Kisah Spiritual; Daun Yang Berhimpun (2)


kursi-taman-daun-berguguran.jpg

Daun daun telah berhimpun. Kepakan sayap kupu-kupu telah menjadi angin puting beliung yang secara perlahan menggugah kesadaran. Perlahan namun pasti  ‘kesatria piningit’ mulai bangkit, menggeliat di dalam kesadaran bangsa ini.  Gelombang demi gelombang pemikiran mulai mendampari ‘kesadaran’, begitu riuhnya dunia maya dengan aneka persoalan Dan energi kesadaran ini terus menyelusup,  menyeruak di tengah hiruk politik negri ini. Bangsa ini mulai bertanya, “Siapakah jatidirinya”. Lihatlah berita sore dan berita pagi,  satu demi satu anak anak negri ini mulai tergugah kesadarannya. Tidakkah ini membanggakan?

Maka diantara semua itu jika kita perhatikan sudah semakin banyak orang mulai berani menyuarakan  ide untuk kembali melihat kearifan lokal. Kesadaran atas bangsa ini sudah mulai terbangkitkan. Manusia mulai memperbincangkan, “Siapakah leluhur bangsa nusantara ini”. Disana sini mulai  muncul kepedulian. Pekikan demi pekikan kini mulai nyata.  Betapa inginnya Mas Thole menangis. Sungguh perjuangannya tidak sia-sia.  Inikah yang Kami janjikan. Bangsa ini mulai tersadarkan  atas siapakah jatidirinya. Meskipun masih sayup suara kesadaran ini. Meskipun masih lemah sang kesatria ini. Setidaknya keyakinan ini telah terbukti. Kebangkitan ‘kesatria piningit’ hanyalah soal waktu saja.

Namun masih ada saja yang dirasakan belum selesai. “Ada apakah dengan perilaku beragama?”   Perilaku yang setiap hari kita saksikan di layar kaca. Yah, ada apakah? Pertanyaan yang tidak pernah tuntas terjawabkan. Tidakkah semua agama mengajarkan kebaikan? Tidakkah semua agama bicara perihal kebenaran? Tidakkah semua agama mengedepankan kasih sayang? Namun apakah yang kita saksikan? Sungguh sulit memahami polah manusia. Kadang begitu amat sangat sensitif, hingga mereka begitu telengas. Semua mengaku benar dalam kebenaran, sehingga berupaya menafikan kebenaran kebenaran lainnya. Kebenaran seperti apakah yang diperebutkan. Bukankah kebenaran yang dibela lebih mendekati pembenaran atas apa apa yang mereka lakukan. Bukanlah kebenaran sebagaimana keadaan yang benar. Adakah yang tersadarkan atas fenomena yang anomali ini?

“Seperti berada pada bola balon bekel, ketika melihat suatu tempat atau daerah sebagai poros, maka sesungguhnya ada banyak titik poros lainnya. Membentuk dalam suatu sistem dengan mewujudkan ilah seperti menyimpan persepsi yang terus dikabarkan, maka itu yang akan menjadi pembenaran.  Bila semua mengaku benar dan yakin, maka sesungguhnya tidak mesti ada aturan role kebenaran, karena masing-masing merasa benar. Ketika terus digambarkan sebagai paradoksial, maka letaknya pada keambiguan, yang akan menjadi semua sistem benar. Maka kebenaran pun akan abstrak dan menjadi tidak benar bila berhadap-hadapan.

Maka terang dalam menjadi suatu tolak ukurnya bukan hanya pada suatu sikap atau perkataan, semua akan menjadi bagian dari yang tak terelakan.  Kebenaran yang menjadi hal dari keadaan, seperti konsep pandangan pada suatu keyakinan yang menjadi besaran. Suatu keyakinan yang memancar dengan berbagai hal, maka itu akan menjadi hal yang terus menerus benderang.  Suatu hal yang akan menjadi rangkaian dari identitas itu bukan pengakuan akan kebenaran, tetapi perjalanan hidup yang berlaku dengan benar.”

...

Mas Thole tertegun, tidak ada yang bisa dilakukan jika kemudian alam merespon  dengan cuaca yang begini. Begitulah alam bersapa dengan manusia. Semua sangat nyata dan mudah terbaca. Namun pertanyaannya "Apakah manusia siap membaca perrtanda alam ini". Adakah yang mau meluangkan waktunya untuk berfikir. Berfikir ada apakah dengan alam ini. Para leluhur tlatah timur sudah mengkhabarkan keadaannya. Mereka sudah menyiagakan pasukan. Tanda tandanya akan turun sebagai hujan, angin, dan juga pertanda alam lainnya. Secara kasat mata adalah anomali alam. Secara tak kasat mata adalah benturan energy yang membalik dari seluruh lapisan. Secara hikmah kesadaran adalah perang dalam dimensi kesadaran manusia. Perang menang dan kalah, kemudian jika kesadaran menang maka munculah perilaku yang ber ketuhanan dan jika kesadaran kalah maka muncullah perilaku perilaku penyimpangan. Menyimpang dari perlaku manusia.

Mengapa demikian? Yah, perilaku yang muncul adalah perilaku entitas kesadaran, di alam dimensi makhluk kesadaran menjadi sebuah kewajaran. Semisal perilaku yang ditunjukan oleh hewan hewan saja. Wajar dalam dimensi hewan. Apakah perilaku tersebut patut bagi manusia? Sangat sedikit manusia yang menyadari keadaan dirinya. Benturan kesadaran adalah menyoal eksistensi makhluk kesadaran di ruang kesadaran manusia. Siapakah yang eksis di alam semesta ini? Adalah mereka mereka (mahluk) yang eksis di dada manusia. Eksistensi inilah yang menjadi persoalan setiap makhluk. Eksistensi yang kemudian berujung kepada benturan-benturan kepentingan diseluruh lapisan dimensi. Benturan kesadaran manusia yang  'berperikemanusiaan' dan benturan dengan mahkluk kesadaran  yang 'tidak berperikemanusiaan'.

“Allahu akbar. La ilaha ilallah. Asyhadu anna muhammadarrasulullah. Sesungguhnya setiap diri memiliki niat masing-masing yang tak dapat dipungkiri bisa saling bersinggungan satu dengan yang lain. Jejak sang bumi telah mencatat semua peristiwa dalam niskala, maka sesungguhnya niskala berada pada pradadya mukta yaswa. Ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian, bahwa semua hal memang akan terjadi dan pasti terjadi. Itu sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesungguhnya semua itu ada pada titah Sang Maha Kuasa. Maka utk menangkal vibrasinya pada lintasan energi yang bersinggungan dengan diri, bisa dengan membaca Allahu Akbar, allahu akbar kabirawwalhamdulillahi katsira, wasubhanallahibukrata wa asila. Allahu Akbar. Rangkaiannya ada pada dada, yang neletakkan jiwa dengan segala benua rasa. Itu ada di antara dua kutub yang berbeda, satu menjadi perpaduan dengan dua hal yang nyata.”

Raga Mas Thole harus sering limbung berkali-kali manakala kesadaran dihantam. Dalam sebuah ekosistem maka akan selalu ada keseimbangan. Sistem akan menyediakan kebutuhan manusia akan air, udara, dan juga kebutuhan lainnya. Demikianlah sistem pertukaran energy. Manusia mendapatkan energy semisal manusia mendapatkan O2. Sistem akan memproses Co2  menjadi O2 untuk kebutuhan manusia. Oleh karena sebab itu sistem  menyediakan hutan belantara dengan aneka pepohonan. Pohon-pohoin itulah yang disediakan alam untuk melakukan proses fotosintesa, dari CO2 yang beracun akan dihasilkan O2 yang bermanfaat bagi alam. Siklus CO2 menjadi O2 adalah siklus yang terus menerus harus terjaga dan dijaga oleh makhluk yang berkesadaran. Jika tsampai siklus ini terganggu maka hancurlah tatanan ekosistem alam semesta.

Demikianlah halnya yang terjadi pada energi kesadaran. Energi yang menjaga agar manusia tetap dalam keadaan sadar harus selalu ada.  Sehingga sistem  harus menjaga proses ini sedemikian rupa sehingga energi kesadaran tetap dalam keseimbangan. Harus ada entitas yang mampu menjadi pohon,  yang mengolah energi hitam menjadi energi yang siap digunakan. Energi hitam harus diolah  menjadi enegi terbarukan untuk mensuport kehidupan bagi makhluk alam kesadaran lainnya. Inilah rangkaian siklus energi kesadaran. Dibutuhkan manusia-manusia yang sadar yang bersedia menjadikan dirinya itu seperti pohon yang mengolah CO2. Sehingga energi dapat bersiklus sebagaimana mestinya. Para wali, para nabi dan  manusia suci adalah semisal pohon tersebut. Mereka senantiasa harus melakukan kontemplasi dan meditasi mengolah energi-energi alam agar bisa digunakan makhluk lainnya.

Tugas makhluk kesadaran adalah mengloha energi ini. Demikianlah keadaan Mas Thole, Sudah berbulan bulan keadaannya demikian. Tubuhnya menjadi seperti pohonj yang menerima racun CO2 dan kemudian diolah menjadi O2. Proses ini benar-benar menyakitinya. Sakit yang berkepanjangan di sepanjang hidupnya.

“Tapi, lalu ada yg berkata, lalu apa itu kesadaran? Ketika setiap orang merasa sudah berkesadaran. Seperti halnya kebenaran, setiap orang merasa benar. Maka, apakah ajaran tidak diperlukan? Atau hal yang paling jelas, apa tugas dalam pengutusan seorang utusan? Atau apa yang menjadikanmu dilahirkan kembali sekarang? Setiap hal ada pada bagiannya masing-masing, memang benar, seyogyanya dia menjalankan tugasnya sendiri. Perpaduan data yang mengusung kebenaran memang betebaran, maka itu seperti data ketika menemukan tapak sejarah yang berserakan, apakah itu kebenaran? Ya, swcara bukti telah dihantarkan, tetapi secara jiwa itu gersang. Apalagi bicara tentang keutuhan sebagai insan.”

Manusia (Al-'Insān):1 - Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Manusia (Al-'Insān):2 - Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

Manusia (Al-'Insān):3 - Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

...

Tarikan itu semakin kuat, agar Mas Thole menyambangi saudara sepuhnya di bumi Sriwijaya. Pusaran kesadaran telah menggerakan iklim. Membersihkan kota-kota yang disinggahinya. Maka kini sudah saatnya Mas Thole melangkah ke luar. Namun mengapakah kesadarannya menjadi berbatas. Mengapakah sulit sekali kaki beranjak kesana.?

“Sesungguhnya, yg menjadi batas, itu bukan batasan. Ada banyak hal yang dapat dilakukan. Pergilah ke barat, mencari sang pujangga, yang hidup dalam dekap malam, dan menemani siang dengan segala anugerah dari Tuhan.
Tandanya ada di kedua tangannya, maka kamu akan mengetahui.

Barat bukan lagi menjadi penanggulangan, tetapi babak baru yang sudah lama dimulai, maka mulailah dari sana, maka kamu akan menemukannya, Sakuntala

Segenap rasa dalam satu perjalanan, menjadi bagian dalam kehidupan yang menjadi sumber dr suatu perjalanan. Itu ada di bagian bawah kaki jaman, letaknya di sebelah selatan batu karang

Jauh sebelum menerjang rangkaian berbagai hal, ingatlah pada medang, yang memegang perabab pada perjalanan peradaban yang diketahui dalam catatan. Adapun yang tidak tercatat, akan Kami lukiskan dalam gurat waktu dan sepuhan awan.”

"Ada banyak hal yang menjadi titah pada bagian yang tak terelakkan. Antara cinta dan kebencian, antara sengsara dan kesenangan, antara durjana dan duryamanggala. Seumpama semua berpasangan, tak mesti hilang dengan satu tujuan, dengan rasa yang berbeda tautan, pada kedua sisi dengan segala hal yang menjadi dasar. Setiap hal itu ada bagiannya, seperti langit yang menunjukkan bagian dari sebuah rembulan, dengan segala fenomenanya, menunjukkan akan identitasnya tentang bagian dari alam

Jangan kau hentakkan begitu saja tanpa alasan tentang suatu hal yang meragukan, padahal itu bagian dari perjalanan. Seumpama semua berada pada lintasan edar, maka itu menjadi hal yang nyata dan terus menjadi bagian yang tak terelakkan pada beberapa kegiatan yang menunjukkan bahwa ada dengan segala senantiasa

Aku ada pada jiwa-jiwa yang memang hadir untuk Sang Maha Pencipta.”

...

Masih adakah waktu, jika biru kini merenda semua kelu. Bilakah semu menjadi jemu. Kesadaran menjadi nisbi dalam keterikatan. Sungguh bila saja  waktu, Ah...bila saja semua seindah lagu. Nusantaraku biru laut. Birunya rindu yang terlalu berharap. Bertanya dimanakah kesatria biru. "Adakah di dada bangsaku?"


Manusia (Al-'Insān):30 - Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


Salam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali