Melacak Keberadaan 'Sang Pembeda' (2)
Jangan
sekali2 bertanya kapan selesainya tugas Kami? Karena itu berarti menanyakan
kapan hari kiamat? Dalam pedar bias waktu, itu menjadi salah satu keadaan yang
menunjukkan hal yang berbeda dan berada dalam satu keadaan. Setiap makhluk
berada dlm Kuasa dan kehendak Tuhan. Apakah kamu merasa kamu bukan Kami? Coba
saja berdiri tanpa ragamu kini, maka apa yg kamu kehendaki? Bahkan, kehendak
itu berada dalam lintasan perjalanan Kami.
“Penyair
(Ash-Shu`arā'):15 - Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan
dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami
(mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang
mereka katakan),”
…
Langkah ini akankah berbalik ke belakang
dan diam tanpa aturan kejelasan. Perjalanan ke Selatan adalah perjalanan dalam
ketidak tahuan. Kepastian yang menjadi ketidakpastian dalam sumbu urutan waktu.
Apakah aku menjalakan perintah Kami ataukah Kami berjalan bersama aku.
Bagaimanakah membedakan ini mauku ataukah mau Kami yang menyeru kepadaku? Aduh
Tuhanku, bilakah aku tak mampu mendengar titahMu. Bagaimana menggunakan instrumen
ketubuhanku mendeteksi bahwa semua itu adalah mauMu. Sebab lintasan-lintasan
pikiran dari diriku. Bagaimanakah aku menggunakan instrumen Sang Pembeda (Al
Furqon) yang ada padaku?
Lihatlah, realitas berada dalam gerak
aturan yang jelas sekali. Bekerja, berjalan, berfikir, bahkan seluruh aktifitas
manusia terlihat biasa dan tidak berarti apa-apa. Bagaimanakah aku mampu
mengatas namakan Kami? Perjalanan ke Jawa Barat, Jawa tengah, jawa Timur, dan
juga ke Sulawesi Selatan, adalah perjalanan raga. Sebuah perjalanan yang bisa
dimaknai apa saja. Bisa saja itu adalah perjalanaan yang tidak berarti apa-apa
bukan? Ribuan manusia melakukan
perjalanan yang sama dengan dirinya. Apakah yang membedakannya?
Manusia bergerak dari ujung kota ke ujung
kota lainnya. Diam di tempat kerja dan kemudian melakukan gerakan-gerakan yang
biasa saja. Manusia kemudian menunggu pembayaran gajinya. Setelah itu waktu
akan berulang dan berulang seperti biasa. Hari demi hari berlalu, bulan demi
bulan di saru. Semua menggumuli sang waktu. Membedakannya dari detik ke menit,
dari menit ke jam. Dari jam ke hari, dari hari ke bulan, dari bulan ke tahun,
dari tahun ke windu, dan seterusnya dan seterusnya. Menunngu apa lagi yang akan
bersemu. Manusia terus berusaha menandai sang waktu. Membedakan hari ini dan
kemarin dengan simbol-simbol agar dikenali. Tanggal bulan dan tahun demi sang
waktu.
Perhatikanlah, bukankah hari tetap seperti
itu adanya, ada siang dan ada malam. Ada panas ada dingin. Semua hari terlihat
sama saja. Bayangkan jika kita tinggal di daerah terpencil tanpa informasi sang
waktu. Apakah kita bisa membedakan hari ini dan hari kemarin. Matahari terbit
dari arah yang sama dan tenggelam ke tempat yang sama. Tempat yang kita
singgahi masih sama saja. Dari waktu ke waktu ya itu lagi dan itu lagi. Bagaimana jika kita tidak mampu membedakan
sang waktu ini? Maka tanda dan simbol menjadi cara manusia untuk membedakan. Pertanyaannya
diulang, “untuk apakah manusia membedakan
semua itu?”
Kehidupan berjalan sebab ada kemampun
manusia untuk membedakan. Sifat dasar yang menjadi fitrah adalah ‘PERBEDAAN’ itu
sendiri. Tanpa dibedakan maka manusia akan diam tak mengerti apa-apa. Waktu
tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibedakan dari hari ke hari. Semua harus
berbeda agar mudah dikenali kesadaran manusia. Sesuatu yang tampak sama akan sulit dimaknai manusia. Bagaaimana jika semua warna adalah putih saja. Bagaimana
jika bumi itu datar seluruhnya. Bagaimana jika semua wajah manusia sama. Bagaimana jika
tidak ada si miskin dan si kaya. Bagaimana jika semua keyaikanan itu sama
semua?
Manusia membutuhkan perbedaan untuk saling
kenal mengenal. Namun mengapakah seseorang harus membunuh dan memperkosa orang lain
yang memiliki keyakinan berbeda. Perbedaan adalah hukum yang harus dipahami
sebagai kebutuhan umat manusia. Tanpa adanya perbedaan maka manusia tidak akan
mampu menjalani kehidupan ini. Hambar dan hampa, tiada makna disana. Bahkan manusia
tidak mungkin mampu hidup tanpa perbedaaan. Lantas, mengapa kita selalu risaukan
perbedaan? Lantas mengapakah kita selalu mempertanyakan keyakinan? Apakah
sesungguhnya rencana Kami dengan semua ini? Hhhh…
Siklus kehidupan dan siklus kematian,
berputar tanpa henti. Banyak manusia yang lahir dan tidak sedikit pula yang
mati. Jika aku dilahirkan pada dimensi sekarang ini dalam amanah Kami. Pertanyaannya
adalah untuk apa dan mengapa? Berapa banyakkah manusia yang mau mendengar suara Kami dan kemudian mengikuti
perintah Kami? Benarkah itu Kami? Ataukah itu khayal semata, ‘sakit gila’ dan
semacamnya? Bagaimanakah membedakan bahwa itu adalah ilham dari Kami?
Bagaimanakah membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan? Bagaimanakah nabi
Ibrahim mengenali bahwa mimpi yang dialaminya adalah mimpi yang berasal dari
Tuhan?
Ribuan manusia bermimpi hal yang sama. Mengapa
tidak bermakna apa-apa? Sementara mimpi
nabi Ibrahim dianggap mimpi yang mampu merubah peradaban dunia. Merubah arah kesadaran
manusia untuk mempercayai kekuatan di luar dirinya. Mengalahkan akal dan logikanya.
Bagaimanakah membedakan mimpi yang nyata dan yang tidak? Jikalaupun ada pada
diri manusia, berapa banyakah manusia yang mau dan mampu mengenali Sang Pembeda
ini? Benarkah Sang Pembeda itu ada dalam realita dunia nyata. Bukankah al qur
an itu sendiri juga disebut sebagai adalah Sang Pembeda? Measurement system
yang disiapkan untuk manusia? Bagaimanakah mengaktifkannya?
…
Perjalanan ke Selatan meninggalkan banyak
pertanyaan, bahkan ke gundahan yang semakin dalam. Realitas dan keyakinan
kadang tidak sejalan. Sampai kapan keyakinan ini akan terus diuji? Sampai
kapankah? Apakah tidak ada muaranya? Banyak
para kesatria yang tidak sabar menanti keputusan Kami. Mereka banyak yang
berpaling kebelakang dan kembali menggunakan akal dan logikanya. Kembali memuja
keinganannya. Tidak meyakini lagi hatinya. Keadaan ini menyebabkan Kami menegur
keras.
“Semut
(An-Naml):4 - Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri
akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka
mereka bergelimang (dalam kesesatan). : Semut (An-Naml):5 - Mereka itulah
orang-orang yang mendapat (di dunia) azab yang buruk dan mereka di akhirat
adalah orang-orang yang paling merugi.”
…
Membedakan gerakNya, gerak Kami, gerak Aku,
dan gerakmu, serta gerakku sendiri. Membedakan daya khadam, jin, setan, siluman, bahkan Iblis
itu di dalam jiwa. Membaca lintasan pikiran, hati dan gerak motorik ketubuhan. Memaknai
keinginan (want), kehendak (will), dan kebutuhan (need) yang selalu berbenturan
dengan realitas. Menjadi sebuah persoalan serius sepanjang perjalanan. Kadang
aku tak sanggup membaca inginku sendiri. Kadang aku tak mampu menuruti mauku , tapi
lebih sering aku tak tahu daya sapakah yang menggerakan tubuh ini. Benarkah
daya Tuhan? Apakah pesan yang aku sampaikan adalah benar datang dariNya, melalui
tentaranya (Kami). Entahlah semua sangat membingungkan. Bagaimanakah membedakannya? Perlahan tapi pasti (kemudian) diri tengah
belajar perihal ini.
…
Dimensi khadam hadir bersama doa dan
keinginan manusia atas penguasaan dunia. Kehendak yang mendahulu. Keinginan
mereka adalah kehendak atas kekuasaan; tahta, harta dan wanita. Keinginan yang
terlihat wajar, sebagaimana hak manusia saat hidup di dunia. Bahkan Tuhan
sendiri menjamin pengabulan atas setiap doa manusia. Sering manusia
memanfaatkan kasih sayang Tuhan ini demi memuaskan keserakahannya. Betapa remuk
tubuh dan jiwa manakala terbuka dimensi ini. Berhari-hari bahkan beberapa
bulan ini badan bagaikan di redam air raksa. Siapakah yang meraskannya?
Bagamanakah membedakan bahwa ini benar dari dimensi para khadam yang tengah
memasuki portal kesadaran manusia?
Doa-doa para leluhur, para kyai, para
ulama, dan para tokoh-tokoh spiritual ini mengisi dimensi yang termanfestasi
dalam entitas yang disebut sebagi khadam. Portal dimensi yang terbuka seiring dengan
pergolakan negri ini. Perang doa adalah perang kesadaran. Peperangan yang tidak
terlihat. Peperangan yang terlihat baik sebab perang ini melalui doa-doa yang
diperbolehkan. Pada dimensi ini (telah) pula disampaikan pesan Tuhan agar mereka terus ber kasih sayang. Bahwa keinginan manusia itu benar, namun Tuhan akan memberikan
pahala berlimpah jika saja keinginan tersebut disimpan untuk akherat saja, tidak dihabiskan semua di dunia.
Sungguh tidak ada yang salah dengan
keingnan dan kehendak manusia. Bagaimana Tuhan mengabulkan semua keinginan yang
sering bertolak belakang ini? Tidak ada manusia yang tahan jika sakit. Maka
setiap manusia berdoa untuk sehat. Memohon kesehatan kepada Tuhan. Bayangkan jika
Tuhan mengabulkan doa apa saja dari manusia yang serakah ini. Bagaimanakah keadaan peradaban manusia? Rumah sakit dan perusahaan farmasi dunia
akan runtuh. Siklus kehidupan akan berhenti jika tidak ada yang sakit. Bayangkansaja jika Tuhan mangambulkan doa setiap manusia dan menjadi raja semua. Siapakah yang akan menjadi
rakyatnya?
Tuhan berkuasa mengatur segala sesuatu.
Namun mengapa tidak dilakukanNya? Menusia dibiarkan saja saling menumpahkan darah. Karena sebab berbeda. Mengapa ? Sebuah pengajaran luar biasa, apakah enaknya jka semua di dunia sama. Jika hidup hanya satu warna. Jika
hidup in tidak ada perbedaan antara satu orang dan lainnya. Jika wajah semua
wanita sama. Jika semua manusia terlahir sebagai raja. Jika semua sehat dan tidak ada sakitnya.
Jika semua manusia makan makanan yang sama. Jika agama Islam semua. Jika manusia
tidak ada matinya? dll..dll. Bagaimanakah peradaban manusia bisa dibangun dengan
kebersamaan model seperti ini.
Bagaimanakah keadaan manusia yang terus
menghakimi perbedaan, memusuhi perbedaan dan menghancurkan seluruh peradaban dimuka bumi yang berbeda. Apakah manusia akan mengubah dunia menjadi satu tampilan muka? Perbedaan
adalah rahmat. Perbedaan adalah hikmah kehidupan. Perbedaan adalah KEHIDUPAN
itu sendiri. Bagaimanakah kita menyikapi situasi dan keadaan ini? Pada muara yang jelas tiada tepi. Dimana perbedaan lebih ditakuti daripada mati itu sendiri. Kemanakah akan mencari jatidiri demi keyakinan bahwa kita semua masih peduli. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri.
Tulisan ini masih belum menjawab apa apa-apa. Pertanyaan kembali di gulirkan bagaimanakah membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan? Bagaimanakah diri mampu berjalan di jalanNya dan meyakini semisal ilham adalah suatu kebenaran? Dimanakah kita akan menemukan Sang Pembeda, yang mampu membedakan yang gelap dan yang terang.
Tulisan ini masih belum menjawab apa apa-apa. Pertanyaan kembali di gulirkan bagaimanakah membedakan ilham kefasikan dan ketakwaan? Bagaimanakah diri mampu berjalan di jalanNya dan meyakini semisal ilham adalah suatu kebenaran? Dimanakah kita akan menemukan Sang Pembeda, yang mampu membedakan yang gelap dan yang terang.
“Bangsa
Romawi (Ar-Rūm):53 - Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak
dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang
beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri
(kepada Kami).”
wolohualam..
salam
Komentar
Posting Komentar