Kisah Spiritual, Makrifat Prabu Silihwangi
“Barang siapa memperbanyak
istighfar, niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar, dan
untuk setiap kesempitannya kelapangan; dan Allah mengaruniai-nya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. “( HR.Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan Al Hakim )
Inikah
yang ingin agar disampaikan ?. Mas Thole bertanya pada hatinya, pada KAMI yang
menyelinap di sholat nya tadi. Dan bisa dibayangkan saat KAMI menyelinap tersebut,
bagaimana keadaannya ?. Tentu saja mengakibatkan seluruh tubuhnya terkunci. Menimbulkan
lengkingan yang mistis. Seakan sel-sel tubuhnya tengah berteriak menahan
ketidak mampuan mereka menahan energi yang masuk diketubuhan. Informasi yang
dihantarkan KAMI tak mampu diterima raga terkini. Diri seakan mengerti konsekwensi ini, maka
bergetaranlah seluruh sel, bersinergi tunduk dan patuh. “Aku diam menyaksikan gerakan sel ketubuhan, yang ber-resonansi sendiri
menyambut panggilan sang alam, mereka patuh menjadi saksi keberadaan rahsa bahwa
tiada Tuhan selain Allah. ”
Sudah
berberapa hari ini, Mas Thole berdiskusi dengan intensif bersama sang
prabu. Dia menghantarkan sebuah
pemahaman yang terasa sangat aneh diawalnya. “Sebagai kesatria, sudah selayaknya, jika melihat suatu kemungkaran di muka bumi, maka
segeralah beristigfar kepada Allah. Akui dan sadari bahwa kemungkaran tersebut
bisa terjadi karena kesalahan dirinya,
kejadian tersebut murni 100% adalah tanggung jawab kesatria. Jangan membantah
akui dan sadari saja, mohonlah ampun kepada Allah, atas kesalahan manusia yang
tidak tahu, sebab mereka itu adalah tanggung jawab manusia yang sadar.” Hugh..!.
Begitu sang prabu berpesan. Seperti menyesak seketika di dada.
Dia
mencontohkan beberapa praktek istigfar, bahwa kejadian apapun yang terjadi di
Indonesia ini, entah itu pembunuhan, korupsi, pelacuran, atau apapun yang pada
saat kita melihatnya, dan ketika muncul rahsa tidak nyaman di hati kita. Jelas
sekali bahwa itu 100% persen murni tanggung jawab kita. Kesalahan yang mungkin
tidak terlintas pada diri kita, dan terjadi. Maka ambilah tanggung jawab itu.
Siapa lagi yang akan mengambil tanggung jawab alam semesta jika bukan
pemimpinnya ?. Bukankah manusia adalah
pemimpin alam semesta ?. Mengapakah kesatria tidak berani mengambil alih kepemimpinan ini,
dan mengakui bahwa kesalahan manusia ada pada diri kesatria.
Kesalahan
dan kemungkaran manusia adalah
kontribusai pemimpinnya, kesalahan
diriya juga, yang tidak mampu memimpin dunia ini. Mau apa lagi, mau berkelit
apalagi !?. “Tunjuklah dirimu sendiri,
dan akui itu, ambilah tanggung jawab manusia yang tidak sadar, sebagai tanggung
jawab dirimu !. Tidak usah mengeluh dan banyak bicara. Apalagi mengeluh atas keadaan nusantara, dan juga takdirmu sendiri.”
Bukti manusia adalah pemimpin dunia, dibuktikan dengan ini. Seorang pemimpin
harus berani mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh
bawahannya. Itulah hukum seorang pemimpin. “Maka
pertanyakanlah dirimu sendiri, layakkan dirimu sebagai kesatria, sebagai
khalifah di muka bumi ini, jika tidak mampu untuk itu .” Mas Thole rasanya
ingin menangis saja, ditelanjangi oleh suara KAMI yang seakan tahu setiap detil
hatinya itu.”Bukan suatu yang gampang
melakukan itu .“ Keluhnya di dalam hati.
Tiba-tiba
saja denting lagu Ebiet G Ade menyelusup sesaat diketikkan tulisan ini.
“Oh bisikkanlah, kemanakah
langkah meski kubawa
agar pasti akan bertemu
untukku tumpahkan rindu
dilengan-Mu kutemukan cinta
dimata-Mu memancar makna
rindu ini tak tertahan lagi
untuk menangis di pangkuan-Mu.
Oh hembuskanlah nafas iman ke
dalam sukma
Agar dapat kuyakini, hidup dan
kehidupan ini’
(Hidup IV, by Ebiet G Ade)
Bait
syair itu menyelusup perlahan, seperti membasuh pengap di dada. Perjalanan yang
tak pernah selesai, memahami inti kehidupan. Entah sudah berpa hari, Mas Thole
mencoba memaknai makrifat sang prabu ini. Keletihannya memang terasa. Hanya sebab
matahari pagi ini, saat sholat subuh
tadi, mampu menumbuhkan jaringan pikiran. Sehingga kehangatannya telah mampu
menyinari hati. Di pagi ini, mata hati mungkin harus jauh lebih banyak melihat. Mungkin kesalahan
kita di masa lalu, mungkin lintasan hati kita, pikiran kita, atau apapun yang
tidak kita sadari. Niat kita sudah menjadi KUN bagi alam ini, maka ketika
keadaan situasinya pas, maka akan
bertemu FA YA KUN. Jadilah, maka pasti akan terjadi. Maka bersegeralah
kita istigfar, dan bertobatlah. Lintasan hati kita itulah tanda bahwa kita terlibat
100% persen atas peristiwa tersebut.
Pesan
yang terasa agak aneh, bagi Mas Thole. Pemahamannya selama ini adalah jikalau
kita beristigfar tentunya atas kesalahan diri kita. Mengapa kita harus memohon
maaf atas sesuatu yang tidak kita sadari dan tdak kita lakukan ?. Agak aneh
pemahaman ini. Pikir Mas Thole saat pertama kali diberitakan sang prabu dalam
memaknai istigfar. Pemaknaan yang
berbeda sekali sebagaimana yang diajarkan kitab-kitab yang sering Mas Thole
baca.
Kita
sering diminta memohon ampun, bahkan kalau bisa menangisi kesalahan diri kita
pribadi. Kesannya seperti tidak peduli dengan orang lain, yang penting kita
masuk surga. Pengajaran yang menekankan sifat individualistis. Begitulah pemaknaan yang selama ini sering kita dengar melalui mimbar-mibar
masjid. Pemaknaan tersebut berabad
setelahnya, menggesar makna istigfar itu sendiri. Tumbuh perasaan lain, sesuatu
yang tak terasa namun menjadi perintah pada alam bawah sadar kita. Sesuatu
karkater yang ‘unik’, yaitu rahsa tidak
mau berbagi atas surga. Sebab kita merasa diri kita sudah ber istigfar
berkali-kali. Maka seringkali saat ada orang yang mengaku surga itu milik
mereka, kita jadi meradang. Bahkan baku hantam memperebutkan wilayah surga.
Manusia serakah, wilayah surga saja diperebutkan, bila perlu dikangkanginya
sendiri. Seakan-akan takut jika kita kehabisan kavling disana. He eh.
Seiring
berjalannya waktu, akhirnya Mas Thole bisa menerima pemahaman tersebut. Menjadi
pemikirannya sebelum ini, bagaimana teladan Rosulnya. Beliau beristigfar 70
kali sehari bahkan di beberapa riwayat sampai 100 kali seharinya. Bukankah
beliau maksum. Apa yang mengkhawatirkan dirinya ?. Jadi mengapakah harus
bersusah payah sedemikian hebatnya.
Rasanya
pertanyaan itu terjawab sudah. Mas Thole mendapatkan keyakinan untuk dirinya
sendiri bahwasanya Rosul beristigfar adalah mengambil tanggung jawab kesalahan
umatnya, yang saat itu dan di abad-abad setelahnya. Sebagai pemimpin dia harus
berani, mengakui bahwa kesalahan umatnya adalah kesalahan dirinya, maka dari
itu Beliau beristigfar higga 100 kali sehari. mengakui, menyadari atas
kelemahan umatnya itu. Memohon ampunan kepada Allah, biarlah dirinya yang
menanggung kesalahan itu. Sedang umatnya, cukuplah bagi mereka ber sholawat
saja, agar Rosul diberikan kekuatan terus menerus untuk memohonkan ampunan bagi
umat-umatnya (syafat).
