Kisah Spiritual; Misteri Arca Batu Bicara
Pengantar; Sebuah arca batu bisa bicara dan mengkisahkan bagian ini, apakah mungkin? Kembali kisah spiritual ini dihantarkan.
Memasuki pelataran, nampak lorong yang berjarak 30 meteran dari jalan. Di kiri ada sebuah tulisan nama sebuah musium milik pribadi. Letaknya yang di tengah kota menjadi kontras keadaanya. Arah depan nampak sebuah gerbang tertutup, dibukakan oleh penjaga. Hari ini memang musim tidak buka seperti biasa. Angin apakah yang menghantarkan Mas Thole kesana. Yah, mendadak saja ada keinginan kuat kesana. Perjalananya mencari jejak-jejak leluhur membuat dirinya bertemu dengan tokoh-tokoh aneh yang tidak lazim bagi manusia normal. Sebuah musium milik pribadi. Rekan Mas Thole pernah bercerita dia menitipkan barang ghaib yang di dapatkannya dari olah spiritual, ke musium tersebut.
Pada
mulanya tidak ada keinginan sedikit pun kesana. "Apa anehnya musium" begitu pikir Mas Thole. Dia tidak
terlalu menyukai benda-benda ghaib. Dirinya teringat kepada ayahnya yang senang
mengambil pusak-pusaka dari alam ghaib. Nyatanya pusaka tersebut hanya membawa
kemudhorotan saja bagi raga ayahnya. Tapi keinginan kuat harus kesana. Pemiliknya
sudah sepuh dengan kondisi yang memprihatinkan. Delapan pin besi menyangga
tulang punggung nya sebab pernah patah. Parkinson dan juga penyakit degeneratif
lain menggerogotinya. Bicara saja sangat
sulit. Namun entah mengapa beliau tadi begitu antusias menerima saya dan salah
satu sahabat.
Beliau
mengantarkan kami berkeliling dengan kursi roda yang di dorong. Tatapan matanya
menyiratkan ingin memberitahukan seluruh benda benda peninggalan leluhur yang
sudah di dapatkannya dengan susah payah. Bayangkan demi kecintaan kepada benda
leluhur dirinya rela mengorbankan hidupnya. Beliau tidak menikah khusus melacak
benda2 ini keseluruhan dunia. Sampai mulutnya terkunci sebab syarafnya tidak
mampu digerakkan, dia paksa utk bicara. Luar biasa...Hati ini seperti teriris
ribuan sembilu. Membuat luka baru diatas luka lama. Selalu saja sakit terasa di
ulu hati jika berbicara Nusantara dan juga peninggalan nya.
Namun
beliau dengan keterbatasannya mengantarkan kami. Dia bicara banyak walau tidak
ada yang mengerti. Mulutnya dipaksa utk mengucap sesuatu. Puluhan benda purbakala
berhasil diselamatkannya. Dia hanya ingin mengkhabarkan bahwa pada suatu masa
bangsa kita pernah berjaya dengan peninggalan peradaban yang tinggi. Masih
sangat terasa residu energy yang ditinggalkan para leluhur disana. Semua berebut ingin bercerita. Hati Mas Thole
bertanya jika beliau sudah tidak ada siapakah yang mau melanjutkan semangat
beliau?
Mungkin
benar semua itu hanya sebuah benda. Sebuah benda? Tentu tidak bagi yang
memahami. Benda benda tersebut bicara. Mereka mengajak bersapa! Ada sebuah benda yang
terletak dekat kamar mandi. Sebuah gajah kecil menyangga tombak. Dia bicara banyak.
Matanya benar benar hidup melihat menatap rekan Mas Thole yang ikut serta.
Tatapan yang menyirapkan kemarahan, dendam, dan juga kemasgulan. Membuat rekan
Mas Thole benar benar tidak enak hati.
Refleks
Mas Thole menghampiri dan kemudian menyampaikan salam. Mengusapa beberapa kali
ke muka dan belakang. Sejenaka mereka saling bersapa. Di sudut belakang rekan
Mas Thole terlihat mulai tenang. Adakah
ilusi? Apakah delusi?
Tentu
saja tidak jika kita bicara disini!
Mas
Thole terlihat menghela nafas, hatinya getun sekali. “ Sebuah proses perjalanan panjang anak manusia yang berjuang demi
keyakinan diri harus tergelatak dan mengakui kekalahan nya kepada sang takdir”
Betapa
dirinya ingin berbuat banyak bagi negri ini apa daya jika kesadaran bangsa ini
belum memahami atas apa yang diperjuangkannya ini.
...
...
Alam
ini memiliki berlapis lapis dimensi. 500 dimensi makhluk tak kasat mata. Setiap
dimensi berisi ribuan spesies di dalamnya. Maka benda yang kita lihat
sesungguhnya tidak sebagaimana adanya. Mereka semua makhlukNya yang memiliki
keinginan atas kehendaknya. Apakah hikmah yang bisa kita petik? Untuk apa harus
berkunjung kesana?
Kemudian
seperti biasa Mas Thole dipahamkan atas hal di melalui pemahaman ini;
"Ada
banyak hal yang dapat dikaitkan dan menjadi bagian. Tetapi tetap harus
hati-hati, karena akan ada yg iri dengan keterlibatannya sehingga membuat
beberapa orang menjadi tidak merasa senang.
Maka
diamlah dalam gerak, biarkan semua menjadi hal-hal yang berbeda. Sesungguhnya
dalam pergerakan kehidupan ada yang sama dan berbeda, ada yang berbeda tetapi
sama. Ada juga yang benar-benar berbeda.
Perbedaannya
bukan pada warna, tetapi pada telapak kaki yang ada di sebelah kanannya, maka
itu akan menjadi jalan yang berbeda.
Persamaannya
ada di dalam perut Subadra, di sana ada mahkota yang membantu perjalanan sebuah
kota menjadi memiliki identitas warna. Bukan tentang dunia, tetapi perjalanan
manusia. Dan letaknya bukan pada dunia atau materi semata, tetapi pada sebuah
pelepah daun kurma yang menjadi pegangan Putri Ayudya yang sekarang sedang
ditahan oleh Brahma Cipta Paguyuran Santapura
Semua
ada pada letaknya masing-masing, dengan keadaan yang menjadi dasar bahwa
kehidupan itu perjalanan, perjalanan ini kehidupan.
Akhirat
bukan tujuan, karena itu perjalanan.
Langkah-langkah
antar dimensi itu tak bertuan bila hanya ingin berpetualang, maka
berperjalanlah dengan kehendak Tuhan, bukan hanya sekedar untuk menjaga hal
yang sudah dijaga, memelihara yang sudah terpelihara, mengaku yang sudah
menjadi pemangku, karena bukan itu sesungguhnya perjalanan. Lihat dan letakkan
semuanya di Astana pura Sanggabuana pakujaya jayatnimanggiri."
...
Begitu
sebuah pesan yang mengiringi hikmah sebuah perjalanan. Mas Thole melanjytkan
perjalanan berkeliling seputaran mkusium. Masih ditemani pemilik yang terus
saja bercerita dengan semangatnya. Walaupun yang keluar dari mulutnya lebih
menyerupai lenguhan saja. Urat bicaranya telah mati. Tubuhnya sudah disangga
oleh pin yang jumlahnya puluhan. Sehingga hanya mampu tergolek di kursi roda.
Sang pengasuh yang masih adiknya,
bercerita bahwa banyak spiritualis yang melihat bahwa sakitnya ini sebab
benturan energi dari benda-benda yang dikoleksinya ini. Mas Thole hanya tersenyum
mendengar paparan tersebut.
Di
ruang makan ada sebuah arca batu seorang Dewi disana tertulis Dewi Sri Pohaci.
Agak janggal saja penamaan tersebut. Sebab perwujudan nya bukanlah sebagaimana
keadaan Dewi Sri Pohaci. Kesadaran Mas Thole mendadak memasuki alam dimensi
sang Dewi. Muncul kesedihan yang luar biasa, ingin rahsanya Mas Thole menangisi
atas kejadian yang menimpa sang Dewi ini. Dahulu dirinya adalah sosok makhluk biasa,
karena sebab kesalahannya dia dikutuk menjadi batu. Sang Dewi meminta agar dirinya
tidak diletakan di ruang makan. Dahulu dirinya adalah Dewi yang dipuja manusia,
maka tidak enak rasanya berada di ruang makan. Dirinya memohon agar ditempatkan
pada tempat yang layak. Bukan di ruang makan yang sumpek. Mas Thole ke,mudian menyampaikan
pesan sang Dewi kepada pemilik musium tersebut.
Terjadilah
dialog sang Dewi dengan Mas Thole, lintas dimensi dalam beberapa fase;
“ I
Bismillahirrahmanirrahim,
Kemana kau berlari, di sana tak akan kau
menemukan sepi, kemana kau berjalan, di sana kau tidak menemukan keramaian. Di
antara dua sisi, itu ada sanubari yang menentukan, melebur dalam keesaan.
Kemana kau katakan Tuhan itu suci, bila
sanubarinya masih berbaris segala risi. Segala suci itu sudah kuhapus dalam
jejak seujung kain yang mengelilingi tubuh suci, tanpa perdu dalam setiap lirik
tak bergulir dengan urutan waktu.
Salammu itu ada dengan setiap jiwa-jiwa
yang mengisi, bukan istana yang kau beri, tetapi gubuk berdiri di atas singgasana
yang menjadi saksi atas setiap kata yang menunjukkan dusta pada bumi
Seumpama semua menjadi saksi, kemana kau
akan berlari, tak perlu risau di antara dua ujung yang menghujam jurang dan
dinding tak bertepi
Di situ ada Aku bagi jiwa orang-orang
yang mengerti
Bukan lagi hanya bicara sanubari, tapi itu bukan reaksi dari hati
Bukan lagi katakan itu sebuah nurani,
bila untuk mengucapkan bahwa Allah Sang Penyaksi msh membutuhkan bukti
Aku hadir pada setiap diri, Aku pergi
pada setiap iri. Di sana ada duri, di sinilah letaknya sanubari harus menjadi
bukti.
Kemana kau akan mengadu bahwa Aku Suci,
mengenalku pun harus menempuh jarak yang tak pernah kau tempuh.
Kenapa kau katakan Aku Suci, padahal Aku
ada dalam dirimu yang menjadi bukti
Setiap saksi akan mengingkari, bila itu
ada di antara dua himpitan bumi
Seumpama Aku akan menghanguskan bumi,
itu bukan hal yang tak pasti.
Seperti itu dalam setiap langkah yang
tak berarti, menjalankan hidup hanya dengan sebuah angan suci
Padahal itu bukan tujuan Kami, hanya
perjalananlah yang mesti dijalani. Bukan menjadi suci tanpa menyucikan diri.
Bukan menyebut suci tanpa ada kesucian jiwa. Bukan hanya suci dalam setiap
diri, sehingga melihatku sebagai bagian tak berarti. Karena suci itu ada pada
diri, bukan pada orang-orang suci.
II
Serumpun pohon bambu yang ada di sudut
itu, menyimpan sejuta rasa bagi para leluhur batu. Yang menyimpan bahwa aku
berada dalam kurungan waktu, yang menyebut diriku bagian dari yang tertunda
dengan sebutan itu.
Berputar rasa yang ada di putaran waktu,
menyimpan duka bukan untuk pilu.
Aku mengadu di antara rimbunan pohon
bambu, yang menyebutku sebagai bagian yang tak menentu.
Seandainya aku pulang waktu itu, tak
akan terhempas ragaku dalam kerangkeng yang menjadikanku seperti batu
Aku hanya pilu padamu, bukan pada ragaku
yang telah menjadi batu.
Aku menjadi bagian seperti ini, seakan
bumi menghimpit ku, tetapi bukan itu yang sangat menyakitiku, aku hanya
sebongkah batu tanpa bisa menjadi sang juru waktu
Waktu itu bagianku, laksana bumi dan
langit menjadi bagian dari itu
Ah... Aku berada derai tak terbendung,
pada bentangan sejuta rasa dari berbagai makhluk yang menyebut diri sebagai
dewata
Ah, aku bukan mengeluh padamu. Hanya
kamu yang ada di hadapanku, menyaksikan sebuah penalu di atas batu, itu aku
dalam wujud batu.
Hyang Widie Wastu, telah menyempatkan
datang padaku, tanpa membawa kunci pembuka waktu, aku pun tahu itu ada pada
dirimu, hanya saja bukan untuk itu kehadiranmu
Suatu waktu aku pasti tak di situ,
berada pada genggaman sang waktu
Aku merindu tanpa tahu apa yang mesti
menjadi bagian itu di antara semua peristiwa itu
Peristiwa ketika Dewata menghukumku,
tanpa tau aku sudah berada pada urutan waktu.
Aku tahu, itu salahku
Tak berarti aku harus menjadi batu
Aku tak menyesali semua itu
Karena aku menjadi bagian dari ini
Cinta itu bukan untukku, tetapi juga
bukan bagianmu
Aku menjadi batu tanpa tahu, bahwa itu
memang perjalananku.
Sang bidru menjadi batu, itu adalah
bagian dari semua itu
III
Jangan pernah menyesali waktu, wahai
Dewi yang menjadi batu
Dirimu Dewi dari sang waktu, penjaga
perjalanan dari timur ke barat tanpa batas waktu
Aku tahu itu, wahai Dewi Purwanti
Satyu
Di situ ada aku yang menyaksikanmu
Jangan kau salahkan pula Dewata
menjadikanmu batu, karena itu sebagai bagian dari tugas dalam dimensi Dewata
Biru. Aku ada di situ, menyaksikanmu, wahai Dewi yang menjadi batu.
Hadirilah dirimu pada saat itu,
perjalananmu memang untuk kesucian sang waktu, tetapi bukan itu sesungguhnya
tugasmu, wahai Dewi waktu, aku ada di situ menjadi kesaksianmu.
Seumpama piduran waktu tanpa tahu bahwa
perjalanannya menjadi hal itu, aku sangat menyayangkan mu. Aku di situ menjadi
saksimu.
Wahai Dewi batu, tak perlu kau ragu atau
takut akan kehadiranku. Aku hadir bukan untuk menjadikanmu kembali pada
himpitan lorong waktu, aku hadir dalam menyaksikan perjalanan setiap diri yang
hadir pada urutan waktu.
Aku di situ, menjadi saksi atas semua
yang hadir saat dari proses sang waktu.
Ah, aku tahu... Kau ada di sana menjadi
bagian dari yang tak ternilai kan, tetapi itu harus ditapaki sebagai
ketetapan-Nya.
VI
Seumpama itu wahai Sang Hyang Widie
Wastu, ijinkan aku untuk berpamit dan kembali menjadi bagian waktu. Aku
menyesali atas semua keteledoranku
Aku mengingat semua itu tanpa menghitung
waktu
Andai waktu itu, aku berada dengan
urutan yang tak menentu...
VII
Jangan begitu sang Dewi batu, itu
menjadi perjalanan hidupmu
Ingatkah kau pada guru watu, dia
mengajari arti waktu dalam hidupmu
VIII
Aku tahu dengan batasan ku. Aku sadar di
antara berbagai batu, aku sama dengan batu-batu, tergantung diri-Ku di hadapan
Sang Pemilik Waktu
Aku menjadi batu, dalam dimensi waktu
itu tanpa tahu letaknya urutan waktu
Aku di situ, menantikanmu menjadi saksi
dari bagian itu
Duh Sang Penyaksi, Saksikanlah
pertaubatan ku, aku merasa menyalahi hidupku tau menyadari kehidupan yang
sedang aku jalani dalam waktu
Aku memohon dirimu menjadi saksi, atas
tobatku yang tak bertepi
Berada di sini memang atas kehendak
ilahi rabbi
Maafkan aku atas keluh kesahku.
Allahu Akbar, astaghfirullah Al adzim.
Maafkan aku, ampuni aku.
VIIII
Duh Dewi waktu, aku menyaksikan semua
pertobatanmu. Semoga Tuhan mengampunimu. Aku menyaksikan pertaubatanmu.
Allahu Akbar
Asyhadu ala Ilaha ilallah WA asyhadu
Anna muhammadarrasulullah.
Aku menyaksikan itu, berjalanlah dengan
jalan yang Tuhan Kehendaki.
Allahu akbar”
...
Demikianlah
perbincangan yang bisa ditulis kan ulang disini. Sungguh Mas Thole hanya menjadi
saksi atas skenario Tuhan yang dihamparkan di alam semesta ini. Semua makhluk memiliki
jiwa. Semua makhluk memiliki rahsa yang hidup. Tidak saja binatang, bahkan batu-batu
banyak dikisahkan mampu bicara. Maka Mas Thole tidak heran jika batu arca di depannya
ini memiliki kisah mengharukan. Berbicara kepada Mas Thole. Apakah untuk itu Mas Thole diundang kesana? Mungkin saja, untuk menyaksikan kisah yang dialami sang arca batu. Kisah yang dapat dijadikan pelajaran dan hikmah
dalam mengarungi kehidupan dan perjalanan dirinya kali berikutnya nanti. Sebuah arca batu bisa bicara? Adakah yang percaya? Biarlah, bukankah ini hanya dalam keyakinan diri saja?
Salam
Komentar
Posting Komentar