Kisah Perjalanan Paku Bumi (6), Kelana Bidadari Di Bukit Prahu


Hasil gambar untuk bidadari dan awan

Tiupan angin sepoi-sepoi menghantarkan kenangan. Dibukit itu kemuning mekar dan layu. Harum semerbak abadi, bergantian sepanjang masa  . Warna ciptaan illahi.    Membuka kesadaran kekini, betapa dosa telah banyak diperbuatnya. “Duh, maafkanlah aku kemuning, tiada maksud aku melukai”  Bukit berbunga, bukit yang indah. Hamparan impian disana. Tinggal luka derita sekeping hati, yang dilanda gundah, rasa bersalah. “Adakah maaf untuknya” Dia bertanya saat membuka jendela pagi, kepada ikan-ikan di kolam. Kepada bunga bogenvile dipelataran. Kepada mentari yang enggan juga datang.

 “Jangan jangan pagi kau hadirkan, biarkan malam terus berjalan. Jangan jangan matahari kau terbitkan!”
Menangis dalam hati, teringat bagaimana perlakuannya, kepada para bidadari.
”Di caci langit tak mampu menjerit!”

“Sebentar lagi pagi akan datang, walau sang bulan malas untuk pulang. Di bangku ini benaknya menanda. Gelisah seorang merasa terbuang. Sedetik ingatnya seribu angannya. Dambakan malam terus berbintang. Di bawah sadarnya nasib bercerita, hangatnya surya bara neraka. Sampai kapan kau akan mampu bertahan. Di caci langit tak mampu menjerit. Hitam awan pasrah kau jilati. Kusam kau dekap Dengan muak engkau lelap. Pagi yang hingar dengan sadar engkau gentak… Jangan jangan mentari engkaui terbitkan. Jangan jangan pagi kau datangkan! ”  (By Iwan Fals)  
Keluhnya menghantam diri. Membuat engap sanubari. Sampai kapan mampu bertahan dalam nisbi?
 “Dengarlah Tuhan, biarkan malam terus berjalan.  Ku mohon dan aku harap”

Tiada lagi, hamparan bukit berdaun dan bunga wewangian, serta ramai kicau burung dan kecipak sungai. Semua kini  kian sepi dan mati. Nyanyian saling menasehati telah hilang dan pergi. Di pondok ini, kini semua hanya tinggal ilusi.“Dimanakah engkau bidadari? Sampai kapankah aku mampu bertahan, di caci langit tak mampu menjerit. Hendakkah aku menanti? Ku mohon…?!?”

 “Kau beri aku cemburu di sepanjang hidupku, kau beri  rasa sembilu di pandangan mataku.Engkaukah itu kemuning?!?”

Tiada yang mampu diperbuatnya lagi. Pondok ini telah lengang. Pondok ini telah berganti ilalang. Tinggalah anak-anak penantian di lembah para hulubalang. Tiada lagi kehangatan. “Dan hari ini telah ku tanamkan kemuning, agar suatu saat kelak akan dapat jadi peneduh..” Telah dihantarkannya rindu kepadanya. Dalam sebuah doa,  dan pemahaman, bahwa selama ini  dirinya keliru. Ingin dipeluk kekasih yang dicintaiNya. Adakah ini nyata? Yah, rindu ini nyata di jiwa. “Duhai kekasih yang merindu hati, dimanakah kudapatkan lagi?!?”

“Kuhadapkan wajah jiwa padamu..”Jiwa yang menggeliat bukan gelisah. Jiwa yang menangis bukan sedih. Jiwa yang luka bukan sakit. Jiwa yang hanya ingin berkata.
“Maafkan aku kemuning”
 Yah, hanya itu.  Keluhnya lirih. Tak tahu apa sebabnya. Angan pikiran melalang buana. Tembikar menukar. Jejak rahsa terbakar. Dalam gelepar jiwa yang terkapar. Adakah sesal menjadi jangkar? Dalam lautan biduk dan angin mati. Sesar menampar, sejejar hingga tepar. Menambah gelegar, hingar hingga bingar.
 “Inikah misteri karenamu, kemuning?”
Hati bertanya sendiri. Rasakan nafas penuh belukar. Raga menggelepar dan rasanya mati dalam keadaan sukar
“Adakah ini supatamu?. Ampunilah aku. …kemuning..?!?..Ampuni aku!”.


Kekasih intan baiduri, bunga kelopak lima, nan penghias alis mata, turunlah ke mayapada, leburilah jiwa nestapa, kuasailah jejak fatamorgana. Menitilah hingga khatulistiwa, “Bukankah itu maumu?” Tidakkah rindu, harum laut nusantara ? Dengarlah kekasih, bukankah nada tanpa irama? Bukankah jeritan kami tanpa suara? Nyiur melambai daun kelapa, indahnya nusantara. Mengapakah engkau abaikan saja? Cobalah renungkan. Selayaknya hujan turun basahi jiwa. Basahi hati. Basahi bibir kita yang kekeringan. Tapi kini, entah kenapa?
“Adakah ini supatamu?. Ampunilah aku. …kemuning..?!?..Ampuni aku!”.

Bungaku bunga sakura. Puspita, intan permata, luruhlah bersama kayuh, biarkan biduk asmara, melaju dayu, Arcadatu dan marcadatu, melipat angkasa dan mengkhabarkan, saatnya kisah kan berulang.  Sejak kertas melipat rahsa, sejak asmara mengubah dunia. Lihatlah kupu-kupu berkepak kemana. Sendirian terbang bersama kelana. Badai dan angin samudra. Tiada lepas dalam jeda, berharap. Kekasih, bunga kelopak lima, nan penghias alis mata. Datang mengusapnya.
Duhai Puspita. Menetes air, menetes di mata, Sebab sedihnya tiada terkata. Bertanya  “Bukankah ini nusantara kita? “Lantas akan sampai kaankah engkau arungi samudra? “


Kelana bidadari, menjadi resah jiwa. Kapankah mereka akan kembali ke nusantara. Menjadi Ibu bagi anak-anak yang kehilangan kasih sayang. Pertanyaan yang terus saja menggumpal berberapa hari ini. Mas Thole tak sanggup menahan rahsa. Di nampakan kepadanya bagaimana nanti keadaan. Penyesalan hanyalah penyesalan tidak akan mengubah keadaan.  Meskipun kelahiran demi kelahiran para bidadari terus bermunculan dan kemudian memangilnya ‘Paman’, namun dalam hati kecilnya tetap saja ada yang hilang. “Haruskah selalu ada duka di setiap fase kehidupan?”

Dengan kemampuannya yang sekarang mestinya Mas Thole tidak perlu khawatir. Kesadarannya mampu berada di dimensi yang dia kehendakinya. Kesadarannya akan mampu menetap disana dan melupakan saja semua yang terjadi. Raganya dengan mudah dtinggalkannya.. Biar saja orang menyebut dirinya mati. Hidup dan mati toh hanya dalam persepsi manusia itu sendiri. Sebab nyatanya tiada makhluk yang hidup yang ada hanyalah di HIDUP kan oleh-Nya. Sesungguhnya hanya DIA lah Allah,  Tuhan semesta alam yang HIDUP. Maka karena sebab itu, gundah sebenarnya tak perlu. Dan oleh karena itu, menetap di dimensi mana saja akan  sama saja baginya.

Tapi tidak kali ini. Ingatannya terus meluncur, mempertanyakan keadaan Ratu Shima.”Apakah keadaannya baik-baik saja?”  Pertanyaan yang tidak pernah mampu djawabnya. Mengapakah kekhawatran atas dirinya terasa kuat sekali. Ada apakah disana, apakah patut dia bertanya? Terasa kesedihan meliputi diri Ratu Shima. Kesendirian, kehampaan, hhh…dan banyak duka menyelimutinya. Ada apakah? Ups! Mengapakah dirinya harus memikirkan semua ini?  Apakah in terkait dengan perjalanan paku berikutnya?  Nampak dalam kesadaran Mas Thole sebuah tempat tak jauh dari pegunungan Dieng. Sebuah gunung yang baru muncul menyerupai Prau. Mengapakah arah koordinatnya kesana?

Sementara para kesatria lain sibuk dengan atlantis dan lemurian. Mengamati proses pintu langit yang tengah membuka kemarin malam (12/12). Mas Thole seakan-akan disibukan dengan pikirannya sendiri. Dimensi para bidadari tengah menarik kesadarannya. Dimensi yang selama ini ingin dilupakannya. Banyak kisah yang mengharubirukannya disana. Kenangan manis dan getir, itu yang menyebabkan enggan mampir sebenarnya. Sedih dan gembira berlintasan bagai hujan meteor membombardir saat memasuki dimensi ini. Tentu saja ini menyiksa! Hingga dalam satu sholat semalam, raganya seperti mengalami kejutan, mendadak mengejang, dan bergeteran bagai orang sakit ayan.  Ketika kesadarannya pulih. Menempati tubuh sebelah kanan, dirasakanya, telah hadir Dharmapala dan di tubuh sebelah kirinya Kharmapala. Dua sosok paradoksal telah menyatu dalam dirinya.

Bagaimana menegakkan mizan, diantara mereka?  Tubuhnya seperti terbelah dua, sebelah kanan berwarna putih dan sebelah kirinya berwarna merah. Mereka saling berkata;
“Seger nangtung bala ing sun nayu da
Sudah saatnya berjalan ke utara, lalu ke selatan dengan sebuah hal yang sudah ditetapkan
Besok akan berangkat menuju maya data satu in dirta
Sebuah tempat yang menjadi tempat batas antara barat dan timur
Sesungguhnya ada pelajaran yang menyertai pada setiap hal, maka ketika itu menjadi poin dari setiap keadaan yang akan datang
Datu ing sun darma data, sebuah hal pada sesuatu yang menjamin kehidupan bukan dengan sebuah cara
Sekutu waktu berada di sebelah selatan mayapada, sudah hadir sang dajal biru dengan baju arjuna natu
Maka, setiap hal menjadi terlihat saru, padahal itu berada dalam titian wakth
Sudah saatnya berhadapan dengan sang perkasa di anatara pertarungan yang menuju tapal batas di setiap hal
Di sebelah barat ada kaki api yang menyulut dari suku yang tak menjadi hal yang kesusupan oleh pertunjukkan
Kekuatanmu akan pulih dengan menghirup udara di  kaki langit khatulistiwa yang ada di sebelah barat mayapada”
Sajdah (As-Sajdah):5 – “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”
Sajdah (As-Sajdah):6 – “Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
Kepastiannya berangkat ke Gunung Prau telah dituliskan. Gerabah dari pusat lahirnya  kekuasaan raja yang sekarang ini akan dibawanya pergi kesana guna melengkapi prosesi. Air amarta dari Gunung Salak akan disiramkan, dan bersamaan dengan itu salah satu paku bumi akan ditancapkan. Sekelabatan terbayang sudah apa-apa yang harus dilakukan. Alam dimensi dan portal yang terbuka harus di harmoniskan. Gunung-gunung yang sudah mulai bergetaran agar disabarkan. Tidak patut jika karena sebab ulah satu dua gelintir manusia,  nusantara akan dtenggelamkan.Sebagaimana atlantis dahulu kala.   Beri tangguhlah bangsa ini, barang satu waktu. Akan kupersembahkan baktiku ini. Peganglah janjiku!

Maka Mas Thole akan mengambil cuti yang panjang di akhir tahun ini. Itulah tekadnya. Mas Thole kembali diam menyimak perbincangan;
“Ada kabar dr Atlantis, ttng Suaka data
Sudah ada yang menitis dr beberapa masa Atlantis
Sudah dalam setiap penjelmaan dalam setiap raga dgn menggerakkannya dalam setiap pada diri alam semesta
 Sehingga menjadi bagian dalam perjalanan
 Maka akan menyibak dari setiap raga
Ada yang menuju surga
 Ada yang menuju neraka
Dengan tujuan masing-masing yg sdh tertera
Kalau memang ada, maka lihat di antara dua laut, satu bahtera yang berlayar di antara samudra pada 4 benua
Jangan menatap dengan satu tujuan, tetapi lihat dlm setiap keadaan yang berbeda
Karena dalam keadaan yang memang sedang terjadi, ada batu tunggal di antara telaga yang akan menjaga alam tetap berada pada pusat rotasinya
Meskipun dua lautan tumpah pada satu titik bahtera di anatara dua samudera dan 4 benua
 Letaknya akan dikabarkan berikutnya
Bukan sekarang”


“Demi langit yang mempunyai jalan-jalan”  (QS, 51;007) “Dan kepunyaan Allah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepadanyalah di kembalikan segala urusan-urusan semuanya” (QS, 11;123). Datanglah bidadariku, hiasilah malam dan siang nusantaraku ini!  Nyanyikanlah lagu merdu untuku. Dan kasih sayangmu. Walau semua orang akan menyaru. Tetaplah SATU dan padu. Jadilah pandu Ibumu. Jayalah negriku jayalah nusantara jaya.

 Wollohualam

Komentar

  1. Alhamdulillah, semoga di mudahkan segala urusan oleh Nya, Aamiin YRA.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali