Kisah Spiritual, Makrifat Prabu Silihwangi

Barang siapa memperbanyak istighfar, niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar, dan untuk setiap kesempitannya kelapangan; dan Allah mengaruniai-nya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. “( HR.Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Al Hakim )

Inikah yang ingin agar disampaikan ?. Mas Thole bertanya pada hatinya, pada KAMI yang menyelinap di sholat nya tadi. Dan bisa dibayangkan saat KAMI menyelinap tersebut, bagaimana keadaannya ?. Tentu saja  mengakibatkan  seluruh tubuhnya terkunci. Menimbulkan lengkingan yang mistis. Seakan sel-sel tubuhnya tengah berteriak menahan ketidak mampuan mereka menahan energi yang masuk diketubuhan. Informasi yang dihantarkan KAMI tak mampu diterima raga terkini.  Diri seakan mengerti konsekwensi ini, maka bergetaranlah seluruh sel, bersinergi tunduk dan patuh. “Aku diam menyaksikan gerakan sel ketubuhan, yang ber-resonansi sendiri menyambut panggilan sang alam, mereka patuh menjadi saksi keberadaan rahsa bahwa tiada Tuhan selain Allah. ”

Sudah berberapa hari ini, Mas Thole berdiskusi dengan intensif bersama sang prabu.  Dia menghantarkan sebuah pemahaman yang terasa sangat aneh diawalnya. “Sebagai kesatria, sudah selayaknya,   jika   melihat suatu kemungkaran di muka bumi, maka segeralah beristigfar kepada Allah. Akui dan sadari bahwa kemungkaran tersebut bisa  terjadi karena kesalahan dirinya, kejadian tersebut murni 100% adalah tanggung jawab kesatria. Jangan membantah akui dan sadari saja, mohonlah ampun kepada Allah, atas kesalahan manusia yang tidak tahu, sebab mereka itu adalah tanggung jawab manusia yang sadar.” Hugh..!. Begitu sang prabu berpesan. Seperti menyesak seketika di dada.

Dia mencontohkan beberapa praktek istigfar, bahwa kejadian apapun yang terjadi di Indonesia ini, entah itu pembunuhan, korupsi, pelacuran, atau apapun yang pada saat kita melihatnya, dan ketika muncul rahsa tidak nyaman di hati kita. Jelas sekali bahwa itu 100% persen murni tanggung jawab kita. Kesalahan yang mungkin tidak terlintas pada diri kita, dan terjadi. Maka ambilah tanggung jawab itu. Siapa lagi yang akan mengambil tanggung jawab alam semesta jika bukan pemimpinnya ?.  Bukankah manusia adalah pemimpin alam semesta ?. Mengapakah kesatria  tidak berani mengambil alih kepemimpinan ini, dan mengakui bahwa kesalahan manusia ada pada diri kesatria.

Kesalahan dan kemungkaran  manusia adalah kontribusai pemimpinnya,  kesalahan diriya juga, yang tidak mampu memimpin dunia ini. Mau apa lagi, mau berkelit apalagi !?. “Tunjuklah dirimu sendiri, dan akui itu, ambilah tanggung jawab manusia yang tidak sadar, sebagai tanggung jawab dirimu !. Tidak usah mengeluh dan banyak bicara. Apalagi mengeluh atas  keadaan nusantara, dan juga takdirmu sendiri.” Bukti manusia adalah pemimpin dunia, dibuktikan dengan ini. Seorang pemimpin harus berani mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Itulah hukum seorang pemimpin. “Maka pertanyakanlah dirimu sendiri, layakkan dirimu sebagai kesatria, sebagai khalifah di muka bumi ini, jika tidak mampu untuk itu .” Mas Thole rasanya ingin menangis saja, ditelanjangi oleh suara KAMI yang seakan tahu setiap detil hatinya itu.”Bukan suatu yang gampang melakukan itu .“ Keluhnya di dalam hati.

Tiba-tiba saja denting lagu Ebiet G Ade menyelusup sesaat diketikkan tulisan ini.

