Kisah Spiritual, Romansa Ratu Pantai Selatan (3-3)



Ke manakah akan kucari lagi
butir-butir cintaku yang lama kubuang?Apakah pada gelombang lautanatau hiruk pikuk jalanan?Semua sungai ingin kususuri,semua bukit akan kudaki,semua padang belantara akan kutembusHarus kutemukan lagi sebutir cintaku yang hilangditelan dusta kemarau panjang
Kapankah akan kudengar laginyanyian angin dan denting gitarmu?Apakah pada pancaran rembulanatau tubuh-tubuh panas jalanan?Semua bumi ingin kujejaki,semua langit akan kudaki,semua bintang-bintang akan kutembusHarusku temukan lagi sebutir cintaku yang hilang
Ditelan dusta kemarau panjang

(Episode Cinta yang Hilang, by Ebiet G Ade)

Romansa anak manusia, anak keturunan  Ratu Pantai Selatan.  Semua dalam dendang nada yang sama iramanya. Bagai orkestra alam yang gemuruh kedengaranya. Dalam besutan rahsa di jiwa, dalam melodi angkasa dan alam semesta. Mereka semua mencari cintanya yang hilang. Apakah pada pancaran rembulan ataukah debu-debu panas jalanan. Coba katakan apa yang seharusnya dilakukan. Bila larut tiba dan wajah kekasihnya terbayang. Gemuruh laut pantai selatan dan karang-karang yang menjulang, tak mampu mengusir dia yang manis. Mereka dalam balutan dan liputan cita-cinta mereka yang terlalu !. Kapan lagi mereka bernyanyi bersama. Tatapan alam mampukah membasuh duka.

Tidak saja Banyak Wide, Putri Sriwijaya, Pambayun, bahkan juga Ratu Sima, dan kelima putri lainnya dalam nuansa dan romantika yang serupa. Begitu dalamnya cinta-cinta mereka kepada lawan jenisnya. Begitu halusnya jiwa-jiwa mereka dalam merasakan makna kasih sayang. Sehingga mereka hanyut dalam pusarannya. Pernahkah mendengar celoteh burung murai dan langit tertutup kabut. Siulannya memilukan menikam mendung. Suara lautpun sirna. Terbang entah kemana. Dan disaat yang lain kala mentari bangkit, menyiram jagat raya, kicau menyambut kelahiran mereka. Semilir angin terus memberitahukan kepada mereka atas elegi cinta masa lalu. Kecipak air kali, mengiringi sedihnya.  Betapa jauh jalan terjal mereka tempuh, menembus kegelapan dalam menapaki kisah di Episode Cinta yang Hilang. Oh, betapa perih langkah di jiwa.

Pernahkah engkau dengar, suara pepohonan ketika hutan tertutup embun. Angin membawa aroma keseluruh perbukitan. Ditengah belantara sepi menembus kelam. Sekarang tinggal catatatan, disini pernah berdiri. Sebutir kisah cinta yang terbuang. Mereka tidak berdusta dengan rahsa mereka itu. Coba katakan, apa yang seharusnya mereka lakukan ?. Jika dalam satu kelahiran berlintasan kisah-kisah cinta mereka terdahulu pada masing-masing kekasihnya. Ada banyak warna teramu di jiwa. Coba kau dengar lagunya, bergulirnya rahsa di jiwa, dalam romansa-romansa yang tak biasa. melebihi kisah-kisah anak manusia. Berharap kepada langit, "Kapan lagi dapat bertemu, kapan lagi nyanyi bersama, betapa jauh perjalanan berabad cahaya, bilakah akan terlahir di tempat yang sama. ?"

Ibunda mereka tahu itu betapa derita anak-anak mereka. Begitu juga sang Ibunda mengalami hal yang sama. Mereka senantiasa mendampingi para raja, menjadi penyeimbang dunia ghaib dan realitas. Barangakali takdir memang tengah bicara. Bahwa semua derita diperuntukan buat mereka.  Namun perjuangan mereka sia-sia, mereka selalu dinista anak manusia. Manusia yang tak paham bahwa sejatinya mereka juga sama adalah manusia dalam dimensi yang tak serupa. Sebagaimana kerajaan Pajajaran yang mengehilang. Maka atlantis begitu juga keadaannya. Saat mana bangsa mereka di tenggelamkan oleh alam  sebagian dari mereka mampu menembus langit, bersembunyi pada dimensi lainnya. Mereka adalah tetap manusia seperti kita. Manusia yang sudah memiliki kesadaran sangat tinggi sehingga mereka mampu menembus langit, mendobrak lapisan dimensi. 

Benarkah telah kering kasing sayang di hati manusia. Ranting-ranting patah gemeletak. Terimbas kesedihan sang Ibunda Ratu Pantai Selatan. Gemuruh ombak mendatangi menghibur. Kau dengar dan coba renungkan gelombang di laut selalu nyanyikan rindu. menikam kalbu. Layaknya musim ini berkaca padanya. Awan senantiasa bergerak ke langit Jakarta, mendung dan gelap menggantung. Memerah menjadi hitam. Dengarkan dan coba renungkan gelombang di laut menikam kalbu. Mereka begitu sedih melihat Ratunya menangis. "Apakah perjuangannya selama ini bagi anak manusia  tak bermakna apa-apa ?." Begitu kejam perlakuan mereka kepada kaumnya. Bukankah manusia jawa hakekatnya semua adalah saudara. "Apakah  aku yang merencanakan ataukah Allah .?" Katanya selalu menikam. 

Setiap sudut seperti menyapa, sementara pucuk-pucuk pinus dalam sujudnya. Menghormat kepada anak manusia yang  tak segan mau memasuki lebih dalam lagi, akan  kebenaran berita yang disampaikan  ini. Coba tinggalkan sendiri, dalam kesendirian, untuk belajar menahan kerinduan. Biarkan otak berfikir, apa yang mesti dikatakannya. Setiap orang akan selalu bicara tentang dirinya. Maka kenapakah tidak kita masuki diri kita sendiri saja ?. Kenapakah selalu sibuk berkata lainnya.  Maka kita kan segera percaya betapa besar dan bersahajanya alam. Dan bagaimanakah temukan jalan ?. Butiran embun bagaikan lentera dalam segenap kegelapan. Manusia pasti akan menemukannya kebenaran ini. Jika saja mereka mau mengenali jatidiri mereka sendiri. Bila saja mereka mau membuka hati dan memasuki kedalamanya. Merasakan sendiri makomnya. 

Mas Thole teringat akan email sahabatnya Panglima Atlantis dalam  memperjelas keadaan ini ; "Awal dan Akhir adalah sama. Jiwa masa kini dan jiwa masa lampau adalah satu, yang berbeda adalah Wadak. Semua telah terangkum dalam Lauful Mahfudz. Masa kini dan masa lalu berada dalam satu ruang, hanya kegelapan hati pada diri-diri Manusialah yang menjadikan hijab sehingga terpisahlah kedalam ruang yang berbeda antara masa kini dan masa lampau, gelapnya hati menjadikan diri dan jiwa Amnesia: orang masa lalu tidak mengenal siapa dirinya di masa saat ini."

Manusia menggapai-gapai di dawai karatan, senyumnya kering dan getir dalam setiap memaknai takdir-takdirnya sendiri. Jika sebuah nyanyian usai dipetik, mereka  selalu saja kesulitan mengenali lagi masa lalu dan sekarang. Coba katakan, apa yang seharusnya dilakukan. Bila langit jatuh dan bumi pun terbongkar ?. Manusia bagai bulu-bulu yang diterbangkan angin ?. Gadis-gadis kecil berlarian mendatangi ayahnya. Bayi-bayi melepaskan puting ibunya. Gelombang laut pasang menerjang, membawa tsunami. Coba dengar marahnya alam. jangan tertidur dan bermimpi itu pasti akan terjadi. Maka tidakkah langit-langit kamarmu penuh dengan gambaran itu ?. Kapankah lagi kita akan bertemu Tuhan ?. Bertanyalah wahai manusia ?.

Lanjutan email Sang Panglima ; "Alam bergejolak, bumi nusantara terombang-ambing dalam huru-hara dan kehancuran, semua berperang baik dalam Ghaib maupun  secara Nyata. Sungguh semua ini sudah tidak dapat di tahan-tahan lagi, Tanah, Api, Angin, Air semua menyampaikan laporannya untuk melebur mereka-mereka, tidak bisa untuk di tahan-tahan lagi sudah menjadi kehendak alam. Ini adalah proses CUCI GUDANG. Bilamana saatnya nanti para kesatria yang akan membangun Nusantara Baru (setelah cuci gudang), setelah terjadinya bencana dan huru-hara ini maka alampun akan mengeluarkan harta-harta dari perut bumi, mengganti apa yang telah lebur. Semisal setelah terjadi letusan gunung merapi, lahar yang menyemburat keluar dapat menjadikan tanah subur kembali. Sadarkan mereka-meraka yang mau membuka mata hatinya kembali, agar selamat... Beramal Ma'ruf Nahi Munkarlah semoga Allah memberikan Perlindungannya, bahwasanya kita Makhluknya tanpa ada daya dan upaya."

Ciptakanlah diam, iramanya tralalla.  Nyanyikanlah agar alam tak terguncang. Satukan butir keringat, biarkan kita makin pelan sehingga berhenti. Dengan lembut benahi diri. Selimut rindu biarkan mengembang ke jagat raya, buang cinta di dada kepada manusia lainnya, kepada kekasih semata, ciptakan ingkar irama tralala. Diam ciptakan diam, dalam lagu  semesta, dengarlah suaranya iramanya tralala. "Wahai Para Kesatria: " Aku adalah dirimu dan dirimu adalah Aku, tak perlu melihat tak perlu mendengar dan tak perlu berbicara karena semua sehati, sejiwa, dan saling mengerti dan memahami, jadi tak perlu harus disampaikan dengan Pembicaraan ataupun Tulisan karena jauh sebelum tulisan atau pembicaraan ini sampai, lebih dahulu sampai kedalam hati mu dan pikiranmu sehingga kalian semua dapat mengungkapkan hal yang sama dan menggerakan Raga Dohir kalian untuk menuliskan, mengisahkan, ataupun menyampaikan secara lisan tanpa kalian sadari itu semua muncul kepermukaan hanya untuk kalian sampaikan kepada Anak dan Cucu kalian agar mereka tidak berlaku sasar dalam pencarian kebenaran, mengikuti kekeliruan dan kehilafan karena gelapnya hati, sehingga laku kita salah, mencari kebenaran dengan sasar hingga akhirnya kita tersesat dan tidak bisa pulang ketempat Keabadian yang telah mencipta kita, akankah terus kita berganti Wadak kedalam wadak yang baru setelah ini karena tidak bisa berpulang. Allah sebaik-baiknya tempat kita kembali." Email sang Panglima tandas tanpa basa-basi menohok terus ke dalam jiwa. Tidakkah kita semua berfikir ?. 

Ibunda Ratu Kidul menangis, takdir tengah bicara. "Lihatlah anak cucu kita saat ini, mereka meniru kelakuan kita dan kebiasaan yang dulu sering kita lakukan, sehingga telah menjadi suatu adat istiadat dan Kebudayaan secara turun temurun. Sungguh menyiksa... kalian adalah moyang meraka terserah mau kalian giring kemana mereka, tentunya kalian juga tahu harus di giring kemana mereka.... Jauh kita telah menerpa perjalanan kehidupan dan belajar di alam semesta, baru saja kemarin kita belajar dengan membangun Kerajaan tak cukupkah petikan kehidupan pada masa itu kalian ambil pelajaran, haruskah kesalahan terulang kembali."

Belajar, belajarlah wahai kesatria. Belajar dari atlantis dahulu bagaimana saat ditenggelamkan. Mengapakah hanya sebab cinta kalian lupa ?. Mengapakah hanya sebab harta kalian menista ?. Mengapakah hanya sebab kuasa kalian membabi buta. Bukankah dahulu kalian mampu menciptakan apa saja dengan kedipan mata ?. Kalian akan terus mengawal anak cucu kalian semua, mengantarkan diri mereka mengenal Tuhannya. Bukannya kalian malah terjebak bersama jiwa manusia dalam cinta ragawi. Sungguh, hanya siksa disana. Janganlah kau simpan dalam-dalam. Syukurilah itulah diam tasbihmu. Bahwa engkau diijinkan-Nya merasakan sebuah rahsa cinta, rahsa yang tak sama dengan lainnya. Campakan dan telantarkanlah cinta kalian kepada selain-Nya. Kau diamkanlah bahkan bila perlu tinggalkanlah dirinya yang selain-Nya. 

"Kekosongan dan Kefanaan, tak ada ruang dan waktu yang ada hanyalah Cahaya yang bermuatan Dzat yang Maha Hidup. Semua adalah Kefanaan, yang hidup hanyalah satu yaitu Dzat yang Maha Hidup." 

Pahamilah anak-anakku, ini Ibundamu berkata kepadamu, melalui tangan-tangan sepertimu jua. 

Wasalam, Ibunda RATU KIDUL

Mas Thole diam, membiarkan tangannya ada yang menggerakkannya. Membiarkan gelombang  laut nyanyikan rindu menikam kalbu. Membiarkan Romansa keluarga  Ratu Pantai Selatan menjadi episode tulisan kali ini. Menjadi penyaksi, yah hanya mengamati atas apapun yang terjadi, sebab semua itu sudah ada diawal cerita, sebelum bumi ini diciptakan.

wolohualam 

Komentar

  1. Teruslah berjihad saudara saudaraku Ksatria. Tak jadi soal keadaan kesadaran nafs kita saat ini, yang penting berjuang teguh hati menemukan kembali ruang universal dalam diri yang meliputi satu sama lain. Satu hidup dan satu kesadaran. Apa yang kita lihat dalam pengamatan adalah bagaimana niat pengamat apakah sebagai partikel atau gelombang. Jika berniat melihat partikel maka partikel dan semua keterpisahan dalam individu2 raga yang terlihat. Jika berniat melihat gelombang maka sifat2 gelombang yang hadir meliputi segala sesuatu yang terlihat. Tdk ada lagi perbedaan aku dia mereka, semua satu. Partikel dan gelombang adalah satu, gaib dan realitas adalah itu itu juga..sebagaimana cahaya yang dapat diamati sebagai foton (benda-partikel) maupun gelombang elektromagnetik. Semua kembali kepada niat murni dalam kesadaran pengamat. Semoga Allah memudahkan para Ksatria untuk kembali dalam leburan samudra kemanunggalan....amin ya robb

    BalasHapus
  2. Hidup bergerak dengan penuh kesadaran dan menerima Islam secara kaffah. Berjalan bersama raga, nafs dan ruh serta alam semesta. Semua diterima dan menjadi harmonisasi makhluk yang bernama manusia. Raga dengan seluk beluk dan takdir yang telah dituliskan untuknya. Jiwa dengan kesadaran diri, daya cipta, daya pikir dan rasanya, serta Ruh dengan daya hidup dan kesadaran universalnya semua adalah orkestra yang menjadu musik nan merdu indah dan Agung. Semua sudah sempurna dari Allah.

    Maka kita tinggal menjalani semua, menerima dan menyadari semua sambil berpegang pada Allah yang Maha Meliputi...tanpa harus menafikan salah satu unsur baik raga, jiwa, maupun Ruh. Jadi, tak ada yang salah dengan cinta ragawi, jiwa, maupun Ruh, yang penting adalah tiadanya kemelekatan terhadap semua itu. Menjalani, ikut berperan krn sdh menjadi takdir tanpa kemelekatan karena kemelekatan yang haq hanya kepada Allah.

    Dengan demikian Islam menjadi batubata terakhir dalam sebuah piramida spiritual. Pelengkap kesadaran-kesadaran sebelumnya yang seringkali menafikan unsur yang terlihat seolah-olah paling rendah yakni raga. Islam menerima semuanya dengan Kaffah

    Semoga Allah membimbing kita semua menuju kepadaNYA. Amiiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. kidung alamJuli 14, 2013

      Indahnya tulisan dan komentar ini.

      Hapus
  3. Dualitas dan singularitas adalah unsur yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Seringkali manusia terjebak di sisi dualitas. Semoga para Ksatria dapat menyadari dan mengalami keduanya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali