Kisah Spritual; Yang Dalam Gengaman
Bertahun
tahun sudah menetapi perjalanan spiritual ini. Jika kemudian singgah sejenak
untuk menetapkan diri dalam realitas terkini, bukanlah maksud diri menghindari
panggilan Ibu pertiwi. Yah, siapakah yang tidak akan mengalami kejenuhan jika
dalam waktu yang lama sekian tahun perjalanan nyatanya tidak mendapatkan apa yang
diyakini, sebagaimana kisah kisah dalam
mitologi. Kehidupan yang dijalani masih saja sama. Bangun pagi pergi berangkat
mencari nafkah menyusuri hiruk pikuk dan dinamika kota. Berhimpitan di dalam
gerbong yang penuh manusia. Hari demi berhari berganti dan berulang lagi dalam
ritme yang sama. Tidak ada apa apa dalam realitas hidup itu sendiri. Maka wajar
saja jika rekan seperjalananya banyak sudah yang mengundurkan diri. “Apakah yang dicari?” Mereka bertanya tak
mengerti. “Benarkah ramalan kebangkitan itu
akan terjadi?”
Bulan
tersenyum lembut diatas langit sana.
“La
Ilaha ilallah
Allahu
akbar
Asyhadu
alla Ilaha ilallah WA asyhadu Anna muhammadarrasulullah
Perjalanannya
belum selesai. Lanjutkan dengan tirakat 3 hari di Gunung Lawu, untuk menuju hal
tersebut tidak perlu merasa itu sebagai suatu ketetapan yang harus dikerjakan
seketika.
Berjalanlah
dengan tenang, karena yang dibutuhkan bukan penyegeraan, tetapi penyerahan
total kepada Yang Maha Kuasa
Arya
Dipta Wahyu Kencana ada di sana, sedang menunggumu untuk menjalankan diskusi
tentang waktu
Ya,
waktu yang menalumu menjadi seperti itu. Sesungguhnya itu jangan kau sesali
dalam perjalanan ini, karena waktu berada pada fungsi dan tugasnya sendiri.
Ingatlah,
bahwa perpaduan waktu dan keadaan akan mengajarimu tentang artinya kebahagiaan
dan kesuksesan.
Syukur
menjadi bagian perjalanan, yang akan mengantarkanmu pada keadaan yang
menghalanginya dengan segala rencana dan bencana
Itu
ada pada setiap keadaan yang mencerna setiap perjalanan
Sekian,
dari Ratu Kancana Ungu”
Angin
diam sebentaran, memberikan kesempatan kepada Mas Thole untuk bernafas.
Kesadarannya terus menjelajah memasuki portal demi portal. Menandai apa saja
disana. Berusaha memecahkan misteri penciptaan manusia yang tersamarkan ambisi
ini. Menjawab seperti apakah sebenarnya yang sedang dan akan terjadi di negri
ini. Mengapakah anomali satu demi satu dinampakanNya. Benarkah itu sebuah
pertanda akan kebangkitan? Mengapakah satu kelompok dan kelompok yang lainnya
terus bertentangan. Seperti ingin mengobarkan perang.
Kebenaran
siapakah yang mesti dipertahankan. Semua golongan merasa harus dimenangkan.
Mayoritas dan minoritas dua kubu yang merasa berhak atas kebenaran. Keadilan
yang sama atas klaim kebenaran menjadi
momok bersama. Padahal sesungguhnya referensi yang tak sama itulah yang menjadikan
manusia bergolong golongan. Bukankah keadaany sesungguhnya kebenaran itu sendiri
yang telah di golong golongkan oleh
manusia? Sehingga mereka kebingungan meletak pondasi bangun kesadaran atas
kebenaran bagi satu dan lainnya. Kebenaran akhirnya diletakan atas perbedaan fisik
dan kondisi manusia. Manusia yang tidak
sama dengan kelompoknya itulah yang salah. Padahal semua dimulai dari pemikiran
yang tidak sama.
Dan
keadaannya sekarang sudah sampai kepada tingkat mengkhawatirkan. Ketika
kehadiran menjadi penjejak keinginan, lihatlah pada muaranya. Manusia tampil
dengan rasa sakit yang dibuatnya sendiri sebab makna yang diyakininya sendiri
atas kebenaran menjadi duri yang menusuki jiwa mereka. Sesungguhnya tiadalah
yang menistakan manusia. Manusia itu sendiri yang menetapkan kriterianya. Benar
dan salah adalah bangun kesadaran akal yang selama ini dijadikan rujukan
bersama. Sehingga manusia berebutan kekuatan untuk mengatas namakan sebagai ‘benar’ sehingga yang lainnya salah. Mereka suka dengan penghakiman itu. Walaupun sesungguhnya
itu sudah keluar dari hakekat kebenaran itu sendiri.
“Sanghyang
watu niskala
Sang
kala durja nistana
Sang
badra karyu rambaka
Trisula
Aryupeda
Jatnaning
asih jatnaning ragi
Jatna
kusama astu wityakrama
Agung
bumi, rahyagung Mukti
Agung
Muti, rahyagung Ratri
Satya
manunggal wastu jati, satri ayi laksa badri
Seumpama
ada yang berbicara tentang kehidupan yang seutuhnya, sesungguhnya hidup yang
sedang dijalankan adalah perjalanan yang seutuhnya, pencapaian semesta dalam
menetapkan langkah pada kehidupan yang sesungguhnya.
Bila
ada yang mengatakan hidup dalam kamuflase semata, itu bukan dari kehidupan yang
mengajarkan kebenaran, karena itu ada atas kehendak Tuhan. Penetapan yang
terjadi bukan suatu kebetulan, pergerakan langit dan bumi bukan hanya kehendak
seseorang, itu adalah fakta bahwa dalam pergerakan ada pada jiwa-jiwa yang
menjadi bagian dari alam semesta.
Semua
yang menjadi fakta, sesungguhnya itu bukan samsara, itu ada pada bagian yang
tertera.
Injak
kan kaki di bumi Sriwijaya dengan hati lapang dan luas, perjalanan tak sebatas
oleh kerajaan.
Tapi
dapat menjadi penyatu dengan keimanan.
Sesungguhnya
banyak hal yang menjadi pelajaran, tak mesti menjulang menggapai langit jingga,
bila sebiji kurma tak dapat terpecahkan dalam pemaknaan kehidupan
Seumpama
semua itu, maka lihat pada setiap hal yang sudah tertera.
Yakinlah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanpa bukti ataupun kira-kira
Karena
itu hanya menjadi ulah baru dan kesombongan diri yang merasa maha suci.”
“Sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian. Ketika semua menjadi bagian yang mempertanyakan
kehidupan, tanpa tahu bahwa dirinya sendiri memiliki jawabannya.
Ketika
waktu yang menjadikanmu pandu, sesungguhnya itu menjadi sebuah tali yang bisa
putus atau lepas kapan saja.
Ketika
semua merasa menjadi sekutu, padahal itu bukanlah yang dimaksud dengan
sosialisasi kehidupan yang sebenarnya.
Tak
ada raga dan jiwa yang menyatu tanpa kehidupan. Maka, bersyukurlah kalian yang
menjalankan kehidupan dengan kesempurnaan.
Ingat,
tak ada yang paham tentang sejatinya kehidupan. Ribuan abad silam ‘aku’ berada
pada masa tak seorang pun menghiraukanku, dalam titik setiap diri mengaku
sendiri, maka itu sekutu dalam kesendirian menuju hal yang tak diinginkan.
Seumpama
manusia yang banyak bertanya, aku pun melakukannya, bahwa hidup bukan sekedar
untuk memecah batuan, tetapi ada banyak penjabaran yang menunjukkan bahwa bukan
hanya batu keras yang kau taklukkan, tetapi ada banyak kekerasan yang
menyerupai jiwa yang tak bermakna.
Ketika
semuanya menyatakan kehidupan, maka itu ada pada rangkaian kehidupan.
Jangan
bilang kau tak mengenal Tuhan, kau menyebutnya setiap saat, tetapi kenapa kami
harus memanggilnya sebagai hai orang-orang yang tertutup (kafir).
Bukan
penutup yang menunjukkan itu kegelisahan jiwa, sehingga menuju pada kehidupan
yang menjadi bagian dari perjalanan.
Sekian
dari latar belakang yang menyebut dirinya bertuhan, padahal bukan itu yang kami
maksudkan. Dalam derapnya menyimpan sejuta keinginan, yang tak tersusun pada
setiap tingkatan kahyangan.
Ketika
perasaan kebenaran berada pada genggaman masing-masing orang tanpa melihat satu
sama lain, benarkah itu kebenaran?
Tanpa
menyakiti, tapi menyakiti. Tanpa rasa menghina, tapi mencela. Kesadaran pun kau
genggam sendiri serasa paling sadar, maka jangan mencela Firaun mengaku tuhan, (tapi)
tidak sadarkah banyak manusia berada pada posisi tersebut. Aku melebur dengan
pengakuan yang mengaku, silakan itu menjadi suatu petunjuk dalam satu sapuan
tuduh. Hanya itu yang akan melelahkanmu. Tuhan berada pada buih lisan, tanpa
tahu Tuhan itu sendiri.”
Salam
semua sudah benar adanya, sesuai dengan kehendak Tuhan
BalasHapustiada selembar daun yg jatuh tanpa kehendakNYA
Sebuah proses pada bumi shambara