“Oh bisikkanlah, kemanakah langkah meski kubawa
agar pasti akan bertemu untukku tumpahkan rindu
dilengan-Mu kutemukan cinta
dimata-Mu memancar makna
rindu ini tak tertahan lagi
untuk menangis di pangkuan-Mu.
Oh hembuskanlah nafas iman ke dalam sukma
Agar dapat kuyakini, hidup dan kehidupan ini’
(Hidup IV, by Ebiet G Ade)

Bait syair itu menyelusup perlahan, seperti membasuh pengap di dada. Perjalanan yang tak pernah selesai, memahami inti kehidupan. Entah sudah berpa hari, Mas Thole mencoba memaknai makrifat sang prabu ini. Keletihannya memang terasa. Hanya sebab matahari pagi  ini, saat sholat subuh tadi, mampu menumbuhkan jaringan pikiran. Sehingga kehangatannya telah mampu menyinari hati. Di pagi ini, mata hati mungkin harus  jauh lebih banyak melihat. Mungkin kesalahan kita di masa lalu, mungkin lintasan hati kita, pikiran kita, atau apapun yang tidak kita sadari. Niat kita sudah menjadi KUN bagi alam ini, maka ketika keadaan situasinya pas, maka akan  bertemu FA YA KUN. Jadilah, maka pasti akan terjadi. Maka bersegeralah kita istigfar, dan bertobatlah. Lintasan hati kita itulah tanda bahwa kita terlibat 100% persen atas peristiwa tersebut.

Pesan yang terasa agak aneh, bagi Mas Thole. Pemahamannya selama ini adalah jikalau kita beristigfar tentunya atas kesalahan diri kita. Mengapa kita harus memohon maaf atas sesuatu yang tidak kita sadari dan tdak kita lakukan ?. Agak aneh pemahaman ini. Pikir Mas Thole saat pertama kali diberitakan sang prabu dalam memaknai istigfar.  Pemaknaan yang berbeda sekali sebagaimana yang diajarkan kitab-kitab yang sering Mas Thole baca.

Kita sering diminta memohon ampun, bahkan kalau bisa menangisi kesalahan diri kita pribadi. Kesannya seperti tidak peduli dengan orang lain, yang penting kita masuk surga. Pengajaran yang menekankan sifat individualistis. Begitulah pemaknaan  yang selama ini sering kita dengar melalui mimbar-mibar masjid.  Pemaknaan tersebut berabad setelahnya, menggesar makna istigfar itu sendiri. Tumbuh perasaan lain, sesuatu yang tak terasa namun menjadi perintah pada alam bawah sadar kita. Sesuatu karkater yang ‘unik’, yaitu rahsa   tidak mau berbagi atas surga. Sebab kita merasa diri kita sudah ber istigfar berkali-kali. Maka seringkali saat ada orang yang mengaku surga itu milik mereka, kita jadi meradang. Bahkan baku hantam memperebutkan wilayah surga. Manusia serakah, wilayah surga saja diperebutkan, bila perlu dikangkanginya sendiri. Seakan-akan takut jika kita kehabisan kavling disana. He eh.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Mas Thole bisa menerima pemahaman tersebut. Menjadi pemikirannya sebelum ini, bagaimana teladan Rosulnya. Beliau beristigfar 70 kali sehari bahkan di beberapa riwayat sampai 100 kali seharinya. Bukankah beliau maksum. Apa yang mengkhawatirkan dirinya ?. Jadi mengapakah harus bersusah payah sedemikian hebatnya.

Rasanya pertanyaan itu terjawab sudah. Mas Thole mendapatkan keyakinan untuk dirinya sendiri bahwasanya Rosul beristigfar adalah mengambil tanggung jawab kesalahan umatnya, yang saat itu dan di abad-abad setelahnya. Sebagai pemimpin dia harus berani, mengakui bahwa kesalahan umatnya adalah kesalahan dirinya, maka dari itu Beliau beristigfar higga 100 kali sehari. mengakui, menyadari atas kelemahan umatnya itu. Memohon ampunan kepada Allah, biarlah dirinya yang menanggung kesalahan itu. Sedang umatnya, cukuplah bagi mereka ber sholawat saja, agar Rosul diberikan kekuatan terus menerus untuk memohonkan ampunan bagi umat-umatnya (syafat).

Pemahaman yang jika disampaikan secara fulgar akan dianggap sebagai pamer.  Beliau memohon maaf atas dosa-dosa umatnya.Ups. Allah hu akbar !.  Perhatikanlah dengan hati, sekali lagi !. Beliau meminta ampun kepada Tuhan, mengambil alih tanggung jawab tersebut , secara serta merta kesalahan itu dibebankan kepada dirinya. Betapa kesalahan yang terjadi, dianggap adalah tanggung jawabnya,  kemudian dengan tulus beliau memohon agar semua diampuni. Bergetaran jiwa Mas Thole ketika dalam hati muncul lintasan ini, betapa dahsyat akhlak Rosul. Bahkan pada saat akhir hayat Beliau, masih terdengar doa memohon ampun atas umatnya,”Umatku..umatku..!”.

Adakah manusia yang mampu mengambil alih kesalahan manusia lainnya  dan kemudian mengakui itu sebagai dosa-dosanya, setelahnya dia kemudian memohon ampun atas kesalahan ini?. Ugh..hampir saja menetes air mata Mas Thole. Maka pantas saja, jikalau Beliau adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Maka Mas Thole merunduk semakin dalam, bertambah kesaksiannya, bahwa Muhammad adalah Rosul Allah yang menjadi utusan-Nya untuk menjadi teladan umat manusia setelahnya bagaimana sesungguhnya manusia ber-istigfar.

Makanya alam menyukai dan akan mencintai orang-orang yang mampu bersikap seperti ini. Mengambil alih tanggung jawab kesalahan seluruh makhluk bumi, menjadikannya itu  tanggung jawab dirinya, dan pada setiap kesempatan selalu memohon ampun kepada Tuhannya, atas dosa-dosanya ini. Padahal jika kita kaji secara logika sepertinya tidak ada kaitannya sama sekali. “Sanggupkah kesatria ber akhlak seperti ini..?” Mas Thole menggeleng tak pasti. “Berat dan akan susah sekali..”

Rupanya istigfar yang selama ini dipahaminya, sudah disalah artikannya. Sehingga justru malahan berimplikasi sebaliknya. Selama ini, orang yang mengaku Islam karena sebab  hanya ‘niat’ memikirkan dirinya sendiri, karena sebab mereka  hanya memohon ampun untuk dirinya sendiri, ternyata pada akhirnya hanya akan menciptakan keegoisan berikutnya. Rahsa lebih baik, lebih suci dalam berspiritual. Mereka tidak sadar jika hal ini berlanjut tanpa kendali justru akan membuat diri kita semakin ter aliensi. Sebab dirinya merasa sudah memohon ampun setiap harinya, diri akan ter eksklusif sendiri. Inilah jebakan bagi yang sering beristigfar sebab niat yang keliru. Jebakan bagi para kesatria dalam beriman kepada-Nya.

Perhatikan saja lintasan hati, bagaimana jka kita maknai secara apa adanya berita di awal tulisan ini. Kita akan dengan getolnya membaca istigfar, nafsu kita  terus berharap akan diberikan rejeki sebagaimana khabar , hasil riiwayat,  Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Al Hakim diatas.  Masih belum cukup, biasanya  rasa bangga diri yang sering melintas karena memang  janji-janji Allah atas orang yang sering beristigfar ini. 

Banyak sekali pujian bagi orang yang sering beristigfar  bahkan ada riwayat lain yang lebih dahsyat lagi, Allah Tuhan pencipta alam dalam riwayat tersebut diberitakan lebih mencintai orang yang beristigfar, daripada orang yang ahli ibadah.  Betapa tinggi derajat orang yang beristigfar. Anehnya, entah siapa yang mengatakannya, kita merasa serasa sudah menjadi orang yang dimuliakan itu, sebab karena kita sudah beristigfar. Bukankah penisbatan manusia yang dimuliakan adalah hak Allah ?. Mengapakah  karenanya kemudian kita sombong atas kaum lainnya ?. Ugh..!.

Pembelajaran dari Prabu Silihwangi, membalikkan pemaknaan yang keliru selama ini. Orang Islam bukan dilatih untuk menjadi manusia yang ‘egois’ yaitu orang-orang yang hanya mementingkan  dirinya saja yang masuk surga. Orang Islam adalah orang yang senantiasa mengajak sahabat dan umat lainnya untuk masuk surga bersamanya. Jelaslah bahwa  orang yang berserah (Islam) adalah orang yang mau mendoakan dan mengambil alih dosa, serta mempertanggung jawabkannya,  sebagai bagian dari tanggung jawab diri mereka selama hidup di dunia ini. Rasa tanggung jawab ini harus disadari dan diutarakan  kepada sang pencipta. Inilah tugas para kesatria.

Di dunia ini harus ada orang yang seperti ini, sebab dengan inilah hukum-hukum kesadaran dipertahankan. Jika tidak ada yang seperti ini maka keberadaan alam akan sedikit demi sedikit hilang dari kesadaran manusia. Manusia akan terus berebutan surga bagi diri mereka sendiri. Motivasi mereka atas surga sudah tidak murni lagi. Mereka menjadi orang-orang yang ‘individualistik’ .  Inilah bahayanya.

Alam membutuhkan orang-orang yang mau menjadi pemimpin, mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan dan dosa manusia lainnya. Sebab orang-orang  seperti ini ibarat ‘paru-paru’ dunia  atau ibarat ‘vacum cleaner’. Mereka menyiapkan diri mereka sebegitunya sehingga sanggup menjadi ‘paru-paru’ peradaban manusia. Mereka mempergunakan waktu ibadah mereka untuk memohon ampun atas dosa-dosa orang lain yang tidak berkaitan sama sekali secara fisik dengan diri mereka. Mereka mengambil alih tanggung jawab itu. Mereka bersihkan di dalam hati mereka, memohon rahmat dan ridho-Nya. Mereka adalah ‘paru-paru’ dunia bagi peradaban manusia yang sudah seperti ini keadaannya.

Maka jka saja ada satu saja ‘paru-paru’ hidup (wali Allah) seperti ini pada suatu kaum. Maka Allah akan menahan azab pada kaum tersebut. Sebab orang itulah yang akan mengambil alih, membersihkan getaran energi ‘dosa-dosa’ di alam dimana dia tinggal. Maka Islam memberikan tempat dan derajat yang tinggi kepada ulama yang mau seperti ini. Sayang sekali, di jaman sepeerti ini sudah banyak ulama yang mengejar materi. Mereka sibuk menjadi artis. Mereka tidak disiapkan menjadi ‘paru-paru’ ibukota ini. Maka dari itu, tugas para kesatria lah yang sekarang harus mengambil alih hal ini. Begitulah pesan sang prabu. Minimal dari apa yang kita lihat sehari-hari. Mulai dari yang kecil-kecil saja.

Tidak usahlah kita bicara perihal manusia adalah rahmat semesta alam. Jika menjadi rahmat sekeliling kita saja kita tidak bisa. Tidak usahlah kita berbicara perihal nusantara, jika memberikan manfaat bagi sesama saja juga belum bisa. Hik..!. Begitulah hikmah yang bisa diambil Mas Thole menyoal keadaan ini. Sang prabu benar, sesungguhnya apa yang bisa kita lakukan selain hanya doa dan berdoa saja. Mengapakah kita tidak berbuat lebih dengan mengambil alih tanggung jawab dosa-dosa sesama kita. Bukankah korupsi, pelacuran, aborsi, keserakahan dan kehancuran moral anak bangsa ini disebabkan karena kesalahan kita di masa lalu ?. Bukankah itu berarti ini semua dosa-dosa kita semua. Bukankah sama saja ini semua tanggung jawab para kesatria. Apa yangterjadi sehingga nusantara menangis adalah tanggung jawab kesatria 100%. Begitu keadaannya, suka atau tidak suka memang begitu adanya.

Kehancuran seperti sekarang ini, tidaklah terjadi serta merta. Bukankah leluhur juga sudah mendampingi anak keturunannya. Mengapakah masih bisa melahirkan generasi ‘sakit’. Generasi yang tidak memiliki ‘empati’. Maka pastilah kita semua, para leleuhur, dan orang-orang atlantis telah mengambil peranan sehingga ini semua terjadi. Akuilah, terimalah, dan sadarilah, bahwa bagian dari diri kita sudah mengambil peranan penghancuran atas negri ini. Semoga Allah memaafkan diri kita semuanya. Janganlah bermimpi menjadi manusia yang menjadi rahmat alam. Tidak usah sejauh itu. Ambil alih tanggung jawab kerusakan bangsa ini. Jadilah ‘paru-paru',  jadilah ‘vacum cleaner’ bersihkan dosa-dosa tersebut di dalam hati kita, rasakanlah sendiri bagaimana rasanya. sehingga kemudian Allah berkenan mememberikan ampunan atas kesalahan kita umat manusia.

Jika Allah telah mengampuni kesalahan bangsa ini, maka akan terasa lega di hati ini. Keadaan hening, dan suwung, nanti itu yang diarasakan. Pesan sang prabu, bersihkan dari satu demi satu kesalahan-kesalahan, cucilah di dalam hati kita dosa-dosa kolektif bangsa ini. Sungguh jika kita mampu begini, inilah yang bisa disebutkan kita menjadi rahmat bagi lingkungan kita, bagi alam ini, sebab kita mau menjadi ‘paru-paru’. Maka bagi manusia yang mau menetapi laku ini, berlakulah bagi dirinya   kemuliaan sebagaimana dikahabarkan oleh hadist tersebut di atas. Jika tidak, janganlah kita terlalu berharap menjadikan diri kita rahmat bagi lainnya. Itu sesuatu yang tidak mungkin. Bersiap jadilah ‘paru-paru’ maka engkau akan mendapatkan apa yang diberikan keapada orang-orang yang sering beristigfar. Yaitu sebutan rahmat bagi alam. Begitulah KAMI memberitahu kepada Mas Thole tentang makna hakekat pembelajaran yang diberikan oleh Prabu Silihwangi.

Maka Mas Thole diam dalam ego-nya. Bilakah dirinya sanggup seperti itu. Dalam kancah peradaban yang mementingkan diri, adakah orang yang mau seperti itu. Hmm, berat-berat sekali. Namun dirinya meyakini akan kebenaran ini, sebab KAMI sendiri sudah mengambarkan kepada Mas Thole. Tidak ada jalan berbalik kebelakang, dia akan berusaha menjadi seperti itu. Meski taruhannya adalah jiwanya sendiri. Dalam sujud yang dalam, dia mencoba menetapi takdirnya sebagai bagian dari para kesatria bumi. Maka menangislah dia , dalam ketidak mampuan diri, mohon kepada-Nya agar diberikan kekuatan menetapi ini. Mempelajari makrifat Prabu Silihwangi ini.  

“Hmm, begitu sulitkah rupanya manusia yang dapat dikatakan menjadi rahmat alam.” Kemudian dia berkata seakan bergumam sendiri. Begitu berat beban dirinya, setelah tahu hikmah-hikmah kehidupan. Dirinya terbang bersama syair  Ebiet G Ade yang menghantarkannya bersembunyi dari kulitnya sendiri.

“Sekarang aku tengah tengadah ke langit
berjalan di atas bintang-bintang
bersembunyi dari bayang-bayangku sendiri
yang sengaja ku tinggal diatas bukit
Aku yang bersembunyi di bawah kulit ku sendiri
kapankah mampu berdiri
lihatlah kedua tanganku
yang kini mulai bergetar,
 sebab ada yang tak seimbang antara hasrat dan beban
atau karena jiwaku yang kini mulai rapuh
lihatlah bilik di jantungku, denyutnya tak rapi lagi
seperti akan segera berhenti dan mati
Hiks..”


wolohualam

Komentar

  1. Subhanalloooh, sebuah pemahaman yang ekstrim namun mengandung hikmah yang luar biasa. Tidak ada lagi sikap menyalahkan apapun siapapun dalam setiap kejadian....namun hanya karya nyata untuk diri dan lingkungannya agar menjadi lebih baik...dan menghilangkan sirr sombong yang sangat halus yang seringkali tidak disadari hinggap di hati....Semoga Allah merahmati Mas Thole yang mengkabarkan hal ini kepada masyarakat

    BalasHapus
  2. Alhamdulillaaah, Subhanallaaah, semoga Istighfar dengan pemaknaan seperti ini dapat membawa manusia Indonesia memiliki kesadaran yang melampaui ego diri sendiri menuju kesadaran yang lebih luas, lebih universal, kesadaran alam semesta,Amiiin Amiiin Ya Robbal Alamiiin

    BalasHapus
  3. Terimakasih ya Allah, terimakasih Mas Tholee...saya telah DITAMPAR oleh kabar dan pemahaman ini.Membalik semua persepsi dan pemahaman saya. Semoga selanjutnya dapat mengubah perilaku saya khususnya menjadi lebih mawas diri dan rendah hati...Hanya milik Allah semua Keagungan dan Kesombongan

    BalasHapus
  4. Kidung alamAgustus 05, 2013

    Ijinkan aku menambah sedikit lagi pemahaman istighfar ini…
    Sekali lagi maaf bila salah… Maafkan dan maafkan…
    Istighfar yang merupakan pengambil alihan
    beban kesalahan penghuni alam…
    Kesalahan sang adam yg menuruti hawa …
    Melanggar memakan buah larangan..
    Mengambil alih beban kesalahan sesama manusia…
    Demikian pula ijinkan aku beristigfar untuk kesalahanmu
    Ijinkan aku memohon ampun kepada Tuhanku atas dosa mereka
    Saat menurutkan keinginan sang hawanya…
    …maafkan aku…
    maafkan bila aku terkesan sombong…
    Tetapi sungguh ini kebutuhanku
    Mengambil alih atas hawa di alam ini
    Untuk menyucikan hawa alam…
    Bukannya aku suci …
    Tetapi agar aku mampu bertahan…
    aku puas…aku ridho… Aku tenang…
    …kesalahan manusia melanggar larangan tuhan
    Adalah kesalahanku yg sadar
    Mereka tidak tahu..mereka tidak tahu..mereka tidak sadar
    Dan aku yg menyadari itu menjadi kebutuhanku
    Kebutuhanku …
    Seharusnya aku menyadarkan mereka
    Seharusnya aku memberitahu mereka…
    Maka menjadi sebuah kebutuhanku
    Bersimpuh di hadapan Tuhanku
    Mewakili mereka yg belum sadar
    Mengambil alih kesadaran mereka
    Mengambil alih tanggung jawab mereka
    Memohon ampun beristigfar
    Sehingga kesadaran mereka mampu disucikan…
    Sehingga aku mampu tenang dan ridho
    Melihat kesalahan dan kemungkaran di alam
    Karena kesalahan mereka adalah tanggung jawabku

    Aku memohonkan ampun mereka di alam semesta ini
    Karena aku merasakan tangisan kesadaran mereka…
    Aku merasakan penyesalan ruh mereka di alam
    Sayang mereka tertutup hijab…
    Sebagaimana akupun begitu

    Itupun hijabku
    Itupun kelemahanku
    Itupun kesalahanku
    Itupun dosaku
    Itu tanggung jawabku
    Di hadapan Tuhanku

    Dan itulah istighfarku
    Itulah pertobatanku…
    Itulah makna tobat bagiku

    Maafkan bila apa yg ada dlm persepsiku adalah salah
    Maafkan bila itu hanya sekedar ibarat semata pula

    BalasHapus
  5. Kidung alamAgustus 05, 2013

    Marilah saya ajak sebentar berkelana bersama saya
    Mendengarkan alam dalam nyanyinya … Dalam kidungnya…
    Dalam tangisnya… Dalam rintihannya … Dalam keluhannya…
    Menahan beban kesadaran anak-anak sang ibu
    Ibu pertiwi yg selalu dalam kasih sayang
    Yang hanya memberi dan tak harap kembali…
    Dan dosa yg merebak menikam jantung ibunda
    Pelacuran…perzinahan… Korupsi… Pembunuhan…
    Dan banyak dosa yg tak terbayangkan
    Anak berzina dg sang ibu…ayah berzina dengan anak..
    Ibu menjual anak… Remaja menjual kehormatan…
    Video mesum begitu marak…
    Sedekat jemari tangan hanya klik
    Kesadaran telah kotor…
    Kesadaran telah menjadi polusi di alam…
    Dan itupun menjadi kesalahan diri yang sadar…
    Mampukah dan maukah anda semua
    Mengambil alih beban kesadaran alam
    Menyucikan hawa alam…membersihkan dan menyaring
    Memikul tanggung jawab kesalahan penghuni alam
    Mengakui diri ini bertanggung jawab atas yg terjadi di alam
    Memikul itu di hadapan Tuhan dalam doa dan istighfar
    Hakekat kesalahan mereka adalah kesalahan anak adam
    Yg menurutkan keinginan hawa
    Dan termasuk anak adam dalam diri
    Maka istighfar sebagai pengakuan dan kebutuhan diri
    Kebutuhan diri yg tidak menurutkan ego atau hawa
    Yaitu keinginan diri menjadi suci
    Agar diri sendiri yg masuk syurga
    Pengejaran keingan hawa menjadi suci

    Mari kita luruhkan dan mari kita endapkan
    Hakekatnya diri kita membiarkan kesalahan mereka
    Membiarkan diri sendiri dengan mengabaikan dosa mereka…
    Diri ini egois dan masa bodoh selama bukan diri sendiri yang berbuat
    Mari layaknya atau tiru suri tauladan rasulullah
    Yg berdoa beristighfar sehari 70 kali memohon ampun
    Atas kesalahan ummatnya dalam doa…ummati…ummati
    …mari kita masuki rasa rasulullah ketika istighfar…
    Istighfar yg tidak menurutkan hawa nafsunya…kepentingan dirinya
    … Tetapi sebagai alat bagi penyucian kesadaran alam
    Menyucikan hawa di alam semesta

    Ijinkan aku bersimpuh dan memohon kepadamu berdua
    Yang dikasihi dan disayangi Allah…yang dicintai Allah…
    Ambillah beban kesadaran anak adam…
    Datang dan akui di ruang Tuhan
    Bahwa inilah 100 persen kesalahan diri
    Tidak usah berkilah..dan mencari alasan…
    Namun datang merunduk dlm berserah diri
    Memohon ampun kesalahan anak bangsa
    Mengambil alih tanggung jawab mereka yg bersalah
    Sebagai kesalahan diri yg sadar

    Dan biarlah diri ini dalam rasa diampuni dan disucikan…
    Lalu kabarkan kepada alam berita ampunan dan rahmat Tuhan
    Beritakan kesadaran yg disucikan ini kepada alam…
    Maka mereka yg sadar akan mampu menghirup hawa yg suci…
    Hawa yg disucikan oleh Tuhanmu

    Sehingga anak adam
    Mampu tinggal dan menetap di alam dengan tenang puas dan ridho

    Sungguh polusi hawa kesadaran ini begitu pekat…dan sudah
    Saatnya sang pemilik kesadaran tinggi
    Mengambil alih tanggung jawab kesadaran alam….

    Sehingga berkurang polusi hawa di alam kesadaran ini…
    dan mampu
    Merasakan segarnya hawa yg disucikan ini

    Dan dengan menghaturkan penghormatan tertinggi
    Saya ucapkan terima kasih..
    Ijinkan jiwa saya bersimpuh… Mencium ujung kaki kesadaran jiwa anda

    Sebagai ungkapan terima kasih dan syukur bila mau mengambil alih ini…
    Teriring kasih sayang alam…
    Coba dengarkan kidung mereka
    Coba dengarkan ucapan syukur mereka
    Coba dengarkan tasbih mereka…
    Begitu nyata dalam kesadaran..

    Dan maafkan saya hanya menyampaikan pesan mereka
    Menjadi penyambung lidah mereka
    Menjadi penterjemah
    Saat mereka mengidungkan megatruh
    Nyanyi sedih yg begitu menyayat jiwa…

    Semoga nanti, tembang indah segera mereka mainkan
    Atas kerelaan anda semua menjadi wali
    Menjadi wakil mereka ..menjadi khalifah alam…
    Sang ksatria alam….

    Dan kidung alam masih terus mengalun lembut
    Dan pasti mampu kau rasakan
    Mengalun dalam barisan dan kelembutan kalimatku ini
    Dan kidung alam berjuta kali lebih lembut dari kidungku ini

    Salam dan terima kasih

    BalasHapus
  6. Subhanallah.. Allah hu Akbar...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali