Kisah Spiritual Mawangi: Perjalanan ke Timur (1)
Perjalanan ke Timur
“Berjalanlah ke Timur wahai Mawangi, disana ada sebuah batu. Tancapkanlah paku kesadaran disana. Perkuatlah kesadaran Ibrahim. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". [Surat 2 Al Baqarah Ayat 126]”
Terkisah cerita perjalanan Mawangi menghantarkan Sang Batari ke seluruh pelosok Nusantara menggenapi tugas Banyak Wide. Entah bagaimana caranya tempat-tempat yang belum pernah di datangi Banyak Wide kini dijalankan oleh Mawangi. Sosok gadis yang lugu, yang selalu bertanya atas kejadian yang tidak dipahaminya. Pengetahuannya adalah ketidaktahuannya. Ujung dari semua tanya yang pada akhirnya jawabannya adalah “Tidak perlu ada pertanyaan”. Sebab ujung dari segala dan muara ilmu pengetahuan adalah ketidaktahuan itu sendiri. Dengan ketidaktahuannya inilah Mawangi berjalan menghantarkan Sang Batari.
***
“Writak
yatmi, yada galuh pakuan ditya mangga. Manggala giri jati katyi ingkang kersa
Gemuruh
Galuh di sebelah selatan, sebagai tanda adanya rasa, rasa jiwa dengan segala
daya yang mengumpulkan segenap kehendak yang membalikkan rasa. Tiada angkara
tanpa cinta, tiada rasa tanpa tresna, semua seperti sama, tetapi sesungguhnya
berbeda. Bukan perbedaan yang menjadi titik tekan rasa, bukan hanya cinta
dengan segala sarwana ratya manggala
Kelahiran
seseorang bukan pada adanya kematian, tetapi itu sebagai sebuah perpaduan.
Writak widya, menjadi padya padma batsa.
Sesungguhnya
semua itu berada jejaknya sang Naga, yang kadang berada di atas terang, sering
juga bergerak dalam gelap. Hal yang menjadi bagian dari perjalanan yang
menyebutkan bahwa itulah sang jiwa, itulah sang raga, sesungguhnya bukan
demikian, itu berada pada sapuan sang hyang padma. Padwa writak padya
Tidak
mesti merasa gelisah atau marah, karena bukan untuk hal yang diberi pemahaman
akan pemaknaan yang sesungguhnya. Seumpama writak, dikya mangun sada
Allahu
Akbar
Jiwa-jiwa
berada dalam genggaman-Nya, menjadi suatu hal yang menunjukkan bahwa itu berada
pada sanubari nastiti ratyi padyi.
Indah
di mata, tak sekelam dalam tutupan pelupuk mahkota, jangan melihat dalam gelap,
tetapi lihat di antara kegelapan yang kau rasakan.
Melihat
dengan cahaya, yang terpancar pada setiap jiwa-jiwa yang menggenggam kasih
sayang
Seumpama
semua menjadi usang, itu bukan dalam perjalanan, tetapi hanya penglihatan pada
kedipan mata yang berada pada sang jiwa
Allahu
akbar
Setiap
yang melihat akan diminta pertanggungjawabannya. Selaksa rasa itu bukan untuk
sebagai pengejawantahan dari rasa, tapi umpama yang menunjukkan akan
tersembunyi rasa
Padma
dugya wakya
Sebentar
lagi sang hyang mayang digya kitya
Yung
nang is the qwuit aryu katyu dyupna swutya
Manusia
sering bertanya tentang rasa. Rasa yang tak dapat dihindari oleh sang penyimpan
jiwa. Ketika semua bertanya, tak ada yang tahu, kecuali memang jiwa itu berada
dalam keadaan emosi yang tak tertuju.”
***
Bandara
Internasional di salah satu kota Papua, menjadi saksi sebuah perjalanan anak
manusia dengan raga terkininya. Jiwanya bergolak tak memahami, mengapa harus
diirnya. Mengapa tidak yang lainnya saja, bukankah banyak mereka yang sakti dan
memiliki kemampuan spiritual yang luar biasa. “Mengapa harus aku?” Demikian
Mawangi bertanya dalam riak tak pasti. Diantar sela sensasi di raga yang semakin tidak menentu,
alam pikirannya terus memburunya. Papua, yah Papua negri yang di khabakan akan
lepas. Melepaskan diri dari pangkuan Ibu Pertiwi. Sebuah keprihatinan yang
menghantui alam kesadaran.
“Siapakah aku?”
Mawangi terus mengulang-ulang pertanyaannya. Sementara hawa ghaib sedikit demi sedikit memenuhi perutnya, menyebabkan kembung dan mual rahsanya.
***
“Siapakah aku?”
Mawangi terus mengulang-ulang pertanyaannya. Sementara hawa ghaib sedikit demi sedikit memenuhi perutnya, menyebabkan kembung dan mual rahsanya.
***
Menuju
kearah Timur, demikian tugas Mawangi. Meski bingung, mau sedih atau bahagia.
Tidak ada pilihan bagi Mawangi. “Jika ini sebuah kesia-siaan, mengapa harus
dilakukan?” Mawangi berkaca atas apa-apa yang dilakukan Banyak Wide selama
lebih dari sepuluh tahun ini. “Apakah hasilnya?” Lihatlah tingkah polah
manusianya, sama saja. Apakah diberi peringatan ataupun tidak, mereka sama
saja. Maka hantaran kisah hanya akan menjadi dongengan semata. Indah bahasa
namun miskin hikmah disana. Kondisinya yang tak sama dengan Banyak Wide menjadi
kendalanya. Raga nya sebagai wanita banyak mengalami keterbatasan. Namun
mengapa Kami meminta dirinya?
Lihat
saja apa yang telah diperbuat Banyak Wide. Apakah ada keuntungan bagi dirinya?
Lihat dan lihatlah di alam nyata. Apakah dengan menetapi jalan kesadaran ini
dirinya mendapatkan pujian? Lihatlah Mawangi, lihat dan lihatlah kembali. Nelangsa keadaan diri Banyak Wide. Kenistaan selalu dialamatkan kepadanya. Hujatan, makian
bahkan kepada dirinya disangkakan ‘MODUS’ saja, melakukan perjalanan kesadaran.
Yah, modus untuk mendapatkan uang dan bantuan. Luar biasa keji tuduhan mereka itu.
Kebencian telah merasuki sukma mereka. Hingga mereka berkata tanpa ilmu.
Apakah mereka memahami apa apa perbendaharaan di langit sehingga mereka menuduh manusia lainnya dengan semena-mena. Apakah mereka merasa lebih baik dari manusia lainnya. Kemudian berkata “Tuhan berkata melalui lisan saya. Inilah kebenaran Tuhan.” Sambil menunjuk diri mereka sendiri dengan pongahnya.
Mereka merasa telah di hakekat, sehingga mereka tidak perlu sholat dan segala macam syariat. Mereka merasa diatas rosul dan para nabi. Demikian mereka menklaim telah mendapatkan hidayah. Merasa menjadi lidah Tuhan sehingga berhak menghakimi manusia lainnya.
Apakah mereka memahami apa apa perbendaharaan di langit sehingga mereka menuduh manusia lainnya dengan semena-mena. Apakah mereka merasa lebih baik dari manusia lainnya. Kemudian berkata “Tuhan berkata melalui lisan saya. Inilah kebenaran Tuhan.” Sambil menunjuk diri mereka sendiri dengan pongahnya.
Mereka merasa telah di hakekat, sehingga mereka tidak perlu sholat dan segala macam syariat. Mereka merasa diatas rosul dan para nabi. Demikian mereka menklaim telah mendapatkan hidayah. Merasa menjadi lidah Tuhan sehingga berhak menghakimi manusia lainnya.
“Biarkanlah mereka itu Mawangi.
Demikianlah keadaan manusia manusia yang tidak mampu menerima keadaan dirinya.
Berlalunya pengajaran atas diri mereka tidak menyebabkan mereka beriman. Justru
apa apa yang dikhabarkan kepada mereka, menjadikan lebih keras perlawanannya
terhadamu!."
"Lanjutkanlah perjalananmu. Tuntaskanlah tugas penanaman paku kesadaran. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (Q.S Ibrahim : 35)””
"Lanjutkanlah perjalananmu. Tuntaskanlah tugas penanaman paku kesadaran. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (Q.S Ibrahim : 35)””
***
Tancapkanlah
paku kesadaran itu Mawangi, ciumlah Ibu Pertiwi yang telah menghamparkan bumi
untuk engkau tinggali. Berjalanlah bersama angin yang menemanimu, berdirilah
bersama udara yang menguatkanmu, bernafaslah dengan air yang menyejukan hatimu.
Lengkapilah perintah Tuhanmu. “"Berjalanlah
di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. 29:20).
"Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang berdosa." (Qs. 27:69)””
Kemudian khabarkanlah apa-apa yang telah engkau saksikan dalam perjalananmu itu. Belajarlah menjadi penyaksi atas kehidupan. Menjadi saksi atas kekuasaanNya. Ambilah hikmah diantaranya. Itu agar kamu mampu bersyukur.
Kemudian khabarkanlah apa-apa yang telah engkau saksikan dalam perjalananmu itu. Belajarlah menjadi penyaksi atas kehidupan. Menjadi saksi atas kekuasaanNya. Ambilah hikmah diantaranya. Itu agar kamu mampu bersyukur.
Bukalah
selendangmu, hamparkanlah, terbanglah bersama mimpi-mimpi panjang manusia.
Sebagaimana doa nabimu atas keturunannya di muka bumi. “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka
bersyukur. (Qs Ibrahim : 37)”
Merekalah
anak keturunanmu, wahai Batari. Anak yang seharusnya engkau besarkan dengan
cinta kasihmu. Ingatlah bagaimana engkau berdoa agar anak-anakmu menjadi
penguasa tlatah jawa. Sebagaimana kala itu engkau berdoa seperti doanya nabi
Ibrahim dan Kami juga mengabulkan sebagiannya. Maka lihatlah olehmu sekarang,
bagaimana anak-anakmu saling berbunuh-bunuhan memperebutkan kekuasaan. Tidakkah
harta itu adalah ujian? Tidakkah kecintaan berlebihan telah menyesatkan
manusia? Mengapakah sangat sedikit yang mau mengambil pelajaran?
***
Mawangi
terpekur tak pahami, kegelisahannya lebih karena sebab energi tak dikenalnya
terus menyelusup hingga jauh ke relung hatinya. Entitas ghaib tak kasat mata
yang mewakili rahsa tak dipunya, rahsa tersia-sia, rahsa tak memiliki muara
harap dan kejayaan. telah meliputi sistem ketubuhannya, daim di pori-porinya. Menghisap apa saja. Seakan mereka ingin berkata bahwa mereka ada di bumi cendrawasih ini. Janganlah mereka diabaikan. Sebuah keniscayaan dari generasi yang terlupa. Negri itu
bernama Papua.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar