Kisah Spiritual, Titian Rambut Dibelah Tujuh



SMS dari Ki Ageng beberapa minggu ini, menelusup terus jauh ke lubuk hati Mas Thole, membongkar semua kejumudan yang tersisa disana. Semua seperti ingin mengajak 'journey' ke masa-masa 3 tahun yang lalu, saat mana perjalanan spiritual mereka berdua tengah digoreskan, saat mana diri mereka dalam keadaan sedang mencari bukti-bukti atas eksistensi diri. Beberapa email diskusi sudah dikirimkannya di pagi ini olehnya. Membawa kesadaran Mas Thole jauh mengembara, mencari jejak-jejak rahsa disana. Serpihan-serpihan yang tertinggal seperti ditarik satu persatu. Bayangkan seperti benda-benda angkasa yang terjun bebas memasuki bumi dengan kecepatan yang luar biasa. Panas sebab gaya gesekan dengan atsmosfer mampu meninggalkan bekas di raga Mas Thole.

Banyak kisah yang luput dari pengamatan semua seperti ingin dinampakan ulang, dalam gerakan 'slow motion'. Sepertinya kejadian tersebut baru kemarin hari, namun sepertinya juga sangat jauh entah di dimensi apa terjadinya, antara ada dan tiada, namun sangat nyata keadaannya. Bagaimana keadaan mereka selalau dihadapkan kepada pilihan, 'sukarela' atau 'terpaksa' dan juga pilihan 'beriman' ataukah 'kafir' Perjalanan kesadaran, adalah perjalanan yang tak sama dalam realitas. Sebuah kejadian sederhana yang luput dari pandangan mata, bisa jadi adalah kejadian yang sangat luar biasa di alam ghaibnya. Seperti halnya sebagaimana saat Newton melihat apel yang jatuh dari pohonnya. Bukankah itu, kejadian yang sangat biasa, sebab berapa juta apel jatuh dari pohonnya, namun perhatikan saja kenapa hanya Newton seorang yang mampu mengambil hikmah atas kejadian tersebut. Dan kemudian merumuskan dalam hukum-hukumnya. Hikmah yang dipetik oleh Newton atas jatunya buah apel mampu merubah peradaban dunia. Semisal itulah, orang-orang yang sadar adalah dalam keadaan demikian adanya. Selalu diam , eling, dan waspada, atas setiap kejaadian.

Begitu keadaannya, kejadian yang semisal dengan itulah yang sedang terjadi kala waktu itu. Saat mana Ki Ageng sedang menuju Dieng sendirian untuk melaksanakan tugas spiritualnya. Sebagai teman dalam perjalanan tentu saja Mas Thole senantiasa memantau keadaan. Dalam kesadaran Mas Thole saat itu, Ki Ageng dalam bahaya besar sekali, salah memilih jalan, maka di depannya adalah jalan neraka. Keadaan Ki Ageng seperti tengah berjalan di 'titian rambut di belah tujuh', begitu tipisnya jalan itu sehingga nyaris tak terdeteksi. Hanya dalam lintasan hatinya adanya jalan itu, salah dalam lintasan hati maka fatallah akibatnya. Saat itu Mas Thole sudah melihat para danhyang gunung Merapi telah bersiap akan mengambil jiwanya. Walau keadaan Ki Ageng sendiri tidak merasa, namun sebagai pengamat Mas Thole dapat merasakan bahaya itu. Dalam realitasnya Ki Ageng naik kereta seperti biasa , seperti wajar-wajar saja. Hanya saja HP nya saat itu entah kenapa tidak bisa dihubungi.  Keadaan yang semakin merisaukan saja.

Hingga malam hampir menjelang pagi Ki Ageng belum bisa dihubungi keberadaannya. Semua orang mencari dirinya, kekhawatiran menyeruak disana. Saat itu dahnyang-dahnyang gunung Merapi tengah ganas-ganasnya, dia akan mencari siapa saja yang berpaling dari jalan Allah, yaitu orang-orang yang setelah datang petunjuk kepadanya, namun kemudian dia ingkar dan berpaling dari jalan-Nya. Ya, Ki Ageng dan Mas Thole sudah ditunjukkan bukti-bukti lebih dari cukup, ada angin, hujan, badai, dan seluruh kejadian alam senantiasa meliputi kemana saja mereka pergi. Namun mengapakah hati masih dalam 'keraguan'. Hati dan akal masih meragukan, bahwa peristiwa yang terjadi menurut mereka dianggap  suatu 'kebetulan'. Inilah lintasan hati yang sangat berbahaya sekali. Selalu akan begitu keadaannya, saat mana kita sudah diberikan petunjuk didepan hidungnya sendiri, suatu kali kita akan terlintas pikiran, 'hanya kebetulan'. Betapa murkanya alam jika keadaan kita begitu. "Dengan kalimat apa lagi, manusia akan percaya ?". Begitu alam selalu menghardik Mas mereka berdua !.

Pada masa tidak terhubung komunikasi, disana rupanya tengah terjadi perdebatan akidah yang sangat serius, antara Ki Ageng, Panembahan Senopati, Minak Jinggo, Damar Wulan, dan Ki Tunggul Wulung. Debat yang melibatkan kesadaran-kesadaran masa lalu mereka. Sungguh debat yang sedikit saja salah akan membawa mereka kepada 'kesirikan'. Banyak sekali tampil tokoh-tokoh masa lalu lengkap dengan ksiah mereka yang mengharu birukan nusantara ini. Banyak sekali pusaka-pusaka yang masih tersimpan di pegunungan Dieng, peninggalan Ratu Sima. Semua dipaparkan disana, ditawarkan kepada mereka semua. Disitulah mereka semua diuji, dengan harta. Syukurlah dengan ini mereka masih bertahan, tidak tergoda oleh harta dan kesaktian. Namun saat diuji dengan rahsa ke'aku'an diri mereka, banyak dari mereka kemudian gagal mencari petunjuk-Nya.

Mereka generasi Ki Wanasaba, adalah generasi yang sempat terpilih, namun sayang anak keturunannya, hanya menajdi penonton di jaman ini. Begitulah keadaan jaman yang telah berubah cepat. Kejadian demi kejadian terbukti  sudah, kekhawatiran Mas Thole menjadi kenyataan. Entah mengapa, Ki Ageng saat itu seperti enggan sekali menghubungi dirinya. Dalam pikirannya , nanti saja saat sudah senggang akan menghubungi. Dia tidak tahu bagaimanakah kekhawatiran Mas Thole menunggu berita hingga jam 4 pagi, masih tetap menunggu. Saat mana mereka semua menghadiri pertemuan ke dukuh Tretep, sebuah desa di kaki gunung Sindoro, yaitu daerah dimana salah satu kakek buyut Ki Ageng melarikan diri kesana dari kejaran pasukan Majapahit. Sebuah daerah yang perbukitan sangat asri, penuh dengan pagar hawa magic yang dipasang oleh para leluhur Ki Ageng di seputar perbukitan itu. Daerah tersebut sangat tersembunyi bahkan konon katanya Belanda pun seakan tidak ingin menginjakkan kaki disana.  Disanalah peristiwa ghaib  terjadi, yang menghancurkan kesadaran merekat mereka setelahnya, menjadi ujian bagi yang mengalami dan penyaksi.

