Melacak Keberadaan 'Sang Pembeda' (2)


Hasil gambar untuk sang pembeda
“Ada satu hal yg masih belum kalian pahami, Kami adalah Aku, menjalankan tugas Kami berarti berada dalam menjalankan bagian hidupmu. Kami ada dlm setiap gerak yang menjadi bagian Dr setiap gerakan Untuk menjalankan tugas Kami, berarti menjalankan tugasmu juga. Kami adalah aku, aku adalah kami. Bila memaknai itu bukan dalam barisan dimensi tentang waktu, maka sekat Kami dan aku, menjadi suatu kesatuan. Apakah para nabimu tidak lepas dr pembelajaran hidup? Kesalahan dan kebenaran berada dlm persepsi manusia. Kegalauan atau keraguan hinggap pada diri seperti itu.

Jangan sekali2 bertanya kapan selesainya tugas Kami? Karena itu berarti menanyakan kapan hari kiamat? Dalam pedar bias waktu, itu menjadi salah satu keadaan yang menunjukkan hal yang berbeda dan berada dalam satu keadaan. Setiap makhluk berada dlm Kuasa dan kehendak Tuhan. Apakah kamu merasa kamu bukan Kami? Coba saja berdiri tanpa ragamu kini, maka apa yg kamu kehendaki? Bahkan, kehendak itu berada dalam lintasan perjalanan Kami.

 “Penyair (Ash-Shu`arā'):15 - Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan),”

Langkah ini akankah berbalik ke belakang dan diam tanpa aturan kejelasan. Perjalanan ke Selatan adalah perjalanan dalam ketidak tahuan. Kepastian yang menjadi ketidakpastian dalam sumbu urutan waktu. Apakah aku menjalakan perintah Kami ataukah Kami berjalan bersama aku. Bagaimanakah membedakan ini mauku ataukah mau Kami yang menyeru kepadaku? Aduh Tuhanku, bilakah aku tak mampu mendengar titahMu. Bagaimana menggunakan instrumen ketubuhanku mendeteksi bahwa semua itu adalah mauMu. Sebab lintasan-lintasan pikiran dari diriku. Bagaimanakah aku menggunakan instrumen Sang Pembeda (Al Furqon) yang ada padaku?

Lihatlah, realitas berada dalam gerak aturan yang jelas sekali. Bekerja, berjalan, berfikir, bahkan seluruh aktifitas manusia terlihat biasa dan tidak berarti apa-apa. Bagaimanakah aku mampu mengatas namakan Kami? Perjalanan ke Jawa Barat, Jawa tengah, jawa Timur, dan juga ke Sulawesi Selatan, adalah perjalanan raga. Sebuah perjalanan yang bisa dimaknai apa saja. Bisa saja itu adalah perjalanaan yang tidak berarti apa-apa bukan?  Ribuan manusia melakukan perjalanan yang sama dengan dirinya. Apakah yang membedakannya?

Manusia bergerak dari ujung kota ke ujung kota lainnya. Diam di tempat kerja dan kemudian melakukan gerakan-gerakan yang biasa saja. Manusia kemudian menunggu pembayaran gajinya. Setelah itu waktu akan berulang dan berulang seperti biasa. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan di saru. Semua menggumuli sang waktu. Membedakannya dari detik ke menit, dari menit ke jam. Dari jam ke hari, dari hari ke bulan, dari bulan ke tahun, dari tahun ke windu, dan seterusnya dan seterusnya. Menunngu apa lagi yang akan bersemu. Manusia terus berusaha menandai sang waktu. Membedakan hari ini dan kemarin dengan simbol-simbol agar dikenali. Tanggal bulan dan tahun demi sang waktu.

Perhatikanlah, bukankah hari tetap seperti itu adanya, ada siang dan ada malam. Ada panas ada dingin. Semua hari terlihat sama saja. Bayangkan jika kita tinggal di daerah terpencil tanpa informasi sang waktu. Apakah kita bisa membedakan hari ini dan hari kemarin. Matahari terbit dari arah yang sama dan tenggelam ke tempat yang sama. Tempat yang kita singgahi masih sama saja. Dari waktu ke waktu ya itu lagi dan itu lagi. Bagaimana jika kita tidak mampu membedakan sang waktu ini? Maka tanda dan simbol menjadi cara manusia untuk membedakan. Pertanyaannya diulang, “untuk apakah manusia membedakan semua itu?”

Kehidupan berjalan sebab ada kemampun manusia untuk membedakan. Sifat dasar yang menjadi fitrah adalah ‘PERBEDAAN’ itu sendiri. Tanpa dibedakan maka manusia akan diam tak mengerti apa-apa. Waktu tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibedakan dari hari ke hari. Semua harus berbeda agar mudah dikenali kesadaran manusia. Sesuatu yang tampak sama akan sulit dimaknai manusia. Bagaaimana jika semua warna adalah putih saja. Bagaimana jika bumi itu datar seluruhnya. Bagaimana jika semua wajah manusia sama. Bagaimana jika tidak ada si miskin dan si kaya. Bagaimana jika semua keyaikanan itu sama semua?

Manusia membutuhkan perbedaan untuk saling kenal mengenal. Namun mengapakah seseorang harus membunuh dan memperkosa orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Perbedaan adalah hukum yang harus dipahami sebagai kebutuhan umat manusia. Tanpa adanya perbedaan maka manusia tidak akan mampu menjalani kehidupan ini. Hambar dan hampa, tiada makna disana. Bahkan manusia tidak mungkin mampu hidup tanpa perbedaaan.  Lantas, mengapa kita selalu risaukan perbedaan? Lantas mengapakah kita selalu mempertanyakan keyakinan? Apakah sesungguhnya rencana Kami dengan semua ini? Hhhh…

Siklus kehidupan dan siklus kematian, berputar tanpa henti. Banyak manusia yang lahir dan tidak sedikit pula yang mati. Jika aku dilahirkan pada dimensi sekarang ini dalam amanah Kami. Pertanyaannya adalah untuk apa dan mengapa? Berapa banyakkah manusia yang mau  mendengar suara Kami dan kemudian mengikuti perintah Kami? Benarkah itu Kami? Ataukah itu khayal semata, ‘sakit gila’ dan semacamnya? Bagaimanakah membedakan bahwa itu adalah ilham dari Kami? Bagaimanakah membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan? Bagaimanakah nabi Ibrahim mengenali bahwa mimpi yang dialaminya adalah mimpi yang berasal dari Tuhan?

Ribuan manusia bermimpi hal yang sama. Mengapa tidak bermakna apa-apa? Sementara mimpi nabi Ibrahim dianggap mimpi yang mampu merubah peradaban dunia. Merubah arah kesadaran manusia untuk mempercayai kekuatan di luar dirinya. Mengalahkan akal dan logikanya. Bagaimanakah membedakan mimpi yang nyata dan yang tidak? Jikalaupun ada pada diri manusia, berapa banyakah manusia yang mau dan mampu mengenali Sang Pembeda ini? Benarkah Sang Pembeda itu ada dalam realita dunia nyata. Bukankah al qur an itu sendiri juga disebut sebagai adalah Sang Pembeda? Measurement system yang disiapkan untuk manusia? Bagaimanakah mengaktifkannya?

Perjalanan ke Selatan meninggalkan banyak pertanyaan, bahkan ke gundahan yang semakin dalam. Realitas dan keyakinan kadang tidak sejalan. Sampai kapan keyakinan ini akan terus diuji? Sampai kapankah? Apakah tidak ada muaranya?  Banyak para kesatria yang tidak sabar menanti keputusan Kami. Mereka banyak yang berpaling kebelakang dan kembali menggunakan akal dan logikanya. Kembali memuja keinganannya. Tidak meyakini lagi hatinya. Keadaan ini menyebabkan Kami menegur keras.

“Semut (An-Naml):4 - Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). : Semut (An-Naml):5 - Mereka itulah orang-orang yang mendapat (di dunia) azab yang buruk dan mereka di akhirat adalah orang-orang yang paling merugi.”

Membedakan gerakNya, gerak Kami, gerak Aku, dan gerakmu, serta gerakku sendiri. Membedakan  daya khadam, jin, setan, siluman, bahkan Iblis itu di dalam jiwa. Membaca lintasan pikiran, hati dan gerak motorik ketubuhan. Memaknai keinginan (want), kehendak (will), dan kebutuhan (need) yang selalu berbenturan dengan realitas. Menjadi sebuah persoalan serius sepanjang perjalanan. Kadang aku tak sanggup membaca inginku sendiri. Kadang aku tak mampu  menuruti mauku , tapi lebih sering aku tak tahu daya sapakah yang menggerakan tubuh ini. Benarkah daya Tuhan? Apakah pesan yang aku sampaikan adalah benar datang dariNya, melalui tentaranya (Kami). Entahlah semua sangat membingungkan. Bagaimanakah membedakannya? Perlahan tapi pasti (kemudian) diri tengah belajar perihal ini.



Dimensi khadam hadir bersama doa dan keinginan manusia atas penguasaan dunia. Kehendak yang mendahulu. Keinginan mereka adalah kehendak atas kekuasaan;  tahta, harta dan wanita. Keinginan yang terlihat wajar, sebagaimana hak manusia saat hidup di dunia. Bahkan Tuhan sendiri menjamin pengabulan atas setiap doa manusia. Sering manusia memanfaatkan kasih sayang Tuhan ini demi memuaskan keserakahannya. Betapa remuk tubuh dan jiwa manakala terbuka dimensi ini. Berhari-hari bahkan beberapa bulan ini badan bagaikan di redam air raksa. Siapakah yang meraskannya? Bagamanakah membedakan bahwa ini benar dari dimensi para khadam yang tengah memasuki portal kesadaran manusia?

Doa-doa para leluhur, para kyai, para ulama, dan para tokoh-tokoh spiritual ini mengisi dimensi yang termanfestasi dalam entitas yang disebut sebagi khadam.  Portal dimensi yang terbuka seiring dengan pergolakan negri ini. Perang doa adalah perang kesadaran. Peperangan yang tidak terlihat. Peperangan yang terlihat baik sebab perang ini melalui doa-doa yang diperbolehkan. Pada dimensi ini (telah) pula disampaikan pesan Tuhan agar mereka terus ber kasih sayang. Bahwa keinginan manusia itu benar, namun Tuhan akan memberikan pahala berlimpah jika saja keinginan tersebut disimpan untuk akherat saja, tidak dihabiskan semua di dunia.

Sungguh tidak ada yang salah dengan keingnan dan kehendak manusia. Bagaimana Tuhan mengabulkan semua keinginan yang sering bertolak belakang ini? Tidak ada manusia yang tahan jika sakit. Maka setiap manusia berdoa untuk sehat. Memohon kesehatan kepada Tuhan. Bayangkan jika Tuhan mengabulkan doa apa saja dari manusia yang serakah  ini. Bagaimanakah keadaan peradaban manusia? Rumah sakit dan perusahaan farmasi dunia akan runtuh. Siklus kehidupan akan berhenti jika tidak ada yang sakit. Bayangkansaja jika Tuhan mangambulkan doa setiap manusia dan menjadi raja semua. Siapakah yang akan menjadi rakyatnya?

Tuhan berkuasa mengatur segala sesuatu. Namun  mengapa tidak dilakukanNya? Menusia dibiarkan saja saling menumpahkan darah. Karena sebab berbeda. Mengapa ? Sebuah pengajaran luar biasa, apakah enaknya jka semua di dunia sama. Jika hidup hanya satu warna. Jika hidup in tidak ada perbedaan antara satu orang dan lainnya. Jika wajah semua wanita sama. Jika  semua manusia terlahir sebagai  raja. Jika semua sehat dan tidak ada sakitnya. Jika semua manusia makan makanan yang sama. Jika agama Islam semua. Jika manusia tidak ada matinya? dll..dll. Bagaimanakah peradaban manusia bisa dibangun dengan kebersamaan model seperti ini.

Bagaimanakah keadaan manusia yang terus menghakimi perbedaan, memusuhi perbedaan dan menghancurkan seluruh peradaban dimuka bumi yang berbeda. Apakah manusia akan mengubah dunia menjadi satu tampilan muka? Perbedaan adalah rahmat. Perbedaan adalah hikmah kehidupan. Perbedaan adalah KEHIDUPAN itu sendiri. Bagaimanakah kita menyikapi situasi dan keadaan ini? Pada muara yang jelas tiada tepi. Dimana perbedaan lebih ditakuti daripada mati itu sendiri. Kemanakah akan mencari jatidiri demi keyakinan bahwa kita semua masih peduli. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri.

Tulisan ini masih belum menjawab apa apa-apa. Pertanyaan kembali di gulirkan bagaimanakah membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan? Bagaimanakah diri mampu berjalan di jalanNya dan meyakini semisal ilham adalah suatu kebenaran? Dimanakah kita akan menemukan  Sang Pembeda, yang mampu membedakan yang gelap dan yang terang.


“Bangsa Romawi (Ar-Rūm):53 - Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).”


wolohualam..
salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali