yang nanti akan dilalui Mas Thole ke selatan adalah menyoal sang Budak Angon. Dirinya akan diperjalankan KAMI ke pelosok nusantara lagi. Menanamkan paku kesadaran level kedua di setiap daerah disana.)
Mas
Thole harus menancapkan paku kesadaran. Paku yang tanahnya diambil dari bukit
kabuyutan tempat peristirahatan Aji Putih. Mas Thole akan memasuki babak
spiritualnya yang baru. Kali ini penyaksiannya yang ke tiga. Penyaksian ke tiga adalah menyaksikan lahirnya generasi trah Sang Budak Angon. Benarkan dalam darah mereka mengalir tokoh sakti di Uga wangsit Silihwangi ini? Semua harus disaksikan. Mas Thole diam dalam renungan yang sungguh menakuti dirinya sendiri. Betapa tidak, penyaksiannya beberapa kali ini telah menjungkir balikan kesadarannya. Sebelumnya
dirinya menjadi saksi atas kelahiran Siu Ban Ci tokoh yang telah menghancurkan
Majapahit. Tokoh yang menjadi ibu dari Raden Patah sang Penguasa Islam pertama.
Mas Thole direncanakan menjadi saksi lahirnya 7 (tujuh) kesatria utama yang
akan mengawal nusantara baru.
Penyaksian
yang pertama kini telah terbukti keadaannya. Kami telah menunjukan bahwa
apa-apa yang di khabarkannya benar. Entah bagaimana nanti dengan penyaksian
yang kali kedua. Penyaksian Mas Thole atas keluarga Sang Prabu. Bagaimanakah akhir cerita nantinya? Sungguh Mas Thole juga menunggu. Sama-sama menunggu. Sebab itu semua tergantung kepada konsep diri mereka. Tergantung keyakinan keluarga mereka. Tergantiung anggapan diri mereka terhadap 'jatidiri' mereka sendiri. Mas
Thole tidak berani berharap. Biarlah itu menjadi urusan Allah semata. Biarlah waktu yang akan bicara.
Hanya doa dan harap yang bisa Mas Thole panjatkan. Kompleksitas keluarga mereka
demikian luar biasa. Kekuatan tarik menarik masih meliputi diri mereka.
Bagaimanakah meyakini yang ghaib. (Yaitu) Menyakini bahwa pada darah keturunan mereka akan dipergulirkan kekuasaan para raja? Meyakini sesuatu yang realitasnya saat ini saja sulit rahsanya bagi mereka untuk menerima takdir. Kenyataannya mereka bukan siapa dan bukan apa-apa. Jangankan di kenal level internasional dan nasional bahkal level lokal saja masih sulit rahsanya. Inilah hijab pikiran mereka. Logika akal dan juga realitas keadaa yang terasa nyata. Tidakkah mereka percaya bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu? Tidakkah mereka sudah banyak diberikan bukti-bukti? Bukankah catatan kita di keluarga mereka juga sudah tertera? Entahlah..keyakinan rahsanya mahal sekali harganya. Bahkan jikalaupun sleuruh dunia berkata hal yang sama. Jika Allah tidak mengijinkan belum tentu mereka percaya. Mas Thole hanya bisa nelangsa sendiri.
Bagaimanakah meyakini yang ghaib. (Yaitu) Menyakini bahwa pada darah keturunan mereka akan dipergulirkan kekuasaan para raja? Meyakini sesuatu yang realitasnya saat ini saja sulit rahsanya bagi mereka untuk menerima takdir. Kenyataannya mereka bukan siapa dan bukan apa-apa. Jangankan di kenal level internasional dan nasional bahkal level lokal saja masih sulit rahsanya. Inilah hijab pikiran mereka. Logika akal dan juga realitas keadaa yang terasa nyata. Tidakkah mereka percaya bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu? Tidakkah mereka sudah banyak diberikan bukti-bukti? Bukankah catatan kita di keluarga mereka juga sudah tertera? Entahlah..keyakinan rahsanya mahal sekali harganya. Bahkan jikalaupun sleuruh dunia berkata hal yang sama. Jika Allah tidak mengijinkan belum tentu mereka percaya. Mas Thole hanya bisa nelangsa sendiri.
…
Siu
Ban Ci terlahir dari kalangan keturunan Cina. Seorang pengusaha biasa saja. Bahkan
nyaris bangkrut keadaannya. Hampir 1.5 tahun lamanya Mas Thole berada disana.
Pahit getir dilalui bersama. Pada saat itu dikhabarkan bahwa harta dunia akan
di tangannya. Kami akan menyiapkan segala sesuatunya untuk menyiapkan Siu Ban Ci pada
jajaran kesatria. Khabar tersebut diterima dengan suka cita oleh mereka, dengan
rahsa syukur tak terkira. Kini Mas Thole sudah bisa melihat kebenaran
perkataan Kami. Keluarga mereka sudah diangkat derajatnya. Modal untuk
pergerakan sudah disiapkan. Keluarga tersebut kini menggandeng tokoh utama
dalam realita. Dana trilunan rupiah sudah dalam genggamannya. Mereka tengah
bersiap menjalankan titah Kami. Inilah sebuah bukti bahwa Allah berkuasa. Bekerja semauNya, diluar akal dan logika manusia.
…
Berjalanlah
ke selatan, begitulah perintah Kami di mulakan...
Nun jauh disana salah satu tokoh kesatria utama masih disiapkan dalam rahim Ibunya. Bukit rammang-rammang akan menjadi saksi atas kelahiran tokoh yang satu ini. Maka saatnya tahun 2050 mereka semua akan di munculkan secara sendiri sendiri dan bersama-sama, dalam gegap gepita alam semesta. Semoga…
.
Nun jauh disana salah satu tokoh kesatria utama masih disiapkan dalam rahim Ibunya. Bukit rammang-rammang akan menjadi saksi atas kelahiran tokoh yang satu ini. Maka saatnya tahun 2050 mereka semua akan di munculkan secara sendiri sendiri dan bersama-sama, dalam gegap gepita alam semesta. Semoga…
“Wahai kasih tak terungkap. Segeralah berlalu cepat.
Berilah kepastian agar waktuku terlihat.”
...
Berilah kepastian agar waktuku terlihat.”
...
Bersambung…
Amien. Sudah selayaknya terjadi apa yang telah digariskanNya. Diriku yang dhoif siap jadi penyaksi dan pembela lahirnya nusantara baru. Salam dari anak turun Sang Aji Saka tlatah wetan,
BalasHapus