Kisah Perjalanan Paku Bumi (9), Menguak Misteri Kebangkitan Pajajaran (1)


Hasil gambar untuk pajajaran

“Kepada angin dan burung-burung
Matahari bernyanyi
Tentang daun dan embun jatuh
Sebelum langit (Nusantara) baru terbuka”

Nyanyian angin dan burung-burung  ini akan melatari kembali kisah perjalanan Paku Bumi.  Kisah seorang anak manusia yang meyakini bahwa pada suatu masa Indonesia akan menguasai dunia. Betapa Indonesia akan terlahir kembali sebagai bangsa yang besar. Indonesia kembali akan menguasai dunia sebagaimana nenek moyang mereka dahulu bangsa Atlantis. Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang terkenal dengan ‘spirit’ Nusantara. Sebuah kearifan bangsa yang dikenal dengan spirit, ‘Budhi Luhur’. Yah, Indonesia akan lahir dengan  spirit terbarukan itu. Menjadi bangsa baru, yang akan melahirkan gerakan pembaharuan. Sebuah gerakan  ‘Kesadaran Nusantara Baru’. Sehingga bangsa ini pada gilirannya nanti, pantas disebut sebagai Nusantara Baru.  

Bangsa ini lahir dan akan dikawal oleh para pinisepuh dan sesepuh  Pajajaran.  Bangsa yang akan besar di bawah panji-panji Pakuan Pajajaran. Inilah khabar yang di terima Mas Thole.   Khabar yang semakin mengkristal dalam perjalanan dirinya mengunjungi Gunung Prahu. Menutup keraguan yang selama ini menghinggapi Mas Thole. Walau sebenarnya khabar ini sudah jauh hari diterimanya dari  Eyang Papak. Tokoh legendaris Pasundan yang Ngahyang. Pada pertemuan saat itu Eyang Papak menjelaskan bahwa kepemimpinan Nusantara Baru akan di kawal oleh Trah Pakuan Pajajaran dan itu akan dimulai di tahun 2025. Namun entah mengapa untuk sampai kepada keyakinan tersebut Mas Thole harus mengelilingi seluruh pelosok tanah air. Entahlah kenapa? Apa karena sebab egonya sebagai keturunan darah Majapahit, sehingga ada ketidak ikhlasan dalam dirinya menerima khabar tersebut. Mas Thole merasa kemungkinan itu bisa saja terjadi.  Sebagai manusia biasa dia tidak luput dari rahsa itu. .

Era Majapahit akan diberikan kesempatan satu kali lagi bertahta di bumi Nusantara ini. Selanjutnya Pakuan Pajajaran yang akan mengambil alih sistem kesadaran bangsa Nusantara.

“Kepada angin dan burung-burung
Ku kisahkah kisah ini
Tentang Nusantara yang biru
Yang mewarnai lukisan di dinding
Sebuah hati tanpa pigura
Tergantung sendiri dan berdebu”


Dikisahkan kisah ini dengan kepedihan, sebab siapakah yang percaya ~  tentang sebuah lukisan Nusantara Baru di dinding hatinya, yang dahulu berdebu sebab tidak ada yang menengokknya. Sebuah lukisan tanpa  keyakinan (pigura). Tergantung sendiri. Sepi ! Lukisan yang sunyi dan mati!  Jauh di lubuk hatinya! Lukisan tersebut yang selalu ingin digambarkan kembali. Dalam realitas keadaan sekarang ini atau di masa datang. Lukisan yang ingin dijadikan nyata. Menjadi sebuah gambaran utuh keinginan. Sebuah laku spiritual. Sendirian di alam dimensi. Berjalan ke seluruh pelosok Nusantara. Tapa brata dalam keheningan. Banyak sekali yang menertawakan dirinya! Menistanya. Menganggap dirinya gila, penipu, dan banyak kata kotor yang tak pantas lainnya. 

Masih terus diingatnya, betapa dia terseok-seok sendiri mencoba bertahan dari gempuran penistaan dan juga hujatan. Baik melalui media sosial, ataupun energy yang dihantarkan mereka. Bisa dikatakan dalam sebulan raganya hanya normal 2-3 hari saja. Selebihnya sakit dan sulit beraktifitas normal. Mereka yang mencoba menghalangi langkah Mas Thole. Perang Kesadaran mereka kobarkan. Tidak saja dari lawan bahkan dari kawan-kawan yang dahulu menjadi teman seperjalanannya. “Biarlah pedih perih, Biar peluru menembus kulitku, Aku tetap meradang menerjang, Luka dan bisa kubawa berlari, Berlari, Hingga hilang pedih peri, Dan aku akan lebih tidak perduli, Aku mau hidup seribu tahun lagi, (Untuk Nusantaraku!). Jayalah Nusantara Jaya. Inilah negriku,  irama hatiku". Hanya angin dan burung-burung yang mengerti irama ini. “Hhh.. kenapakah sebab dirinya menyanyikan lagu ini dia di jauhi?”  Dia melangut sendiri, tak mengerti.

“Kepada angin dan burung-burung
Mengerti irama ini
Seorang lelaki yang merindukan
Nusantara  terus bernyanyi”

Lukisan tersebut benar-benar sendiri di dalam hatinya. “Benarkah lukisan itu nyata?” Pertanyaan yang tanpa irama, bagaimana mendendangkannya? Pertanyaan yang tidak pernah mampu terjawab. Sebuah pertanyaan siapakah yang mampu menjawabnya? Entahlah?!?

“Apakah angin tetap bertiup
Bersama jatuhnya daun
Apakah burung akan tetap terbang
Dilangit yang terbuka
di Nusantara ! ”

 (Ilustrasi, Kepada Angin dan Burung-burung by Franky and Jane)

Telah dibulatkan tekadnya, siapapun trah yang memimpin negri ini dia tidak peduli. Apakah Majapahit, Sriwijaya, ataukah Pajajaran. Baginya sama saja. Semua berasal dari leluhurnya. Mas Thole paham tidak saatnya lagi dirinya menganggul-anggulkan kehebatan Majapahit di banding dengan Sriwijaya atau di bandingkan dengan Pajajaran. Lihatlah bagaimana keadaan kesadaran bangsa Indonesia sekarang ini. Kesadaran bangsa yang di kawal oleh kesadaran Majapahit selama ini. Lihatlah kejadiannya. Masihkah kita jumawa?!? Baca dan sandingkanlah kisah-kisah para raja. Kemudian lihatlah sisa-sisa peradaban mereka dan bagimana energy mereka yang bertahan di alam semesta ini.  Amati dan ambilah hikmahnya. Semua dipergilirkan karena sebab kehendak Tuhan. Bukan atas kemauan mereka semata. Setiap golongan dilebihkan dari umat yang satu kepada umat lainnya. Semua dalam rencana Tuhan semata. Agar manusia mau berfikir. Ada hukum yang menyertai mereka. Ada hukum apa yang berlaku atas kesadaran manusia.


Mas Thole diam mengamati langit diatas tol Cipali. (29/12) dia dalam arah pulang ke Jakarta Hujan deras mengguyur dengan dahsyatnya. Langit demikian pekat dan gelap. Jarak pandang yang hanya 1-2 meter membuatnya waspada. Dalam langut kesadarannya terbukalah lorong dimensi tak kasat mata. Dimensi Pakuan Pajajaran mulai terbaca dalam lintasannya. Membuat suasana nelangsa di Jiwa. Mengapakah begini akhir kejadiannya. Berkali-kali dia mendesahkan nafas berat. Seperti ada beban di rongga dadanya yang belum terungkap. Kecepatan laju kendaraannya mendekati 120 km/jam. Mencoba menyelinap di balik gelap jalan raya. Alam disekitar seperti bergerak teratur.  Anehnya dirinya dan kendaraannya serasa diam. Dia diam diatas gerak sang alam. Tak hentinya hatinya terus beristigfar. Memohon ampunanNya. Jika apa-apa yang dimaknainya keliru.

Masih diingatnya, bagaimana kemarin ini dia harus memajukan keberangkatannya ke Gunung Prahu dua hari dari jadwal sebelumnya. Salah satu anak kakak iparnya mengalami kecelakaaan hebat. Motor besar yang dinaikinya di hantam truk tronton di daerah Temanggung Jawa Tengah. Rumah Sakit disana tidak ada yang sanggup, oleh karenanya di rujuk ke Jogjakarta. Sudah 3 hari lamanya dia tidak sadarkan diri. Dengan hati yang bulat Mas Thole berangkat kesana. Jarak tempuh ke Jogja yang normal hanya 12 jam, d tempuh hampir 2 (dua) hari lamanya. Sebuah kejadian yang tak biasa. Seumur hidup Mas Thole baru mengalami keadaan macet seperti itu diluar hari raya. Keadaan macet yang lebih hebat dari hari raya.

Apakah sebuah kebetulan, jika Mas Thole dipaksa harus datang lagi ke Jogja dan juga Solo. Menjadi saksi atas di tancapkan paku bumi oleh rekannya diantara dua kota ini? Sebuah pertanyaan yang wajar. Mengingat sudah 3 kota dikunjunginya, namun sesamanya di kota yang dituju dirinya seperti keheilangan petunjuk koordinat dimana paku bumi harus di tancapkan. Keyakinan begitu kuat sebelum berangkat, namun anehnya setelah tiba di lokasi tujuan seperti hilang begitu saja. Kota Donggala, Kupang, Bali, dan sekarang Gunung Prahu. Sepertinya bukan itu tempat yang harus ditancapkan paku bumi. Mas Thole sempat bimbang sendiri. Bahkan sempat meragukan firasat dan ilapat yang didaptkannya selama ini. Betapa tidak kejadian yang sama terjadi saat sudah memasuki lereng gunung Prahu. Koordinatnya seperti hilang lenyap. Tidak ada daya sama sekali untuk menancapkan paku.

Pertanyaan terus menggamit di dadanya, menimbulkan rahsa sesak. Apakah dirinya telah salah membaca pesan? Ataukah memang harus demikian keadaannya. Bahwa dirinya harus berada di titik-titik yang dimaksudkan di setiap kota. Tanpa harus melakukan prosesi apapun. Ada hikmah lebih besar yang nanti akan ditemuinya. Sebuah proses yang maha besar akan dilakukannya. Maka sebelumnya dia harus memastikan bahwa paku-paku yang ditancapkan rekan-rekannya dalam keadaan terpasang dengan sempurna. Karena sebab itulah Mas Thole dipaksa untuk datang ke daerah Jogja-Solo. Tempat salah satu paku di tancapkan. Begitu juga kedatangannya ke Donggala untuk hal yang sama. Berikut penjelasan yang sama untuk Kupang dan Bali. Semua menjadi satu rangkaian. Seperti puzzle-puzle saja.



"Jangan pernah sekali-kali menggantungkan sesuatu pada tempat atau wilayah, kordinat yang tertutup air akan tetap berada pada jejaknya"

Begitulah Mas Thole diingatkan. Sekarang sudah tidak saatnya lagi menggantungkan diri pada koordinat dimensi. Pada saat koordinat tertutup maka akan tetap dalam keadaan tertutup. Pelajarilah hikmah dari seluruh rangkaian perjalanan. Maka janganlah mengeluh atas perjalanan yang sudah dilakukan. Semua akan ada hikmahnya.


"Sekali-kali, jangan pernah mengeluh atau mengaduh, karena itu tindakan yang mengarah pada keputusasaan.
Kembalikan semua kepada Yang Maha Kuasa, Pencipta Alam Semesta"

Benar saja apa yang menjadi pemikiran Mas Thole, perjalanan paku bumi yang dilakukannya adalah sebagai satu rangkaian perjalanan untuk memasuki tahapan berikutnya. Sebuah dimensi alam yang selama ini dicarinya. Perjalanan kemarin ternyata untuk menjawab sebuah pertanyaan yang selama ini terus memburunya. Yaitu,  Jika benar bahwa trah Pajajaran yang akan mengawal lahirnya Nusantara? Bagaimanakh keadaannya dan bagaimanakah caranya mereka membantu kelahiran Nusantara? Dan jiika benar bahwa Pajajaran itu memang ada, sebagaimana keyakinan orang Sunda bahwa  Pajajaran hanya Ngahyang, maka dimanakah letak koordinatnya?  Siapakah yang bisa membuktikan keberadaan mereka itu? Tanpa mendapatkan bukti ini akan sulit bagi kesadaran manusia untuk meyakini kebenaran khabar ini. Inilah dilematikanya.

Meskipun Mas Thole memiliki pemahaman bahwa sesungguhnya mereka yang meninggal di jalan Allah tidaklah mati, mereka hidup dalam dimensi lain. Namun tetap saja panca indra Mas Thole membutuhkan bukti-bukti agar dirinya mampu dalam keyakinan yang utuh  Mereka menjadi pasukan-pasukan Allah dalam jajaran para malaikat bumi. Dan demikianlah yang terjadi pada pasukan Pajajaran. Para sesepuh dan pinisepuh Pajajaran hakekatnya tidaklah mati sebagaimana anggapan manusia biasa. Mereka tetap hidup di alam ini. Mereka sering datang kepada anak cucunya atas seijin Allah. Mereka sering membantu kesulitan anak cucu mereka. Anak cucunya saja kadang yang menafkan keberadaan mereka ini. Merekalah yang kadang disebut dalam pemahaman kita sebagai malaikat pendamping. Tentu saja mereka mampu melakukan itu sebab memang dikehendaki Allah. Allah berkehendak semau diri-Nya sendiri. Begitulah hukumnya.

Berdasarkan pemahaman tersebut, Mas Thole terus mencari petunjuk. Melacak koordinat yang bisa mempertemukan pemahaman ghaib dan realitas. Realitas yang kita lihat bukanlah keadaan yang sebenarnya. Realitas yang ada hanyalah serangkaian pengalaman manusia. Begitu juga halnya ghaib yang ada. Maka penting sekali bagi kita adalah memaknai diantara keduanya, Untuk maksud agar kita mampu menuliskan kitab kita sendiri. Inilah hakekat menjadi saksi atas kekuasaan Allah di muka bumi ini. Manusia diminta menjadi saksi atas ruang dan waktu, belajar nama-nama benda diantara dimensi ruang dan waktu. Belajar mengenai makhluk-makhluk yang bertahta disana. Maka sangat wajar jika dalam perjalanan spiritualnya Mas Thole dipertemukan dengan makhluk dimensi para dewa dan bidadari. Bahkan setan, iblis, dan lainnya. 

Berikut pesan-pesan lintas dimensi ini terus menerus hadir sebagai bagian pembelajaran Mas Thole sendiri. Sebuah petunjuk dimana letak koordinat Pakuan Pajajaran. Rangkaian perjalanannya salama ini  rupanya untu sampai ke petunjuk ini. Mas Thole pun memahami dan bersyukur sekali.

“Bismillahirrahmanirrahiim
Muji syukur ke Yang Maha Agung, segala rasa terhatur kepada Yang Maha Kuasa
Sudah saatnya Dewi Durga bekerja, menutup panca dengan catur darma.
Sekarang untuk menuju swarga, kalian harus menuju Giri Loka, karena Purbasari siap utk menjalankan tugas menunaikan amanah Yang Maha Kuasa
Sesungguhnya, manusia berada dalam kebinasaan, kecuali orang-orang yang beriman dan waspada
Ada 4 wilayah Giri Loka, tetapi pergilah pada sentra giri yg kelima. Adanya di astana sang pujangga, tempat tileum yg menapaki keheningan.
Sekali-kali, jangan pernah mengeluh atau mengaduh, karena itu tindakan yang mengarah pada keputusasaan.
Kembalikan semua kepada Yang Maha Kuasa, Pencipta Alam Semesta
Ketika Resi Agung yang menjadi bagian dalam perjalanan, maka tetapkan ia tetap bergantung kepada Yang Tinggal
Jangan pernah sekali-kali menggantungkan sesuatu pada tempat atau wilayah, kordinat yang tertutup air akan tetap berada pada jejaknya
Yakin, kepada Yang Maha Kuasa
Sari asih ada pada setiap jiwa, maka telisik kembali dengan cinta Yang Maha Esa
Untuk mengukur jaya, harus menginjak bata, yg ada pada titian di darmaloka
Bawa gerabah dengan membawa bunga kamboja dan melati pada dupa yang ada di Pasanggiri Laksana Loka, dekat dengan Batujaya
Sesuai dengan yang Kami tutur, maka semua berada pada satu sentra giri loka di astana nagara jayaperkosa ngabhureksa
Menyimpan semuanya dalam satu ikatan di sebelah selatan Sanatapura
Di sana bisa melihat wujud Pakuan Pajajaran dalam kancana darma seta
Ada banyak yang menjadi hinggap, harus tetap dengan hal-hal yang sudah ditetapkan.
Berjalanlah dengan kehendak Yang Maha Kuasa
Jangan melihat dengan mata terbuka, tetapi telisik dengan hati
Batari Durga menunggu segala titah di astanapura, segeralah ke sana bawa kendi dengan setangkai bunga kamboja dan melati dari Padepon yang ada di bawah naga
Sesungguhnya hal tersebut menjadi satu tanda perjalanan kalian akan dimulai tanpa batas yang menjadi sebuah kata
Setiap segala sesuatunya ada pada pesan-pesan yang sdh tertera. Ringankan langkah, hentakkan gelisah dengan mengingat Yang Maha Kuasa
Tapamu menjadi tapa yang tertunda, karena harus segera ke Giri Loka
Purbasari dengan Sanghyang Batari menunggu pembaktian bagi ibu pertiwi.
Dewi Durga yang akan merapalkan mantra untuk keutuhan semesta di bawah panji Kresna yang sudah ada dalam tapak sswarga
Ingat, Giri Loka ada di sebelah barak khatulistiwa, tepatnya dekat tileumnya raja kelima Pajajaran dalam darma menuju kepada Sang Maha Tunggal.
Di sana ada tanda payung angkasa dengan wujud naga dan putri Raditya Pandita Rasa
Sesuai dengan uga dalam wacana Wangsakerta
Adanya di bawah kaki naga
Seruling dan kecapi menjadi hal menarik bagi sang putri, maka itu akan menjadikannya menyanyi sepanjang hari
Tarian dan nyanyian menyambut sang putri Purbasari, menuju sang Maha Kasih, Pencipta Alam Semesta utk menjalankan darmanya dengan titah menjadi sang pertiwi yang gumati kepada Sang Hyang Widie dan Tuhan Ilahi Rabbi
Pasukan langit akan membantu kalian, tetapi tetap atas titah sang putri yang menjadi utusan dari Kahyangan
Seluruh alam akan membantu kalian, berjalan dan bergeraklah dengan tenang. Ingat Tuhan, yang akan selalu menyertai langkah-langkah mwkhluk yang beriman”.

Subhanalloh, rangkaian ‘Jejak Pakuan Pajajaran’ telah terbaca. Apakah hal ini bermakna? Tentu saja bagi yang tidak meyakininya, kisah ini hanyalah dongengan semata. Mas Thole sadar betul akan keadaan dirinya. Jika dia sampaikan kepada khalayak, maka jatuhnya hanyalah hujatan dari orang-orang berilmu yang  akan datang kepadanya. Mereka akan mempertanyakan referensi apa yang di gunakan Mas Thole. Kemudian selanjutnya akan mempertanyakan apa kasta Mas Thole. Banyak sekali syak dan prasangka, termasuk kredibilitas Mas Thole selama ini. Sungguh ribet sekali kesadaran disana.  Mas Thole tidak mau begitu.

Terlepas apapun caranya itu. Setiap orang memiliki ilmu masing-masing. Mas Thole juga memiliki methodenya sendiri untuk membuktikan kebenaran khabar akan datangnya kebangkitan Pajajaran Baru. (Yaitu) Bangsa yang senantiasa bersandarkan kepada kesadaran 'Ingat Allah'. Bangsa yang akan senantiasa berdiri sejajar dengan bangsa lain dan juga keyakinan-keyakinan lain di bumi nusantara ini. Maka keyakinan atas hal ghaib seperti ini tidak selayaknya diperdebatkan. Biarlah semua sama-sama menunggu. Khabar manakah yang akan mendekati kenyataan. Maka biarlah menjadi urusan Tuhan dalam menjelaskan kepada manusia hal ghaib seperti ini. 

Sudah cukuplah bukti bagi Mas Thole untuk meyakini kebenaran ini. Maka tidak perlulah bagi dirinya berdebat dengan orang lain. Bagi yang tidak meyakini toh tidak apa-apa dan bagi yang meyakini juga sama saja. Keyakinan ini tidak akan mengurangi ataupun menambah amal kebaikan baginya. Allah hanya akan menilai ketakwaan setiap hambaNya bukan karena sebab adanya keyakinan atas kebenaran bangkitnya Pajajaran Baru ini. Maka buat apa saling berseteru mempertahakan pendapat dan keyakinan perihal ini? Khabar ini hanya bermanfaat bagi yang mampu mengambil hikmah atas rangkaian kejadian penciptaan manusia. Bagaimana kekuasaan dipergilirkan. Yaitu orang-orang yang mau berfikir.


Mobil yang dikendari Mas Thole memasuki kota Jakarta. Hujan yang dilewati begitu menggiriskan sekali. Dingin seluruh tubuhnya. Keanehan yang menjadi tontonan yang biasa bagi Mas Thole, jika langit gelap dan hujan lebat dan di seratus meter berikutnya terang benderang. Jalan raya kering seperti belum pernah ada hujan setahun ini. Melaju di kilometer berikutnya sama saja. Maka sepanjang perjalanannya, sungguh adalah misteri. Memasuki dimensi yang sulit dikisahkan bagaimana suasana jiwanya. Realitas dan ghaib sudah menjadi satu keadaan. Apakah dirinya yang nyata ataukah alam ini yang nyata, ataukah tidak keduanya. Ataukah bahkan semua ini ghaib adanya.

“Ingat, Giri Loka ada di sebelah barak khatulistiwa, tepatnya dekat tileumnya raja kelima Pajajaran dalam darma menuju kepada Sang Maha Tunggal.”

Inilah rangkaian pesan yang terbaca, Mas Thole memantapkan diri menuju kesana. Menguak ‘JEJAK PAKUAN PAJAJARAN’.


Wolohualam

Komentar

  1. Semoga perjalanan dimudahkan, ikut berdoa sekaligus menyimak perjalanan.

    BalasHapus
  2. Raksa dipa...sang raja biru...berdiri tegar dalam lingkaran... berjaga api adhi luhung...menimang pusaka ksatrian...kala fajar menjelang...ditimang purnama sari...kala fajar datang...kala masa tiba

    BalasHapus
  3. Hari ini adalah masa membangun, mengumpulkan puing-puing yang telah berserakan, menyambung rantai-rantai yang telah pecah,namun dalam keadaan miskin dan serba kekurangan para pasukan harus tetap siap siaga untuk menyambut perang besar antara Panglima Cahaya VS Panglima Kegelapan, walaupun jiwa-jiwa cahaya masih belum bersatu terhijab realita kehidupan yang membius sehingga hilang kesadaran diri. inilah sebuah kegetiran .... namun tak sedikitpun rasa takut di hati karena selimut Sang Illahi selalu menghangatkan kami.

    Panglima cahaya dengan tongkat sebagai senjata melawan Panglima kegelapan dengan pedang sebagai senjata, sungguh garang dan berang wajah panglima kegelapan beda dengan panglima cahaya yang sangat teduh penuh cinta.

    anjing-anjing perang kegelapan sangat ganas dan lapar, tapi kami tidak takut pasukan Malaikat telah di siapkan untuk membantu, walaupun kami tidak bergantung kepadanya, kami hanya bergantung kepada Allah.

    tinggal menunggu waktu ....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali