Manunggal Diam Bersama Gusti



Gambar terkait
Rahsa takut akan menyebabkan seseorang mampu beribadah dengan luar biasa. Punishment masih sangat efektif. Periode awal dakwah rosul di mekah adalah menggunakan reward & punishment. Banyak ancaman neraka disana. Dalam mendidik ancaman menjadi sangat efektif pada kesadaran awal. Fase perkembangan anak-anak kita masih di butuhkan punishment ini sebagai kontrol kesadaran.

Memasuki fase remaja punishment dipertanyakan oleh mereka. Fase peralihan ini yang krusial. Pada fase ini kesadaran akan memilih ke kutub-kutubnya. Apakah dirinya akan memilih radikalisme ataukah memilih spiritualisme atau  kutub-kutub lainnya.

Sesorang yang terus melakulan ibadah bukan karena Allah namun hanya sebab ingin dicap suci, atau diprasangkakan orang tatat beribadah, dll. Adalah semisal orang  takut ketinggalan pesawat, peribadatan tersebut akan menghasilkan respon sebaliknya bagi sistem ketubuhan. Dirinya akan merasakan tension. Sistem ketubuhan akan mengalami tekanan-tekanan dan menolak niatan tersebut. Tubuh akan menjadi bersikap kebalikan dari tanda-tanda orangyang sholeh. Respon yang keluar dari sikap mereka, sebagaimana kita lihat kaum khawariz.

Islam mengajarkan keseimbangan. Sama halnya api atau bisa ular. Semua jika dalam takaran yang pas akan menjadi kebaikan. Keseimbangan itulah yang diajarkan rosul. Jangan berlebihan dalam beragama apalagi melebih lebihkan. Jangan melebih-lebihkan manusia hingga menjadi kultus.

Pondokcinde menghantarkan pemahman ini.  Karena itu dikaji disini. Semua harus pas. Semua kita letakan manzilah2nya. Imam Ghazali pada awalnya ahli mantiq. Hingga sakit luar biasa. Kemudian beliau masuk tarekat. Mempelajari sufi. Pada tarekat beliau menemukan ketenangan jiwa.  Jika kita lihat polanya. Apakah sufi yang membuat beliau tenang. 

Kita lihat banyak ahli tarekat terjebak kepada pengejaran karomah saja. Disinilah muaranya. Imam Ghozali belajar mantiq dan kemudian belajar tarekat. Kedua ilmu ini saling menyeimbangkan. Rasionalitas dan intuisi. Kedua duanya bekerja. Kembali yang diusung disini adalah *janganlah berlebih lebihan dalam sesuatu.* Sebab hukum alam selalu berpasangan.

"Janganlah berlebihan dalam kesedihan sebab kehilangan kesenangan.
Dan janganlah berlebihan dalam kesenangan saat kehilangan kesedihan."

Sebab

Keduanya akan bergantian menyambangi kita. Tidak esok mungkin juga lusa. Demikianlah hukum al qur an.Kenalilah keadaan diri kita. Kebutuhan diri kita. Parameternya adalah jiwa yang tenang puas dan ridho. Jika saat ini ilmu mantiq membuat kita nyaman maka peganglah itu sebab ada kebenaran dan kebaikan disini. Kita membutuhkan rasionalitas. Namun jika sebaliknya sistem ketubuhan tidak menerima maka tinggalkanlah mungkin saatnya kesadaran kita menggunakan hati.

Kemudian setelah kita selesai dengan diri kita gunakanlah instrumen ketubuhan kita sebagaimana fitrahnya. Tidak melebihkan satu sama lainnya. Masing masing ada peruntukannya. Allah mentakdirkan kita hidup di nusantara dimana kisah mistik, mitos dan legenda menguasai kesadaran. Maka rasionalitas masih sangat dibutuhkan. Namun kita harus menjaga agar jangan berlebihan. Ingatlah hukum alam selalu dalam keseimbangan. Setiap instrumen ketubuhan memiliki kecerdasan dan masing masing dilebihkan antara satu dan lainnya.

Kecerdasan akal di alam materi. Kecerdasan hati di alam spiritualitas dan kecerdasan motorik di sustainable (keseimbangan).

Kecerdasan motorik lebih mengamati bagaimana *respon* kita atas sebuah informasi. Kecerdasan motorik muncul sebahagai akhlak atau perilaku yang mengatur gerak reflek kita. Maka semua informasi yang masuk kembalinya adalah bagaimana respon kita. Pemaknaan yang salah dari kecerdasan hati akan membuat respon yang salah. Sesuatu kesalahan  yang diulang ulang akan menjadi kebenaran bagi dirinya. Sistem motorik demikian adanya. Kecerdasan motorik bekerja berdasarkan hal ini. Dalam bahasa awam disebut latah atau habit dll.

Maka kebiasaan yang salah pada suatu kaum akan menjadi kebenaran dan keyakinan kaum tersebut.

Islam datang dengan argumentasi untuk membeaskan kecerdasan motorik dari kebiasaan2 yang tidak mengarah kepada perbaikan. Lihatlah pola para nabi. Kesadaran mereka datang selalu dalam posisi mempertanyakan kebiasaan masyarakatnya. Mereka mendobrak dogma dan keyakinan masyarakat di masa mereka. Itulah Islam. Sebuah pembuka kesadaran adalah *pertanyaan*.

Buat apa saya ada di dunia ini?
Mengapa masyarakat begini begitu?

Mereka mencari jawaban dengan kontemplasi kepada alam. Mereka dialektika dengan diri mereka sendiri. Memasuki inti sejatinya diri. Jarang diantara mereka berguru kepada orang lain. Mereka berguru kepada alam. 

Takdir yang mereka alami dijadikan guru bagi mereka.

Mereka mengalami siksaan, kehinaan, kehilangan, kelaparan, pendek kata seluruh penderitaan manusia mereka alami. Dan semua itu adalah pembelajaran yang mendewasakan dan menyempurnakan jiwa mereka.

Laku dan laku...

Metode ini banyak dilakukan oleh leluhur kita. Dalam hindu dan budha juga mengadaptasi metode laku ini. Meditasi bertapa..puasa dll. Semua pola sama. Yang membedakan adalah kalau kita membuat metodenya. Membuat pembelajaran diri kita dengan serangkaian ibadah atau ritual tertentu akan kita mengalami  sendiri bagaimana lapar, susah dll.

Sementara para nabi tidak. Mereka belajar dari takdir yang disiapkan Allah. Mereka tidak membuat silabusnya. Berjalan sebagaimana adanya. Mereka belajar menetapi takdirnya sendiri. QoLaM

Mereka belajar apa itu QoLaM.

Qolam adalah sebuah siklus Q dari hukum2 alam L dan menjadikan itu catatan di M. Menjadi keyakinan dirinya. M inilah referensi yang akan digunakan D. Maka pembelajaran para nabi adalah M akan diajari H hasilnya akan menyempurnakan M lagi. M yang disempurnakan inilah dasar gerak bagi D.

H inilah kesadaran alam semesta. Maka para nabi pasti akan selalu berkontemplasi kepada alam.

Maka Islam bagi pemahaman sy adalah _continous improvement_ itu sendiri. Perbaikan terus menerus bagi kesempurnaan jiwa kita. Perbaikan kecil tapi terus menerus itulah hakekat yang saya fahami.

Sholat yang sadar. Dalam kesadaran kita sholat. Bukan dalam keterpaksaan. Sehingga pada akhirnya bukan dengan rahsa takut kita sholat. Pemahaman bahwa kitalah yang butuh sholat. Bukan takut terlambat naik pesawat. Kita butuh pesawat agar kita lebih cepat. Maka semisal itulah kesadaran. Waktu yang tepat ibarat pesawat. Kalau kita ingin cepat sampai gunakanlah pesawat. Bukan onta. Rasionalitas inilah yang rasional menurut saya.

Namun kalau kita tidak butuh cepat dan ingin menikmati pemandangan maka onta menjadi pilihan terbaik. Ini juga rasionalitas yang rasional. Maka kembalinya adalah kenalilah need atau want dan juga will. Dari sanalah kita berspiritual. Maka sesungguhnya agama adalah "sikap berserah" (Islam).

              - Agama - Sesungguhnya sikap berserah diri inilah yang diridhoiNya.

Portal lintas dimensi dibuka waktu waktu yang khusus. Pada tempat dan waktu yang tepat maka kita akan mampu melakukan perjalanan lintas dimensi. Itulah hakekat sholat pada tempat dan waktu yang tepat.

Permasalahannya sudahkah kita paham utk apa kita melakulan perjalanan?.
Sudah siapkah kita untuk perjalanan?.

Tanpa memahami maksud peribadatan ini maka kita hanya akan dapatkan capai dan lelah saja. Maka sholat tidak akan mampu mencegah keji dan mungkar. Kita tidak akan kemana mana. Hati kita tidak akan bergerak "improve' drari satu makom ke makom berikutnya.
Mengapa bisa demikian?

Banyak contoh fenomena. Manusia mencoba memaknai ulang perihal gerak ini.

Gerak Peribadatan

Saat raga kita bergerak cepat dalam aktifitas dunia maka jiwa kita diam tidak kemana mana. Saat kita mengejar tiket pesawat sesungguhnya jiwa kita tinggal. Jiwa tidak pernah kemana mana.

Namun....

Sebaliknya...

Saat raga kita diam justru jiwa kita "liar" pergi kemana dirinya suka. Pergi ke alam angan dan khayal. Pergi ke dimensi para kuntilanak dan perewangan, pergi alam bidadari dan alam dewa. Jiwa benar benar sesuka dirinya. Saat raga diam jiwa menciptakan apa saja. Semisal jadi Ariel yang bisa bersuka dengan Luna Maya. Jiwa menjadi raja bertahta dan banyak lagi jiwa menciptakan apa saja dalam angan pikirannya sendiri. Jiwa menjadi wakil Tuhan menciptakan makhluk di alam dimensi.

Lihatlah hukumnya...
Hukum paradoks disana..

Pada saat raga bergerak sesungguhnya jiwa diam. Saat raga diam sesungguhnya raga bergerak.

Jiwa diam diatas gerak sang raga yang beraktifitas adalah hidup berkesadaran.
Jiwa bergerak atas raga yang diam adalah hidup berkecerdasan.

Jiwa dalam keseimbangan gerak dan diam adalah hidup dalam  kebermaknaan

Inilah ilmu hikmah. 
Ilmu Laduni yang dikenal orang 

Pondokcinde mengusung pemahaman ini bagi keberlangsungan kehidupan yang "sustainable". Selalu bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. Dan suasana terbolak balik inilah yang menyebabkan jetlag. Dibutuhkan niat dan kesungguhan diri. Open mind, open heart dan open self. Keterbukaan untuk sebuah perubahan. Perubahan mindset, perubahan suasana hati, perubahan pemaknaan diri.

                        Kesiapan untuk perubahan adalah kekuatan hati.

Latihlah kekuatan hati dengan melakukan hitungan mundur. Sebelum hati mampu berdzikir asmaNya. Setiap lafad ada energy. Setiap huruf ada energy. Jika penampang hati belum memiliki pondasi yang kokoh dikhawatirkan justru turbulensi.

Maka persiapan itu sangat penting. Leluhur menyebutnya laku. Laku spiritual itu penting utk pondasi. Ibarat membangun bangunan tinggi tanpa pondasi dan struktur kuat akan mudah roboh. Semua sudah dipersiapkan dengan laku leluhur kita. Kita generasi sekarang ibarat generasi Y. Generasi yang tinggal pakai saja. Pondasi sudah dipersiapkan leluhur bangsa ini. Kita tinggal _connection_ dengan struktur bangun kesadaran yang disiapkan.

                      Raga diam jiwa bergerak
                                Raga bergerak jiwa diam
                                          Gerak dan diam 
Saling bergantian dalam keseimbangan (sustainable)

Mengamati keseimbangan dalam gerak dan diam bersama Gusti Allah.

Resultan ada pada gerakan meditasi diatas gerak. Diam tapi sesungguhnya bergerak dan bergerak tapi sesungguhnya diam. Itulah mati dalam hidup atau hidup dalam mati.

 Adalah sebuah laku *kesadaran* dan *kecerdasan*

Sadar bahwa jiwa harus mengikuti gerak raga..Apapun geraknya raga jiwa selalu sadar..Dimana raga bergerak di situ ada jiwa yang sadar (diam) mengamati..

Cerdas dalam memilih perjalanan jiwa ketika raga sedang diam
Dalam kondisi raga diam inilah Barangkali saatnya perjalanan jiwa menuju Tuhan..

Dalam diam Dalam tafakur Mati dan hidup dalam satu keadaan yaitu superposisi.
Dalam kebatinan disebut manunggaling kawulo gusti Bersatunya aku dan Aku.
Bersatunya H dan M. Menjadi Ha Mim.
Namun bersatu nya ini belum selesai..

                                                             M --> (HàM) --> D

(MuHaMaD)

Kesadaran kita dari posisi awal menuju kepada ikatan manunggal yaitu ikatan HM dr sana kembali ke alam nyata melalui gerak motorik D. Demikianlah metodologi Islam mengajarkan dengan bahasa simbol.

Woluhualam
Taman Kembali 0809217

Komentar

  1. Semua sudah dipersiapkan dengan laku leluhur kita. Kita generasi sekarang ibarat generasi Y. Generasi yang tinggal pakai saja. Pondasi sudah dipersiapkan leluhur bangsa ini. Kita tinggal _connection_ dengan struktur bangun kesadaran yang disiapkan.
    maksudnya gmn kang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Leluhur sudah menyiapkan semua di DNA anak keturunannya. Tinggal di aktifkan saja.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Spiritual, Misteri Selendang Langit (Bidadari) dan Kristal Bumi

Kisah Spiritual, Labuh Pati Putri Anarawati (Dibalik Runtuhnya Majapahit, 4-5)

Rahasia Simbol (Tamat). Siklus Yang Berulang Kembali