Kisah Spiritual Mawangi; Membuka Selendang Biru (1)
Bidadari diantara duhkan
Cahaya menari perlahan
Meluaplah kerinduan
Meluaplah kerinduan
Mengungkap tanya kejadian
"Akulah muara cinta!"
Secepat kilat sayapnya menghujam
berderai tawa bersama
Kecipak air nyanyikan malam
"Akulah muara cinta!"
Secepat kilat sayapnya menghujam
berderai tawa bersama
Kecipak air nyanyikan malam
Bulan di atas hamparan sabana
Selendang bidadari menarik sukma
Memantulkan warna ditengah telaga
Engkau diam menahan nelangsa
"Akulah sang pecinta"
"Akulah sang pecinta"
Aroma kisah dahulu
Ketika Nawang Wulan terhisap waktu
Berlalulah hari bersanding pusara
Kemudian mati tergenang air mata
Babad tanah jawa dirahsa
Kini hanyalah muara dupa
Rangkaian segala cerita cinta
Disanalah kisah romansa dimula
"Akulah duka yang terbawa"
Perihal Sakuntala,
Tujuh kasih mereka bersaudara
Melahirkan anak anak manusia
Dalam belitan cahaya dan jiwa
"Akulah wanitanya alam semesta!"
***
Penghantar Kisah
"Akulah duka yang terbawa"
Perihal Sakuntala,
Tujuh kasih mereka bersaudara
Melahirkan anak anak manusia
Dalam belitan cahaya dan jiwa
"Akulah wanitanya alam semesta!"
***
Penghantar Kisah
Aduh, jika kisah ini disandingkan disini.
Apakah tidak akan dihujat mereka lagi? Entahlah dengan keraguan diri, ingin
dihantarkan lagi. Kisah yang pasti tak dimaui. Kisah yang tak ingin didengar
lagi oleh para pelakunya sendiri. Bukankah sudah berlalu jutaan hari? Hingga
kisah yang meraka alami sesungguhnya adalah kisah-kisah yang menjadi milik bumi. Mengapa mereka menjadi marah sekali? Kemudian melontarkan caci maki,
tidak saja di dunia fiksi. Bahkan diranah materi mereka terus saja mengganggui.
Mencari sensasi dan alibi pembenaran diri. Kesana kemari menjual cerita yang
telah dikontruksi berdasarkan persepsi. Membiarkan prasangka merajai di hati.
Melahirkan benci dan sakit hati yang terus mengerak, sekeras kerak bumi.
Lihatlah murkanya gunung-gunung, lihatlah
sesar muka dan belakang yang terus terbuka menghasilkan badai dan juga
gempa-gempa kecil hingga sedang. Kemudian tengadahkanlah wajah. Lihatlah perangai dan tingkah manusianya.
Arogansi dan pemaksaan tampak dari raut muka. Tidak ada hari tanpa umpatan.
Tidak ada waktu tanpa hujatan, yah itu terjadi diantara sesama, antara satu dan lainnya. Perang dan perang
ingin manusia kobarkan di bumi jawa ini. Demontrasi keserakahan, demontrasi
keangkuhan, demontrasi kemunafikan, dan banyak sekali demo-demo telah lahir di
nusantara. Dimanakah para kesatria? Adakah mereka nelangsa menyaksikan
kenyataan? Ataukah sebaliknya, mereka justru berpaling setelah mendapat
petunjuk yang nyata dari Tuhannya? Melipat ekor ke belakang dan kemudian
menghantam tanpa perasaan?
Ya Tuhan, sudahkah saatnya? Mula yang harus
diakhiri. Dan akhir dari mula. Sebuah peradaban yang harus dihabisi untuk
membuka awal baru peradaban berikutnya. Yah,
demikianlah penciptaan manusia-manusia baru dilakukan dengan menghancurkan
manusia lama terlebih dahulu. Mengulang kisah-kisah sebagaimana telah
diabadikan di al qur an. Kisah bangsa-bangsa sepanjang peradaban. Kisah
kehancuran dan kisah pergantian kekuasaan atas manusia. Kisah pergantian dan
pergiliran manusia lama kepada manusia baru. Sudah siapkah bangsa ini? Selarik
tanya terus menghantui, memaksa dirinya kembali mengkisahkan disini. Sebuah
pergulatan batin, keprihatinan mendalam atas keadaan negri yang dicintainya
ini. Walau hanya sebatas angan dan pikiran, namun demikianlah rahsa yang
tertinggal, semua demi kecintaan semata. Jayalah negriku sejahteralah bangsaku!
Maka kisah perjalanan spiritual ini akan
dihantarkan lagi. Mengambil sudut tak biasa. Perjalanan Mawangi yang
menyelusuri pelosok negri ini, menggantikan peran Banyak Wide yang sudah saatnya
memasuki alam tiwikramanya. Membiarkan Mas Thole asik di alam realitasnya. Alam
realitas yang akan banyak mengajarkan dimensi paradoksal kepadanya. Apakah dirinya
nanti akan tetap beriman saat memasuki alam yang penuh ketidakpastian. Alam materi
yang menyajikan kebencian dan juga keserakahan, serta kemunafikan. Apakah pemahamannya
mampu dipertahankannya? Entahlah bahkan dirinya sendiri juga tidak yakin bahwa
pembelajaran yang didapatkannya selama puluhan tahun berspiritual akan mampu
menjaga dirinya. Dunia ini penuh misteri, yang pasti adalah ketidakpastian. Tidak
ada kepastian manusia akan selamat di dunia ini. Begitu juga keadaan Mas Thole,
dia menyadari bahwa satu kakinya sudah ada di neraka. Maka biarkanlah keadaannya
begitu. Yah, biarkan api membakar ego dirinya.
***
Membuka Selendang Biru
***
Membuka Selendang Biru
Mawangi nama panggilan yang aku dapatkan pada
silsilah perjalanan hidupku dalam menjalankan hidup dan berkehidupan. Seperti
tidak lepas dari kisah perjalanan yang aku sendiri tidak tahu awal dan
akhirnya. Kelahiran dan kematian berada dalam satu
bingkai kehidupan, waktu. Aku berada dalam perjalanan waktu sekarang dengan
wujud perempuan dan karakternya, serta perjalanan kehidupan yang sudah
ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa. Mawangi, nama yang aku dapatkan dari proses
perjalanan. Secara jelas, nama itu aku sandang, belum tahu arti yang
sebenarnya. Namun demikian, sebagai raga yang kini hadir, aku menerima nama
tersebut dengan senang, riang, gembira dan bahagia.
Mawangi, itulah namaku. Perjalanan hidupku
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, atau mungkin itu yang aku
anggap selama ini, bahwa kehidupanku normal penuh kasih sayang keluarga. Walau
sejak kecil aku sudah terpisah dari orang tua, dan tinggal dengan kedua nenek
dari ibu dan bapak, aku anggap biasa karena memang yang lainnya juga ada yang
bernasib sama denganku. Lingkup dalam keluarga yang tinggal di kampung, aku
berjalan seperti halnya anak-anak lainnya, bermain, dan bermain. Berjalan
menelusuri pematang sawah, main layang-layang, main petak umpet, main galah,
main kucing-kucing di atas pohon, dan permainan tradisional lainnya. Permainan
tersebut untuk saat ini mungkin akan dianggap sebagai permainan yang mewah.
Suatu ketika dalam perjalanan, aku berujar
dalam diam untuk menjadi seseorang yang terbaik dan hamba yang kembali kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Jalan ceritanya tanpa mula dan akhir, tetapi dalam
ragaku telah hadir seorang ratu dan batari yang menjadi bagian dalam kisah
perjalananku. Sejak awal aku tidak menyangka dan tidak tahu siapa Batari. Siapa
dia? Sampai saat ini berada dalam imajinasi dan sangkaan para penutur dan
penyebar berita.
Secara harfiah memang seperti tidak ada yang
paham atau mengerti, termasuk aku sendiri. Berada dalam pengejewantahan waktu
menelusuri yang belum tentu aku tahu dimana tempat dan letaknya. Aku bermain
dan bercengkrama sendiri, ternyata menjadi pembelajaran dan pengajaran dalam
sisi kehidupanku.
“Jangan kau sentuh tempat itu Mawangi, karena
itu bukan hakmu.” Begitu kata Batari ketika aku mulai memahami keberadaannya.
“Maksudmu?” Tanyaku dalam diam.
“Iya, perjalanan hidupmu bukan untuk
berurusan dengan hati orang lain, tetapi dalam menapaki hatimu sendiri,”
jawabnya.
“Siapa kamu? Kenapa kau ada dalam bagian
hidupku?” Tanyaku kesal karena dia telah menyeretku pada sesuatu yang tidak aku
ketahui.
“Aku adalah kamu. Kamu adalah aku,” jawabnya
dalam remang waktu.
Selarik cerita tak akan muncul dalam
keniscayaan perjalanan kehidupan. Langkah-langkah yang sudah dilalui adalah
ketetapannya, Mawangi.
Semilir angin menjadikan Mawangi tercenung
dalam relung tak berujung. Perjalanannya untuk mengenal diri membawanya pada
realita lain, pertemuannya dengan entititas yang dia tidak ketahui sendiri
tetapi berada dalam dirinya sendiri. Kicau burung menjadi perundung senandung,
bahwa ini kehidupan yang harus aku tapaki.
Kilas balik pada masa lalu, sangat
berhubungan dengan masa kini. Gunung yang tegak berdiri di hadapanku menjadi
awal dari keingintahuanku. Iya, Galunggung.
Sejak awal Mawangi sudah menyenangi nama
gunung tersebut. Namanya ia hadirkan dalam setiap keadaan dan kesempatan. Ruang
yang besar dan mengglobal, menjelajahi dunia hanya terbingkai dalam satu
kalimat, Galunggung.
Catatannya belum ada yang membuka, penafsiran
maknanya berada dalam bias tak pernah berwujud. Seuntai kata tak seperti dalam
kumpulan huruf yang sederhana dan mudah dibaca. Iya, dia berada dalam suatu
rangkai perjalanan yang membawanya pada raga masa kini di abad 21.
Selaras nama tak akan ada dalam entitas
perjalanan. Sekarang Mawangi mengetahui adanya Batari. Gunung yang berada di
hadapannya menjadi pembicara dalam pertemuannya dengan sang jiwa yang berada di
raganya.
Setiap kehidupan ada kehidupan. Setiap
perjalanan ada perjalanan. Setiap kematian ada kehidupan. Kematian bukanlah
kematian. Tetapi sebuah perjalanan yang tertunda dalam dimensi kehidupan yang
berbeda.
Cahaya yng terang dengan sinarnya yang
menaungi awan dan tumbuhan hijau, menjadi pembeda antara nyawa dan jiwa. Selalu
aja ada yang berbeda. Tidak sama walaupun sama. Perjalanan Mawangi sudah
dimulai sejak lama. Sejak di dalam kandungan ibunya, dia sudah mendapat sebutan
Mawangi.
Ketika hidup mengingatkannya pada kehidupan
lain dalam perjalanannya, Mawangi seperti bukan dari entitas raga masa kini.
Dia bisa menebus langit berlapis-lapis tanpa meski dalam mimpi atau imajinasi.
Mawangi dikabarkan sebagai keturunan dewa dewi, sekaligus ratu dan Batari yang
meuwujud dalam raganya terkini, menjadi ada atau tidak dalam kehidupan sekarang
ini, tergantung yang memahami dan menyadarinya.
Akan dimulai kisahnya dengan menceritakan
keadaan Mawangi yang pedih hatinya karena telah berada dalam rongga kesesatan
yang nyata. Sakitnya seperti tuangan api dan lava dalam luka yang menganga.
Ketika itulah dia sadar akan dirinya yang berada dalam rutinitas kehidupannya
masa kini. Pengaturan ketat dalam ritual ibadah menjadinya seperti biasa tetapi
hambar tanpa ada dorongan untuk menyembah dan benar-benar menyembah kepada yang
Maha Kuasa. Lelah sering menerpa dengan kondisi raga yang semakin menua.
Sudah saatnya kau berjalan Mawangi,
menelusuri jejakmu, Batari. Bukan untuk kembali pada masa lalu, tetapi untuk
mengambil hikmah dan pelajaran hidup bagimu Mawangi dan Batari. Kisahmu yang
tersusun dalam cerita Galunggung bukan untuk ditapaki sebagai keangkuhan,
tetapi lihatlah dirimu sebagai raga terkini Mawangi. Ada pelajaran dan hikmah
yang akan kalian dapatkan. Kami akan membantu perjalanan kalian. Demikian kata
Sang Hyang Whidiwasa dalam penuturnya tak berucap.
Laku kalian adalah laku kami juga. Selama
dalam perjalanan, ingatlah kepada Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Ketika itu, sudah
ada yang akan membantu kalian dalam dunia realitas yang sekarang ada, tetapi
yang terpenting dalam perjalanan ini adalah diri kalian sendiri. Bukan orang
lain.
Sejatinya hidup adalah kehidupan. Jati
menguatkan dalam jati diri Mawangi dan Batari. Jati menjadi bagian dari Kami.
Semuanya menjadi Kami dalam titah ilahi rabbi.
Hamparannya akan Kami mulai dalam
pengejawantahan kehidupan kalian yang terselubung oleh waktu dan tempat.
Demikian dalam simbol-simbol yang kalian kuasai. Berjalan dan melangkahlah
dengan benar dan lurus seiring jarum jam dalam putaran waktu bumi. Perjalanan
ke barat dan timur.
Suatu waktu ketika ada yang bertanya dan ada
yang menjawab, maka tetaplah dalam realita dirimu, Mawangi. Seandainya semua
seperti perdu dan duri yang menyisiri kehidupan ini, maka pelajari dengan
teliti dan pasti.
Akan ada banyak hal yang menjadi ada atau
tidak ada. Kata-kata menjadi bagian dari perjalanan yang sering membuatmu ragu,
Mawangi. Di sana kamu harus belajar untuk menguatkan hati, yakin dengan apa
yang sudah ditetapkan oleh ilahi rabbi.
Perjalanan ini akan terus melaju, Mawangi pun
akan menjalankan tugasnya dengan mengantarkan Batari pada singgasanan
terakhirnya. Di ujung jalan yang tak pernah ada yang melaluinya, di tengah kota
yang tidak pernah ada yang memercayainya. Berjalan, dan terus berjalan, dalam
realita dan kenyataan yang sudah ada dalam perjalanannya.
Secarik kertas yang kau dapatkan nanti, bukan
untuk kau puja, tetapi pastikan itu untuk kau pelajari sebagai seorang ratu dan
batari, tentu kamu akan paham, Mawangi.
Demikianlah, Kami terus mengabarkan, dan
mengabarkan hal-hal yang belum Mawangi ketahui. Dia berada dalam kebingungan
yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal jalannya sudah Kami
bentangkan dengan segala yang sudah Kami siapkan dalam menuju perjalanan.
Berjalanlah dengan jalan yang sudah
ditetapkan oleh ilahi rabbi, karena ini sudah dalam garis takdir di antara
deraan yang tak bertepi.
Sidang pembaca yang terhormat, Mawangi dalam
kisahnya ini akan menjadi pengantar perjalanannya pada langkah-langkah kehidupan
berikutnya. Berada dalam naungan Kami, Mawangi berjalan, dan terus berjalan
dengan satu tujuan kesadaran. Sebuah jejak yang ada, tetapi tidak ada.
Pengenalan dan pembuktiannya bukan dalam cerita, tetapi sudah dituturkan dalam
kisah-kisah yang turun temurun menjadi tambahan pengetahuan dan pemahaman. Masa
lalu bukan untuk dipuja, tetapi sebagai pelajaran dalam perjalanan.
Maka kisah ini dalam tataran kesadaran semata. Disclaimer!!!
Selamat datang, selamat menikmati kisah
Mawangi.
assalamu alaikum, salam rahayu, memasuki alam materi memang sangat berat bagi orang orang yang mempunyai kesadaran, kisah ini dimulai ketika saya mencoba untuk masuk kealam materi, ligung namanya yang berarti famili agung bertempat di majalengka, menangis dan menjerit ketika menyaksikan betapa mereka telah melupakan apa yang orang tua mereka ajarkan tak sadar mereka akan kemuliaan ahlak dan nama besar keluarga mereka , dan demi materi yang tak abadi mereka gadaikan keimanannya dan lihat lah yg terjadi mereka asik tenggelam dalam alam materi, CIREBON banyak yang tahu bahwa sebagai pusat ilmu di nusantara, tapi yang kusaksikan sungguh sangat menyedihkan, banyak anak keturunannya yang tenggelam dalam alam materi, dan yang lebih menyedihkan sampai merekapun tak mengenal saudara mereka walau berada dalam satu tempat dalam pekerjaan, begitulah alam materi apabila orang yang memasukinya tidak membawa kesadaran sebagai pijakan dalam melaluinya, maaf bila tak berkenan,saya hanya sekedar berbagi kisah perjalanan awal memasuki alam materi, wassalam
BalasHapus