Pemahaman
yang jika disampaikan secara fulgar akan dianggap sebagai pamer. Beliau memohon maaf atas dosa-dosa umatnya.Ups.
Allah hu akbar !. Perhatikanlah dengan hati, sekali lagi !. Beliau
meminta ampun kepada Tuhan, mengambil alih tanggung jawab tersebut , secara
serta merta kesalahan itu dibebankan kepada dirinya. Betapa kesalahan yang
terjadi, dianggap adalah tanggung jawabnya, kemudian dengan tulus beliau memohon agar
semua diampuni. Bergetaran jiwa Mas Thole ketika dalam hati muncul lintasan
ini, betapa dahsyat akhlak Rosul. Bahkan pada saat akhir hayat Beliau, masih
terdengar doa memohon ampun atas umatnya,”Umatku..umatku..!”.
Adakah
manusia yang mampu mengambil alih kesalahan manusia lainnya dan kemudian mengakui itu sebagai
dosa-dosanya, setelahnya dia kemudian memohon ampun atas kesalahan ini?.
Ugh..hampir saja menetes air mata Mas Thole. Maka pantas saja, jikalau Beliau
adalah rahmat bagi seluruh alam semesta. Maka Mas Thole merunduk semakin dalam,
bertambah kesaksiannya, bahwa Muhammad adalah Rosul Allah yang menjadi
utusan-Nya untuk menjadi teladan umat manusia setelahnya bagaimana sesungguhnya
manusia ber-istigfar.
Makanya
alam menyukai dan akan mencintai orang-orang yang mampu bersikap seperti ini.
Mengambil alih tanggung jawab kesalahan seluruh makhluk bumi, menjadikannya
itu tanggung jawab dirinya, dan pada
setiap kesempatan selalu memohon ampun kepada Tuhannya, atas dosa-dosanya ini. Padahal
jika kita kaji secara logika sepertinya tidak ada kaitannya sama sekali. “Sanggupkah kesatria ber akhlak seperti
ini..?” Mas Thole menggeleng tak pasti. “Berat dan akan susah sekali..”
Rupanya
istigfar yang selama ini dipahaminya, sudah disalah artikannya. Sehingga justru
malahan berimplikasi sebaliknya. Selama ini, orang yang mengaku Islam karena
sebab hanya ‘niat’ memikirkan dirinya
sendiri, karena sebab mereka hanya
memohon ampun untuk dirinya sendiri, ternyata pada akhirnya hanya akan
menciptakan keegoisan berikutnya. Rahsa lebih baik, lebih suci dalam
berspiritual. Mereka tidak sadar jika hal ini berlanjut tanpa kendali justru
akan membuat diri kita semakin ter aliensi. Sebab dirinya merasa sudah memohon
ampun setiap harinya, diri akan ter eksklusif sendiri. Inilah jebakan bagi yang
sering beristigfar sebab niat yang keliru. Jebakan bagi para kesatria dalam
beriman kepada-Nya.
Perhatikan
saja lintasan hati, bagaimana jka kita maknai secara apa adanya berita di awal
tulisan ini. Kita akan dengan getolnya membaca istigfar, nafsu kita terus berharap akan diberikan rejeki
sebagaimana khabar , hasil riiwayat, Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah dan Al Hakim diatas. Masih belum cukup, biasanya rasa bangga diri yang sering melintas karena
memang janji-janji Allah atas orang yang
sering beristigfar ini.
Banyak sekali pujian bagi orang yang sering beristigfar bahkan ada riwayat lain yang lebih dahsyat lagi, Allah Tuhan pencipta alam dalam riwayat tersebut diberitakan lebih mencintai orang yang beristigfar, daripada orang yang ahli ibadah. Betapa tinggi derajat orang yang beristigfar. Anehnya, entah siapa yang mengatakannya, kita merasa serasa sudah menjadi orang yang dimuliakan itu, sebab karena kita sudah beristigfar. Bukankah penisbatan manusia yang dimuliakan adalah hak Allah ?. Mengapakah karenanya kemudian kita sombong atas kaum lainnya ?. Ugh..!.
Banyak sekali pujian bagi orang yang sering beristigfar bahkan ada riwayat lain yang lebih dahsyat lagi, Allah Tuhan pencipta alam dalam riwayat tersebut diberitakan lebih mencintai orang yang beristigfar, daripada orang yang ahli ibadah. Betapa tinggi derajat orang yang beristigfar. Anehnya, entah siapa yang mengatakannya, kita merasa serasa sudah menjadi orang yang dimuliakan itu, sebab karena kita sudah beristigfar. Bukankah penisbatan manusia yang dimuliakan adalah hak Allah ?. Mengapakah karenanya kemudian kita sombong atas kaum lainnya ?. Ugh..!.
Pembelajaran dari Prabu Silihwangi, membalikkan
pemaknaan yang keliru selama ini. Orang Islam bukan dilatih untuk menjadi
manusia yang ‘egois’ yaitu orang-orang yang hanya mementingkan dirinya saja yang masuk surga. Orang Islam
adalah orang yang senantiasa mengajak sahabat dan umat lainnya untuk masuk
surga bersamanya. Jelaslah bahwa orang
yang berserah (Islam) adalah orang yang mau mendoakan dan mengambil alih dosa,
serta mempertanggung jawabkannya, sebagai bagian dari tanggung jawab diri mereka
selama hidup di dunia ini. Rasa tanggung jawab ini harus disadari dan
diutarakan kepada sang pencipta. Inilah
tugas para kesatria.
Di dunia ini harus ada orang yang seperti ini,
sebab dengan inilah hukum-hukum kesadaran dipertahankan. Jika tidak ada yang
seperti ini maka keberadaan alam akan sedikit demi sedikit hilang dari
kesadaran manusia. Manusia akan terus berebutan surga bagi diri mereka sendiri.
Motivasi mereka atas surga sudah tidak murni lagi. Mereka menjadi orang-orang
yang ‘individualistik’ . Inilah bahayanya.
Alam membutuhkan orang-orang yang mau menjadi pemimpin,
mengambil alih tanggung jawab atas kesalahan dan dosa manusia lainnya. Sebab orang-orang
seperti ini ibarat ‘paru-paru’ dunia atau
ibarat ‘vacum cleaner’. Mereka menyiapkan diri mereka sebegitunya sehingga sanggup
menjadi ‘paru-paru’ peradaban manusia. Mereka mempergunakan waktu ibadah mereka
untuk memohon ampun atas dosa-dosa orang lain yang tidak berkaitan sama sekali
secara fisik dengan diri mereka. Mereka mengambil alih tanggung jawab itu.
Mereka bersihkan di dalam hati mereka, memohon rahmat dan ridho-Nya. Mereka
adalah ‘paru-paru’ dunia bagi
peradaban manusia yang sudah seperti ini keadaannya.
Maka jka saja ada satu saja ‘paru-paru’ hidup (wali Allah) seperti ini pada suatu kaum. Maka
Allah akan menahan azab pada kaum tersebut. Sebab orang itulah yang akan
mengambil alih, membersihkan getaran energi ‘dosa-dosa’ di alam dimana dia
tinggal. Maka Islam memberikan tempat dan derajat yang tinggi kepada ulama yang
mau seperti ini. Sayang sekali, di jaman sepeerti ini sudah banyak ulama yang
mengejar materi. Mereka sibuk menjadi artis. Mereka tidak disiapkan menjadi ‘paru-paru’ ibukota ini. Maka dari itu,
tugas para kesatria lah yang sekarang harus mengambil alih hal ini. Begitulah
pesan sang prabu. Minimal dari apa yang kita lihat sehari-hari. Mulai dari yang
kecil-kecil saja.
Tidak usahlah kita bicara perihal manusia adalah
rahmat semesta alam. Jika menjadi rahmat sekeliling kita saja kita tidak bisa.
Tidak usahlah kita berbicara perihal nusantara, jika memberikan manfaat bagi
sesama saja juga belum bisa. Hik..!. Begitulah hikmah yang bisa diambil Mas
Thole menyoal keadaan ini. Sang prabu benar, sesungguhnya apa yang bisa kita
lakukan selain hanya doa dan berdoa saja. Mengapakah kita tidak berbuat lebih dengan
mengambil alih tanggung jawab dosa-dosa sesama kita. Bukankah korupsi,
pelacuran, aborsi, keserakahan dan kehancuran moral anak bangsa ini disebabkan
karena kesalahan kita di masa lalu ?. Bukankah itu berarti ini semua dosa-dosa
kita semua. Bukankah sama saja ini semua tanggung jawab para kesatria. Apa
yangterjadi sehingga nusantara menangis adalah tanggung jawab kesatria 100%.
Begitu keadaannya, suka atau tidak suka memang begitu adanya.
Kehancuran seperti sekarang ini, tidaklah terjadi
serta merta. Bukankah leluhur juga sudah mendampingi anak keturunannya.
Mengapakah masih bisa melahirkan generasi ‘sakit’. Generasi yang tidak
memiliki ‘empati’. Maka pastilah kita semua, para leleuhur, dan orang-orang
atlantis telah mengambil peranan sehingga ini semua terjadi. Akuilah, terimalah,
dan sadarilah, bahwa bagian dari diri kita sudah mengambil peranan penghancuran
atas negri ini. Semoga Allah memaafkan diri kita semuanya. Janganlah bermimpi
menjadi manusia yang menjadi rahmat alam. Tidak usah sejauh itu. Ambil alih
tanggung jawab kerusakan bangsa ini. Jadilah ‘paru-paru', jadilah ‘vacum cleaner’ bersihkan dosa-dosa
tersebut di dalam hati kita, rasakanlah sendiri bagaimana rasanya. sehingga
kemudian Allah berkenan mememberikan ampunan atas kesalahan kita umat manusia.
Jika Allah telah mengampuni kesalahan bangsa ini,
maka akan terasa lega di hati ini. Keadaan hening, dan suwung, nanti itu yang diarasakan. Pesan sang prabu, bersihkan dari satu demi satu kesalahan-kesalahan, cucilah di dalam hati kita
dosa-dosa kolektif bangsa ini. Sungguh jika kita mampu begini, inilah yang bisa
disebutkan kita menjadi rahmat bagi lingkungan kita, bagi alam ini, sebab kita
mau menjadi ‘paru-paru’. Maka bagi manusia yang mau menetapi laku ini,
berlakulah bagi dirinya kemuliaan
sebagaimana dikahabarkan oleh hadist tersebut di atas. Jika tidak, janganlah kita
terlalu berharap menjadikan diri kita rahmat bagi lainnya. Itu sesuatu yang
tidak mungkin. Bersiap jadilah ‘paru-paru’
maka engkau akan mendapatkan apa yang diberikan keapada orang-orang yang sering
beristigfar. Yaitu sebutan rahmat bagi alam. Begitulah KAMI memberitahu kepada
Mas Thole tentang makna hakekat pembelajaran yang diberikan oleh Prabu Silihwangi.
Maka Mas Thole diam dalam ego-nya. Bilakah
dirinya sanggup seperti itu. Dalam kancah peradaban yang mementingkan diri,
adakah orang yang mau seperti itu. Hmm, berat-berat sekali. Namun dirinya
meyakini akan kebenaran ini, sebab KAMI sendiri sudah mengambarkan kepada Mas
Thole. Tidak ada jalan berbalik kebelakang, dia akan berusaha menjadi seperti
itu. Meski taruhannya adalah jiwanya sendiri. Dalam sujud yang dalam, dia
mencoba menetapi takdirnya sebagai bagian dari para kesatria bumi. Maka menangislah
dia , dalam ketidak mampuan diri, mohon kepada-Nya agar diberikan kekuatan
menetapi ini. Mempelajari makrifat Prabu Silihwangi ini.
“Hmm, begitu sulitkah rupanya manusia yang dapat
dikatakan menjadi rahmat alam.” Kemudian dia berkata seakan bergumam sendiri. Begitu berat beban dirinya,
setelah tahu hikmah-hikmah kehidupan. Dirinya terbang bersama syair Ebiet G Ade yang menghantarkannya bersembunyi dari
kulitnya sendiri.
“Sekarang aku tengah tengadah ke langit
berjalan di atas bintang-bintang
bersembunyi dari bayang-bayangku sendiri
yang sengaja ku tinggal diatas bukit
Aku yang bersembunyi di bawah kulit ku sendiri
kapankah mampu berdiri
lihatlah kedua tanganku
yang kini mulai bergetar,
sebab ada yang tak seimbang antara
hasrat dan beban
atau karena jiwaku yang kini mulai rapuh
lihatlah bilik di jantungku, denyutnya tak rapi lagi
seperti akan segera berhenti dan mati
Hiks..”
Subhanalloooh, sebuah pemahaman yang ekstrim namun mengandung hikmah yang luar biasa. Tidak ada lagi sikap menyalahkan apapun siapapun dalam setiap kejadian....namun hanya karya nyata untuk diri dan lingkungannya agar menjadi lebih baik...dan menghilangkan sirr sombong yang sangat halus yang seringkali tidak disadari hinggap di hati....Semoga Allah merahmati Mas Thole yang mengkabarkan hal ini kepada masyarakat
BalasHapusAlhamdulillaaah, Subhanallaaah, semoga Istighfar dengan pemaknaan seperti ini dapat membawa manusia Indonesia memiliki kesadaran yang melampaui ego diri sendiri menuju kesadaran yang lebih luas, lebih universal, kesadaran alam semesta,Amiiin Amiiin Ya Robbal Alamiiin
BalasHapusTerimakasih ya Allah, terimakasih Mas Tholee...saya telah DITAMPAR oleh kabar dan pemahaman ini.Membalik semua persepsi dan pemahaman saya. Semoga selanjutnya dapat mengubah perilaku saya khususnya menjadi lebih mawas diri dan rendah hati...Hanya milik Allah semua Keagungan dan Kesombongan
BalasHapusIjinkan aku menambah sedikit lagi pemahaman istighfar ini…
BalasHapusSekali lagi maaf bila salah… Maafkan dan maafkan…
Istighfar yang merupakan pengambil alihan
beban kesalahan penghuni alam…
Kesalahan sang adam yg menuruti hawa …
Melanggar memakan buah larangan..
Mengambil alih beban kesalahan sesama manusia…
Demikian pula ijinkan aku beristigfar untuk kesalahanmu
Ijinkan aku memohon ampun kepada Tuhanku atas dosa mereka
Saat menurutkan keinginan sang hawanya…
…maafkan aku…
maafkan bila aku terkesan sombong…
Tetapi sungguh ini kebutuhanku
Mengambil alih atas hawa di alam ini
Untuk menyucikan hawa alam…
Bukannya aku suci …
Tetapi agar aku mampu bertahan…
aku puas…aku ridho… Aku tenang…
…kesalahan manusia melanggar larangan tuhan
Adalah kesalahanku yg sadar
Mereka tidak tahu..mereka tidak tahu..mereka tidak sadar
Dan aku yg menyadari itu menjadi kebutuhanku
Kebutuhanku …
Seharusnya aku menyadarkan mereka
Seharusnya aku memberitahu mereka…
Maka menjadi sebuah kebutuhanku
Bersimpuh di hadapan Tuhanku
Mewakili mereka yg belum sadar
Mengambil alih kesadaran mereka
Mengambil alih tanggung jawab mereka
Memohon ampun beristigfar
Sehingga kesadaran mereka mampu disucikan…
Sehingga aku mampu tenang dan ridho
Melihat kesalahan dan kemungkaran di alam
Karena kesalahan mereka adalah tanggung jawabku
Aku memohonkan ampun mereka di alam semesta ini
Karena aku merasakan tangisan kesadaran mereka…
Aku merasakan penyesalan ruh mereka di alam
Sayang mereka tertutup hijab…
Sebagaimana akupun begitu
Itupun hijabku
Itupun kelemahanku
Itupun kesalahanku
Itupun dosaku
Itu tanggung jawabku
Di hadapan Tuhanku
Dan itulah istighfarku
Itulah pertobatanku…
Itulah makna tobat bagiku
Maafkan bila apa yg ada dlm persepsiku adalah salah
Maafkan bila itu hanya sekedar ibarat semata pula
Marilah saya ajak sebentar berkelana bersama saya
BalasHapusMendengarkan alam dalam nyanyinya … Dalam kidungnya…
Dalam tangisnya… Dalam rintihannya … Dalam keluhannya…
Menahan beban kesadaran anak-anak sang ibu
Ibu pertiwi yg selalu dalam kasih sayang
Yang hanya memberi dan tak harap kembali…
Dan dosa yg merebak menikam jantung ibunda
Pelacuran…perzinahan… Korupsi… Pembunuhan…
Dan banyak dosa yg tak terbayangkan
Anak berzina dg sang ibu…ayah berzina dengan anak..
Ibu menjual anak… Remaja menjual kehormatan…
Video mesum begitu marak…
Sedekat jemari tangan hanya klik
Kesadaran telah kotor…
Kesadaran telah menjadi polusi di alam…
Dan itupun menjadi kesalahan diri yang sadar…
Mampukah dan maukah anda semua
Mengambil alih beban kesadaran alam
Menyucikan hawa alam…membersihkan dan menyaring
Memikul tanggung jawab kesalahan penghuni alam
Mengakui diri ini bertanggung jawab atas yg terjadi di alam
Memikul itu di hadapan Tuhan dalam doa dan istighfar
Hakekat kesalahan mereka adalah kesalahan anak adam
Yg menurutkan keinginan hawa
Dan termasuk anak adam dalam diri
Maka istighfar sebagai pengakuan dan kebutuhan diri
Kebutuhan diri yg tidak menurutkan ego atau hawa
Yaitu keinginan diri menjadi suci
Agar diri sendiri yg masuk syurga
Pengejaran keingan hawa menjadi suci
…
Mari kita luruhkan dan mari kita endapkan
Hakekatnya diri kita membiarkan kesalahan mereka
Membiarkan diri sendiri dengan mengabaikan dosa mereka…
Diri ini egois dan masa bodoh selama bukan diri sendiri yang berbuat
Mari layaknya atau tiru suri tauladan rasulullah
Yg berdoa beristighfar sehari 70 kali memohon ampun
Atas kesalahan ummatnya dalam doa…ummati…ummati
…mari kita masuki rasa rasulullah ketika istighfar…
Istighfar yg tidak menurutkan hawa nafsunya…kepentingan dirinya
… Tetapi sebagai alat bagi penyucian kesadaran alam
Menyucikan hawa di alam semesta
…
Ijinkan aku bersimpuh dan memohon kepadamu berdua
Yang dikasihi dan disayangi Allah…yang dicintai Allah…
Ambillah beban kesadaran anak adam…
Datang dan akui di ruang Tuhan
Bahwa inilah 100 persen kesalahan diri
Tidak usah berkilah..dan mencari alasan…
Namun datang merunduk dlm berserah diri
Memohon ampun kesalahan anak bangsa
Mengambil alih tanggung jawab mereka yg bersalah
Sebagai kesalahan diri yg sadar
…
Dan biarlah diri ini dalam rasa diampuni dan disucikan…
Lalu kabarkan kepada alam berita ampunan dan rahmat Tuhan
Beritakan kesadaran yg disucikan ini kepada alam…
Maka mereka yg sadar akan mampu menghirup hawa yg suci…
Hawa yg disucikan oleh Tuhanmu
…
Sehingga anak adam
Mampu tinggal dan menetap di alam dengan tenang puas dan ridho
…
Sungguh polusi hawa kesadaran ini begitu pekat…dan sudah
Saatnya sang pemilik kesadaran tinggi
Mengambil alih tanggung jawab kesadaran alam….
Sehingga berkurang polusi hawa di alam kesadaran ini…
dan mampu
Merasakan segarnya hawa yg disucikan ini
Dan dengan menghaturkan penghormatan tertinggi
Saya ucapkan terima kasih..
Ijinkan jiwa saya bersimpuh… Mencium ujung kaki kesadaran jiwa anda
Sebagai ungkapan terima kasih dan syukur bila mau mengambil alih ini…
Teriring kasih sayang alam…
Coba dengarkan kidung mereka
Coba dengarkan ucapan syukur mereka
Coba dengarkan tasbih mereka…
Begitu nyata dalam kesadaran..
Dan maafkan saya hanya menyampaikan pesan mereka
Menjadi penyambung lidah mereka
Menjadi penterjemah
Saat mereka mengidungkan megatruh
Nyanyi sedih yg begitu menyayat jiwa…
Semoga nanti, tembang indah segera mereka mainkan
Atas kerelaan anda semua menjadi wali
Menjadi wakil mereka ..menjadi khalifah alam…
Sang ksatria alam….
Dan kidung alam masih terus mengalun lembut
Dan pasti mampu kau rasakan
Mengalun dalam barisan dan kelembutan kalimatku ini
Dan kidung alam berjuta kali lebih lembut dari kidungku ini
Salam dan terima kasih
Subhanallah.. Allah hu Akbar...
BalasHapus