Kisah Perjalanan Paku Bumi (3), Donggala Negri Yang Hilang


Hasil gambar untuk kerajaan banawa donggala

Berlari di lautan. Bermain dalam lipatan. Berkaca dalam bias sang malam. Mencari jejak-jejak kehidupan. Mas Thole diam dalam menahan sakit yang menghujam. Mimiknya seperti menahan seribu kata yang ingin disampaikan, perihal sakit yang tak biasa. Tatapannya hambar menatap dinding putih bangsal. Terlihat bangsal unit gawat darurat (UGD) rumah sakit tersebut sangat lengang. Hanya ada dirinya seorang diri saja. Aneh saja, tidak biasanya rumah sakit seramai ini tidak ada pasien malam ini.

Mengapa Mas Thole merasakan keanehan? Betapa tidak kejadian ini kali kedua. Menjadi rentetan penyaksian dalam perjalanannya. Sebelumnya, saat perjalanannya ke Donggala kemarin ini, sewaktu menuju bandara Soekarno Hatta, selepas isya, dia berada di dalam bus Damri Exclusive, dirinya merasa aneh  juga dengan keadaannya, bayangkan dia sendirian saja di dalam bus yang besar. Bukankah luar biasa. Bus itu seperti disediakan untuk menghantarkan Mas Thole. Yah, tidak biasanya di jam sesibuk ini bus dalam keadaan kosong. Namun saat itu, lintasan tersebut dia coba tepiskan. Mungkin kebetulan saja. Yah, perjalananya ke Mamuju Utara melewati Donggala kali ini adalah bentuk penyaksian atas di tancapkan paku kemarin oleh rekannya. Mengapa bisa kebetulan dirinya harus menyaksikan, bagaimana keadaan Paku yang ditancapkan?


Sesaat setelah terbaring, sebatang jarum infus menembus kulitnya. Ada rasa sakit di ujung lengan kanannya. Terasa aliran infus mulai menjalari perlahan, mulai dari lengannya hingga perlahan menuju ke kepalanya. Rasa pening mulai membuatnya meringis kesakitan. Jiwanya seperti diamuk angin tornado. Tubuhnya lunglai tidak mampu disangganya. Entah berapa liter cairan tubuh yang sudah keluar dari badannya, selama beberapa hari ini. Sehingga jam 2.00 WIB dini hari kemarin ini Mas Thole terpaksa di larikan ke rumah sakit terdekat. Terlihat nafas Mas Thole satu satu. Berat terasanya. Isi perutnya serasa naik ke dada. Menimbulkan sensasi air raksa disana.

Hilang dan muncul kesadarannya seiring pengaruh obat yang mulai merasuki tubuhnya. Kisah apa lagi yang harus disandingkan dalam memaknai kejadian ini. Rentetan pengalaman perjalanannya ke Selatan nampak biasa saja,. Sebagaimana perjlanan sebelumnya. Namun mengapakah tubuhnya tidak mampu menahan gempuran energy yang membombardir jiwa raganya. Ada apakah dengan alam ini? Pertanyaannya terus menggumpal seiring dengan serangkaian suktikan demi suntikan yang harus diterimanya untuk mengatasi rasa sakit yang tidak tertahan lagi. Mungkin ada 5 ampul injeksi yang diterimanya saat itu. Kesadarannya sudah menghamblur, mengkais ingatannya. Benarkah ada yang tertinggal? Entahlah, rahsanya sakit sekali.


Semenjak di tancapkannya Paku -9 di Gunung Salak keanehan sudah dimulai. Siapakah yang akan menanamkan paku disana menjadi polemik tersendiri. Para kesatria bersitenggang. Tarik ulur dan juga saling menguasai. Memang benar alam kesadaran berkepentingan atas penancapan Paku -9 ini. Pertanyaannya siapakah yang harus kesana, untuk menanamkan paku tersebut? Gejolak terjadi Mas Thole diam tak mengerti. Berusaha mengikuti jalannya sang takdir. Dalam keyakinannya  pasti kehendak Tuhan yang akan terjadi. Banyak sekali yang tidak dimengertinya. Mengapakah penanam Paku -9 ini menjadi rumit sekali? Banyak friksi dikanan kiri, banyak ilusi bermain disini. Semua menjadi tak terkendali.

Entah sebagai kebetulan atau tidak Paku Alam ke -9 meninggal hampir bersamaan dengan penancapan paku ke-9 ini. Khabar itupun diterimanya dari Pambayun. Apakah ini bermakna? Jika kita amati akan timbul pertanyaan, mengaoa kode Paku yang ditanamkan tidak mengikuti urutan? Mengapakah perintah Kami harus mendahulukan Paku ke-9, di bandingkan paku-paku yang lainnya. Bukankah lebih afdol jika penanaman paku dilakukan sesuai urutannya?   Maka jelas sekali terbaca guratan rencana alam,  semisal puzzle-puzle yang sudah usai di gabungkan, maka terbentuklah gambar yang bisa dimaknai dan mampu dihadirkan dalam kesadaran para kesatria.


Ketika gerak kesadaran mulai melemah, Mas Thole terngiang pesan-pesan Kami sebelum dimulainya perjalanannya kali ini;

“Ketika kau kayuh dayung pada sampanmu dengan riak angin yg tenang, maka geraknya melambat, seakan dalam setiap gerak angin ada lirih dr dedaunan, tembang dari air yang berbenturan dgn riak lainnya. Jejakmu begitu juga di mayapada ini, tak mesti menjadi satu dlm kesatuan, ketika kau berlari dgn topan yang menyertai. Seumpama dayung,geraknya berada dlm tanganmu. Angin kencang akan membawamu cepat sampai tujuan, tanpa melihat alam sekitar.  Seumpama raga geraknya ada dalam setiap otot yang menyelimutimu.  Jangan melihat dengan mata sebelah, lihat dgn kedua mata.  Bila melihat lautan, maka di sana pertemuan air2 yg melimpah

Sesungguhnya, sungai-sungai yang mengalir indah, itu ada di sekitarmu. Tak ada yang cedera, sekali itu yang kau lihat, maka itu hanya pandangan mata. Tetap beda dalam rasa tawar dan asin yg sama. Seumpama matahari, sinarnya tak mampu menyinari mereka lagi. Tutup pintu dan jendela. Jika suatu hari ada kabar, lelaki langit hadir untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat, segeralah pulang. Karena sesungguhnya, kesesatan adalah ketika menyatakan kesesatan dgn kesesatan.  Diam di rumah bukan berarti lari, tetapi nyalakan pelita, dengan membentik hati utk tujuan ilahi rabbi”


Teringat manakala dirinya meninggalkan kota Donggala, jalur yang berliku disepanjang pesisir pantai. Berdiri di sepanjang jalan, seluruh pasukan kerajaan Donggala yang hilang telah disiagakan mereka semua menyambut suka cita gegap gepita kedatangan Ratu Alam, yang sebentar lagi akan diproklamirkan. Mereka menghantarkan kepergian Mas Thole dengan segenap hulubalang. Membuat tubuh Mas Thole limbung menahan paparan energy mereka. Pasukan tak kasat mata dari Kerajaan Donggala telah menyiapkan diri untuk datangnya nusantara baru. Dalam realitasnya, Mas Thole bertemu dengan tokoh-tokoh pemuda yang sangat luar biasa. Merekalah yang akan membawa perubahan di kampong-kampungnya. Kepakan sayap kecil kesadaran mulai mendapatkan sambutan. Terpujilah Tuhan yang menjawab doa-doa hambaNya.

Hujan yang sudah turun hampir tiap hari disana. Seakan memahami kebutuhan dan kepentingan Mas Thole, Hujan turun hanya pada saat semua tertidur pulas. Menurut keterangan sopir yang mengantarkan Mas Thole,  kejadian ini sangat jarang katanya.   Sepanjang jalan yang dilewati Mas Thole menyaksikan pengaruh Paku Bumi yang di tancapkan disana. Para makhluk tak kasat mata telah menyiapkan pasukan mereka. Tanah Donggala akan menjadi negri yang perkasa. Sebagaimana dahulu kala, sejak jaman nenek moyang mereka. Donggala akan menjadi sebuah monument kesadaran. Sebuah negri yang hilang akan kembali di dalam kancah kesadaran manusia. Benarkah itu? Biarkan alam yangmenjawabnya.

Mata Mas Thole mulai nanar, mulai diserahkan wajah-wajahnya kepada sang illahi robi. Wajah beringasnya, wajah gusarnya, wajah amarahnya, wajah dengkinya, wajah iba dirinya, wajah sombongnya, wajah angkuhnya, wajah kesalnya, wajah senangnya, wajah khusuknya, wajah diamnya, pendek kata seluruh wajah-wajah miliknya dihadapkannya kepada Tuhan. Memohon ampunanNya atas kepemilikan wajah-wajah yang seharusnya tidak boleh dimilkinya apalagi ditampilkan dan dibawa-bawanya di alam dunia ini. Yah, Mas Thole hanya diberikan hak oleh Allah untuk menyandang asma ‘kasing sayang’ saja. Wajah kasih sayang itulah yang seharusnya di bawa kemanapun dirinya pergi. Apakah pengetahuannya ini sudah terlambat. Entahlah, rasanya ajal kian dekat. Mungkin saja sakitnya ini akan membawanya bertemu Tuhan.

Wolohualam bisawab..

BERSAMBUNG

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali