Kisah Spiritual; Jejak Bumi Jawa (2)


Hasil gambar untuk mataram kuno

“Bumiku adalah ragaku, bumiku adalah rasaku, bumiku adalah.. adalah kehidupanku. Semua adalah jiwa ragaku. Tiada awal dan akhir, bukalah kesadaranmu lahir batinmu, semua  tercipta untuk di pahami di kenali ...”

Bumi Jawa kembali di goncangkan sebuah lakon sedang dimainkan oleh sang sutradara.  Di tahannya tokoh yang kontraversial mengingatkan diri kita dengan sejarah peradaban kelam anak manusia. Kita pernah mendengar di hukum matinya Al Halaj karena sebab keseleo ucap. Kita juga mendengar kisah di ekseskusinya Syech Siti Jenar karena sebab menyampaikan sesuatu keyakinannya. Semua menjalani pola dan lakon yang sama dengan lay out dan back ground peradaban yang berbeda.  Ceritanya itu itu saja. Dan kemudian kita dapat saksikan kesudahannya, jauh setelah kekuasan berganti masa.

Kita lihat bersama, kemenangan bagi orang orang yang memiliki keyakinan atas dirinya dan atas  adanya kekuatan di luar dirinya yang akan membantunya. Begitulah sejarah mengajarkan kita. Tidak ada menang dan kalah, salah dan benar. Semua berusaha memerankan peran sebaik baiknya. Penggemblengan batin bagi para pelaku. Sebuah anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sayangnya ini sering dimaknai musibah. Sehingga kita menyikapinya dengan keliru.  Semua pelaku sejarah adalah orang-orang yang sudah siap menjadi pemeran utama dalam sebuah skenario besar perubahan peradaban bagi manusia.

Kita dengar kisah-kisah kepahlawanan dari seluruh pelosok bumi. Kita dengan kisah Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan banyak lagi tokoh lainnya yang harus mati membela keyakinan dirinya. Galileo galilea mati ditiang gantungan demi ilmu pengetahuan. Banyak nabi dan juga tokoh tokoh pembaharuan mengalami nasib yang sama. Rosululloh juga di usir dan dikejar kejar. Semua pelaku perubah peradaban, mengalami hal sama. Mereka terlunta-lunta, disia siakan oleh masyarakatnya. Penderitaan mereka terima, hanya demi memperjuangkan keyakinan diri mereka.

Sebenarnya bukan menyoal benar dan salah dengan  keyakinan dan ketidak yakinan mereka yang bersiteru. Bukan pula menyoal menang dan kalah. Namun alam sedang menguji, lebih seberapa kuat mereka bertahan dengan keyakinan yang mereka anggap benar. Keyakinan yang lebih kuatlah yang akan memenangkan peperangan ini. Begitulah keadaannya. Perang kesadaran selalu akan terjadi disetiap masa dan juga disetiap kaum. Peparangan yang akan menghabiskan sumberdaya dan energi. Peperangan ini tidak memandang agama., ras atau golongan. 

Semua orang berkepentingan atas  keyakinan diri mereka. Keyakinan yang  akan mengalami pasang surut. Sebenarnya tidak ada yang sia sia, dengan semua dihadirkan. Semua menjadi pembelajran agar kita mampu membuka mata kita. Bahwa sesungguhnya ada yang salah dengan arah kesadaran bangsa ini. Inilah yang Mas Thole pahami atas tragedi yang tengah melanda bangsa ini. Dua kubu yang berbaku, saling berseteru.,saling menalu, dan saling memaku kebencian. Tidak ada satupun yang mau mengalah. Semua mengutarakan rasa keadilan yang terusik. Semua berkata perihal rahsa ini. Namun adakah yang pahami, siapakah yang menyusupkan rasha itu kepada mereka semua? Hhh...rasanya sangat sedikit yang memahmi ini.

Manusia saling menyakiti, satu sama lainnya berdoa memohon keberpihakan Tuhan. Memohon agar disegerakan azab. Kebencian yang melatar belakangi doa doa mereka. Energi kebencian ini sangat menyakikan bagi makhluk antar dimensi. Para sanghyang dan para dewa yang hidup dari siklus energi merasa paling sangat khawatir atas kesadaran manusia. Orang orang jawa yang dahulu sangat pemaaf, mejadi beringas bahkan telengas. Sifat yang santun berubah menjadi sangat penista dan penuh prasangka. Kebencian yang sulit di pahami oleh makhluk dimensi. Mengapa manusia merebutkan sesuatu yang sudah menjadi kepastian Tuhan. Tidak maukan mereka bersabar atas ketetapanNya?

Manusia kemudian menista sesamanya, mendoakannya agar azab menimpa. Kemudian dengan arogansinya mendakwa bahwa orang yang tidak disukainya adalah ahli neraka. Betapa miris hati Mas Thole, sedemikian murahnya harga neraka. Langit serasa mau runtuh, makhluk alam semesta lintas dimensi geegap gempita melihat ulah khalifah mereka yang memimpin bumi ini. Begitu mudahnya manusia menjatuhkan dakwaan dan putusan atas diri manusia lainnya. Siapakh sebenarnya yang lebih durhaka? Mas Thole harus menahan raganya yang terpapar energi makhluk dimensi. Mereka semua memprotes mulut manusia yang dengan mudahnya mengumbar perkataan. Tidakkah manusia menyadari bahwa mulut mereka adalah putusan bagi yang lainnya? Sungguh siapakah yang durhaka atas diri manusia?

“Seumpama langit menjadi terbelah, banyak yang bercakap ini ulah hamba yang durhaka
Semua menista tanpa cela, bahwa dia makhluk yang durhaka
Betapa tidak, Allah Maha Tahu Semua
Jangan pernah mencela, aku yang tau segala, menjadi tanda akan keberadaannya sebagai makhluk yang terpercaya.
Tidak, sesungguhnya manusia berada dalam kehinaan, bila berpendapat demikian
Keangkuhan yang menjadi cikal bakal adanya pengakuan bahwa diri lebih baik dari makhluk lainnya
Padahal sama, tidak ada yang nestapa
Semua berjalan dengan takdirnya
Bila kamu menghina, maka itu sesungguhnya penghinaan berada pada diri mereka
Bila kamu mengagungkan diri sebagai yang terpuji, maka kamu berada pada derajat yang paling nestapa
Seumpama laksana Sang Maha Karya, tidak ada yang mendapatkan penganiayaan, kecuali balutannya itu memang disengaja
Jangan pernah merasa (yang lain) paling durjana, karena itu telah menghina keberadaan Yang Maha Kuasa
Seutuhnya semua berada pada satu rangkaian yang menjadi paduan di antara dua hal yang menjadi perpaduan
Seumpama semua sama, itu berada pada rangkaian yang menyebut diri mereka seperti ada dalam kebinasaan
Sayang banyak yang tidak paham, namun itu memang suatu pelajaran dan perjalanan
Bukan Kami yang menutupinya, tetapi mereka yang melingkupi keegoisan dalam balutan yang menghambat pertemuan
Jangan pernah menghina, karena itu hal yang gegabah dilakukan, seumpama langit terbelah, maka itu atas kehendak yang Maha Kuasa”

...

Situasi alam kesadaran yang sudah semakin tidak terkendalikan, menjadikan Kami kembali mendatangi Mas Thole untuk mengkhabarkan bahwa energi alam telah terpolarisasi dan itu menjadi pertanda bahwa jaman panggebluk sudah di depan pintu. Mas Thole diminta untuk segera memasuki alam kesadaran kembali. Realitas yang ada harus mulai ditinggalkannya. Sudah tidak ada waktu lagi.

“Polarisasi ada 5;
Berkenaan dengan suatu hubungan yang membentuk circkle, sehingga terlihat menjadi bagian yang utuh
5 yang membentuk siklus kehidupan. Ini pesan yg di Gunung Cibodas, bukan yg polarisasi
Saya, Dharmawangsakerta nusa jaya bakti, nama saya Sang Jagat Nata, atau Rakean Tunjung Sari, Pangliparna Aji Sakti
Saya bagian dari yang tertera dan tersirna dengan segala keadaan yang ada. Bahwa sesungguhnya ada beberapa hal yang akan menjadi penyebab kehancuran alam semsesta
Mulainya bukan jauh dari ujung alam semesta, atau percikan dari langit yang membakar bumi
Sesungguhnya kehancuran itu berada pada sanubari jiwa, yang semestinya menghadap pada Yang Maha Kuasa, malah tergoda dengan segenggam rasa yang tersimpan di pelupuk mata
Sesungguhnya ada banyak hal yang menyebabkan kehancuran itu, rasa tanpa rahsa, dan duga tanpa durgha.
Semua mengerucut pada jiwa-jiwa yang nestapa. Dia ada dengan segala daya, namun sayang sia-sia tanpa kuasa
Sang Maha Daya, telah menciptakan semua dengan segala energi yang menyertainya, namun sayang sering terlena dengan berbagai hal yang ada pada daun telinga
Pelupuk mata menjadi hiasan tanpa warna, semua sirna dengan tertutup jiwa
Polanya berbeda-beda, tetapi semua hampir sama saling keterkaitan
1. Wudya
2. Dharma
3. Snakala
4. Sighla
5. Shikyala
Segi lima tersebut akan membentengimu dari marabahaya”

...

Berjalan dengan kesendirian di realitas yang demikian ramainya, sungguh sulit sekali. Panca indera terpaksa harus membaca berita. Entah itu di koran, di medsos, dan dimana saja tulisan mampu terbacu. Tulisan yang berisi hasutan dan ujran kebencian. Tulisan yang meminta kepada para pembaca agar mau memahami keadaan yang penulis pesan. Tulisan yang terus saja menghujat satu sama lainnya. Tulisan yang mendeskreditkan skenario Tuhan atas diri manusia. Kesedihan Mas Thole merasuki. Jika tidak dalam pembelajaran Kami, ingin rasanya menangis disini. Mengapa manusia saling membenci? Tidakmaukah manusia saling memaafkan. Dan kemudian secara bersama-sama memohon ampunanNya. Bukankah sesungguhnya manusia bersaudara?

“Bismillahirrahmanirrahim
Allahu Akbar, la ilaha ilallah
Suatu hal yang ada ketika sebuah peristiwa yang menyertai dianggap sebagai bagian dari yang tertera, sesungguhnya itu pertanda
Tanda bahwa seseorang sedang membutuhkan jiwa, pada rangkaian yang menjadi sebuah supata yang sudah mulai digelar
Dalam kedamaian jiwa, ada kristal-kristal yang menjadi petunjuk pada diri setiap insan.
Aku menjadi bagian hal tersebut. Aku jaga samangya Batujajar dengan cinta, tetapi kalian manusia-manusia durjana telah merusak tatanan yang selama ini aku pelihara.
Aku bertahan karena cinta, cinta akan ketundukanku pada Yang Maha Kuasa
Betapa dunia berubah dengan sangat tertera, aku tahu akan tiba masa sekarang peristiwa demikian
Sesungguhnya itu hanya ada dalam sebuah kisah perjalanan. Aku pun  mengikuti mengikat pada perjanjian alam
Maka letaknya pada setiap sudut pandang.
Aku, Rahyang Pancawati, menerima untuk menjadi saksi bahwa kalian telah menyelesaikan tugas untuk menjaga kendali negeri, dengan hal demikian, kuatkan itu dengan istighfar setiap hari selama bulan ini, Rajab
Sebagai tanda bahwa kalian sudah menjalankan tugas dan menyelesaikan Samangya Kertapati
Puncak dari semua hal, itu bukan pada sebuah peristiwa, tetapi memaknai peristiwa tersebut sebagai wujud untuk menghadapkan diri pada ilahi Rabbi.
Aku, Rahyang Pancawati, memuji atas semua kesediaan diri kalian dengan memaafkan orang-orang sebelum kalian yang berkhalayak dengan berbagai keadaan.”

...

Jejak bumi jawa menyisakan misteri yang tidak pernah dimengerti.  Kesadaran para leluhur bangsa ini telah datang untuk mengajak anak keturunan mereka menyaksikan bagaimana perjalanan sang alam. Mereka mengingatkan banyak kejadian di dunia ini. Betapa banyak para nabi yang menyuarakan perubahan bernasib begitu mengenaskan. Mereka mengalami siksaan dan penderitaan. Di jauhi, dianggap gila, dianggap kafir, dianggap apa saja sesuka suka kesadaran kolektif mereka. Lihatlah nasib Syekh Siti Jenar, dan juga perhatikanlah keadaan para pejuang kemerdekaan. Mereka semua mati demi memperjuangkan sebuah nilai, sebuah keyakinan atas  sebuah harga dari  jatidiri bangsa ini. Akankah ini tak berarti?

Bersambung...




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali