Kisah Spiritual, Kesatria Paku Bumi (Perjalanan ke Barat 5)

Peristirahatan Ki Ageng Mangir
Doaku untukmu kanda tercinta
sesalku beribu perjalanan
menyusuri cahaya demi cahaya
tlah sampai ku disini di cahaya ini
masih merindumu..
dan semua cerita pengorbanan itu menikamku
belati tertajam sampai pd jiwaku
ampunku tak sempurna
sampai ku akhiri misi ini dgn sempurna
duhai kekasih hati, jgn sesali kisah kita
bahagialah disana bersama Sang Maha Kasih
dan aku akan bahagia mengingatmu
disini di cahaya ini sambil masih merindumu
selalu....
 (By Gusti Putri Ratu Pambayun)


Blegh..sesak nafas Mas Thole menerima kiriman puisi langsung dari tangan Pambayun. Energy kasih yang lembut sejuk dan syahdu. Getaran perasaan cinta, luluhnya hati atas irama, nuansanya merasuk menyelusupi surga. Kidung kinanthi Harumnya saja tembang setaman. Terbayang bagaimana jika seorang lelaki  mendapatkan cintanya ini ?. Namun mengapakah cinta telah melukai pemiliknya sendiri. Ugh..!.

Energy tak kasat mata ini, halus menerjang bak gemuruh tsunami, menggedor hati setiap lelaki. Heh..!. “Siapakah lelaki yang tidak merana hati mendengar senandung cintanya ini.” Getun Banyak Wide dengan persoalan ini. Terlihat Mas Thole menarik nafas sesekali. Perlahan energy lembut terus mengalir  melindungi hatinya. Jika orang yang tanggung saja spiritualnya maka sudah pasti akan terhanyut terbawa romansanya. Energy cinta memang belum ada satupun makhluk yang mampu menahannya. Maka pantas saja alam akan terus bergolak jika energy ini terlontar ke mayapada.

Mas Thole menarik nafas, satu dua kali melakukan penyadaran diri. Energy cinta Pambayun mampu menyedot dan membesut sukma. Seperti panggilan sebuah hati yang merindu, seperti dendang nina bobo seorang Ibu. Suara itu merayu dan mendayu, mampu membawa setiap lelaki untuk datang memenuhi panggilan cinta ini. Membawa aroma kesturi pada setiap lelaki.  Membuat darah mendidih, dan keinginan memiliki. Cinta menjadi sebuah belati, yang dapat saja menikam diri sendiri, jika tidak bijak menyikapi. Anugrah luar biasa pada diri Pambayun. Namun juga dapat menjadi musibah tak terkata, jika tidak lurus niat dalam melakoni. Sungguh manusia sangat lemah menyoal hal ini.

Kisah romansa hati, tak terelakan lagi. Menjadi sebuah kisah perjuangan dan kekuatan hati. Bagaimana menetapi keadaan terkini dan juga menyikap masa lalunya. Tugas Pambayun untuk menancapkan paku bumi, menimbulkan pergolakan tersendiri sama halnya dengan yang dialami Banyak Wide saat mana ditugaskan ke Sumenep. Sulitnya tak terdefinisikan, rahsanya tak terungkapkan, gejolaknya tak terabaikan, maka mau kemanakah lagi ?. Jika tugas alam telah diturunkan, jika titah harus dilaksanakan. Mereka tidak akan bisa bersembunyi, walaupun semisal lubang semut sekalipun. Sebab mereka akan diketemukan oleh diri mereka sendiri. Inilah kesulitannya, semua berjuang dan bergulat dalam peperangan terhadap dan atas diri mereka sendiri. Tidak Pambayun, tidak juga Banyak Wide, dan tidak  juga kesatria-kesatria lainnya. Semua sama saja, akan mengalami hal itu. Coba bayangkan bagaimanakah sakitnya ?.

Masih dalam romansanya hati. Coba bagaimanakah jika lelaki dapat merangkai aksaranya sendiri, untuk menjawab keluhan dan demburan hati, seorang gadis yang mengalahkan kecantikan bidadari ?. Sebagaimana lanjutan puisinya ini;

Cinta selembut awan
Masih tertinggal di hati
Kenangan daun daun jatuh di jalan yang kita lalui
Kanan kiri pepohonan dan sungai Progo
Selendang tari meliuk mengikuti irama jari
Dalam pandangan mata bersinar  seakan melihat dewi
Runtuh sudah misi itu tak pernah ku peduli
Cinta setinggi bintang di angkasa
Dalam bayang dan aroma kuasa
Tombak tombak berjejer dan hentakan kaki
Dilema jiwa antara raja dan kekasih hati
Tetap cintaku tak pernah ragu
Rebah pada halusnya tutur kata dan lembutnya wibawa 
(By Gusti Putri Ratu Pambayun)

Subhanallloh..!. Katakan siapakah yang mampu membaca ini dengan hati ?. Maka Mas Thole diam-diam, membungkusjiwa-nya dengan selebung energy murni agar tidak larut dalam besutan kerinduan yang terbawa oleh hawa dalam puisi itu. Kerinduan Pambayun sungguh telah membedah langit, membuat ringkih jiwa, dan sedihnya menggaung di lembah seribu bunga. Menggetarkan bukit lokananta di suargaloka.  Maka hujan- dan gerimis terus berjatuhan, disepanjang perjalanan menghantarkan perjalanannya ke barat, menuaikan misinya menanam paku bumi.

Sepanjang perjalanan ke barat entah sudah berapa banyak air mata tertumpah. Melakoni napak tilas, menapaki perjalanan sesungguhnya di  kehidupan masa lalunya, merayapi kota gede, emnyusuri sampai ke desa mangir. Makam Ki Ageng Mangir ternyata bukan di kotagede seperti yang diyakini selama ini. Juru kuncen yang sudah tidak awas hampir saja mengenalinya. Kemudian diberitahu bahwa makam asli Ki Ageng Mangir ada di Slemen, meluncurlah mereka kesana. Betapa bahagianya sesampainya disana. Ternyata makam Ki Ageng Mangir sangat terawatt sekali. Mata batinya berdoa, ditahannya air matanya. Jikalau saja Ki Ageng Mangir terlahir kembali dia berharap tidak seperti dirinya. Janganlah terbawa nelangsa yang sama, sungguh akan sakit rasanya. Dia berharap dalam berdoa, semoga Allah memberikan tempat terbaiknya untuk suaminya tercinta.

Kini Pambayun mencoba menguatkan hatinya, biarlah masa lalu terjadi, keadaannya sekarang dirinya harus mampu memaknai semua kejadian itu. Kesadaran diri..yah, dia menyadari bahwa dia berjalan diatas takdirnya. Maka ditekadkan kembali niatnya, bahwa dia lahir sekarang ini adalah untuk sebuah misi suci, mengawal lahirnya nusantara baru. Sebuah keyakinan yang mungkin saja banyak dicemooh oleh lainnya, bahkan juga oleh rekan-rekan dan sahabatnya sendiri. Namun sungguh mereka tidak tahu, bahwa apa yang dirahsakannya adalah nyata sekali. Dia mampu menjadi saksi atas kebenaran ini. Dia tidak bisa memungkiri lagi kebesaran Tuhan yang ditunjukkankepada dirinya itu. Maka dalam sebaris puisi, bulat sudah tekadnya atas bumi pertiwi.

Dia yg berlinang airmatanya dulu, adalah dia yg sama hari ini. 
Mengenang kekasih hati, yg hilang krn ulahnya sendiri.
Sesal tak bisa dihindari, terbawa mati ribuan hari.
Dia yg berjalan melintasi zaman, adalah dia yg sama hari ini.
Terjepit kanan kiri, kegamangan melindas nurani cinta tak berperi.
Dia yg menengadah langit dulu, adalah dia yg sama hari ini.
Melintasi peradaban
utk menebus kesalahan dan bakti bg negeri.
Dia yg menetapkan diri dahulu, adalah dia yg sama hari ini.
Sambut kembali ksatria dlm diri,
bangkit mengabdi hanya bagi Illahi. 

(By Gusti Putri Ratu Pambayun)

Kemuning, engkaulah kemuning harumlah ditanam, sudilah mengilhami ribuan hati. Tekad bara yang tak pernah mau mati. Meski tubuh telah dikuliti. Walau berjalan hanya dengan tekad, walau langitnya tak pernah beratap, semua dijalani demi titah suci sang alam, demi lahirnya peradaban manusia yang beradab. Demi ibu-ibu yang menyusui, demi anak-anak bayi yang harus ditemani, semua akan menjadi sebuah janji. Janji kesatria sejati, pantang lari dari perangnya sendiri. Lihatlah langit telah berdentam, lihatlah gempa sudah mulai menerjang sebagian alam lagi tak mampu menahan. Lihatlah hujan sudah mengguyur Merapi, dan lerengnya tertumpah airnya, tak tertampung lagi. Telah ditanamkan sebuah janji, sebuah paku bumi, diantara jasad para pejuang negri. Di tanah makam Astana Giri Bangun, bersama aroma bunga dan doa para leluhur yang bersemayam disini.

Jam Tujuh malam waktu setempat, bertepatan saat adzan Isya, tertancaplah paku bumi terakhir oleh kesatria alam. Kepada Mas Thole dikhabarkan.Hujan gerimis, bunyi-bunyi suara alam, lampu kelap-kelip dari seberang jalan, monyet berceloteh dengan riuhnya. Bulan diatas langit sana redup tertutup awan. Makam Astana Giri Bangun tempat Ibu Tien disemayamkan dalam keadaan wingit mendebarkan. Masuk area makam, bau wangi bunga, awan besar menggantung terlihat terus mengikuti prosesi bahkan sepanjang hari tadi.

Tepat saat adzan Isya paku bumi terakhir berhasil ditancapkan. Riuhnya alam, bersama dendang yang melangutkan. Semakin lengang, semakin sepi dalam kesadaran. Seperti tengah dalam keadaan menunggu sesuatu, yaitu antara  jeda menunggu setelah dentuman dengan tsunaminya. Dan benar saja malam harinya terjadi gempa berkekuatan 6.5 sakla richter di Tasikmalaya. Mas Thole berdesah lega. Alhamdulillah, jika saja terlambat sampai keesokan harinya, bagaimana jadinya. Dalam kesadaran Mas Thole gempa tersebut akan semisal dengan dampak  tsunami. Sungguh ini hanya dalam tataran keyakinan, dan juga kesadaran. Sesuatu telah memberitahukan Mas Thole satu hari sebelumnya. Awan yang menggantung, suara desir angin telah memberitahu kepastian keadaan itu. Allah hu akbar.

Syukur kepada illahi robbi perjalanan Pambayun dapat dikatakan sukses sekali, walau diawalnya banyak Wide sempat khawatir dengan keselamatannya. Kemudian atas kerisauan itu dia berkonsultasi dengan Sang Prabu. Setelah mendapatkan keyakinan yang sama, maka kemudian Banyak Wide memberikan beberapa saran agar Pambayun berati-hati disana, banyak sekali yang mencari dirinya. Begitu kekhawatiran Banyak Wide. Maklum dia baru berusia 20 tahun, saat menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah melahirkan anaknya. Karenanya bagaimana dia tidak gelisah menyoal keselamatan ponakannya ini. Banyak Wide harus waspada. 

Begitulah maka untuk berjaga-jaga Banyak Wide mengirimkan pasukan Mataram. Bahkan dia sempat menghardik kepala pasukan. Mengapa tidak mengikuti rajanya ke Jogja, malahan masih tetap di langit Jakarta. Dengan geram dihardiknya mereka untuk menyusul ke Jogjakarta. Mengawasi Gustinya. Anehnya, awan gelap menggantung serupa pesawat terbang diangkasa, sekejap kemudian menghilang begitu saja. Mas Thole sempat terperangah juga dibuatnya. "Hmm..itulah pasukan Mataram." Batinnya tersenyum lega, jika kemudian perintahnya dituruti. Motornya di pacu agak cepat menyusuri jalan kota kembali ke rumahnya. Dia harus bersiap atas segala sesuatu. Disamping dia juga ada janj dengan Ki Wiroguno yang akan datang ke rumahnya sehabis isya.

Namun bagaimana setelahnya, mengapa lewat tengah malam, tidak ada khabar apa-apa dari Pambayun ?. Rasa was-was, bercampur geram di dada  mulai tiba, maka Banyak wide segera SMS kepada Putri Sriwijaya untuk segera mengirimkan pasukannya menyusul ke Jogjakarat hanya sekedar untuk berjaga-jaga. Saat itu dirumah Mas Thole sedang ada prosesi Ki Wiroguno dan juga istrinya. Saat tengah prosesi istrinya Ki Wiroguno itulah, masuk sosok yang taka sing bagi Patih Nambi. Bahkan Patih Nambi sampai merunduk menghaturkan sembahnya. Maka Mas Thole segera menyapa, befrtanya ada apa datang ke rumah ini. Apakah berkaitan dengan situasi di Jogjakarta. Sosok itu hanya menganggukkan kepala.

Kesadaran Mas Thole segera memindai siapakah sosok tersebut, dia terperangah Tri Buana Tungga Dewi, “Hmm..mengapa Ratunya datang kesini, ada perlu apakah dia..?.” batin Mas Thole. Tidak seperti Patih Nambi yang tertunduk tidak mampu berkata-kata dihadapan Ratunya itu. Banyak Wide tokoh sepuh, tidak tergetar dengan kedatangannya. Bertanyalah Banyak Wide, tentang keselamatan Pambayun disana. Katanya tidak apa-apa. Maka legalah Mas Thole. Kemudian ditanyakan lagi ada maksud apa dia datang. Sosok tersebut mejelaskan bahwa kedatangannya berkaitan dengan ribuan pasukan Mataram dan Sriwijaya yang memenuhi angkasa Jogjakarta. Dia datang untuk misi damai, menanyakan kesini ada maksud apa pengerahan ribuan pasukan kesana ?. Pasukan yang memenuhi angkasa dilangit Jogjakarta memiriskan makhluk-makhluk disana. Maka karenanya dia menyempatkan diri hadir disini, katanya. Menghindarkan terjadinya pergolakan dan perang di langit sana.

Maka Banyak Wide menjelaskan maksudnya, bahwa gelar pasukannya hanyalah menjaga keselamatan Gusti Ratu Pambayun saja. Tidak ada niatan untuk perang. Sosok itupun hanya manggut-manggut saja, Nampak sekali wajahnya yang puas. Selanjutnya Banyak Wide terus mengejar dengan pernyataan dan pertanyaan, bagaimanakah sikap sang ratu atas niatan para kesatria ini. Mas Thole tersenyum lega, mendapatkan jawaban bahwa mereka merestui. Raja dan Ratu Majapahit generasi pertama merestui pergerakan kesatria. Siapakah yang tidak lega. Bahkan mereka berjanji untuk menggabungkan kekuatan mereka. Alhamdulillah. Hilang sudah kekhawatiran dirinya atas keselamatan Pambayun. Kini berlapis-lapis sudah penjagaan yang dilakukan atas Pambayun. Banyak Wide memang sangat ketat menjaga ponakannya yang satu ini. Tidak akan dibiarkan, ada makhluk yang membahayakan seujung rambutnyapun. Begitulah Banyak Wide, tokoh keras hati dan tidak takut mati.

Kisah perjalan ke barat ini, menjadi penanda sebuah perjalanan anak manusia dalam menetapi takdirnya sendiri. Betapa dirinya mampu menyaksikan ghaib menjadi sebuah realitas. Dirinya mampu menjadi saksi bahwa masa lalu dan sekarang adalah berimpit. Dirinya mampu menerima apa yang mestinya diterima raganya. Betapa besarnya anugrah Allah atas keadaan ini. Belum lagi saat prosesi penancapan paku bumi disana, dia diperlakukan dengan sangat baik sekali. Meski makam sudah ditutup, anehnya mereka dipersilahkan masuk saja. Katanya Ibu Tien sudah menunggu kedatangan mereka. Puncaknya kepala Pambayun diusap-usap oleh Ibu Tien. Betapa beliau menyampaikan rahsa terima kasihnya, masih dipercaya oleh anak bangsa ini, untuk turut serta menjaga alam ini. Tempatnya menjadi tempat ditancapkan paku bumi, sebuah pernghormatan bagi dirinya. Itulah yang ditangkap kesadaran Pambayun.

Besok pagi sabtu (15/6) Pambayun akan kembali dari tugasnya, kembali ke Jakarta. Rangkain perjalanan spiritual yang akan menjadi kenangan tersendiri bagi raga terkini. Bagaimana dia kemudian mengkhabarkan kepada Mas Thole. “Capek..lemes..sedih..tuntas sudah tau kisahnya Pambayun sampai meninggal.  Sudah ketemu makam suami.Sudah maafkan Panembahan dan Mertani. Sudah tunaikan tugas Paku Bumi. Sudah dapat ‘restu’  Ki ageng Mangir. Sudah sholat doakan dia dalam area makamnya. Sudah temukan petilasan (desa Mangir) rumah dulu. Ya..rasanya seperti itu..tak bisa diungkap..hiks.”

Kini perjalanan Pambayun akan dimulai, Pembalikan Kesadaran tengah dan akan dilakoni, dia sudah mengerti dan memahami siapakah hakekat jatidirinya. Dia sudah tidak gamang lagi menetapi takdiri-takdirnya sendiri. Kini dia berjalan menetapi raga terkini dengan semangat terkininya dalam realitasnya. Menjadi siapa dan bukan menjadi apa. Menjadi Kesatria Paku Bumi. Berjalan dengan tegap menembus bumi, dengan keyakian yang terus menghujam kedalaman bumi, mengakar sampai menembus di ujung sebaliknya. Bumi tidak akan terguncang lagi, sebab dia adalah orang masa lalu dan orang masa kini.

Mas  Thole terdiam, menghela nafas. Salah satu kesatria telah berhasil memenangkan perangnya sendiri. Akankah kesatrai lainnya teruji ?. Sungguh, sekarang dia menunggu, bersama alam yang menunggu para kesatria-kesatria yang lainnya lagi. Biarlah alam berguncang, biarlah badai menghantam, biarlah bedar alam dimulai dan menggetarkan bumi ini. Tugas kesatria adalah meminimalkan semua itu. Paku Bumi menjadi pertanda sebuah keyakinan, dan dengan itu berharap agar alam mau berbelas kasihan, tidak menerjang seluruhnya. Masihlah disisakan sebagiannya untuk hidup manusia nanti. Semoga.

wolohualam


Komentar

  1. Bersabarlah Ksatria...sungguh kejadian dan pelajaran dari 4JJI terhadap dinda Ksatria sangatlah dalam dan unik..menyimpan potensi loncatan kesadaran yang jika dapat menjalaninya dengan sabar dan syukur, Insya 4JJI dapat membawa akselerasi perubahan kesadaran kolektif di Indonesia..

    BalasHapus
  2. Maturnuwun atas komennya. Semoga semua selalu berada dalam lindungan Yang Maha Esa. Mohon doanya untuk Nusantara. Salam

    BalasHapus
  3. Semangat ratu pembayun kmi dsni mendoakanmu..kami semua disini jg menantikan munculnya nusantara baru.gemah ripah loh jinawi..seperti prabu jayabaya dalam ramalanya...sya yakin para ksatria pasti bsa demi bertemunya sang pemimpin sejati yg ke7.
    Salam.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali