Klaim Kebenaran dalam Ketidakbenaran


Hasil gambar untuk neraca langit

Cahaya menyeruak dari balik bebatuan. Menimbulkan kesan dan pemikiran. Apakah kebenaran itu? Mengapakah setiap insan manusia akan selalu berebutan tentang kebenaran? Kebenaran Islam, Kebenaran Budha, Kebenaran, Hindu, Kebenaran Kristen, Kebenaran Yahudi, Kebenaran Lintas Budaya, Kebatinan, moral-etika, dan lain-lain, banyak sekali  model kebenaran dalam khasanah kesadaran manusia. Sungguh pertanyaan ini tidak pernah tuntas terjawab.  Ironisnya-betapa keadaanya, manakala manusia telah bicara dalam ranah kebenaran ini, maka kita akan lihat peperangan disana. Apakah kebenaran memang harus diperebutkan. Apakah setiap kelahiran kebenaran baru harus menghancurkan ketidak kebenaran sebelumnya. Apakah penciptaan baru harus memusnahkan penciptaan yang lama. Bagaimanakah alam sebenarnya merespon atas klaim kebenaran antar umat manusia ini. Kebenaran siapakah yang layak dipertahankan di muka bumi ini. Sehingga kebenaran lainnya harus dimusnahkan?
Tidak sedikit perang telah di lahirkan dalam membela kebenaran, tercatat sudah dalam kesadaran Perang Bharata Yudha, Perang Siffin, Perang Kandak, Perang  Dunia, dan banyak sekali perang lainnya baik yang tersebut maupun yang tidak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perang). Perang yang di usung oleh setiap pelakunya adalah untuk membela kebenaran. Entah apapun itu, setiap pelaku akan berada dalam kebenaran yang mereka yakini. Sementara pihak lawannya adalah musuh dari kebenaran yaitu ketidak-benaran. Prespektif manusia akan selau di bangun atas kebenaran dan ketidak-benaran. Maka sudah sewajarnya jika seseorang bagi bangsa itu adalah seorang Pahlawan namun bagi bangsa lainnya adalah seorang Penjahat Perang. Pahalwan dan Penjahat adalah dua sisi mata uang yang sama, dalam perspektif kesadaran manusia.
Pertikaian kebenaran tidak hanya melahirkan peperangan, pada tataran lainnya. Misalnya- walau hanya semisal debat saja, pada ujung akhirnya selalu permusuhan. Ternyata klaim kebenaran menjadi issue yang sangat menarik. Setiap diri manusia akan berusaha mempertahankan kebenaran.  Tidak saja diantara orang-orang yang berbeda agama, bahkan orang-orang yang berada dalam satu keyakinanpun akan mengalami keadaan yang sama. Diantara orang ber-iman akan selalu mendebatkan kebenaran. Mereka akan selalu merasa bahwa hak kebenaran adalah kebenaran yang di pahami oleh diri mereka sendiri. Diluar pemahaman mereka itu adalah ketidak-benaran.  Melalui klaim model seperti  ini mereka merasa boleh menghakimi kebenaran di luar diri mereka sebagai ‘ketidak-benaran’. Walau realitasnya mereka menyembah Tuhan yang sama, walau mereka melakukan sholat, zakat, dan juga ber haji, dalam kerangka yang sama.
Klaim kebenaran terus menyelusup ke ranah-ranah lainnya. Kepada suami dan istri, kepada ayah dan anak, kepada kakak dan adik, dan lain-lainnya. Istri menuntut agar dirinya diperlakukan sebagaimana layaknya seorang istri, lenghkap menuntut hak-haknya. Seluruh kebenaran yang menjadi dogma agama menjadi pembenaran atas kebenaran yang di yakininya itu. Maka manakala sang suami tidak berperilaku sebagaimana literatur kebenaran tersebut, sang istri merasa berhak menghakimi sang suami. Dalam konteks ini, sang suami di anggap tidak dalam kebenaran. Jika sang suami berada dalam ketidak-benaran maka wajib hukumnya untuk di perangi. Kebenaran dogma dan referensi agama menjadi senjata bagi  istri untuk menyerang sang suami. Begitu juga sebaliknya keadaan suami, manakala- merasa hak-nya juga di abaikan, dia pun harus menyerang ketidak-benaran istri.  Maka bayangkan keadaan rumah tangga yang seperti ini.
Jika level rumah tangga, level rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan, kecamatan, kota, propinsi, hingga negara, dibangun dengan model seperti ini, apakah yang dapat kita sisakan kepada anak cucu bangsa ini. Semakin hari dan semakin tahun, pada gilirannya nanti generasi berikutnya, akan terjadi  pertumpahan darah antara saudara, antar keluarga, anatar ibu dan anaknya. Bukankah keadaan ini kita sudah melihatnya di layar kaca? Sebuah fenomena yang mulai muncul di permukaan. Fenomena gunung es atas klaim kebenaran leluhur-leluhutr kita pada jaman dahulu kala. Kesadaran yang terus di wariskan melalui DNA ketubuhan mereka. Kesadaran adalah sebuah memory yang berisikan software (program) yang menjadi landasan gerak (baca; perilaku)  manusia.
Klaim tentang kebenaran dan ketidak-benaran, menjadi ajang penghancuran penciptaan diri manusia itu sendiri. Begitulah fakta keadaan yang dapat kita terima saat ini. Maka hal ini menjadi alasan bagi sebagian orang untuk tidak mempercayai dogma agama. Agama dianggap menjadi alat penghancur nomer satu di dunia. Kematian manusia yang paling besar adalah sebab peperangan memperebutkan kebenaran ini (baca; agama). Oleh karena itu, menjadi sebuah kajian yang serius disini. Benarkah untuk melahirkan sebuah kebenaran harus menghancurkan ketidak-benaran? Lantas ketidak-benaran siapakah yang harus di hancurkan. Sebab faktanya adalah setiap diri manusia meyakini bahwa dirinya dalam kerangka acuan kebenaran juga. Sejalan dengan itu, jika dua orang berdiri untuk ber-perang kebenaran. Masing-masing menganggap bahwa lawannya dalam ketidak-benaran, apakah yang harus dilakukan?
+++
Pada saat manusia mengobarkan peperangan bahkan-walau- hanya pada selevel debat saja. Maka keadaan itu akan  menyentuh kesadaran nurani kita, perikemanusiaan rahsanya terusik. Miris jadinya- melihat-manakala saudara yang satu membunuh saudara lainnya. Saudara lain menghujat saudara satunya. Bunuh membunuh, debat mendebat, caci mencaci, dan sebagainya. Atas nama kebenaran kemudian manusia melakukan ketidak-benaran. Kekerasan di lakukan dimana-mana. Bagaimanakah perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan? Tidakkah kita juga paham setiap diri manusia berada dalam keyakinan dan acuan kebenaran? Lantas parameter kebenaran yang manakah yang akan kita gunakan?  Jika aku menjadi kamu dan kamu menjadi aku, jika kamu menjadi mereka dan mereka menjadi kamu. Jika kami menjadi kita, dan kita adalah kami, tidakkah manusia berfikir bahwasanya manusia adalah satu. Hanya penggunakaan kata pengganti orang saja yang membedakan . Cobalah rasakan bentuk panggilan model seperti ini; aku, kamu, dan dia-kami,kita dan mereka. Sebuah pembatas telah kita buat dalam bentuk panggilan saja.
Begitu manusia menggunakan~ mengganti kata panggilan ‘aku’ dangan ‘kamu’, mengganti ‘kita’ dengan ‘kami’, maka dari situlah muasal manusia terjebak ke dalam pusaran ego diri.   Manakala ‘aku’ mengaku aku dan tidak berusaha melibatkan orang lainnya, yaitu ‘kamu’ maka sang ‘aku’ akan memasuki pusaran hawa nafsu. Begitu juga ketika segolongan orang menyebut diri mereka dengan kata ‘kami’ maka pada gilirannya ‘kami’ akan  mengaku aku. Tanpa melibatkan pemaknaan  kata ‘kita’ . Penggolongan ‘kami’ akan menjadi awal perpecahan dan perdebatan.  Artinya bahwa penggunakan kata ganti orang tanpa upaya diri untuk mengajak orang lain dalam frekuensi yang sama, sudah mampu menimbulkan perselisihan paham. Keadaan inilah yang mungkin luput dari pengamatan kita.
Manusia selalu menganggap bahwa orang lain itu bukan kita. Persepsi  inilah yang di bangun kesadaran manusia. Aku bukanlah kamu, kami bukanlah kita, kita bukanlah mereka. Maka jika bangun pondasi kesadaran manusia terus begini, pada tataran selanjutnya, diluar aku, kami, dan kita, maka semua harus di hancurkan. ‘Mereka’ akan di hancurkan agar mau menjadi ‘kita’, demiikianlah seterusnya. Karena itulah, kesadaran yang diususun oleh setiap insan manusia atas manusia lainnya menjadi faktor utama perilaku dirinya. Respon dirinya terhadap lingkungan sekitarnya akan menjadi penanda siapakah dirinya. Disusun atas apakah bangun kesadarannya. Bangun kesadaran kolektif inilah yang kemudian membentuk manusia bergolong-golongan, Islam, Hindu, Kristen, Budha, Yahudi, dan lain-lainnya.
Maka menjadi jamak sekali, jika Islam bukanlah kebenaran bagi Hindu, Hindu bukanlah kebenaran bagi Budha, Budha bukanlah kebenaran bagi Yahudi, Yahudi bukanlah kebenaran bagi Kristen, dan Kristen bukanlah kebenaran bagi Islam. Sementara bagi Islam itu sendiri berebut kebenaran atas satu dan golongan lainnya di dalam Islam itu sendiri. Hal yang sama berlaku bagi agama-agama lainnya. Di dalam agama mereka selalu juga berebut kebenaran. Maka dalam Kristen terdapat beberapa golongan, Budha, Hindu, Yahudi, dan semuanyapun bergolong-golongan. Kalau sudah begini keadaannya, maka manakah yang harus kita sebut sebagai KETIDAK-BENARAN. Jika kita ber asumsi bahwa semua golongan adalah pengusung kiebenaran, maka golongan manakah yang patut di sebut pembawa hak KEBENARAN?
+++
Sungguh persoalan yang pelik sekali. KEBENARAN-KEBERANIAN-KESABARAN, adalah tiple helix yang tidak bisa di lepaskan. Bagi pengusung ‘kebenaran’ maka pada dirinya pasti ada ‘keberanian’. Bagi para pengusung ‘kebenaran dengan keberanian’ maka sudah barang tentu wajib bagi mereka memiliki ‘kesabaran’. Sebab kebenaran dankeberanian saja tidak cukup tamnpa adanya ‘kesabaran’.  Tanpa ketiga elemen utama inilah kebenaran yang diusung oleh mereka akan hancur oleh peradaban.  Keberanian akan menciptakan ‘kesempatan’ bagi ‘kebenaran’ agar bias eksis. Keberanian pulalah yang akan mendoronga ‘kebenaran’ muncul kepermukaan. Kesempatan akan muncul seiring dengan ‘kesabaran’. Kesabaran membutuhkan kekuatan keberanian untuk selalu siaga menunggu kesempatan. Kesempatan adalah sebuah siklus alam semesta. Sayangnya kesempatan akan bisa hilang begitu saja, jika tanpa KESADARAN.
Kesadaran bahwa kesempatan itu ada dan kesadaranlah yang meliputi kesempatan itu sendiri. Kesadaranlah yang akan meliputi KEBENARAN-KEBERANIAN-KESABARAN. Kesadaran akan menunjukan kemanakah muara kebenaran-keberanian-kesabaran umat manusia harus di arahkan. Arah kesadaran inilah yang menjadi pembeda atas umat yang satu dengan yang lainnya. Maka manusia diperbolehkan melakukan klaim atas kebenaran, dan manusia diperbolehkan memperjuangkan kebenarannya dengan keberanian, bahkan manusia diperbolehkan dalam ‘kesabaran’ menunggu ‘kesempatan’ datang bagi dirinya untuk memperoleh kemenangan. Sayangnya, manusia harus tetap tunduk kepada hukum alam semesta, arah kesadaran menjadi parameter utama atas klaim kebenaran. ARAH KESADARAN akan menjadi pembeda atas KEBENARAN dan KETIDAK BENARAN niat manusia.
Sehingga kebenaran dan ketidak-benaran menurut pemahaman ini akan selalu berada dalam konteks NIAT manusia itu sendiri.  Kemanakah arah kesadaran atau NIAT para pengusung kebenaran ini? Inilah pertanyaan yang harus di jawab oleh masing-masing pengusung kebenaran. Sebelum diri mereka menghujat ketidak benaran. Mereka harus mempertanyakan niat ini ke dalam hati nurani mereka sendiri. Ketidak benaran dalam anggapan manusia lainnya, akan menjadi kebenaran jika  di niatkan kepada Tuhan sang pencipta alam ini. Oleh karena itu pemahaman ini mengusung sebuah konsep bahwa HUJATAN atas kebenaran dan ketidak-benaran hanya layak untuk disematkan kepada diri masing-masing bukan untuk konsumsi orang lain. Pertanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah niat kita untuk mengusung kebenaran karena di niatkan Allah atau hanya ego nafsu kita. Sebagai efek IBA diri, atau ingin diakui atas  eksistensi (nafsu) nya.
Pertanyakanlah itu kepada diri kita sendiri, sebelum menghujat istri, suami, saudara, tetangga, dan atau golongan lainnya. Jika tidak karena Allah maka diri kita berada dalam ketidak-benaran, dan (sebaliknya) orang yang kita hujat jika dirinya berada dalam niat karena Allah justru berada dalam bingkai kebenaran. Maka bukankah kita akan termasuk orang yang merugi? Melakukan hujatan yang tidak pada tempatnya. Kebenaran mutlak datang dari Allah. Maka tidak semestinya manusia melakukan klaim atas kebenaran sebagai miliknya. Sebagai buah pemikirannya. Atau ssebagai milik golongannya. Kebenaran berasal dari ilham yang disusupkan Tuhan. Tuhan akan menunjukan arah kesadaran ini kepada diri kita. Maka amatilah arah niat ini. Luruskanlah niat kepada Allah. Lurusnya niat, dimaksudkan agar kita mampu membaca datangnya ilham kebenaran sebagaimana nabi Ibrahim mampu memilih dan memilah ilham melalui mimpi-mimpinya.
Sampai disini kita dapat menemukan muaranya bahwa arah kesadaran akan menjadi penentu kebenaran dan ketidak benaran. Pertanyaannya adalah siapakah yang tahu arah kesadaran manusia? Disinilah titik masalah utama. Sebab hanya manusia itu sendiri dan Tuhan saja yang tahu kemana arah kesadaran setiap jiwa manusia itu. Manusia sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan sama sekali atas arah kesadaran manusia lainnya. Kebanyakan  hanya menduga-duga berdasarkan referensi yang dimilikinya dari hasil belajar ilmu saja. Bukan berdasarkan pengalaman atau pengamatannya sendiri.  Ilmu adalah referensi yang di buat kaum terdahulu atas makna dan filosofi kebenaran. Berdasarkan hasil pengamatan mereka pada jamannya. Referensi kebenaran  yang seharusnya dilakukan pemahaman ulang kembali-mengingat jaman juga sudah berubah.
Al qur an sudah memberikan contoh yang lugas kepada kita, bagaimana keadaan orang yang terjebak dalam klaim kebenaran yang semu. Kebenaran yang dalam angan-angan diirinya.  Orang yang SADAR akan memahami posisi ini, yaitu bagaimana keadaan orang-orang yang merasa telah mengamalkan kebenaran lebih baik dari lainnya. Namun (keadaan) sesungguhnya mereka dalam ketidak-benaran. Sebab arah kesadaran mereka bukan kepada Allah. Pahamilah perbedaan ini, sebab sangat halus sekali. KESADARAN INGAT ALLAH.  Arah KESADARAN kita yang akan membedakan diri kita dengan kebenaran versi lainnya. Bilakah kita sudah sampai disini? Betapa diri ini semakin bodoh saja, memahami bahwa manakala kita menganggap orang lain bodoh, mengggap orang lain dalam ketidak-benaran, maka sesungguhnya, (justru)  kita yang dalam keadaan begitu. Perhatikanlah  ayat ini berkata kepada diri kita; (Astagfirulloh hal ‘adziem)
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman? “Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. QS. al-Baqarah (2) : 13”
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. QS. al-Baqarah (2) : 12”
Melalui kajian ini, penulis merenung kembali, jika begini keadaannya.  “Apakah aku  sesungguhnya  justru orang  yang telah membuat kerusakan di muka bumi , namun aku tidak sadar? Apakah aku telah benar beriman, kemudian melakukan klaim atas  imanku, dan dalam anggapanku orang lain (yang) telah melakukan hal-hal bodoh atas keimanan ini. Ingatlah jika begini keadaanku maka sesungguhnya akulah yang bodoh, bukan mereka. Maka ampunilah aku ya, Allah. Tunjukanlah aku jalan yang lurus. Dan ajarilah aku mensyukuri (atas) nikmat-Mu.  Sungguh, bilakah ayat tersebut (tidak) berkata kepadaku. Kebenaran datang dari-Mu, dan Engkau (Allah) yang membaca lintasan hatiku. Engkau (Allah) lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Berikanlah Maaf untuk diriku. Maka tunjukilah aku jalan yang lurus yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau berikan nikmatMU. Amin”

Wolohualam..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali