Kisah Perjalanan Paku Bumi (5), Sang Semar-Ketika Langit Dilipat


Hasil gambar untuk langit dan awan

Hujan kini telah mulai turun. Awan menggayuti dimana-mana. Kadang terlihat romantisnya. Namun lebih sering terlihat seperti misteri saja. “Langit yang sekarang bukan lagi seperti langit yang dulu. Awan yang datang tidak sebaik kemarin-kemarinnya lagi. Hhhh”  Tanpa terasa di hembuskannya nafas berat, melonggarkan dadanya. Dibiarkannya gundah merana. “Pada hari dimana langit menjadi  seperti luluhan perak…” (QS, 007;008). Setidaknya bukan hanya Mas Thole saja yang merasakannya itu. Ki Ageng di Australia,  Bandung Bondowoso di Malasia dan juga bebrberapa rekan lainnya di Jakarta. Mereka mengabarkan hal yang sama itu. Semua mengalami perasaan terasing dikeramaian kota. Merasa sendiri di tengah kerumunan manusia. Menatap langit bagai fatamorgana. Perasaan menjadi aneh. Terasing, yah..keterasingan kini melanda para kesatria. Merasa sendirian di alam semesta yang luas ini. Sebab langit telah berganti.

Berkali-kali Mas Thole mengusap wajahnya. Langit telah melipat. “Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu ,…” (QS, 078;019). Alam dimensi telah berubah bentuknya. Masihkah kita bisa bersendau gurau lagi?  Tentu saja kini bukan saatnya. Paparannya saja sudah mulai terasa. Menyusup bagai radiasi, membuat rasa sakit yang tak biasa. Apakah masih mampu tertawa? Hhh..Peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi, hanya 100 abad sekali, kini dialami. Semisal screen sever di layar komputer yang diganti tampilannya. Penggantian yang normal saja nampaknya. Namun sungguh luar biasa sekali dampaknya. Seluruh wajah dimensi akan berganti rupa, berikut juga cahaya dan warnanya. Energy muasal ‘source’ bagi alam akan berubah. Maka akibat yang dirasakan adalah pendaran langit akan terasa asing dan berbeda sekali bagi yang mengamati. Perlahan tapi pasti akan banyak sekali terjadi anomaly di alam semesta ini. Seiring bergantian ini. Akan kemanakah kita?

“Hai Jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” ( QS. 055;033)

Tanpa terasa Mas Thole menangis tanpa suara. Batinnya miris sekali, siapakah yang sanggup menembus langit dan bumi pada dimensi ini untuk menuju langit dan bumi pada  dimensi lainnya? Siapakah yang memiliki kekuatan seperti itu setelah era para nabi berakhir?   Bagaimanakah dengan nasib manusia pada dimensi ini? Aaarrrgg…! Mengapakah dirinya harus tahu semua ini. Rasa  tahu yang yang menyiksa sebab dirinya tidak mampu berbuat apa-apa. Bukankah ini suatu siksa? Sekarang dirinya paham mengapakah menjelang ajalnya, rosul terus memanggil manggil umatnya,  “ummati..ummati..ummati..” Pengetahuan yang luar biasa atas apa-apa yang bakalan terjadi,  teramu dalam khawatir atas diri ummat-ummatnya itu?  Bayangkan saja bagaimana rahsanya, jika kita melihat ribuan orang-orang yang kita cintai dalam kalut gundah gulana, meregang nyawa di hadapan kita, tanpa kita mampu berbuat apa-apa? Rahsa yang lebih dahsyat sakitnya dari kematian itu sendiri.

Mas Thole hanya mampu mendekap dadanya yang terasa ngilu. Yah, sekarang dirinya paham sebab mengapanya. Namun dengan bahasa apa mas Thole harus menyampaikan pemahamannya? Adakah bahasa yang mampu mengungkap rahsa? Bagaimana menjelaskannya jika rahsa hanya terserah diri dalam memaknai, sangat privacy dan hanya untuk dirinya. Jelaskan saja bagaimana? Hhhh…Dalam kleuhnya itu Mas Thole berusaha berdamai. Sudah wajar jika tidak ada bahasa yang mampu mewakili kesedihan, kekhawatiran, harap dan penantian, kepemahaman, kesadaran, kepasrahan, kecintaan, dll. Pendek kata  seluruh rahsa paradoks bercampur satu kesatuan. Menjadi satu bahasa ‘amuk rahsa’.  Setidaknya rahsa ini mampu menghantarkan pemahaman  mengapakah hanya  hanya satu kata yang  terlontar dari bibir rosul menjelang ajalnya, “Ummati..ummati..ummati”

Bahasa rahsa, bahasa jiwa, merasuki sukma Mas Thole. Mendeking dirinya dalam menahan. Jari jemarinya terkepal beban tangisnya. Bahasa tiada rupa, bahasa tiada, bahasa menjelma menjadi ada. Begitu saja pemahaman.  Yah, bagaimana dengan nasib kesadaran umat manusia. Bagaimana dengan umat rosul yang sadar, yang senantiasa mengingat Allah di pagi dan petang ini? Bagaimana keadaan mereka menghadapi era kesadaran yang akan menghimpit mereka dari muka dan belakang? Mampukah mereka bertahan dalam ketakutan dan mimpi panjang? Lorong hitam kesadaran telah terbuka di koordinat sebelah utara. Gunung akan di guncangkan dari sebelah selatan. “ Demi langit yang mempunyai jalan-jalan..” (QS, 051;007). “Dan dibukalah langit maka terdapatlah beberapa pintu..” (QS, 078;019). Jalan lintas batas alam semesta di langit  telah terbuka bagi makhluk lintas dimensi. Makhluk langit berbondong-bondong memasuki dimensi manusia. Apakah kesadaran manusia mampu bertahan?

“Ummati..ummati..ummati..”

Tiada yang mampu menahan. Helaan nafas panjang terus menerus keluar dari dada Mas Thole. Jiwanya terus dalam kegelisahan yang semakin dalam. Merasakan bagaimana keadaan ‘rahsa’ saat rosul menjelang akhir hayatnya.  Berat dan semakin memberat beban di jiwa. Perasaan bercampur aduk. Perasan apa boleh buat. Alam telah menyampaikan wartanya. Bahasa yang dipahami manusia sebagai ‘bencana’. Tidak saja bencana yang merambah dunia fana, dalam ranah kesadaran sang waktu juga telah melipat. Maka tidakkah kita paham sebelumnya, mengapa bumi disebutkan datar? Mengapa bumi disebutkan dihamparkan untuk manusia. “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,….” (QS, 002;022). Yah, itu tidaklah sebagaimana keadaannya.

Alam tidak akan memilih lagi. Sebab alam telah memilih. Umat siapakah yang layak berdiam dan berdiri diatas bumi? Bumi tidak akan menghiraukannya lagi. Sama saja bagi bumi. Apakah itu umat rosul ataukah umat-umat lainnya. Umat siapapun akan dihancurkannya. Bumi sudah pada titik balik porosnya. Medan magnet telah berputar, utara selatan sekarang telah menjadi dua keadaan.  Tidakkah karena sebab  ini kemudian  bisa kita pahami sebab mengapa rosul terus memikirkan ummatnya. Demikian mengerikan alam kesadaran yang terbuka sekarang ini. Betapa tidaki, ummat rosul juga akan  mengalami keadaan yang sama dengan orang-orang yang berbuat makar kepada Tuhan.  Tidak ada perbedaan lagi di atas muka bumi. Kaum beriman kepada Tuhan dan kaum yang beriman kepada thogut akan mendapatkan perlakukan yang sama di muka bumi. Bumipun saatnya akan dilipat dalam fase pembalikan.


Mengapakah berita ini serasa diulang-ulang. Sudah lebih dari 13 abad berita tentang kiamat dan kehancuran. Bahkan lebih jauh dari itu, sejak turunnya nabi Adam berita ini juga sudah di khabarkan. Tapi lihatlah mengapa bumi ini masih tetap saja sama? Langit masih berdiri tegak, bumi masih terus berputar di porosnya. Katanya langit di lipat, katanya dan katanya. Manakah itu?!? Tidakkah lihat kenyataannya, adakah yang berubah di bumi ini? Air laut masih sama saja keadaannya. Gunung-gunung masih tegak dari dahulu sampai sekarang. Apakah yang perlu ditakutkan? Untuk apakah berita ini disampaikan?  Benarkah manusia akan dibangkitkan setelah mati? Lihatlah sudah berribu tahun peradaban, keadaan manusia tetap sama saja. Belum ada satupun manusia yang dihidupkan dari kematiannya.  

Mas Thole mencoba mengambil jeda. Pertanyaan yang terus saja ditanyakan sejaka era jaman nabi. Hingga sampai detik ini pertanyaan yang sama itu masih saja terus di tanyakan manusia ini. “Setelah itu Kami  bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur..” (QS, 002;056). Sesungguhnya manusia telah pernah mati dan kemudian di bangkitkan lagi. Sesungguhnya bumi telah pernah hancur dalam kiamat dan kemudian dihidupkan lagi. Bisakah pernyataan ini diyakini? Dunia ini paralel, dunia ini hanyalah sebuah screen sever, bisakah di mengerti? Bagaimana permainan ruang dan waktu mempengaruhi? Berita kiamat adalah benar, berita kehancuran adalah benar. Bagaimanakah kita meyakin jika belum pernah terjadi dan ada orang yang mampu menjadi saksi? Cobalah bertanya sendiri kepada nurani.

Jika saat sekarang bumi dan manusia masih sama bukan berarti bumi dan manusia belum pernah mati dan di hidupkan lagi. Pertanyaannya adalah, “Akan kemanakah diri kita saat screen server di ganti? Akan lari kemanakah kita? Apakah kita akan menembus langit dan bumi?” Kemanapun kita lari kematian pasti akan menjemput kita bahkan jika kita mamu menembus langit sekalipun. Kemanapun kesadaran kita larikan, dan kita sembunyikan di dimensi manapun, pasti Allah dengan mudah akan menemukan. Kematian akan menjemput kita disana. “ Maka janganlah kamu mati kecuali dalam Islam..” (S, 002;132). Itulah permintaan Allah kepada manusia. Kita diminta jangan mati kecuali dalam Islam. Allah akan menghidupkan dan mematikan kesadaran kita. Sampai saatnya kita sudah mampu mengenal Islam. Maka saat ituk Kita akan dihidupkan kembali agar kita mampu bersyukur atas karunia kesadaran yang DIA beri. Bukankah ini yang trejadi? Kita dihidupkan di dalam kesadaran Islam, sudahkah kita syukuri?

Tiap jiwa (kesadaran) tidak akan pernah mati kecuali dengan ijin Allah. Hanya saja tiap jiwa (kesadaran) akan merasakan bagaimana rahsanya mati. Rahsanya mati yang berulang-ulang. Pemahaman inilah yang sulit dimengerti bahwa rahsa kiamat itu sudah akan ditimpakan kepada manusia bahwa jiwa manusia akan merasakan mati. Ayat-ayat al qur an yang menyaol kiamat berada dalam hikmah ini. Jiwa manusia belum akan mati sebelum ada ijin dari Allah. Maka bayangkan bagaimana rahsanya mati berkali-kali. Bagaimana merasakan langit dilipat dan kiamat sudah dekat. Bagaimana merasakan hakekat makna ayat-ayat tentang kiamat? Dalam rahsa dan dalam jwa ini?  Adakah manusia mampu mengungkap?

Sesuatu yang berjiwa tidak akan mati melainkan dengan ijin Allah, sebagai ketetapan yang telah di tentutkan waktunya.”  (QS, 003;145)
“ Tiap-tiap berjiwa akan merasakan mati..” (QS, 003;185)


Rangkaian pemahaman  itulah yang diajarkan Dang Hyang Niratha, sang Semar yang pernah mewujud sebagai Sabdo Palon  kepada Mas Thole. Kedatangannya saat itu disadari  Mas Thole. Tentu saja karakter Sabdo Palon dan Dang Hyang Niratha jauh berbeda walaupun satu perwujudan.  Terasa sekali hawa kelembutan saat beliau datang. Halus dan lembut sekali menyapu seluruh kesadaran Mas Thole, terasa hawa dingin menyebar mengisi seluruh pori-pori dan isi sel dalam sholat subuh yang panjang di Ubud, Bali kemarin ini (8/12). Sebuah rangkaian pertemuan yang mengakhiri kisah perjalanan spiritual Mas Thole dalam pengajaran beliau.  Kisah perjalanan yang di awali di bulan januari th 2012 di Malang. Saat pernikahan anak keturunan Ken Arok.

Sebagaimana keyakinannya saat itu bahwa dia pasti akan bertemu dengan Dang Hyang Niratha di Bali. Benar saja di bulan Desember 2015 Mas Thole mendapatkan pengajaran secara langsung dari beliau, sebagai penutupan. Luar biasanya lagi, di Ubud, Bali dia kedatangan tamu yaitu anak keturunan Ken Arok. Mengapa kebetulan? Dia berkesempatan bicara dengan anak keturunan Ken Arok yang di carinya dahulu. Pertemuan yang membuka dan menutup perjalanan spritual Mas Thole mencari jejak Majapahit yang hilang. Disana ada kehadiran Ken Arok. Mungkin ini adalah sebuah awal langkah berikutnya. Entahlah itu, yang pasti Mas Thole masih memiliki tugas untuk menancapkan 2 paku bumi lagi. Dua kota yang terakhir di kunjungi, ternyata bukan koordinatnya.

Mengapakah lintasannya ke Gunung Prau, di daerah pegunungan Dieng? Setidaknya Mas Thole akan mencari tahu kesana. Sambil mengumpulkan amunisi sebagai bekal, niat tersebut sudah di canangkan dari sekarang. Semoga ya robb.


Wollohualam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali