Kisah Spiritual Mawangi: Dan Daunpun Berbisik



Hasil gambar untuk daun berbisik


***
Seruni di serambi
Memeluk hati
Rantingnya  patah
Menangis lah hujan
Awan liar berserabutan

Telaga kejora
Menyimpan belati
Langit dalam peraduan
Jagad semesta tiwikrama


Dan ditepian
Majelis di gelar
Singgasana bidadari tengah nestapa

Duhai Kekasih,,
Sang pecinta yang tak dicinta
"Alam memujimu sebab tuan tak mau dipuji"
Seroja diam menatap Seruni

Air matanya memerah
Isaknya menyumbat bumi
Desah lirih kuatkan hati “Bismillahirrahmanirrahim
La haula wala quwwata ilabillah

Asyhadu ala ilaha ilallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah"

***
Dan daunpun berbisik. Sebuah pesan, menjadikan terdiam waktu, diantara kisaran angin dan hujan. Selewat gempa dan tremor gunung Agung, pijaran energi perlahan meredup. Membuat suasana jiwa semakin merasuk ke alam tanpa suasana.

Kondisi Mawangi tidaklah seperti biasa. Sepulangnya dari perjalanannya ke timur, Bali, Labuan Bajo, Ambon, dan tempat lainnya, terasa ada hawa pengap yang demikian hebat merasuki di jiwa. Membuat dirinya hampir tak kuasa menahan penderitaan. Hawa yang muncul penuh kemarahan, kadang penuh kedukaan.

Hawa yang membuat dirinya memiliki respon berlebihan. Tanpa dimaunya, mendadak saja kemampuan penglihatannya meningkat tajam. Dirinya mampu melihat siluman. Mampu merasakan energi mereka. Mata batinnya sering melihat penampakan setan, walau itu disiang hari bolong. Adakah ini anugrah? Entahlah itu yang jelas keadaan ini tidak dimauinya.

Apalagi, perhelatan akbar yang digelar Mas Thole, membuat dirinya sering terpapar energi. Makhluk alam dimensi yang berlalu lalang seperti sengaja memperlihatkan diri. Membuat dirinya sering tidak mampu mengendalikan respon tubuhnya. Yah, dalam kesadarannya dia merespon makhluk ghaib, namun pada kenyataannya dia berhadapan dengan manusia. Apakah dia tidak disangkakan gila?

Entah kebetulan ataukah memang demikian keadaannya. Penancapan paku kesadaran secara multinasional akan diselenggaran oleh Kami. Menghadirkan para sultan dan raja-raja Nusantara. Tidak itu saja, kehadiran para ulama ulama pewaris Nabi turut memperkuat penancapan paku yang sebentar lagi akan digelar. Seluruh dimensi sudah menantikan acara tersebut. Pusat penancapan tidak main-main, sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat yang beraura mistis. Pusara pusat sesar Nunsantara.

***

Perjalanan Mawangi belumlah selesai. Sementara Mas Thole terus dialam realitasnya mewujudkan mimpi-mimpi yang diyakininya. Sebuah upaya kecilnya di alam realitas. Mencoba mempertemukan spiritual dalam sebuah langkah nyata. Apakah keinginannya adalah sia-sia? Entahlah, sudah banyak hambatan yang dia alami. Tidak ada persoalan lagi. Apakah diirnya akan disangka gila, atau sangkaan-sangkaan lainnya.

Dirinya terus berupaya dengan segenap kemampuannya, mengundang raga-raga terkini leluhur Nusantara dalam sebuah perhelatan akbar. Tidak saja ulama ulama besar yang diundang, tidak saja para raja-raja yang, menyandang nama besar. Seluruh makhluk alam semesta dimintakan kehadirannya.  Di tengah cemoohan para kesatria lainnya Mas Thole terus dengan tekadnya. Dia tidak peduli, Tuhan maha tahu apa yang ada dalam hatinya.

Mawangi tahu itu, dirinya tidak mau menggangu Mas Thole, yang sudah seperti asik dengan dunia realitasnya itu. Biarlah sekarang dia yang harus pergi. Ketika dia khabarkan bagaimana keadaan dirinya kepada Mas Thole. Mas Thole hanya tertawa. Demikianlah yang dialami Mas Thole bertahun-tahun lamanya. Bukan hanya jiwanya yang menjadi taruhan, raganya pun sedemikian sulit digerakannya.

Setiap selesai dari acara penancapan paku kesadaran sudah pasti keadaannya seperti itu. Tubuh seperti dipompa kemudian digembosi dengan seketika. Rasa meledak dan kemudian tertiup seperti balon, menjadi makanannya setiap kali. Jangan ditanyakan bagaimana sakitnya dan bagaimana penderitaan yang mendera. Sel-sel ketubuhanya serasa meledak berkali-kali. Kesakiutannya sering membawa ke lorong pekat kesedihannya.

Dan sungguh tidak ada satupun manusia peduli atas apa yang dia rasakan itu. Tidak ada yang peduli atas apa yang dilakukan untuk bumi pertiwi. Biarlah, Allah maha tahu. Dia tidak pernah persoalkan itu.

“Demikian itu keadaanmu Mawangi”

Mas Thole hanya sedikit berpesan sekedar untuk membesarkan hati Mawangi. Itu perlu sebagai bekal untuk menapaki langkah-langkah Kami, sebagai penerus penancapan paku kesadaran. Tugasnya adalah berkeliling keseluruh Nusantara, mulai dari ujung Sumatra sampai ke Papua. Tidak peduli ribuan mulut mencibir dan mendakwanya sebagai modus untuk mencari uang. Hhh...Betapa naifnya. Betapa sombong orang yang mengatakan itu. Apakah jika rejekinya ditahan Kami dia mampu dan bisa sesumbar demikian itu!

Yah, Engkau Mawangi akan menjadi saksi bahwa Kamilah yang memperjalankan kamu itu. Tanpa kamu pernah meminta alam memanggilmu untuk datang dengan pelbagai cara. Semua seakan-akan begitu saja ada. Mungkin nanti akan ada orang yang tergerak membantumu. Hati hatilah dengan bantuan yang berpamrih itu. Mereka tidak akan segan-segan menghakimimu. Maka tinggalkanlah mereka itu. Mereka mambantu hanya untuk popularitas semata. Mereka lupa bahwa rejeki yang ada hanyalah titipan semata dan sewaktu-waktu akan diminta.

***


Kemanakah arah Mawangi? Kemanakah dirinya akan pergi? Singgasana ilusi telah menghantarkan kepada pagi. Menyibak misteri demi misteri, sebuah sumpah dan janji atas negri ini. Tidak juga Batari bahkan seluruh makhluk lintas dimensi merasa berkepentingan atas lahirnya kesatri-kesatria yang mampu melindungi bumi Nusantara ini.

Ah, entahlah. Bukankah dirinya hanya wanita lemah. Hanya seorang wanita biasa yang sering dipandang hina, sebab tingkah lakunya yang tak biasa. Mau kemana lagi? Sayang daya tarik untuk pergi tak mampu ditahannya lagi. Di arunginya lembah dan ngarai. Disusurinya petilasan dan situs-situs purbakala. Mulai dari Gunung Padang, situs Cibalay, Tarumanegara, Selaka negara, entah sudah berapa yang dia jajaki. Tujuannya tak pasti. Aha, entahlah daya dorong apakah itu.

Kesadarannya kadang tak mampu dikendalikan. Keinginannya bagai sebuah gendewa yang melemparkannya ke alam astral dan alam para dewa. Dalam penatnya malam kadang dia bertanya,

“Ada apakah dengan dirinya”

Keluhan yang kadang hanya disambut tersenyum. “Alam sedang mengajari kita” Begitu saja jawaban singkat Mas Thole. Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan Mawangi. Maka dirinya bertekad untuk menyelesaikan sampai dimanakah akhir muara duka yang dia alami ini. Untuk apakah dirinya berjalan ke seluruh pelosok negri.

***
“Bismillahirrahmanirrahim
La haula wala quwwata ilabillah
Asyhadu ala ilaha ilallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah

Sesungguhnya kehidupan semua berada dalam kehendak Yang Maha Kuasa. Dan setiap raga memiliki kemampuan untuk otomatis secara sistem dalam mengelola dan menggunakannya dengan daya yang terbatas dan tanpa batas. Seringkali merasa bahwa manusia itu tanpa batas, padahal sesungguhnya berada dalam keterbatasan. Seringkali malah merasa dalam keterbatasan, tetapi sesungguhnya memiliki kemampuan yang tak terbatas. Itu yang menjadi hal tak terperi dan terpatri, semua hanya dalam tatanan ruang dan waktu, itu bila memasuki pada konsep pikiran yang terbatas.

 Lepas semua dalam titian waktu, berada pada paradigma sang ruang dengan batasan yang dibuat dalam ruang dan waktu.

Sesungguhnya waktu itu membatasi dan tanpa batas, tetapi dalam lingkupnya menjadi keterbatasan dalam daya sang raga yang terbatas.

Relung di ujung waktu, tanpa melihat batas waktu yang menjadi konsep dalam penjabaran diri yang tak mampu lagi menggapai akan makna-makna yang terpatri. Aku ada dalam edaran waktu, tetapi aku bukanlah bagian sang waktu. Sesungguhnya itu ada pada pergiliran ruang sehingga melihatnya menjadi sang waktu...


Saat itu, aku berada di sepenggelahan sang Surya, dia menjadi bagian dari putaran waktu yang menjadi bagian dari rasa-rasa itu.”

***

Dan kisah perjalanan ini hanya akan menjadi buku catatan usang. Membuka kejadian dari mana mula manusia diciptakan, lebih banyak menjadi bahan tertawaan. Bukankah Tuhan sudah mewahyukan agar manusia berjalan ke seluruh muka bumi, agar manusia mampu melihat bagaimana dirinya diciptakan?

Dan bukankah sudah jelas bahwa manusia mesti berjalan di muka bumi ini, agar mereka mengerti arti dan makna penciptaan. Dan dengan begitu manusia akan mampu bersyukur. 

Ahh...Entahlah itu...?!?



Bersambung..



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali