Kisah Perjalanan Paku Bumi (9), Menguak Misteri Kebangkitan Pajajaran (2)
Senja
terlihat bagaikan butiran bata. Merah warnanya merona. Semburat matahari
berpendar sinarnya diantara awan. Redup,
nyaman di pandangan mata. Menampilkan romansa suasana temaram di batas kota, di
penghujung pergantian tahun. Romatis
diantara mistis. Menyimpan misteri apa yang bakalan terjadi di tahun berikutnya
ini. Senja seperti inilah yang nampak beberapa harti ini di langit Jakarta dan
Bandung. Sebuah fenomena biasa, kejadian alam yang mampu dijelaskan dengan
hukum-hukum fisika. Maka para ahli
mencoba menyimpulkan berdasarkan referensi keilmuan mereka. Sebab dan akibat
alam materi dengan mudah dijelaskan dengan hukum-hukum yang berlaku di alam
materi.
Indahnya
pelangi akan bisa dijelaskan berdasarkan teori-teori fisika. Pendaran cahaya
dan hukum cahaya mampu menjelaskan faktanya. Hingga logika manusia terpuaskan
karenanya. Manusia kemudian menganggapnya sebagai kejadian biasa saja. Kita
jarang mencari tahu hikmah apa dibaliknya? Begitulah nasib pelangi. Sebentar
akan hilang dalam kesadaran manusia. Manakala keajaiban yang luar biasa ini
sudah bisa dijelaskan logika. Maka kejadian tersebut akan dianggap biasa saja.
Kesadaran kita kemudian tidak akan mampu melihat keindahan pelangi. Kesadaran
kita tidak mampu menembus hikmah kedalamannya. Bagamanakah alam mampu membuat
pelangi sedemikian indahnya? Kecerdasan seperti apa yang mampu membuat
pelangi? Jangankan berfikir indahnya
pelangi, urusan perut saja belum terpenuhi. Begitulah keadaan manusia.
Langit
Jakarta sudah beberapa kali digegerkan dengan banyak rangkaian kejadian alam.
Para ahli kemudian sibuk mengungkapkannya, mencoba menjelaskan dengan logika.
Menjadikan kejadian tersebut sebagai rangkai kejadian alam yang biasa. Kejadian
yang tidak bermakna apa-apa bagi kesadaran manusia. Begitu juga halnya kejadian
gempa yang terus menerus mengguncang nusantara. Gempa yang mudah saja di
perdiksi keadaannya. Geseran lempeng bumi. Pertemuan bebatuan di dasar bumi.
Semua seperti nampak wajar saja. Seperti wajarnya gumpalan awan yang
bergululung-gulung hendak menelan Jakarta. Semua hanyalah fenomena alam biasa.
Kejadian
alam itu, kini mampu dijelaskan dan diprediksi oleh manusia. Rentetan kejadian
yang terus menerus menjadi suatu hal yang biasa. Begitulah hukum kesadaran.
Kejadian yang berulang terus menerus akan menjadi tak bermakna apa-apa. Sistem
sensor ketubuhan manusia akan menganggap kejadian tersbeut bukan kejadian
biasa. Oleh karenanya manusia mamtikan sikstem kesadarannya. Sistem keamanan jiwa
dan raga manusia terlena. Sehingga
gunung meletus, angin topan, banjir badang, kecelakaan, gempa bumi, dan
lain-lainnya. Rentetan kejadian yang terus menerus terjadi di nusantara ini.
Dianggap tidak bermakna apa-apa. Hanya sebatas fenomena alam yang memang sudah
saatnya. Bagaimanakah kita menyikapinya?
Bila
kita runut jejak kesadaran dalam peradaban manusia, kita akan dapati bahwa
manusia tetap harus waspada atas fenomena alam. Ilmu pengetahuan manusia tidak
akan mampu memprediksi dengan keakuratan 100%. Sebagaimana dikisahkan, Aisyah
r.a berkata, apabila terjadi mendung beserta angin kencang, wajah Nabi s.a.w
yang bias memancarkan Nur, akan terlihat pucat karena takut kepada Allah s.w.t.
Beliau keluar masuk masjid dalam keadaan gelisah sambil membaca do'a : "Ya Allah, aku memohon kepadamu
kebaikan angin ini, kebaikan yang ada didalamnya dan kebaikan yang engkau kirim
bersamanya. Dan aku berlindung kepadamu dari kejahatan angin ini, kejahatan
yang ada didalamnya dan kejahatan yang engkau kirim bersamanya."
Fenomena
langit memerah, sudah sebelumnya dikhabarkan oleh tokoh dar Sabrang. Tokoh yang
sudah lama tidak muncul. Tokoh ini yang dahulu sempat dikisahkan membawa benda
yang harus disampaikan kepada sang Prabu. Awal bulan ini dia mendadak memberitahu
bahwa di hari minggu akan datang ke rumah. Niat yang biasa saja. Namun selalu
saja manakala dia berniat datang, ada saja halangan. Raga sepertinya tidak mau
mengikuti keinginannya. Sakit yang
menderanya berbulan-bulan yang menjadi sebab dia tidak ada khabarnya. Setelah
melaluil prosesi diketahuilah penyebabnya. Ada benturan dua naga di dalam
raganya. Benturan tersebut menyebabkan raganya tidak kuat dan sakit.
Naga
petala namanya, sepasang naga api dan naga es. Dua naga kembar penghuni dasar
bumi. Secara perlahan keluar dari raga tokoh Sebrang ini. Kedua naga ini hanya
ingin menyampaikan pesan bahwa sudah saatnya bumi bergerak. Benturan energy mereka
saat bertemu akan menimbulkan rona merah di langit. Maka jika itu terjadi,
saatnyalah mereka akan bergerak. Tentu saja yang kita rasakan adalah terjadinya
fenomena alam yang tidak biasa. Guncangan
bumi yang semakin kuat. Sudah menjadi tugas para naga. Penjaga portal dimensi
para kesatria. “Hhh…..” Kembali Mas Thole mendesah. Mungkin saja rangkian yang
terjadi kebetulan saja. Entahlah…
…
Langit
yang bertindih-tindih hampir menutupi sepanjang perjalanan pulang Mas Thole.
Diri rahsanya kecil sekali. Jalan tol Cipali yang kemarin ini penuh sesak
manusia, saat itu lengang. Hanya satu dua kendaraan yang mencoba menyalip dari
kiri. Perjalanan menjadi sangat panjang. Dalam dimensi kesadaran, tidak ada ruang dan waktu. Semua
bagaikan rangkaian memori saja. Mau membaca memori yang mana, maka itu terserah
user saja. Begitulah keadaannya.
Kesadarannya seperti mengembara, membuka folder satu demi satu di dalam
neuron otakanya. Kesadarannya terus bergerak menembus ruang hatinya. Memasuki
dimensi tak kasat mata darisana. Pintu
hati Mas Thole seperti terbuka, seperti memasuki dunia lainnya di sebaliknya,
sebuah dimensi yang menampilkan film masa lalu dan masa depan.
“Apakah ini mimpi?”
Sebuah pertanyaan menyergap. Hampir saja laju kendaraan oleng ke kanan. “Apakah beda ada dan tiada? Jika dirinya ada
juga berasal dari ketidak adaan. Ketiadaan yang menjadi sebab ke ada an.
Bukahkah demikian?” Mengapa saat
sekarang Mas Thole ada diantara dimensi mereka? Itu yang mengherankannya. Mas
Thole terus bergumam tak menentu. Satu dimensi demi satu dimensi
dimasukinya. “Mengapa leluhur tba-tba menjadi ada dalam kesadarannya?” Para tokoh kerajaan masa lalu, satu demi satu
hadir dalam kesadarannya, tanpa dimintanya. Ada rahsa tak menentu. Apakah
kemampuan ini adalah anugrah? Ataukah justru malahan musibah baginya? Bagaimana
dengan manusia lainnya, apakah mengalami sebagamana yang dialaminya? Arrgh…
…
Hujan
diluar terus mengahalangi pandangan Mas Thole, sesaat kemudian reda. Langit
cerah seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Dari arah bangku belakang terdengar
suara tangisan, muali dari pelan, kemudian perlahan menguat, nayris mendekati
suara lolongan kepedihan. Mas Thole menghela nafas dalam. Beban jiwanya semakin
mendekung dalam. Dilirik dari kaca spion depan wajah anaknya. Istrinya di
bangku samping terlihat terlelap dalam tidurnya. Yah, apa boleh buat, putri
satu-satunya yang tanpa pernah dimauinya menjadi satu bagian dari kisah
spiritualnya ini. Sudah berapa kali tangisan yang tidak pernah dipahami sang
anak ini datang kala tidurnya. Bahkan setiap jeda dalam lamunan. Tiba-tiba
tangisan itu datang menyerak dlar kesadarannya. Tangisan kehilangan yang
menyayat hati. Maka Ayah manakah yang
sanggup mendengarkan tangisan derita anak gadisnya? Tidak juga mas Thole.
Kemampuan yang dimilikinya seakan sia-sia.
Hingga
sampai saat in dirinya belum mampu menguak misteri yang ada dalam raga sang
anak. Mengapa juga tangisan kali ini
datang kembali, saat Mas Thole memasuki gerbang kesadaran alam ghaib. Apakah
dirinya terkoneksi? Keadaan sang anak, selalu saja begitu. Begitu juga pada
hari keberangkatan, berulang kali sang
anak meminta agar dirinya diantarkan ke pantai selatan. "Yah, seorang putri berulang
datang dan memintaa agar datang ke pantai selatan." Begitu kata anaknya. Sebuah pantai
yang berpasir abu-abu, bercampuran pasir putih. Mas Thole sempat menduga yang
datang adalah Ratu Kidul sendiri. Kemudian apakah yang dimaksud adalah panta
yang kemarin di datangi Pambayun untuk suatu prosesi? Makanya kemarin Mas Thole
sempat menanyakan kepada Pambayun letak pantainya itu. Kemudian dijelaskan oleh
Pambayun bahwa pantainya ada di belakang Gunung Kidul. “Apakah harus kesana?” Batin Mas Thole kala itu. Namun realitas
raganya tidak memungkinkan. “Bagaimanakah
ini?”
“Putri
Raditya Pandita Rasa” Dialah putri yang dlihat oleh anak Mas
Thole. Seorang Putri yang ada dalam rangkaian pesan Kami sebelum ini. Seorang putri yang akan menjadi mata rantai
dalam pencarian jejak peradaban Pakuan Pajajaran. Tu berita baiknya, sehingga
Mas Thole tidak perlu mencari putri tersebut kemana-mana. Melalui raga sang
anak dirinya akan bisa bertemu sang putri. Berita buruknya adalah, raga anaknya
sudah di tanda oleh makhluk laut. Anak Mas Thole yang terpilih untuk dijadikan
ratu disana. Artinya sewaktu-waktu jika anak Mas Thole ke pantai bisa saja akan
hilang masuk ke dasar samudra.
Tentu
saja ini mencemaskan Mas Thole. Hal ini sejalan dengan kejadian sebelum ini
yang pernah dikisahkan juga disini. Anak Mas Thole sakit setelah bermain di
sebuah pantai di Jawa Barat. Saat itu seorang panglima kerajaan laut dan ratu
pantai tidak mau keluar dari raga anaknya. Membuat sebagian tubuh anaknya tidak
mampu digerakkan. Mas Thole akhirnya bertempur dengan sosok yang ingin mengambil
jiwa anaknya itu. Keadaan yang dialami
anaknya baru jelas setalah ada khabar dari Kami perihal kejadian ini. Berikut
adalah rangkaian pembicaraannya.
“Anakmu memang hrs ke selatan, bertemu dgn
Ratu Kidul.Tetapi jangan terlalu dekat, palingkan ke Pelabuhan Ratu, tempatnya
langsung. Karena dia bakal diperebutkan oleh para makhluk pantai. Jadi harus ada penjagaan, di antaranya dg
dayang yg ada pd putri Raditya. Karena
memang mereka mencari putri baru utk
menghuni samudra. Sesungguhnya dalam setiap peradaban ada satu orang yang
menjadi satu utk menjadi mangsa sebagai
putri pengganti dengan raga yg ada di mayapada. Anakmu menjadi diperebutkan dgn titah dan tanda pada sang derwana,
tanda yg menunjukkan sebagai salah satu dari yg terpilih. Ratu kidul dapat
membantu dg menghapus jejaknya, bisa dengan mantra dan patra. Sebuah jejak di
antara dua bahu yg tertera”.
Mengapakah
seperti tali temali. Prosesi yang akan dilakukan untuk menguak misteri
Pajajaran, menjadi satu rangkaian dalam upaya Mas Thole menyelamatkan jiwa dan
raga sang anak, agar tidak menjadi ‘mangsa’ atau rebutan makluk-makhluk pantai.
Kalau begitu, bukankah perjalanan Mas Thole, sesungguhnya adalah untuk kepentingannya sendiri. Inikah
hikmahnya? Jiwa anaknya yang seringkali menangis tanpa sebab. Sedih tanpa
sebab. Nelangsa tanpa sebab. Ternyata ada kaitanya dengan semua kisah dan
perjalanan spiritual yang dijalani Mas Thole. Seluruh rangkaian adalah untuk
kebaikannya sendiri. Allah hu akbar.
Mengetahui
keadaan tersebut, pantaslah jika Mas Thole bersyukur. Sehingga Mas Thole paham
bahwa, disamping untuk melepaskan belenggu
anaknya. Mas Thole juga mencari tahu keberadaan koordinat Pakuan Pajajaran. Keadaan ini menjadi penyemangat sehingga Mas
Thole harus melakukan prosesi, mencari titik tilemnya raja Pajajaran yang
kelima, menajdi lebih semangat lagi.
Subhanalloh..Hhh..kejadian yang berputar, berotasi, sebagaimana hukum
Karmapala. Apa yang dilakukan Mas Thole di jaman Darmapala kini terulang
kembali. Mantra diantara dua bahu anaknya, harus dihapuskan, agar anaknya
terbebas dari ‘penanda’ ini.
“Gerabah tersebut bisa dibawa termasuk air
patra utk kemudian disiramkan pada titik di antara dua bahu tersebut. Kejadian akan berulang dengan rotasi dan poros
yg berputar. Bukan pengulangan tetapi memang berada pada poros perputaran
sewajarnya poros yg berputar. Iya, kalian pasti mengenalnya (Putri
Raditra-pen). Dia masih dalam satu karsa dengan Batari Durga dan Batari Pandita
Alam. Hanya memiliki dimensi yg berbeda. Sesungguhnya, setiap sesuatu berada
pada poros dan tugasnya masing2
Anakmu menangis krn memang sdg dalam
keadaan yg menjadi bagian dr yg tertinggal di masa lalu.
Ada pertarungan batin antara dendam dan
cinta, maka akan menjadi petaka pada anak cucu berikutnya. Dialah, Dewi Gita
dgn menulis nestapa pd batu yang ada di Ankara, dekat dengan Sekta Mada. Bukan
untuk hal biasa, tangisnya akan lenyap seiring nestapa dr Dewi Durga pd Batara
Dewa, yg menghunuskan pedang dengan simbol Kamanda, di ujung batu yg berjejer
di sebelah selatan pulau Jawa. Untuk mengetahuinya, bawalah dgn Arjuna pada
Giri Loka Pakuan, yg ada di sebelah selatan. Dengan satu tibasan bisa menjadi
hal2 yg tak terpikirkan dg keadaan yg tak terduga. Lihat dan perhatikan, maka ia akan menjadi
sebuah peri di antara mawar yg bermekaran.”
…
Manusia
menyimpan banyak wajah. Wajah-wajah yang menutupi mukanya bagai topeng. Wajah
duka, wajah gembira, dan wajah-wajah lainnya. Semua menyimpan misteri,
bagaimana wajah tersbeut bisa tersimpan di dalam folder memorinya. Wajah yang
bisa muncul seketika. Wajah yang tanpa kita kehendaki tampil begitu saja.
Sehingga kadang kita malu mengakui bahwa itu adalah wajah kita. Kita selalu berlindung
di balik wajah alim kita. Menyembunyikan kepada manusia bahwa sesungguhnya kita
adalah manusia banyak wajah. Begitulah yang terjadi pada anak Mas Thole. Wajah
yang tampil dalam kesedihan sesungguhnya bukanlah memori anaknya. Namun dalam
realitas kini menjadi wajah anaknya. Dalam sklgi sering dikenal dengan istilah Dissociation Identity Disorder.
Ilmu
modern tidak mengenal apa itu reinkarnasi. Wajah yang tampil dimuka akan
dikatakan sebagai penyakit dan atau kelainan jiwa. Penderita yang mengalami hal
ini akan dikucilkan dan danggap aneh. Sngguh
tidak adil rahsanya. Siapakah yang mau terlahir dalam keadaan begitu. Gen
leluhurnya telah menyimpan banyak memori dan software-software yang memungknkan
anak ketrunan sekarang berhubungan dengan dimensi lain. Inilah anugrah bagi
orang-orang yang memiliki leluhur para raja. Tetapi bayangkan jika kita tidak
mampu mengelola kemampuan tersebut. Maka musibahlah adanya. Dia akan teraliensi
dari kehidupan manusia. Begitulah kemungkinan yang akan terjad ada diri anak
Mas Thole.
Seringkal
bagian dada sakit tanpa sebab, menangis tanpa sebab, gelisah tanpa sebab,
amarah tanpa sebab, dan bermacam penyakit psikologis lainnya datang menghinggapi.
Menjadikan raga seperti tidak berfungsi.
Tampilan luarnya menjadi sangat sensitive, pemarah, emosional, kadang sangat
rentan terhadap penyakit kulit, alergi, hormonal, dll. Maka siapakah yang mau dengan
raga seperti. Keadaan inilah yang terjadi pada anak keturunan para raja. Apakah
bukan musibah? Demikian halnya raga Mas
Thole saat kecil. Pelbagai penyakit mendatanginya, hingga Ibunya sudah putus
asa. Disangkanya Mas Thole umurnya tidak akan lebih dar 3 tahun. Maka karena sebab itulah Mas Thole
dipisahkan dari saudara-saudaranya sedari kecil. Penyakit panas seringkal membuat
Mas Thole step. Mungkin saja banyak sarafnya yang putus. Wajar saja jika dirinya
disangka gila. Biarlah itu.
Namun itu dahulu, sejalan dengan proses alam, sekarang maka musibah tersebut telah menjadii anugrah. Tentu saja itu berlaku bagi siapa saja yang mau menetapi takdirnya. Menjadi bagian dari para penyaksi.
Namun itu dahulu, sejalan dengan proses alam, sekarang maka musibah tersebut telah menjadii anugrah. Tentu saja itu berlaku bagi siapa saja yang mau menetapi takdirnya. Menjadi bagian dari para penyaksi.
Wolohualam
BERSAMBUNG..
Langit temaram..riak gelombang...dalam bukit sepi...asa bergoyang...pusaka nurani tersisa dari prabu yang seda... dan panggilan samudra...pantai pasir besi...segara sunyi...kilatan cahaya bak panggilan suci...warisan dari negeri yang hilang
BalasHapus