Langit disana tiba-tiba menggelap, mereka semua sedang melaksanakan sholat dhuhur di sebuah Mushola kecil disana. Tengah mereka sholat sendiri-sendiri, tiba-tiba trafo gardu listrik disana meledak dengan keras sekali. Sepersekian detik setelahnya, tubuh Panembahan Senopati  kaku tidak bisa digerakkan, semua seperti serentak, kejadian yang bersamaan. Tangan Panembahan dalam keadaan takbir hampir menyentuh kepala, namun hanya sampai disitu saja, seluruh badannya mati, tak mampu digerakkannya lagi, hanya bola mata saja yang bergerak kesana kemari. Perlahan dari kelompak matanya menetes air mata. Belum pernah sekalipun Panembahan Senopati merasa tidak bisa apa-apa. Keadaannya hampir 30 menit, seperti mati saja rahsanya. Tangan dan seluruh anggota tubuhnya benar-benar kaku. Bola matanya menatap dengan iba. rekan-rekannya tidak menyadari atas apa yang terjadi pada Panembahan Senopati. Mereka setelah selesai sholat langsung keluar dan menuju tempat pertemuan kembali. Bayangkan bagaimana keadaan jiwa Panembahan Senopati yang sedang kaku, seperti keadaan ditotok saja. Menangispun dirinya merasa tak ada gunanya. Tokoh yang sakti, yang mampu mengalahkan ribuan pasukan, sekarang tanpa daya sama sekali. Dan semua seperti tak peduli.

Hanya Ki Ageng saat itu yang merasa ada kejanggalan, dia mencariyang Panembahan Senopati, yang tidak keluar bersama mereka itu. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Maka dia balik lagi ke mushola, dan didapatinya keadaan Panembahan Senopati yang mengenaskan sekali. Jatuhlah air mata Ki Ageng, dia mampu merasakan jiwa Panembahan Senopati, rahsa iba, rahsa tidak mampu berbuat apa-apa menyergah keadaan jiwa Ki Ageng. Tubuh yang kaku dia raba-raba, dibacanya segala doa. Semua sia-sia, hampir 30 menit Ki Ageng berkutat mencoba membuyarkan otot-otot Panembahan yang kaku itu. Disalurkannya energinya, dipanggilnya leluhur-leluhurnya. Semua rahsanya datang , namun  hanya mengangkat kepala saja. Tanda bahwa meerka semua juga tidak mampu untuk menolong Panebahan Senopati.  " Apakah tubuh Panembahan Senopati harus diangkat dan dinaikkan ke mobil saja, untuk mendapatkan perawatan ?"  Batin Ki Ageng. Tapi saat dicobanya, mengapa menjadi berat sekali keadaannya, mungkin 10 orang pun belum tentu mampu mengangkat tubuhnya. 

Diantara rahsa gelisah dan tak mampu berbuat apa-apa, terlintas dalam hati Ki Ageng, bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Maka dengan niat itulah dia mulai mencoba menggerakkan tubuh Panembahan Senopati satu persatu. Ki Ageng mengambil sikap memeluk Panembahan dari arah muka, kaki dengan kaki bertemu. Berharap raga Panembahan Senopati mampu merasakan energi tubuh Ki Ageng. Saat itulah pertama kali Ki Ageng menggunakan energy kasih sayang. Tanpa disadarinya dia telah memebuka dan meng-akses energi Merkaba, yang saat sekarang ini tengah diamati keberadaannya. Sangat dekat sekali contohnya, pembelajaran di depan matanya. Namun saat itu belum terfikir sampai disana. Dia hanya yakin atas 'kasih-sayang' Nya. Dia hanya mengandalkan 'kasih-sayang' itu. Bukan energy tapi energy, sebuah ketulusan, sebuah keadaan yang ber-serah menjadi hamba yang tunduk akan hukum kasih sayang-Nya. Dan hasilnya sungguh menakjubkan sekali.

Satu persatu anggota tubuh Panembahan Senopati mulai menunjukan tanda-tanda bisa digerakkannya. Mulai dari kaki melangkah kebelakang satu langkah, diikuti kaki kirinya, terus begitu menuju keluar mushola itu. Setelah berhasil keluar dari mushola, perlahan tangannya mulai bisa digerakkan. Diikuti seluruh anggota tubuhnya. Sungguh pengalaman yang mendebarkan sekali, salah langkah saja, hilanglah nyawa mereka. Adakah yang salah dalam lintasan hati ?. "Maka semua kesatria akan diuji, bagaimana meniti titian rambut yang dibelah tujuh itu, masihkah mereka akan beriman ataukah mereka akan kafir, setelah ditunjukkan tanda-tanda melalui alam ini. Akankah meraka menafikan keberadaan mereka sendiri ?."  Kembalinya terpulang kepada diri mereka. 

Itulah kisah 'ironi' yang tidak ingin ditayangkan, namun ternyata menjadi titik balik terpenting sekarang ini. Bagaimanakah saat itu Ki Ageng mampu meng-akses Energi Merkaba ?. Padahal dia tidak pernah tahu, dan mempelajari sebelumnya.  Mengapakah saat sekarang dia sendiri mengirimkan email-email saat pembelajaran 3 tahun yang lalu. Dan dirinya tengah dalam kontemplasi disini, bagaimana kita semua para kesatria agar mampu mengakses energy merkaba di alam ini. Dan beliau memyuruh Mas Thole untuk membaca dan mengkaji kembali. Banyak yang tertinggal, bahkan kesadaran Mas Thole sendiri sangat jauh tertinggal. Ugh...

Kita akan kembali mengulang-ulang pelajaran, itulah pesan Ki Ageng. Memang nampaknya demikian adanya. Mas Thole hanya mengikuti saja, arus air yang membawa dirinya. Beberapa hari ini banyak sekali kejadian yang menimbulkan 'chaos' pada lintasan kesadarannya. Tarik menarik rahsa dengan para kesatria menjadi pemicu utama. Hingga memasuki hari ke 20 ini, Mas Thole tidak mampu menambah tingkatan apa-apa. Level Kesadarannya masih seperti dahulu kala. Sungguh bulan romadhon ini hampir saja terlewat. Untung Ki Ageng masih terus berusaha menarik dirinya,  terus datang dengan membawa khabar-khabar baru. Semakin tinggi dan semakin tinggi, semakin dalam dan semakin dalam sekali. tertatih-tatih Mas Thole mencoba memahami dengan kesadaran sekarang ini. Bukankah akan sayang sekali jika romadhon kali ini terlewati lagi ?. Mas Thole tersergah keadaan ini. Dirinya telah mengikuti rahsa-rahsa. Oleh karena itu semenjak hari Jum'ah (19/7) ada panggilan dari kesadarannya, agar untuk sementara menutup akses rahsa kepada alam ini, termasuk juga kepada para kesatria. Mas Thole harus memasuki 'wukuf' nya sendiri. Dia harus 'wukuf' di 'padang arafah' nya sendiri. Di sepuluh hari terakhir romadhon ini. Dia harus menyelesaikan 'pelatihan'nya sendiri, jangan sampai waktu habis nanti, dan dia menjadi manusia yang paling menyesal di dunia ini.

Sungguh waktu tak terasa berlalu demikian cepat, masih banyak yang tertinggal. Rahsa yang berguliran, Raden Panji, Banyak Wide, Sabdo Palon, dan masih banyak lagi yang ingin dikenali. Sebagaimana juga tadi malam, ada seorang tokoh masa lalu , tokoh yang begitu dikenal oleh orang jawa dengan ramalannya, Prabu Jayabaya , datang ingin dikenali dalam sebuah prosesi.  Dia datang dengan segala beban masalahnya sendiri. Menyergah hari-hari dan masa lalu Mas Thole. Memang Hari-hari dilalui Mas Thole dengan keadaan yang begini. Belum lama ini,   seorang bekas anak buah Mas Thole, datang dengan kondisi tengah dirasuki, ada kiriman siluman di dalam raganya, yang dilakukan  oleh Gurunya sendiri, sebab dianggap dia telah keluar. Bagaimana Mas Thole  tidak menyuruh dia keluar dari perguruannya, jika dia hanya diporoti, dimintai uang setiap kali. Namanya pemerasan. Karena sakit hati itulah, anak tersebut terus saja dikirimi siluman-siluman.

Malam minggu yang lalu, saat bersamaan dengan datangnya Ki Wiroguna dan Patih Nambi , anak tersebut datang. Maka Mas Thole agak lega, ada Patih Nambi yang memang suka perang, biarlah dia yang menghadapinya. Benar saja, begitu masuk anak tersebut, Patih Nambi sudah bersiap, sesaat kemudian, tubuh anak tersebut menggelosoh begitu saja di lantai, dalam keadaan tengkurap, melata bagai ular raksasa, yang menggerakankan tubuhnya meliuk kesana kemari. Mas Thole hanya mengelus dada, "Sungguh mengapakah manusia masih saja begini ?. Mengapakah sesama manusia harus menggunakan siluman untuk membunuh lawannya ?." Batin Mas Thole teriris, semua makhluk Allah, semua pada posisi dan dimensinya sendiri-sendiri. Mengapakah saling menyakiti.\, dan saling bunuh.

Ular siluman itu telah bertelor, bersarang pada tubuh anak tersebut, bukan ular siluman sembarangan dia adalah senopati terpilih dari kerajaan Pantai Selatan, Nyi Blorong. "Ugh..kenapa dia harus berhadapan lagi dengan tokoh yang satu ini." Kulit sisiknya yang tebal dan tidak mempan senjata apa saja, kulit yang menggelap, dan agak besar-besar. Lebih besar dari sisik ular biasa, menandakan bahwa dia dari trah Nyi Blorong. "Mengapakah Nyi Blorong, tega akan membunuh anak tak berdosa ini, hanya karena dimintai tolong sang gurunya ." Gigi geraham Mas Thole gemeletak menahan amarahnya. Saat seperti itulah, Banyak Wide selalu mengambil alih. Berurusan dengan makhluk jadi-jadian bukan hal yang gampang. Biarlah ghaib melawan ghaib, memang itulah tugas Banyak Wide sekarang ini. 

Patih Nambi terus berusaha mengeluarkan siluman ular dari tubuh anak tersebut. Hingga suatu saat, kelihatannya makhluk tersebut terpojok, Patih Nambi segera memerintahkan agar makhluk tersebut segera keluar dari tubuh. Usaha yang tidak mudah memang, maka Ki Wiroguno juga banyak membantu Patih Nambi dengan mengirimkan energi ikut menyerang. Sesaat terdengar ucapan bahwa siluman tersebut bersedia keluar, dan tubuh anak tersebut melemas, seakan-akan memang sudah ditinggalkan oleh siluman tersebut. Namun Banyak Wide tetap waspada, dia tahu sedang berhadapan dengan siapa. Siluman ular, siluman paling licik diantara siluman lainnya. Banyak Wide yakin dia tidak akan semudah itu keluar dari badan. Maka Banyak Wide bangkit dari duduknya, secara cepat dia mengirimkan serangan, pukulan-pukulan lembut namun bertenaga kuat langsung dilayangkan ke tubuh anak itu,  menerpa tubuh, mulai dari perut, dada, hingga sampai ke otak anak tersebut tak luput dari  pukulan Banyak Wide. Maka siluman tersebutpun menggeliat lagi bagai ular yang terluka keadaannya, meliuk kesana kemari, menggiriskan keadaan malam itu.

Akhirnya, dalam kesadaran Banyak wide berhasil memegang kepala ular tepat di lehernya, membuat dia tidak berkutik, ditanyalah kepadanya, siapakah yang mengirimnya. Dan benar dugaan Mas Thole, gurunyalah yang mengirimkan siluman ular untuk membunuh anak tersebut. Hiih..ingin rahsanya dilumatnya siluman tersebut berkeping-keping. Namun sayang dari arah belakang, Patih Nambi yang nampaknya marah mengambil alih. Dia melakukan serangan bertubi-tubi, memastikan siluman tersebut keluar. Benar memang satu siluman sudah keluar. Namun sayangnya sudah sempat beranak pinak di raganya. Dan didalamnya masih banyak lagi, dan itu yang luput dari mata Patih Nambi. Maka setelah semua pulang,  di sepanjang malam itu Banyak Wide terpaksa bertempur sendirian, melawan siluman ular. Dan bangun dipagi hari, badanya hancur lebur rahsanya. Sepanjang hari berikutnya Mas Thole merasa  dalam keadaan siaga tempur. Keadaan ini membuat tidak enak saja dibadan. 

Begitulah rangkaian kisah diminggu ini, semakin menambah keyakinan Mas Thole, hanya dengan kasih sayang-Nya, kita akan mampu menaklukan lawan tanpa pernah bertempur. Energi kasih sayang akan membuat semua makhluk nyaman, energi inilah yang nantinya akan menenangkan semuanya. Tidak dengan jalan kekerasan. Sayang jalan kesana sungguh berat. Mas Thole harus mampu mengalahkan egonya sendiri sebagai manusia. Sebab mau tidak mau Mas Thole harus mampu memasuki keadaan, (yaitu) makom keadaan penerimaan bahwa seluruh kejadian di alam ini, 100% adalah tanggung jawabnya. Melakukan penerimaan sebagaimana keyakinan dirinya atas 'theory  butterfly effect' bahwa niat sekecil apapun akan menjadi badai tornado. Maka bukan tidak mungkin situasi yang saat ini menimpa dunia adalah sebab kepakan sayapnya ini. Semisal seorang 'hacker' dengan melakukan kotak-katik sederhana, dia mampu mengacaukan dunia. Begitulah keadaan yang harus ditetapi Mas Thole. Pembelajaran dirinya memasuki 10 hari terakhir di bulan romadhon ini. 

Kini saatnya, akses kesadaran rahsa dia kembalikan kepada pemiliknya. Saatnya Mas Thole harus wukuf di padang kesunyian dirinya, kembali menetapi dirinya sendiri, dalam sunyi dan sepinya sendiri, yang tidak pernah bertepi, sebagaimana saat dirinya dahulu menetapi kekasih hati. Keadaan  hanya berdua dengan Tuhannya. Sehingga saatnya nanti dirinya harus meniti titian rambut dibelah tujuh, dia sudah siap. Sebab disitulah keadaan dirinya diuji. Beriman ataukah kafir. Begitulah kesatria pasti akan diuji dengan itu. Sebagai sunatulloh adanya.

wolohualam

Komentar

  1. Kakakku..
    "Riaknya hanya dipermukaan, Dikedalamannya akan terasa begitu tenang"
    Bukankah itu yg pernah engkau ucapkan. Semua baru diawal, masih panjang jalan Didepan yg akan kita tapaki. menapaki takdir2Nya, yg kedepannya kita belum tau seperti apa. hanya berpasrah dan berserah KepadaNya, bersihkan hati dan luruskan niat, buang segala ego diri, kemarahan dan emosi, jujur pada hati dan diri sendiri, mengakui kesalahan2 diri, bahwa segalanya adalah karma, buah hasil perbuatan diri kita sendiri. Tetapi dan sadari segala yg inheren dan tdk inheren, agar kita lebih bijak dalam menapaki realitas hidup kedepan.
    Kembalilah Kakakku,
    kembali pada kesadaran awal, kesadaran murni, energy kasih sayang, marilah kita bersama2 utk belajar menetapi takdir2Nya, utk menyelesaikan misi dan tanggungjawab kita, mengayomi anak cucu kita, kembali pulang ke jalanNya..
    Segalanya tampak begitu berat, namun ikhlaskan hati, niat tulus menjalankannya, akan terasa bgt nikmat. inilah anugrahNya, bersyukurlah kita menjadi manusia2 yg diberikan kesadaran2 tinggi dariNya.
    Innalillahi wainnaillaihiroji'un..
    Subhanallah.. Allah hu Akbar..

    Wassalam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali