Pengelana Cahaya : Mula Penciptaan dan Relativitas
Mula penciptaan
Akulah Pengelana Cahaya, wajahku
tak berupa. Tubuhku tiada berdimensi, sebab Aku bisa berada dimana saja. Baik
dimasa lalu, dimasa sekarang atau bahkan di masa depan. Tentu saja orang tidak
akan percaya, sebab keadaanku sejatinya adalah satu, menyatu dengan alam
semesta. Menyatu dengan mereka-mereka yang disebut manusia. Aku adalah mereka, mereka adalah Aku, namun sejatinya Aku
juga bukan mereka itu semua. Aku bersama mereka manakala mereka memuja dunia.
Aku bersama mereka manakala mereka menafikan dunia. Aku bersama mereka,
meliputi mereka semua manakala mereka membuat kerusakan dimuka dunia. Namun
sejatinya Aku juga bukan mereka. Hatiku menjerit tak kuasa berbuat apa-apa
menahan takdirku sendiri. Aku tahu saat
mana mereka menghancurkan dirinya sendiri. Mereka menghancurkan materi-materi
penyusun tubuh mereka sendiri, dengan merusak alam semesta ini. Mereka dengan
suka cita mengotori jiwa-jiwa suci mereka. Sehingga kali penciptaan berikutnya,
atom-atom tanah sudah tidak suci lagi. Dan air juga sudah tidak terberkati,
udara sudah tidak dirahmati. Bumi, air, tanahmenjadi musuh diri mereka sendiri.
Tidakkah mereka semua tahu, darimana mereka berasal. Dari air mani yang hina,
yang kemudian menyusun atom-atom tanah, air, dan juga udara, bersatu menjadi
diri mereka. Aku menjadi saksi atas
semua polah diriku sendiri. Namun Aku bukanlah mereka. Duh, bagaimana
menjelaskannya padamu ?.
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Tiadakah mereka tahu, perihal
penciptaan ini ?. Air mani dipancarkan diantara tulang sulbi lelaki.
Ditempatkan di tempat yang dirahmati. Tempat yang penuh kasih, tempat dalam
limpahan kasih Tuhannya. Mani yang hina mengorganisasikan pembentukan, otak, tulang,
daging dan organ-organ, dan lain sebagainya. Darimanakah bahan bakunya ?. Yaitu
dari apa-apa yang dimakan ibu mereka itu. Apakah yang ibu mereka makan ?.
Makanan yang berasal dari tanaman dan hewan. Darimanakah sumbernya ?, dari yang
ada di alam semesta ini. Tanaman menyerap unsur air, tanah, dan udara. Tanaman
kemudian dimakan hewan. Hewan memproduksi senyawaan yang tidak diproduksi
tanaman. Tanaman dan hewan, menjadi sumber utama bahan baku pembentukan manusia.
Sesederhana itu dan sangat lugas sekali penciptaan ini dinampakan kepada kita,
bagaimana kita bisa terlupa dari mana kita berasal ?. Semua adalah menyoal sebuah siklus rantai makanan. Begitu dahsyat siklus ini, menjadikan
bahan baku yang tidak pernah ada habisnya. Siklus yang berkelanjutan. Namun
tidakkah terbersit dalam pikiran bahwa hakekatnya manusia bukanlah itu, kita
berasal dari dimensi diluar siklus pembentukan itu.
Bahan baku yang sudah menjadi
senyawaan, dari tanaman dan hewan, diserap tubuh sang ibu, menjadi bahan baku
utama tubuh manusia. Semua ini diramu diorganisasikan dibentuk di dalam rahim menjadi
sosok tubuh, lengkap dengan sistem ketubuhan yang luar biasa. Ada sistem
pertahanan, ada istem pengorganisasian, ada mata, da telinga, dan segala rupa instrument
itu, berikut dengan atribut dan aksesorisnya. Begitu sempurna, semua diberikan alam kepada
manusia, semua layanan kelas satu. Sementara itu, alam terus mengorganisasikan
diri, sebagaimana perintah software yang ada di Lauh Mahfuz. Bagai sistem
organisasi sebuah pabrik super otomatis. Mereka menyediakan semua kebutuhan
itu. Untuk apakah ?. Untuk manusia sang penyaksi alam ini. Mereka berada pada
satu perintah yang merajai Alam ini, untuk melayani manusia, yang akan
mengembangkan peradabannya.
Ketika pada saatnya, dimana tubuh
dibumi sudah siap. Maka saatnya Sang Pengelana Cahaya diturunkan. Diperintahkan
kepada Sang Pengelana cahaya untuk memasuki ‘tubuh’nya untuk turun ke bumi.
Bersama ’tubuh’nya ini selanjutnya akan menempati tubuh yang sudah disiapkan di
dalam rahim yaitu yang disebut dengan raga. Tubuh sang Pengelana Cahaya ini semisal pesawat
super canggih yang memang diperuntukan untuk menjelajah seluruh dimensi yang
diciptakan Tuhannya. Disain ini demikian luar biasa sekali, sanggup meleset
melebihi kecepatan cahaya yang ada di alam ini. Tubuh Sang Peneglana Cahaya ini
kemudian kita kenal dengan nama Ruh atau Spirit atau Energy, atau apalah manusia
menyebutnya, sebab tidak ada kosa katanya. Maka ketika Sang Pengelana Cahaya
sudah menempati raga manusianya. Tuhannya menegaskan kembali, mengingatkan
kembali kepadanya, atas misinya di bumi ini, agar nanti tidak lupa, dan kemudian
nanti saat kembali akan menyalahkan Tuhannya. Pembicaraan ini kemudian
diabadikan dalam al qur an. Bahkan semua catatan-catatan perjalanan sudah
diberikan kepada Sang Pengelana Cahaya ini. Masih belum cukup juga, kepada Sang
Pengelana Cahaya diberikan pasangan-pasangan untuk mendampingi tugasnya di
bumi. Pendek kata seluruh persiapan telah sangat-sangat cukup diberikan.
Briefing sudah, coaching sudah, semua sudah sempurna untuk sebuah tugas mulia
membangun peradaban di muka bumi ini, menjadi wakil Allah di muka bumi. Menjadi
saksi atas perhelatan yang sudah digelar oleh Allah sang kreator Agung. Begitulah
awal penciptaan, menjadi titik mula pengembaraan Sang Pengelana Cahaya.
Pengembara di ruang dan waktu
Jika saja orang-orang tahu, keadaanku sama saja dengan mereka. Tiadaklah
hebat sebagaimana pandangan mata. Hanya saja berbeda ruang dan waktunya. Aku
bersama sepiku, saat orang ramai membicarakan dunia. Aku bersama nelangsaku
saat orang-orang menafikan dunia. Aku meliputi Aku berdiri diatas Trisula Veda, kecerdasan, kesadaran dan spirit/energy. Kembali menjelajah waktu.
Bersama waktu tak ada desiran apa-apa. Memang ruang, waktu dan massa, adalah
konsep yang selalu saja penuh misteri.
Dimanakah sang waktu dan dimanakah sang ruang, jikalau massa ada di
hadapan kita nampak dengan indra kita. Paling penting lagi adalah, adakah
manfaat pemahaman itu bagi diri kita. Kalau tidak untuk apa, hanya capai dan
lelah saja. Apakah nantinya hanya akan jadi sekedar pengetahuan saja.
Pengetahuan yang akan memenuhi kepala saja. Ataukah kita akan mampu merasakan
keadaan senyatanya. Jikalau ruang-ruang tersebut tidak nyata alias relative.
Kenapa ribuan orang gemar menyepi untuk mendapatkan hakekat ini ?.
Mereka rela meninggalkan harta
benda, jabatan, bahkan tahta di kerajaan, hanya sekedar ingin menikmati
ruang-ruang ini. Ruang yang sepi, ruang yang hening, dimana dalam ruangan itu
kita bisa berdua dengan Tuhan kita. Maka kemudian dicarilah tempat-tempat yang
terpencil di goa-goa sana. 'Semua itu mereka lakukan hanya sekedar untuk
mengamati keadaan ruang-ruang spiritual itu. Peradaban telah mencatat bagaimana
kisah heroik mereka. Kisah Sidharta, kisah Dzun Nun, kisah para Raja, para
Kesatria, dan banyak lagi lainnya. Banyak diantara mereka juga orang-orang
biasa. Para Pengelana Cahaya mereka disebutnya.' Sebab mereka sendiri tidak
pernah tahu apa yang mereka maui. Ada daya dorong yang menggerakan jiwa-jiwa
mereka untuk melakukan itu semua. Meerka berusaha menjadi para penyaksi adanya
ruang-ruang kesadaran. Ruang dan waktu yang oleh para scientist di sebut
sebagai ruang acuan inersia (pengamatan). Apakah ruang itu benar-benar ada,
bagaimanakah cara para scientist meyakini, danbagaimana pula kaum sufi menetapi
ruang-raung mereka. Perhatikanlah kedua kubu itu asik dengan ruang-ruang itu.
Mereka menghabiskan waktunya sepanjang hidupnya untuk memasuki ruang-ruang dan
waktu. Apakah tidak patut jika kita sedikit melongok kesana ?.
Maka tidakkah kita layak
memasukinya. Sebab ruang ini adalah sangat nyata dan patut bagi kita semua
memasukinya. Oleh karena itu mengapakah kita tidak belajar sebagaimana para
scientis dan juga bagaimana para sufi dalam mengamati keadaan ruang-ruang
tersebut. Persoalannya adalah ruang dan waktu manakah yang menjadi acuan
inersia (pijakan) bagi kesadaran mereka untuk mengamati. Ketika kita salah
dalam menempatkan ruang acuan pengamatan maka, kita akan terjebak disana.
Disam[ing ruang acuan, adalah juga objek yang di amati dari masing-masing kubu
ini ?. Kita sering dibingungkan sendiri dengan pengamatan ini, dan nanti akan
tahu itu. Walau kajian ini rasanya membosankan sekali. Tiada ada yang menyukai,
tidak juga aku sendiri. Sebab disana keadaan kita pasti akan sendirian di alam
semesta ini dan sungguh itu menakuti sekali. Karenanya, sementara biarkan saja
aku menetapi langkah kaki ini. Mengkhabarkan sekali lagi.
Memang sejak awal mula dibuka
sudah mulai terasa sepinya. Siapakah yang pernah peduli dengan waktu ?. Tidak
ada, sangat jarang orang yang memahami dan mengerti waktu apalagi ruang gerak sang waktu. Kita selalu sibuk dengan
angan dan pikiran kita sendiri. Tanpa kita sadari otak kita telah bekerja
sedemikian hebatnya, mengolah data apa saja yang masuk. Tak peduli data
tersebut semisal spam atau sampah peradaban. Informasi yang masuk akan
dihantarkan kuantum-kuantum energi. Perhatikanlah mekanisme kerja prosesor.
Prosesor akan memproses data-data alogaritme yang dimasukan disana. Tak
peduli itu data apa. Bahkan viruspun
akan selalu diolah oleh sang prosesor, untuk selanjutnya disajikan di layar
monitor. Kuantum energi yang masuk akan diolah dan secara perlahan, sedemikian
sehingga alam pikiran kita terbawa ke
ruang-ruang pemikiran yang jauh dari fakta realitas keadaan. Begitu halusnya
pikiran kita mengajak kesana. Perhatikan saja, kesibukan keseharian, beban
hutang, dan persoalan sehari-hari nampak begitu nyata sekali. Nyaris setiap
detiknya yang kita urusi adalah masalah dan masalah lagi. Bahkan ironisnya
masalah terus mengejar sampai ke alam bawah sadar, bahkan sampai ke dimensi
yang manapun kita bersembunyi, serasa kita dikejar oleh masalah hidup itu
sendiri. Begitulah kenyataan dan fakta keseharian , menyoal takdir dan
perjalanan kita di bumi ini. Menyoal hidup di ruang dan waktu di bumi. Bumi
yang memiliki dua kutub magnet utara dan selatan. Bumi yang memiliki dua timur
dan dua barat, dua atas atas dan dua bawah.
Sesungguhnya kitalah yang telah
menciptkan ruang dan waktu untuk tempat kita sendiri. Kita hidup di dalam ruang
kesadaran kita. Dan kitalah yang dengan sengaja membiarkan kita berada di
wilayah ruang dan waktu yang kita ingini. Walau kita tahu bahwa ruang dan waktu yang kita tempati
bukan diperuntukan untuk manusia seperti kita. Sayangnya lagi kita akan selalu
tergoda. Di alam materi daya tariknya sedemikian besarnya. Ruang dan waktu
materi lebih kuat gaya grafitasinya dari ruang yang semestinya dihuni manusia.
Mau bagaimana lagi, jika kita telah terjebak dan terikat di dalam ruang dan
waktu dimensi alam materi. Maju kena mundurpun pasti akan kena lagi. Semakin
kita berontak maka daya ikat materi akan semakin kuat, membuat kesakitan bagi
jiwa kita. Kalau sudah begini, manakah kita sempat berfikir perihal keberadaan
ruang dan waktu lainnya lagi ?. Walau itu semisal ruang dan waktu di surga,
yang di khabarkan indah waarnanya. Waktu kita sudah habis untuk mengurusi iba
diri dan rahsa –rahsa mau mati. Sibuk berdebat mempertahankan siapakah yang
menjadi juaranya, perlombaan menista diri, sebagai orang termalang didunia.
Setiap diri akan merasa termalang
di dunia.
Setiap diri akan melakukan klaim paling menderita diseluruh jagad
raya ini. Tidak ada satupun makhluk yang lebih berat beban hidupnya
dibandingkan dirinya. Kemudian sibuklah kita mencari pembenaran bahwasanya
nasib kita memang paling merana dan paling malang didunia ini. Rahsa ini akan
muncul paradoks, satunya wajah nelangsa dan sisi satunya lagi muncul dengan
arogansi yang kelewat batasnya. Perhatikanlah, meskipun begitu hebatnya kesakitan
yang menimpa diri kita, nyatanya matahari tetap bersinar dengan cerahnya.
Gunung, angin dan burung-burung tidak terganggu dengan apa yang kita rasakan.
Walau rahsanya kita seperti langit mau runtuh. Nyatanya realitas alam nyata
tidak sebagaimana nelangsa dan murka jiwa. Tidaklah langit akan runtuh
sebagaimana pikirannya itu. Semua baik-baik saja kok. Kita akan malu sendiri
nanti jika mengingatnya. Kita akui saja, sesungguhnya kita lemah, sesungguhnya
kita tidak pernah akan mampu merencanakan kejadian. Maka terima sajalah fakta
itu. Sebab faktanya lainnya membuktikan bahwa mengurusi perasaan kita yang
porak poranda saja kita tidak bisa. Menetramkannya agar jiwa mau diajak
bersantai, menikmati keadaan saja juga tidak bisa.
Nah, bagaimana kita berharap mampu
mengatur kejadian yang akan menimpa kita. Apalagi berharap sebaliknya, agar orang
lain yang akan mampu menerima keadaan diri kita. Mungkin saja orang diluar
sana, lebih parah keadaannya. Atau bisa jadi mereka berada di ruang kesadaran yang lebih rendah
lagi. Sebab mereka juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Disinilah
pentingnya kajian ruang dan waktu, karena disanalah kita akan letakan acuan
(inersia) untuk pijakan kesadaran diri kita. Ingatlah, pada saat kita salah
dalam menempatkan acuan ruang dan waktu bagi kesadaran (inersia) bersiaplah
kita berhadapan dengan relatifitas. Hukum relatifitas ruang dan waktu. Dimana
keadaan yang relative inilah yang menyebabkan alam menjadi paradoksal. Ingat
hukum alam semesta memiliki dualitas. Dualitas yang akan menjebak jiwa manusia
saat mengamati kejadian yang menimpa dirinya.
Kami kutipkan salah satu komentar
anonim, “Penemuan revolusioner Einstein
dalam kesadarannya yang luar biasa adalah bahwa massa, ruang, dan waktu adalah
relative, sedangkan KECEPATAN CAHAYA ADALAH MUTLAK. Kecepatan cahaya adalah
SAMA di semua alam pengamat. ini yang luar biasa. Dengan pemahaman ini, maka
waktu bisa menjadi panjang dan pendek, massa bisa membesar dan mengecil,
sedangkan ruang bisa memampat dan meluas tergantung dari kecepatan alam si
pengamat.”
Kita akan menyoal kembali hakekat
relatifitas sebagaimana yang diyakini Enstein. Benarkah massa, ruang dan waktu
adalah relative sementara kecepatan cahaya adalah mutlak ?. Mengapa kita harus
mempersoalkan keadaan ini ?. Karena sebab sesungguhnya ada keterkaitan yang
sangat erat antara pemahaman para scientis dan tasawuf menyoal posisi ini.
Pemahaman relatifitas Enstein ini selanjutnya akan mampu menjelaskan keadaan
sang pengamat, dan harus berada dimanakah sang pengamat saat sedang mengamati.
Selanjutnya dengan pengetahuan pemahaman ini, kita akan mampu meletakkan jiwa
kita pada ruang acuan inersia yang diinginkan al qur an sehingga keadaan jiwa kita tenang, puas dan ridho.
Pemahaman para scientist akan mampu menjelaskan secara lebih rasional dan logis
dalam menjelaskan apa-apa yang dialami para kaum sufi. Nanti kita kembali akan
tersergah atas fakta yang tak terbantahkan bahwa scientis dan tasawuf sedang
melakukan pengamatan terhadap hal yang sama. Yaitu mengamati keadaan ruang dan
waktu dengan cara yang berbeda.
Wolohualam
salam
Komentar
Posting Komentar